Kratom merupakan tanaman yang potensial.
Selain pohonnya yang bermanfaat sebagai penahan abrasi sungai dan
rehabilitasi lahan rawa pasang surut, daunnya merupakan salah satu
komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang potensial mengangkat
perekonomian masyarakat. Daunnya dimanfaatkan sebagai obat tradisional
dan sebagian besar diekspor dalam bentuk tepung kratom. Namun saat ini,
keberadaan kratom terancam dimusnahkan karena direkomendasikan masuk
golongan narkotika kelompok NPS4 oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)
meski belum masuk daftar secara resmi.
Apa itu Kratom?
Kratom (Mitragyna speciosa
Korth.) merupakan tanaman tropis dari famili Rubiaceae yang berasal dari
Asia Tenggara (Muang Thai, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina) dan
Papua Nugini. Di Indonesia, tanaman ini banyak tumbuh di Kalimantan,
Sumatera, sampai ke Sulawesi dan Papua di wilayah tertentu. Kratom dalam
bahasa lokalnya disebut kratom/ketum/purik di Kalimantan Barat, disebut
kayu sapat/sepat di Kalimantan Tengah/Kalimantan Selatan, dan disebut
kedamba/kedemba di Kalimantan Timur.
Daun kratom dimanfaatkan oleh masyarakat
lokal sebagai obat tradisional untuk mengatasi diare, lelah, nyeri
otot, batuk, meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan tekanan darah
tinggi, menambah energi, mengatasi depresi, antidiabetes dan antimalaria
serta stimulan seksual.
Berbagai sumber menyebutkan, efek kratom
pada manusia tergantung dari dosis dan cara pemakaian. Pada dosis
rendah, kratom yang mempunyai senyawa aktif Mitragynin dan
7-hidroksimitragynin ini mempunyai efek stimulasi, sedangkan pada
dosis yang lebih tinggi, efek kratom hampir sama seperti senyawa opiat
yaitu efek analgesik dan sedasi.
Selain diambil daunnya, kayu kratom juga
banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan bangunan dan meubel karena
sifat kayunya yang keras dan kuat.
Kratom Bernilai Ekonomi Tinggi
Setelah melakukan studi awal mengenai
aspek ekologi dan sosial ekonomi pengusahaan kratom di wilayah kerja
KPHL Gerbang Barito Unit IX di Kalimantan tengah, diketahui bahwa kratom
diusahakan oleh masyarakat dengan cara mengambil daunnya dari alam
maupun dibudidayakan di kebun atau pekarangan rumahnya.
Kratom merupakan tanaman cepat tumbuh
yang tumbuh secara alami di daerah zona pasang surut sungai dan rawa
dengan pertumbuhan awal per tahun mencapai 2-3 meter. Morfologi tumbuhan
kratom yang mempunyai kanopi melebar dan perakaran yang kuat menjadikan
keberadaan kratom ini juga berfungsi sebagai pencegah erosi pinggir
sungai.
Di beberapa desa di wilayah kerja KPHL
Gerbang Barito sebagian besar ekonomi masyarakatnya bergantung pada
pengusahaan tanaman kratom ini. Harga jual kratom per kilogram, untuk
daun basah berkisar 1.500 sampai dengan 3.500 rupiah, sedangkan untuk
daun kering berkisar 17.000 sampai dengan 27.000 rupiah.
Komoditas daun kering yang berupa
remahan dikumpulkan dan dikirim ke Kalimantan Barat untuk kemudian
diolah menjadi tepung kratom. Tepung kratom ini selanjutnya akan
diekspor ke Amerika, Kanada, Arab Saudi, India, dan Eropa.
Menurut data Pekrindo (Pengusaha Kratom
Indonesia) dalam kurun waktu tahun 2015 - 2018 jumlah total ekspor
kratom dari Kalimantan Barat mencapai 4.800 ton melalui para eksportir
yang berjumlah kurang lebih 90 orang. Berdasarkan hasil perhitungan
ekonomi, penghasilan masyarakat petani terkait pengusahaan kratom
mencapai 49,2 milyar rupiah dalam kurun waktu 4 tahun.
Direkomendasikan sebagai Narkotika
Saat ini, meskipun BNN telah
merekomendasikan kratom masuk ke dalam kelompok NPS4, namun kratom masih
legal ditanam dan diperjualbelikan. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 7 tahun 2018, tentang perubahan golongan narkotika, khat sudah
dimasukkan sebagai narkotika tetapi belum memasukkan kratom dalam daftar
tersebut.
Meskipun kratom banyak digunakan sebagai obat tradisional, sebenarnya
Badan POM telah melarang penggunaan kratom sebagai obat tradisional dan
suplemen makanan sejak belasan tahun lalu. Larangan ini dikeluarkan
melalui Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK 00.05.23.3644 tahun 2004
tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan.
Larangan lainnya juga dikeluarkan
melalui Peraturan Kepala Badan POM tahun 2005 Nomor HK.00.05.41.1384
tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, serta melalui Surat Edaran Nomor HK
04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna Speciosa (kratom)
dalam Obat Tradisional dan Suplemen Makanan. Akan tetapi aturan-aturan
ini bersifat mengikat hanya pada produk olahan bermerek yang akan
didaftarkan ke Badan POM.
Perlu Kejelasan Status melalui Riset Mendalam
Sejauh ini belum ada regulasi yang jelas mengenai pengusahaan maupun perdagangan kratom dalam bentuk raw material
atau bahan mentah. Meskipun demikian, petani kratom dihantui rasa takut
ditangkap pihak yang berwajib karena masih belum ada kejelasan mengenai
legalitas kratom. Perlu kejelasan tentang ini, seperti halnya hasil
rekomendasi Round Table Discussion (RTD) yang mengkaji kratom yang kami ikuti di Hotel Solo Paragon, Solo pada 8-10 Juli 2019 lalu.
Rekomendasi RTD yang dilaksanakan Balai
Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional selaku UPT Badan Litbang
Kesehatan ini menyebutkan, perlu dilakukan riset lebih mendalam terkait
dampak penggunaan kratom terhadap kesehatan berdasarkan data primer
hasil penelitian. Selain itu, diskusi yang diikuti pihak-pihak terkait
ini juga merekomendasikan perlunya riset mendalam terkait kemungkinan
kratom sebagai bahan alternatif obat.
Pihak-pihak yang diundang membahas hal
tersebut diantaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan (Bea Cukai), Kemenko PMK, LIPI,
Badan Narkotika Nasional, Puslabfor Bareskrim Polri, Pekrindo (Pengusaha
Kratom Indonesia), Pemda Kapuas Hulu, KPHL Gerbang Barito unit IX, RSKO
dan tim pakar dari Institut Teknologi Bandung. Mewakili Balai Besar
Litbang Ekosistem Hutan Dipterokarpa, kami turut hadir sebagai salah
satu narasumber dalam kegiatan tersebut untuk memaparkan kajian ekologi
kratom.
Pada aspek sosial ekonomi dan lingkungan
kami merekomendasikan pentingnya melakukan kajian mengenai alternatif
komoditas pengganti kratom apabila nantinya kratom dimasukkan dalam
narkotika golongan I dan harus dimusnahkan. Komoditas alternatif yang
dimaksud diharapkan bernilai ekonomi tinggi sehingga bisa memecahkan
permasalahan sosial ekonomi masyarakat setempat. Dalam perspektif
konservasi lingkungan, komoditas alternatif tersebut setidaknya
mempunyai kemampuan yang sama dengan kratom dalam beradaptasi pada
kondisi habitat pinggir sungai dan daerah rawa pasang surut.***
Kratom
Komentar
Posting Komentar