|
Petani Kutai Barat |
“ Hutan dikelola secara lestari menjadi
mimpi kita bersama. Hutan dan lahan pertanian sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui
semestinya bisa dikelola bertani secara adil dan ekologis guna mendukung perikehidupan bersama,
khususnya masyarakat yang tinggal disekitarnya. Kepastian hak Masyarakat adat
sebagai wujud pengakuan dan perlundungan masyarakat adat di wilayah hutan adat
yang Eksistensinya bertani, berburu dan berusaha di sektor kehutanan dengan mengedepankan ekologi dan pendekatan Sosio Kultur. Refleksi atas tani hari ini, ketahanan pangan, kinerja Parlemen dan pemerintah dalam menyelesaikan reforma agraria: Mari tolak RUU Pertanahan, menyelesaikan masalah
tetapi mengabaikan akar masalahnya. Pak Tani Ku kusayang, pak tani Ku Malang”. Oleh Fitriyani Sinaga
Hari Tani dan Penolakan RUU
Pertanahan
Dalam kondisi resesi pangan dan kebijakan tani saat ini bahkan telah
memasuki era depresi kebijakan nasional. Kita masih menyaksikan secara kontras
sikap divergentif antara berbagai pihak di jajaran pemerintah, baik pusat
maupun daerah terhadap bagaiamana pengelolaan sektor pertanian dan
mensejahterakan petani di Indonesia.
Berawal dari pidato presiden Indonesia pertama,Bung Karno “ Soal
Pangan adalah Soal Hidup dan matinya suatu bangsa”, kemudian mengejewantahkan
secara serius dalam suatu kebijakan Undang-Undang no. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kebijakan ini merupakan landasan
pemerintah dalam mengelola lahan dengan berkeadialan dan mensejahterakan petani
serta landasan para petani dalam memperjuangkan kepastian hukum hak atas
tanahnya.
UUPA menjadi refleksi adanya hari tani setiap tanggal 24 september
yang dalam dekat ini telah direduksi dengan lahirnya Rancangan Undang Undangn
(RUU) Pertanahan yang diklaim akan melengkapi kekurangan dari UUPA 1960 oleh
DPR RI. RUU tersebut dalam sepekan mempunyai muatan yang kontropersial yang
menimbulkan keresehan dan terjadinya demo dan Aksimahasiswa/masyarakat.
Menurut Noer Fauzi Rahman (Ahli Bagian Agraria dan Ekologi Politik) dalam bukunya, Pelaksanaan
Reforma agraria dalam RUU Pertanahan telah diatur dengan harapan untuk memenuhi
hak masyarakat atas tanah dan dapat menyelesaikan konflik-konflik agraria
struktural yang telah berlangsung dan yang akan terjadi. Konflik agraria
struktural adalah pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai suatu bidang
tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah kepunyaan rakyat dengan badan usaha
raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur, produksi, ekstraksi, dan
konservasi dimana pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak
secara langsung maupun tidak langsung dalam menghilangkan klaim pihak lain.
Namun bila dipahami secara lebih dalam, reforma agraria yang dalam RUU
Pertanahan terlihat tidak berpihak kepada rakyat miskin dan justru berpihak
pada kepentingan pemodal besar (Kapital). Tidak berpihaknya pemerintah pada
rakyat miskin dalam melaksanakan Reforma Agraria menurut RUU ini salah satunya
adalah model penyelesaian konflik agraria yang menekankan pada proses mediasi
dan peradilan.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa RUU tersebut menyamakan konflik
agraria struktural dengan konflik pertanahan biasa. Padahal, konflik agraria
struktural memiliki dampak yang lebih luas dari pada konflik pertanahan biasa.
Konflik agraria struktural berdampak luas secara sosial, budaya, ekonomi,
ekologis dan tidak jarang memakan korban jiwa.
Konflik agraria struktural harus diselesaikan dengan melibatkan
seluruh pihak dan seluruh elemen masyarakat yang terlibat dalam satu sektor
konflik agraria struktural. Lebih daripada itu, konflik agraria struktural
seharusnya dapat diantisipasi sejak masih menjadi potensi dengan aturan yang
tegas, sehingga selain menyelesaikan konflik agraria struktural, dapat juga
menghindari atau mencegah potensi-potensi konflik tenurial.
|
Keluarga dengan Kehidupan bertani yang madani. Simalungun Sumatera Utara |
Contohnya saja dalam RUU Pertanahan mengatur tentang Hak Pengelolaan
(HPL) atas tanah oleh negara. HPL yang sebelumnya di atur dalam pasal 64
Peraturan Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun
1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan, selama ini dianggap sebagai aturan yang banyak melahirkan konflik
agraria. Pemberian HPL oleh pemangku kebijakan seringkali hanya mementingkan
kepentingan pemodal besar untuk menjalankan usahanya sehingga mengenyampingkan
keberadaan masyarakat dalam wilayah HPL yang diberikan. Kenyataan tersebut
terjadi diberbagai wilayah di Indonesia dan menjadi sumber berbagai jenis
konflik di berbagai sektor agrarian.
