Pengaruh kabut asap


Study Pengaruh Kabut Asap Terhadap Habitat dan Respon Perilaku Primata Pasca Kebakaran
di Taman Nasional Kutai

Fitriyani Sinaga
Fakultas kehutanan Universitas Mulawarman
Sinagafitriyani@gmailcom


Abstrak
Taman nasional kutai merupakan salah satu taman nasional yang berada di kalimantan timur dan memiliki vegetasi yang alami sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi bagi makhluk hidup. Taman Nasional Kutai memiliki berbagai tipe vegetasi utama yaitu vegetasi hutan pantai/mangrove, hutan rawa air tawar, hutan kerangas, hutan genangan dataran rendah, hutan ulin/meranti/kapur dan hutan Dipterocarpaceae campuran. Taman nasional ini merupakan perwakilan hutan ulin yang paling luas di Indonesia dan habitat Salah satu makhluk hidup monyet ekor panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kabut asap terhadap monyet ekor panjang tentang respon perilaku akan habitatnya yang mengalami kebakaran di Taman Nasional Kutai . Studi Penelitian ini dilaksanakan tanggal 4 juli- 29 juli2016. Metode pengumpulan data menggunakan metode terkonsentrasi yang dilakukan dengan cara mendatangi titik-titik keberadaan monyet ekor panjang yang telah diketahui dan menggunakan Data sekunder serta data Primer. Mengumpulkan data dan mencatat pohon buah yang di konsumsi oleh monyet ekor panjang dan memperlihatkan keadaan prilaku sebelum dan sesudah kebakaran terhadap monyet ekor panjang . keluar masuknya monyet ekor panjang pada setiap titik dicatat pada tally sheet agar tidak terjadi pengulangan perhitungan. Dari hasil penelitian dapat diketahui, bahwa monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ) berhasil menyesuaikan diri pada kondisi baru setelah kebakaran hutan dengan mengubah polamakan dan memperluas ruang pengembaraan dan mengkonsumsi 61 jenis pohon di Taman nasional Kutai , kalimantan Timur.

Kata Kunci : Habitat, Macaca fascicularis, Taman nasional Kutai, studi Pengaruh kabut asap.


BAB I PENDAHULUAN

Kepala Laboratorium Entomologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Rosichon Ubaidillah mengatakan kebakaran hutan tidak saja menimbulkan pencemaran udara dan kerugian secara materi, tetapi juga menyebabkan punahnya keanekaragaman hayati."Berapa juta spesies yang punah akibat kebakaran hutan, kita tidak pernah peduli. Selama ini kita hanya melihat lihat dampak asapnya saja.

Padahal salah satu kerugian yang besar adalah kehilangan keanekaragaman hayati di dalam hutan tersebut.kelompok binatang yang cepat punah akibat kebakaran hutan adalah binatang yang bergerak lamban seperti bintang yang berada di dalam tanah, serangga serta mikroba.Tidak hanya itu, kebakaran hutan juga membunuh berbagai fauna yang ada di dalam hutan tersebut.Dengan maraknya kebakaran hutan, LIPI pun dikejar waktu dalam menginventarisasi semua kekayaan keanekaragaman hayati sebelum makhluk tersebut punah.Dari keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia LIPI baru menginventarisasi sekitar 40 persen yang di antaranya 80 persen didominasi oleh kelompok binatang mamalia dan unggas.Namun untuk binatang invetebrata dan binatang-binatang kecil di dalam hutan masih sekitar 10 persen.


