Eropa mencabut
subsidi minyak sawit sebagai bahan bakar lantaran tidak ramah lingkungan. Kini
industri nasional mulai mencari pasar pengganti. Namun hal ini diyakini bisa
mempercepat laju deforestasi. Kenapa bisa?
Suasana kontras berpaut antara
Brussels dan Jakarta: Ketika aktivis lingkungan merayakan keputusan teranyar
Komisi Eropa mencabut subsidi sawit untuk bahan bakar, pemerintah dan pelaku
bisnis di Indonesia meradang. Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan,
kembali melayangkan ancaman akan menunda perundingan perdagangan bebas antara
kedua belah pihak.
Hal ini sulit dimengerti oleh pegiat
lingkungan Eropa. Sascha Müller-Kraenner, Direktur LSM lingkungan Jerman,
Deutsche Umwelthilfe, menegaskan pihaknya melihat sawit semata-mata sebagai
bahan pangan, bukan bahan bakar. "Minyak sawit adalah komoditas berharga,
terutama untuk sektor makanan atau kosmetika, dan terlalu berharga untuk
dibuang ke dalam tanki bensin," kata dia kepada DW.
"Neraca iklimnya juga tidak
positif, karena melibatkan deforestasi. Jadi neraca iklimnya lebih buruk
ketimbang diesel murni.” Sebabnya LSM yang tergabung dalam kampanye anti bahan
bakar bercampur sawit "NotInMyTank" itu menghimbau agar "sawit
sebaiknya tetap digunakan untuk bahan pangan," bukan lagi sebagai bahan
campuran biodiesel.
Kampanye NotInMyTank digalang berbagai
organisasi lingkungan dan konservasi untuk mengakhiri praktik subsidi sawit
oleh Komisi Eropa. Upaya tersebut membuahkan hasil saat Komisi Eropa mengubah
rancangan regulasi di menit-menit terakhir agar mengeluarkan sawit dari daftar
bahan bakar bersubsidi. Sascha Müller-Kraenner menegaskan kampanye tersebut
murni untuk lingkungan, bukan digerakkan oleh kepentingan dagang.
"Indonesia
tentu punya kepentingan bisnis terkait penjualan minyak sawit ke Eropa,
terutama perusahaan besar. Tapi Komisi Eropa sudah berupaya keras mengukur dan
mengklasifikasi bahan mentah agraria yang memiliki neraca iklim negatif.,
termasuk di antaranya minyak sawit atau kedelai. Jadi kami tidak
mendiskriminasi minyak sawit atas alasan perdagangan, melainkan hanya karena
neraca iklimnya," kata dia lagi.
Hal ini
dibantah oleh Agus Purnomo, Direktur Keberlanjutan di Golden Agri-Resources,
anak perusahaan Sinarmas. Kepada DW, dia menuding manuver Komisi Eropa sejak
awal bermotifkan perang dagang yang digerakkan oleh kepentingan bisnis para
petani. Hal ini menurutnya terbukti ketika Komisi Eropa tidak menempatkan
kedelai ke dalam daftar komoditas berisiko tinggi.
"Dari
mana tidak ada masalah? Brazil saja kehilangan tiga juta hektar antara 2017
sampai 2018."
"Jadi
jelas targetnya adalah mengurangi minyak sawit. Itu pesan sponsornya Asosiasi
Petani Eropa. Mereka mencari cara, misalnya menempatkan minyak sawit
dalam daftar komoditas berisiko tinggi,” ketika ditanya interval data yang
digunakan, "mereka bilang antara 1998 dan 2008. Itu mah akal-akalan yang
busuk.”
Agus
berpendapat periode awal ekspansi sawit di Indonesia terjadi di tengah transisi
politik, sehingga belum ada regulasi yang ketat dari pemerintah. Pada periode
itu, kata Agus, Indonesia kehilangan tiga juta hektar hutan per tahun.
"Kalau mau jujur, data yang dipakai harus dihitung hingga tahun 2017,”
imbuhnya. Agus menuding Uni Eropa mengabaikan data deforestasi teranyar
lantaran angkanya jauh lebih rendah.
Uni Eropa
sebaliknya menyatakan regulasi teranyar itu dibuat berdasarkan data ilmiah
antara 2008 hingga 2015, yang mencatat 45% ekspansi kebun sawit terjadi di
kawasan yang menyimpan emisi karbondioksida dalam jumlah besar. Hal tersebut
diungkapkan dalam sebuah pernyataan pers perwakilan UE di Jakarta seperti
dilansir The Jakarta Post.
Dalam 20
tahun terakhir luas kebun sawit di Indonesia memang melonjak pesat dari hanya
satu juta hektar menjadi 16 juta hektar. Tapi masa keemasan bagi industri sawit
terjadi pada era Orde Baru. Saat itu pemerintah mendorong perkembangan
perkebunan kelapa sawit melalui Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP)
Ekspansi
paling besar sendiri tercatat saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dan
sejak itu pemerintah tidak lagi menerbitkan izin baru perkebunan sawit.
"Tapi kenapa yang dipilih periode di mana laju deforestasi paling besar?
untuk mengukur neraca iklim sawit Indonesia, tanya Agus.
Sulit
memungkiri betapa reputasi sawit dibebani oleh ragam masalah di Indonesia,
mulai dari konflik lahan hingga pengrusakan hutan lindung. Hal ini bertambah
runyam ketika pemerintah misalnya menggunakan alasan nasib petani kecil untuk mengritik
keputusan Komisi Eropa, meski UE masih mengizinkan impor dari kebun yang
luasnya tidak melebihi lima hektar.
Pemerintah
berniat menggugat keputusan Komisi Eropa ke Badan Perdagangan Dunia (WTO). Bagi
Agus Purnomo, industri sawit nasional sedang mempersiapkan diri untuk tidak
lagi bisa berbisnis dengan Uni Eropa. "Ya sudah kita lupakan Eropa. Kita
kembangkan pasar lain," kata dia. Tapi kemana?
Menurut data
2017, Afrika menyumbang hampir 9% dari pembelian sawit di seluruh dunia. Global
Farm Trade, konsultan sawit asal Malaysia, baru-baru ini merilis analisa yang
menyimpulkan benua hitam itu kelak akan menggeser India sebagai importir sawit
terbesar kedua di dunia. Prediksi itu diyakini akan menjadi kenyataan
secepatnya pada 2030.
Namun bagi
Agus, ada pasar lain yang jauh lebih menjanjikan untuk komoditi sawit, yakni
Indonesia sendiri. Diharapkan perekonomian nasional akan bisa menyerap surplus
produksi sawit yang ditujukan untuk pasar Eropa.
Dan dia
mewanti-wanti aktivis lingkungan, tanpa regulasi iklim Uni Eropa, hanya
Indonesia yang berhak menentukan seberapa ramah lingkungan produk sawit yang
boleh dijual.
"Nah
ketika Indonesia sudah bisa mengatur diri dengan standar sesuka hati dan
deforestasi terus berlanjut, para aktivis lingkungan itu berhasil atau kalah?”
Diringkas dalam tulisan oleh Fitriyani Sinaga
Sumber
referensi : WWF dan DW
Komentar
Posting Komentar