Artian HPL disini adalah aturan yang menindas karena seringkali dalam
pemberian HPL tersebut oleh pemangku kewenangan, dilakukan tidak dengan
memperhatikan kondisi lahan dan keberadaan masyarakat yang mendiaminya. Di
tanah-tanah yang masuk dalam wilayah pemetaan HPL tidak jarang telah terdapat
masyarakat yang telah lama hidup dan berkehidupan diatasnya.
Padahal Reforma agraria adalah upaya negara untuk menata ulang struktur
agraria Indonesia yang timpang menjadi lebih berkeadilan, mensejahterakan dan
berkelanjutan, yang dilakukan secara sistematis, terstruktur serta memiliki
kerangka waktu yang jelas. Sedangkan RUU Pertanahan ini mengartikan Reforma
Agraria hanya sebatas pada program penataan aset saja seperti dalam pasal
terkait Hak Pengelolaan (HPL) tersebut.
Masyarakat Adat Butuh Kepastian
Hukum yang Adil
Hutan
adat sebagai ladang bertani hutan dan
berburu dalam keberlangsungan hidup
masyarakat lokal terutamanya masyarakat adat menuntut bentuk nyata
kepastian hukum sebagai pengakuan dan perlundungan masyarakat adat untuk hak
pengelolaan hutan di wilayah adat. Hutan Adat merupakan eksistensi kehidupan masyarakat
adat. Kepastian atas hak masyarakat adat
sebagai prasyarat bagi kepastian berusaha di sektor kehutanan.
|
Petani hutan/Masyarakat adat |
Bila
kita telisik, ketidak-pastian Hak Hukum Masyarakat telah ada dan pernah memuncak sejak reformasi
bergulir dengan jatuhnya rezim Orde baru pada tahun 1998 yang ditandai dengan
merebaknya konflik terbuka antara masyarakt lokal, terutama masyarakat adat
dengan perusahaan perusahaan besar/penguasa
oligarkhi .
Sejak
reformasi mulai berlangsung, proses politik sehat terus menghasilkan
perubahan-perubahan mendasar menyangkut relasi kekuasaan antara penyelenggara
negara dengan rakyat. Melalui UU 1945 amandemen II atas pengakukan penghormatan
dan perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sebagai HAM dan
kesepakatan politik nasional bahkan Hingga ke peraturan saat ini terkait Hutan
adat.
Memang,
secara konstitusi Indonesia telah mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak
tradisionalnya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Keberadaan masyarakat
adat beserta hak-hak tradisionalnya dan hak atas tanahnya (Hak Ulayat) juga
menjadi bagian yang diatur dalam RUU Pertanahan. Namun, aturan-aturan dalam RUU
ini bersifat pasif terhadap hak atas tanah masyarakat adat.
Masyarakat
adat dituntut harus proaktif dalam hal mendapatkan hak atas tanah adatnya.
Pengakuan atas keberadaan masyarakat adat untuk memperoleh hak ulayat harus
dikukuhkan oleh instansi pemerintah di berbagai lingkup daerah dan pusat.
Seperti
contohnya di Kalimantan Timur, pengakuaan msyarakat adat dan hutan adatnya msih
sangat minim dikarenakan proses administrasi dan potensi pemenuhan syarat masyarakat adat serta informasi belum
maksimal sesuai Peraturan Menteri LHK N0. 23/2015 tentang hutan hak dan pasal 6
terkait penetapan hutan adat diantaranya keberadaan masyarakat hukum adat/ha
katas ulayat yang telah pemerintah melalui produk hukum daerah.
Hutan Adat
Hemaq Beniung adalah hutan adat pertama di Kalimantan Timur yang mendapat
pengakiuan negara pada tahun 2017 lalu melalui proses yang sangat panjang. Dimana disana juga ada aktivitas bertani dengan pendekatan sosio kultur dan ekologis. Masyarakat adat Hemaq Beniung bercocok tanam dan berburu dengan tetap menjaga kawasan hutan yang sekarang jadi hutan adat.
Dalam
usulan RUU Pertanahan yang Kontradiktif dengan UUPA 1960 adalah tentang
ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan pada
awal tulisan bahwa RUU Pertanahan menjadikan UUPA sebagai landasannya.