Dampak atau pengaruh kebakaran hutan terhadap satwaliar diperkirakan banyakorang adalah dari mulai sangat dramatis sampai berpengaruh positif. Misalnya dampakkebakaran terhadap banyak herbivora dikatakan sebagai justru akan memberikan jumlahmakanan yang lebih banyak bagi kelompok ini, sehingga populasi satwa pemakan daunini di hutan-hutan bekas kebakaran meningkat. Dampak api terhadap satwaliar dengandaerah jelajah yang kecil atau kemampuan mobilitasnya yang rendah, dikatakan banyakterpengaruh. Kalau mereka tidak dapat pindah ke tempat yang lebih baik, tentu merekaakan mengalami kematian. Namun demikian, untuk daerah kita sendiri tidak terdapatbanyak data tentang hal itu. Padahal kejadian kebakaran hutan di Indonesia, khususnyadi Kalimantan Timur sudah hampir berlangsung secara rutin.


Tulisan ini akan menyampaikan sedikit ulasan tentang bagaimana populasi satwa akan berubah seiring dengan perubahan perilaku, khususnya perilaku makandengan adanya perusakan habitat akibat amukan sijago merah ini. Dengan bekal sedikitdata dari penelitian sendiri, khususnya pengaruh daripada pemanenan hutan terhadap keanekaragaman primata terutama Monyet ekor panjang, disampaikan analisa akibat api sebagai perusak habitat kedua yang biasanya datang setelah pemanenan hutan.


Data dari kebakaran tahun1982/1983 menyebutkan bahwa 80% areal yang terbakar adalah hutan-hutan bukan tebangan (Lennertz & Panzer 1983). Begitu juga areal yang terbakar pada tahun-tahunsetelah itu, adalah sebagian besar areal yang sama dengan areal kebakaran sebelumnya.Selain itu juga disampaikan beberapa hasil penelitian dari data setelah kebakaran tahun1997.


BAB II PEMBAHASA

2.1. Metode Dan Bahan
Taman Nasional Kutai memiliki berbagai tipe vegetasi utama yaitu vegetasi hutan pantai/mangrove,hutan rawa air tawar, hutan kerangas, hutan genangan dataran rendah, hutan ulin/meranti/kapur dan hutan Dipterocarpaceae campuran.

Taman nasional ini merupakan perwakilan hutan ulin yang paling luas di Indonesia. Disamping memiliki potensi keanekaragaman tumbuhan, taman nasional ini juga memiliki potensi keanekaragaman satwa yang tinggi, yaitu dari kelompok primata seperti orangutan (Pongo satyrus), owa kalimantan (Hylobates muelleri), bekantan (Nasalis larvatus), Monyet ekor panjang(Macaca fascicularis fascicularis), beruk (M. nemestrina nemestrina), dan kukang (Nyticebus coucang borneanus). Kelompok ini dapat dijumpai di Teluk Kaba, Prevab-Mentoko dan Sangkimah. Kelompok ungulata seperti banteng (Bos javanicus lowi), rusa sambar (Cervus unicolor brookei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), dan kancil (Tragulus javanicus klossi). Kelompok ini dapat dijumpai di seluruh kawasan Taman Nasional Kutai.

Kelompok carnivora seperti beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus) bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), pergam raja/hijau (Ducula aenea), ayam hutan (Gallus sp.), beo/tiong emas (Gracula religiosa), dan pecuk ular asia (Anhinga melanogaster melanogaster).


2.2.Perusakan Habitat Satwa
Tersedianya makanan adalah hal utama untuk kehadiran satwa di dalam hutan.Banyak peneliti percaya bahwa kualitas daripada makanan adalah merupakan faktorpembatas bagi banyak Herbivore (Klein 1970, Moss 1967, Schultz 1969, Watson &Moss 1972 dalam Kozlowski 1974). Dari data kebakaran tahun 1982/1983, MarkLeighton mencatat sekitar 52% tanaman buah-buahan yang menjadi makanan burungEnggang mati dimakan api, 44% tanaman buah makanan primata mati, begitu juga 84%Ficus besar, 100% Ficus pemanjat adalah mati, begitu juga halnya dengan semua liana.

