Sangat sedikit pemimpin politik laki-laki yang mau menghabiskan waktu untuk mengulas soal gerakan perempuan. Dan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, yang berhasil melakukan itu. Bahkan, begitu pentingnya gerakan perempuan di mata Soekarno, ia menelurkan sebuah buku berjudul “Sarinah”.
Dalam konteks Indonesia, Soekarno soekarno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi
Buku
“Sarinah” selesai cetak November 1947. Kata Soekarno, buku ini berisi
bahan-bahan yang disampaikannya saat kursus wanita di Jogjakarta. Kursus itu
diselenggarakan dua minggu sekali. Bagi Soekarno, pemahaman soal perjuangan
perempuan tidak bisa dianggap enteng.
Ia jengkel
kepada mereka yang mengabaikan pentingnya membahas persoalan perempuan.
Soekarno bilang, “kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun
masyarakat, jika (antara lain) kita tidak mengerti soal-soal wanita.” Sebab,
bagi Soekarno, soal wanita adalah soal masyarakat.
Saya sudah
membaca buku “Sarinah” itu.
|
Peserta KTD GmnI Samarinda
Menariknya, di dalam buku tersebut, Soekarno mengulas tiga tingkatan dalam pergerakan perempuan. Di sini, Soekarno menggunakan tingkatan, bukan kategorisasi atau pengelompokan.
Baiklah, saya berusaha mengelaborasi tiga tingkatan pergerakan perempuan versi Soekarno tersebut.
Tingkat pertama, perempuan berusaha menyempurnakan “keperempuanannya” (Soekarno menggunakan tanda kutip di bukunya). Kelihatannya, “keperempuanan” di sini dapat diartikan sebagai cara-pandang umum masyarakat—tentunya dalam masyarakat patriarchal—mengenai kodrat perempuan, seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.
Soekarno merujuk pada pengalaman perempuan barat.
Di sana, katanya, muncul perserikatan atau klub-klub perempuan, terutama di kalangan perempuan klas atas, yang tujuannya mempersiapkan perempuan lebih matang dalam berumah-tangga. Klub-klub itu mengajari perempuan ilmu memasak, menjahit, memelihara anak, bergaul, kecantikan, estetik, dan lain-lain.
Meskipun sudah mendirikan perkumpulan, dan anggotanya seluruhnya perempuan, tetapi mereka belum menyinggung soal hak-hak perempuan. Mereka tidak menyinggung sedikitpun patriarkisme dan ekses-eksesnya.
Kalaupun mereka mendirikan sekolah bagi perempuan, lagi-lagi itu tidak lebih sebagai bentuk “pembekalan” agar perempuan siap berkeluarga. “Sekolah-sekolah mereka tak ubahnya sekolah-sekolah berumah-tangga di zaman sekarang. Mereka mendidik wanita agar laku di kalangan pemuda bangsawan dan hartawan,” ungkap Soekarno.
Pelopor gerakan ini, tulis Soekarno, adalah Madame de Maintenon di Perancis dan A. H Francke di Jerman. Gerakan ini, ungkap Soekarno, tidak memberikan penyadaran kepada perempuan. Gerakan ini masih tunduk pada hukum patriarchal, yang merendahkan martabat kaum perempuan.
Tingkatan kedua, pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, khususnya dalam melakukan pekerjaan dan hak pilih dalam pemilu. Gerakan ini sering diberi label “emansipasi perempuan”.
Bagi Soekarno, kelahiran gerakan tingkat kedua ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Ia menjelaskan, perubahan corak produksi, dalam hal ini dari feodalisme ke kapitalisme, turut mengubah anggapan-anggapan (cara-pandang) di dalam masyarakat, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Kapitalisme butuh menarik perempuan keluar rumah agar menjadi buruh di pabrik-pabrik kapitalis.
Pelopor gerakan tingkat kedua ini adalah Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams di Amerikat Serikat; Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe, dan Theorigne de Mericourt di Perancis. Sekalipun, harus diakui, diantara mereka ini punya metode berjuang yang berbeda.
Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams, misalnya, ketika penyusuna konstitusi AS pada tahun 1776, mereka menuntut agar kaum perempuan diberi pengakuan dan tempat di dalamnya, seperti hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam kekuasaan politik.
Di Perancis, gerakan perempuan berwatak lebih radikal. Perempuan-perempuan Perancis mengambil bagian dalam Revolusi Perancis (1789). Madame Roland, seorang perempuan kalangan atas, yang pemikirannya banyak mempengaruhi pemimpin politik Perancis. Ia menuntut partisipasi perempuan yang lebih luas.
Kemudian ada Olympe de Gouges, mewakili perempuan kalangan bawah, yang tulisan dan pemikirannya secara tajam menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Soekarno memuji Olympe de Gouges sebagai perempuan radikal dan militan, yang berani menentang pemerintahan teror Robespiere.
Pergerakan ini lebih banyak bertumpu pada “persamaan hak” dalam segala hal, termasuk dalam urusan politik. Dalam ekspresi gerakannya, kata Soekarno, lebih banyak mempersoalkan dominasi laki-laki.
Namun, Soekarno menganggap gerakan ini sebagai tipe gerakan perempuan borjuis. Sebab, bagi Soekarno, sekalipun nantinya segala ruang itu dibuka bagi perempuan, termasuk politik, tetap saja yang menikmati hanya perempuan klas atas dan menengah. Sedangkan perempuan kebanyakan, yakni dari kalangan rakyat jelata, tidak bisa berpartisipasi.