Menjadikan tujuan UUPA pula dalam membuat aturan-aturan yang tertuang
didalamnya.
Namun, kontradiksi juga timbul dalam muatan dan substansi yang
dibuat. Terkait peran proaktif yang seharusnya di laksanakan oleh pemerintah
dalam mendaftarkan tanah diseluruh wilayah Indonesia agar dapat memiliki data
agraria yang lengkap dan akurat dalam rangka menentukan arah pembangunan
nasional dan pemenuhan hak-hak agraria masyarakat.
Kelestarian Hutan Yang Utopis ?
Diskursus
pengelolaan Hutan berbasis masyarakat yang sering dikatakan sebagai paradigma
baru. Pengelolaan hutan di Indonesia ternyata tidak beranjak pada
persoalan-persoalan kepastian hak dan model implementasinya.
Jika Kita telusuri
lebih jauh maka pengelolaan hutan berbasis masyarakat masih diinisisasi oleh
masyarakat adat dengan sistem pertanian ramah lingkungan serta menjaga nilai
ekologi hutan melalui pendekatan budaya adat setempat.
Indonesia
dengan eksistensi hutannya dan dikenal negara agraris, tetapi pada kenyataannya
alih Fungsi lahan hutan yang menjadi perkebunan sawit dan industri ekstraktif oleh
para pemodal menjadi persempitan lahan untuk Petani kecil (Petaniku sayang
petaniku malang).
71
persen tanah di seluruh daratan di Indonesia telah dikuasai oleh korporasi
Kehutanan. Di samping itu, 23 persen tanah dikuasai oleh korporasi perkebunan
skala besar dan para konglomerat. Sementara, data BPS menyebutkan bahwa
ketimpangan tanah di Indonesia mencapai 0,397% yang berarti rata-rata petani di
seluruh Indonesia hanya mencapai 0,8 hektar. Salah satu contoh kepemilikan
tanah skala besar adalah oleh PT. SINARMAS GRUP yang menguasai 471.100 hektar
tanah untuk perkebunan sawit di Indonesia.
Belum
penuh diakuinya Hak dan ruang kelola Masyarakat serta menjadi mapannya hak
menguasai negara atas sumberdaya alam menurunkan berbagai kebijakan kehutanan
yang centralistic, berbasis negara dan pro pemodal besar. Lahan hutan dan tani dalam skala Perhutanan Sosial yang diberikan
pada masyarakat belum sepenuhnya menyelesaikan masalah masyarakat saat ini. Maraknya
Pembukaan lahan hutan besar-besaran oleh korporasi untuk perkebunan sawit juga
menjauhkan hutan petani-petani kecil Indonesia dari kata sejahtera dan lestari.
Ketimpangan
semakin terlihat dari Luas lahan perkebunan (sawit) di Indonesia itu 12,21 juta
ha. Sekitar 7,88 juta ha dikuasai oleh swasta. Sedangkan jumlah luas lahan
sawah yang tersedia di Indonesia sebesar 8,19 juta ha.
Tentunya hal tersebut
menunjukan dengan nyata ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia dan mengingat
bahwa RUU Pertanahan tidak mengatur jumlah luasan HGU yang dapat diberikan
justru akan semakin meningkatkan ketimpangan penguasaan tanah serta tidak
mencerminkan cita-cita UUPA 1960.
Dengan
Luas hutan 85,6 juta ha/71% tanah daratan Indonesia yang dikuasai sektor
kehutanan tidak menjamin kelestarian Hutan itu sendiri. Banyaknya izin-izin
Konsesi pemanfaatan untuk ekstraktif di Kawasan Hutan memperpanjang laju
deforestrasinya meningkat tiap tahun dan ditambah lagi terjadinya Kebakaran lahan dan hutan (Karhutla) saat ini.
Hal tersebut semakin memastikan utopis dalam hal Kelestarian
Hutan. Kelestarian Hutan dan para petani sekitar hutan masih belum sejahtera.
|
Petani di zona riparian Sungai Karang Mumus Samarinda |
Untuk
itu mari kolektif dalam menyuarakan Kepastian Hukum hak masyarakat adat, kesejahteraan
petani, menolak RUU Pertanahan serta mari melindungi dan restorasi Hutan.
#ReformasiDikorupsi
#MosiTidakPercaya
#GerakanKolektif
#SelamatkanHutan
#PetaniMuda
#BertaniKarenaBenar
Referensi : Forest Watch Indonesia, FKKM, Buku Agraria
(Noor fauzi), Draft agria GmnI dan Tulisan Fitriyani Sinaga
Komentar
Posting Komentar