Tabel berikut memperlihatkan kondisi dari pohon buah yang besar untuk masing-masing jenis satwa yang memanfaatkannya (Leighton 1985).Tabel 1. Kondisi Pohon Buah yang Besar Setelah Kebakaran Hutan untuk Masing- masing Jenis Satwa yang Memanfaatkannya Tajuk Tajuk Hanya cabang/ Jumlah Jenis Satwa Tajuk mati padat tipis batang pohon contoh Burung 24% 18% 30% 28% 103 Primata 45% 12% 29% 14% 56 Kelelawar 36% 14% 36% 13% 55 Selain itu kebakaran hutan menjadikan perubahan yang begitu banyak terhadapiklim mikro, sehingga menjadikannya tempat yang tidak lagi cocok untuk banyak jenis binatang. Kehilangan vegetasi setelah kebakaran menjadikan hutan terbuka, sehingga memudahkan predator mendapatkan mangsanya. Kehilangan vegetasi penutup (escapecover) sejalan juga dengan kehilangan makanan satwa.


2.3 Pengaruh kebakaran terhadap mamalia Primata

Kebakaran memberikan respon terhadap perubahan habitat akibat kebakaran hutandengan banyaknya mereka ditemukan di lantai hutan dan memilih jenis makanantertentu di hutan primer atau mengkonsumsi dalam jumlah besar daun-daun yang belummatang dan insekta.


Produksi buah pada hutan bekas terbakar adalah rendah, sehingga orangutansangat tergantung kepada kulit-kulit pohon dan dedaunan muda, pucuk dan tunas-tunasmuda (Suzuki 1988). Disamping kompleksnya perubahan ekologi yang terjadi setelah kebakaran hutan, Serangga penggerek kayu (wood boring insect) menaik populasinya dimana jenis-jenis Macaca (Beruk) dan Gibbon (Uwa-uwa) mengambil keuntungan daripadanya.


Jika musim kering telah datang dan kebakaran hutan terjadi, mungkin terjadi perubahan dalam banyak hal terutama populasi, perilaku ataupun aktivitas. Adalahsesuatu yang menarik setelah kebakaran hutan, banyak jenis primata khususnya orangutan dan monyet yang memakan nyamuk ataupun jenis makanan lainnya yangsebelumnya mereka tidak pernah memakannya. Dari penelitian Susilo (1986) terlihatbahwa makanan orang utan pada hutan bekas kebakaran masih cukup tersedia. Tidakada perubahan yang signifikan dalam lamanya waktu makan, perjalanan dan istirahatsetelah kebakaran. Tabel berikut ini memperlihatkan bagaimana keadaan sebelum dansetelah kebakaran untuk beberapa perilaku daripada Orang utan.


Tabel 1. Perilaku Monyet ekor panjang Sebelum dan Setelah Kebakaran Hutan (%)
Sebelum Kebakaran hutan Setelah kebakaran Hutan


Peneliti
Rodman (1977)
Galdikas (1980)
A Susilo (1986)

Lokasi
?
T.puting
Mentoko
Prevab

Waktu
5.30-18.30
?
6.00-19.00
6.00-19.00

Fedding
45,9
60,1
48,6
32,2

Travel
14,1
8,7
9,5
11,3

Resting
39,2
31,2
41,9
56,5


aktivitas istirahat (resting) dari pada orang utan terlihat meningkat.

Hal ini mungkin disebabkan lingkungan sumberdaya makanan, sehinggapenghematan energi untuk bergerak harus mereka lakukan.


Hal ini mungkin disebabkan lingkungan sumberdaya makanan, sehinggapenghematan energi untuk bergerak harus mereka lakukan.
2.4. Perubahan kondisi pengkonsumsian makanan
Orang Utan adalah pemakan buah (Rodman 1977 dan Susilo 1986). Hal inidibuktikan bahwa 61% dari waktu makannya digunakan untuk memakan buah(Galdikas 1980).

Tabel berikut memperlihatkan kondisi makanan Orangutan sebelumdan setelah kebakaran hutan berlangsung.

Tabel 3. Konsumsi Makanan Orang Utan Sebelum dan Setelah Kebakaran Hutan (%) Sebelum Api Setelah Api Jenis Rodman Suzuki A. Susilo (1986) (1978) (1985) Terbakar Tidak terbakar Buah 75 10 56 67,1 Daun 15 30 7,0 8,1 Kulit Kayu - 50 35,9 24,8 Herba - 10 - - Serangga - - 0,3 - Lainnya 10 - 0,8 - Setelah kebakaran hutan, buah tetap saja merupakan komoditi makanan utamadaripada orang utan. Hanya saja konsumsi terhadap kulit kayu terlihat cukup tinggipersentasinya pada hutan yang terbakar.

Persediaan buah di hutan bekas kebakaran adalah sangat rendah (Suzuki 1985).Bahkan dikhabarkan bahwa Orangutan sudah menjadi hama untuk tegakan Acaciamangium di HTI Batuampar dan hal ini terulang lagi sekarang ini di HTI Sumalindopada tahun 1999.

Bagian dari kambium kayu banyak mengandung air yang dibutuhkan olehbinatang. Di hutan alam orangutan juga mencari pohon Jabon (Anthocephaluscadamba) atau Trema untuk memakan kambiumnya.

Di daerah Sangata ditemukanbeberapa dari mereka bersarang pada pohon Jabon, yang mana hal tersebut belumpernah terjadi sebelumnya


Jumlah Orang Utan di Kutai adalah sekitar 30 individu per 30 Km2 yangterdapat disebelah selatan sungai Sangata, sedangkan Suzuki mengatakan kepadatanOrangutan adalah 1,8 ekor per Km2 (Suzuki 1988).

Hasil penelitian Susilo dan Tangketasik pada tahun 1988 di Taman NasionalKutai menyebutkan bahwa bangsa monyet (Macaca fascicularis) berhasilmenyesuaikan diri pada kondisi baru setelah kebakaran hutan dengan mengubah polamakan dan memperluas ruang pengembaraan. Namun suatu kebiasaan yang tidak wajardalam menu makanan mereka adalah adanya pemanfaatan beberapa jenis Dipterocarpaceae.

 Kelompok Macaca sering disebut-sebut sebagai kelompok satwa yang berhasilberadaptasi dengan perubahan habitat akibat kebakaran hutan. Kemampuan itudisebabkan kemampuan Macaca untuk melakukan perubahan dalam kebiasaanmakanannya dan memperluas daerah jelajahnya (homerange).

Perubahan habitat diatasidengan melakukan perjalanan di atas tanah secara ekstensif, perjalanan harian yangketat dan pergantian menu makanan primer dari buah-buahan kepada dedaunan masakdan banyak serangga.


Empat bulan sebelum kebakaran Macaca mengkonsumsi 61 jenis pohon buahdan bunga dari 18 jenis tanaman. Empat bulan setelah kebakaran konsumsi makananMacaca bervariasi menjadi 31 jenis buah dan bunga dari 8 jenis tanaman.

 Macacamerubah kebiasaan makanananya di Kutai kepada buah muda dan jenis Dipterocarpusconfertus,D.lanceolata, D.validus, Dipterocarpus sp, Shorea johorensis, S.palembanica dan jenis lainnya.


Tabel 4. Kematian Pohon Makanan Primata Jenis Famili %
Jenis
Famili
%Kematian

Alangium (3 jenis)
Dracontomelon
Koordersiodendron pinnatum
Beberapa genus
Fissitigma, Uvaria (liana)
Eriocybe (liana)
Diospyros sp
Drypetes (3 jenis)
Bacaurea (5 jenis)
Phytocrene racemosa
Aglaia, Reinwardtiodendron
Tetrastigma sp
Jenis lainnya
Liana lainnya
Semua pohon buah primata
Semua liana primata
Alangiaceae
Anacardiaceae
Anacardiaceae
Annonaceae
Annonaceae
Convolvulaceae
Ebenaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Icacinaceae
Meliaceae
Vitaceae
beberapa
60
25
22
44
94
100
20
88
67
100
50
90
55
100
44
97

Kematian Alangium (3 jenis) Alangiaceae 60 Dracontomelon Anacardiaceae 25 Koordersiodendron pinnatum Anacardiaceae 22 Beberapa genus Annonaceae 44 Fissitigma, Uvaria (liana) Annonaceae 94 Eriocybe (liana) Convolvulaceae 100 Diospyros sp Ebenaceae 20 Drypetes (3 jenis) Euphorbiaceae 88 Baccaurea (5 jenis) Euphorbiaceae 67 Phytocrene racemosa Icacinaceae 100 Aglaia, Reinwardtiodendron Meliaceae 50 Tetrastigma sp Vitaceae 90 Jenis lainnya Beberapa 55 Liana lainnya 100 Semua pohon buah primata 44 Semua liana primata 97 Adalah merupakan hubungan yang tidak sederhana antara efek kebakarandengan sisa nutrient pada tanaman yang mungkin masih dapat digunakan oleh satwa.


Level daripada nutrient tumbuhan setelah kebakaran mungkin tidak berubah, berubahatau menurun, tergantung kepada musim, tanah, cuaca, bahan bakar alami dan api sertabanyak faktor lain (Wagle & Kitchen 1972 dalam Kozlowski 1974). Banyak babi hutan mati pada saat terjadi kebakaran.


Kebakaran membuatmereka panik dan bisa saja terjadi mereka lari tidak tentu arah dan bahkan meloncat kedalam api yang sedang menyala. Namun setelah kebakaran banyak informasimengatakan, bahwa populasi babi hutan kembali banyak, seperti juga yang dilaporkan Doi (1988) di Taman Nasional Kutai.

Sedangkan jenis Banteng (Bos javanicus)dilaporkan oleh Wirawan dalam Kompas 26 Juni 1984, kembali hadir setelah kebakaranhutan dengan memanfaatkan kulit kayu dan tunas-tunas muda yang baru tumbuh


BAB III PENUTUP

PERUBAHAN SETELAH KEBAKARAN HUTAN Banyak hal dapat terjadi setelah kebakaran hutan, khususnya terhadap habitatsatwa.

Perubahan secara biotik dan abiotik dalam jangka waktu yang pendek adalahsudah menjadi suatu keharusan. Bahkan perubahan tersebut sudah terjadi saat musimkering panjang berlangsung, dimana kadar air hutan berkurang dengan sangat drastissehingga begitu potensial untuk terjadinya kebakaran hutan.

Perubahan secara abiotik(tanah, iklim mikro dan sebagainya) bukan menjadi bagian dari tulisan ini, karena sudahdituliskan oleh penulis yang lain dalam makalah yang berbeda. Namun demikian dalamkenyataannya perubahan tersebut menjadi penyebab utama terjadinya perubahanterhadap satwaliar yang menjadi penghuninya. Dengan kata lain dapat dikatakan,bahwa dampak kebakaran terhadap satwaliar adalah secara tidak langsung, yaituterhadap habitatnya.

Perubahan dapat terjadi kepada:
1. Komposisi jenis
2. Strukturpopulasi (kematian tingkat bayi, remaja dan sebagainya),
3. Perubahan kerapatan,
4.Pengecilan ruang gerak atau homerange,
5.Perubahan biomassa (Penurunan beratbadan satwaliar). Gambar berikut ini memperlihatkan secara sederhana kemungkinanperubahan yang terjadi setelah terjadinya gangguan (kebakaran, penebangan hutan ataulainnya) terhadap habitat hutan (diambil dari Spellerberg 1991).


Perubahan yang mungkin terjadi setelah adanya perubahan habitat akibat kebakaran,penebangan atau lainnya. A-E menunjukan jenis, Luas Juring memperlihatkan kepadatan masing-masing jenis, Besarnya lingkaran memperlihatkan biomassa. Pembandingan selalu dilakukan padakondisi awal
(1), kondisi
(2) memperlihatkan pengurangan jenis, kondisi
(3) memperlihatkanpenambahan jenis, kondisi
(4) memperlihatkan perubahan dalam kepadatan jenis, kondisi (5)memperlihatkan perubahan biomassa karena misalnya makanan tersedia cukup Banyak.


DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1989: Penelitian satwaliar di hutan lindung Bukit Soeharto. Media Konservasi Vol. II (3): 19-23

Boer, C. 1998: Zur Bedeutung vonBaumsturzlückn für die Verteilung und Abundanz von Vogelarten des Unterholzes in primär- und Sekundärregenwäldem Ostkalimantan. Universität Würzburg. Dissertation

Boer, C. 1999: Effects of fire on the community of forest birds. Research Cooperation among University of (PPHT-FAHUTAN), Center for Int. Forestry Research Organization (CIFOR) and Japan Int. Coop. Agency (JICA) Tropical Rain Forest Research Project

Galdikas, B.R.F. 1978: Adaptasi Orangutan di Suaka Alam Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Ph.D. Thesis. University of California, Los Angeles

Leighton, M. 1985: The El Nino-Southern oscillation event in Southeast Asia: Effects of droght and fire in tropical forest in Eastern Borneo. Department of Anthropology. Harvard University

Susilo, A., dan Tangketasik, J. 1986: Dampak kebakaran hutan terhadap perilaku orangutan (Pongo pygmaeus) di Taman Nasional Kutai. Wanatrop 1 (2)

Susilo, A., dan Tangketasik, J. 1988: Habitat dan perilaku makan Macaca Fascicularis di hutan bekas terbakar Mentoko Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Wanatrop 3 (2)

Suzuki, A. 1988: The socio-ecological study of Orangutan and the forest conditions after the big forestr fire and droght 1983 in Kutai National Park, Indonesia. In: A research on the process of earlier recovery of tropical rain forest after a large scale fire in East Kalimantan, Indonesia.

Research Ceter for the South Pacific, Kagoshima University


Fitriyani Sinaga
Fitriyani Sinaga relawan COP 2015

Komentar

TERPOPULER

Isolasi Lignin Pulp Soda dan Sulfat (Kraft)

Teknis Mesin Pancang Dalam Pemanenan HUTAN

Sejarah Sylva Indonesia: Rimbawan, yuk berjuang kolektif!

Masyarakat Adat vs RUU Pertanahan, Sebuah Refleksi Hari Tani, Utopis Kelestarian Hutan?

Kehutanan Berduka,Wafatnya Prof.Dr.Ir.H.R.Sambas Wirakusumah MSc.

Rimba 2019: Mahasiswa Berprestasi, Tanamkan Kode Etik Rimbawan

Karhutla di Kaltim: Surga Angrek Hitam Cagar Alam Kresik Luway Hangus

Symposium dan Konferensi Nasional Sylva Indonesia Jogjakarta

UPAYA REHABILITAS LAHAN KRITIS

Informasi data berita tentang fakta,edukasi dan analisis tentang kehutanan, pertanian, pendidikan budaya sosial dan lingkungan hidup. Ragam berita konservasi dan sains lingkungan. @ Seorang pembelajar yang menyenangi membaca dan menulis Jurnal ilmiah. Acap kali juga ngopi dengan penjaga toilet, satpam dan tukang parkir di pinggiran jalan . Kadang mendaki gunung dan memancing ikan dilaut. Masa kecilku Sering nongkrong di sawah bersama petani dan mengembala kerbau di Ladang. @nagadragn