Bagi Soekarno, selama relasi produksi tidak berubah, maka perempuan kalangan bawah tetap saja sulit berpartisipasi penuh dalam politik. Persamaan hak saja tidaklah cukup, jikalau perempuan masih terhisap di dalam relasi produksi kapitalistik. Maka, lahirlah gerakan perempuan tingkat ketiga: gerakan perempuan sosialis.
Tingkatan ketiga ini, yakni pergerakan perempuan sosialis, di mata Soekarno, merupakan penyempurnaan terhadap gerakan perempuan. Di sini, gerakan perempuan tidak sebatas menuntut persamaan hak alias penghapusan patriarkhi, tetapi hendak merombak total struktur sosial yang menindas rakyat—laki-laki dan perempuan.
|
|
Penyampaian materi Kesarinahan Gerakan Perempuan oleh Fitriyani Sinaga |
Soekano banyak merujuk pada ahli teori Marxis, Frederick Engels, dalam buku berjudul “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara”. Karena itu, Soekarno beranggapan, penindasan perempuan tidak bisa dilepas dari relasi produksi. “Semakin penting kedudukan perempuan dalam produksi, maka semakin penting pula kedudukannya di dalam masyarakat,” katanya.
Soekarno juga banyak dipengaruhi oleh Clara Zetkin dan newsletter propagandanya, Die Gleichheit. Soekarno memahami perlunya menyeleraskan perjuangan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk sosialisme.
Dia berpendapat, perempuan yang bekerja, seperti juga laki-laki yang bekerja, menderita di bawah jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Karena itu, kepentingan keduanya identik, yakni menghapuskan kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.
Terkait partisipasi perempuan di parlemen, Soekarno berusaha menarik perbedaan antara feminis liberal dan gerakan perempuan sosialis: “kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan akhir, sedangkan wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata dalam perjuangan menuju pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial (sosialisme).”
Dalam konteks Indonesia, Soekarno soekarno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi menuju sosialisme. Ia mengutip pendapat Lenin: “Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tidak mungkin kita capai.”
Sarinah
K E W A J I B A N W A N I T A
d a l a m
PERJOANGAN
R E P U B L I K I N D O N E S I A
oleh
Ir. SOEKARNO
Bab I - VI
BAB I
SOAL -PEREMPUAN
Satu pengalaman, beberapa
tahun yang lalu, waktu saya masih
”orang interniran”.
Pada suatu hari, saya
datang bertamu bersama-sama seorang kawan dan isteri kawan itu pada salah
seorang kenalan saya, yang mempunyai toko kecil. Rumah kediaman dan toko kenalan
saya itu bersambung satu sama lain: bahagian muka dipakai buat toko, bahagian
belakang
dipakai buat tempat kediaman.
Dengan budi yang amat
manis kami diterima oleh kenalan itu, dipersiIakan duduk. Kami, - yaitu kawan
saya, isterinya, saya, dan tuan rumah -, duduk berempat dekat meja tulis toko
itu. Sigaret dikeluarkan, teh dihidangkan. Sesudah bercakap-cakap sebentar, - ”bagaimana
kesehatan?”, ”bagaimana per-dagangan?” - maka kami (para tetamu) menerangkan
kepada tuan-rumah, bahwa maksud kami datang,
bukanlah untuk membeli
ini atau itu, melainkan semata-mata hanya
buat bertamu saja.
Isteri kawan saya
menanyakan: bagaimanakah keadaan nyonyah rumah? - ia ingin ajar-kenal dengan
nyonyah rumah.
Di sini tuan rumah nampak
menjadi sedikit kemalu-maluan.
Rupanya ia dalam
kesukaran untuk menjawab pertanyaan itu.
Sebentar telinganya menjadi
kemerah-merahan, tapi ia menjawab dengan ramah-tamah: ”O, terima kasih, ia
dalam keadaan baik-baik saja, tetapi sayang seribu sayang ia kebetulan tidak
ada di rumah, -
ia menengok bibinya yang
sedang sakit”.
Isteri kawan saya
menyesal sekali bahwa nyonyah rumah tidak ada
di rumah; terpaksa ia
belum dapat ajar-kenal dengan dia hari itu.
Tetapi ... tak lama
kemudian ... saya, yang duduk berhadapan kain tabir yang tergantung di pintu yang
memisah bagian toko dengan bagian rumah tinggal, saya melihat kain tabir itu
ber-gerak sedikit, dan saya melihat mata orang mengintai. Mata orang perempuan!
Saya melihat dengan nyata: kaki dan ujung sarung yang kelihatan dari bawah
tabir itu, adalah kaki dan ujung sarung perempuan!
Dengan segera saya
palingkan muka saya, berbicara dengan tuan rumah dengan memandang muka dia saja.
Tetapi pikiran saya tidak tetap lagi. Satu soal telah berputar di kepala saya.
Bukankah perempuan yang mengintai tadi itu isterinya tuan rumah? Mana bisa,
tuan rumah toh mengatakan, bahwa isterinya sedang merawat orang sakit? Tetapi ...
mengapa ia tadi kelihatan malu-malu, telinganya kemerah-merahan, tatkala ditanya
di mana isterinya?
Saya ada dugaan keras,
bahwa tuan rumah itu tidak berterus-terang. Rupa-rupanya, isterinya ada di rumah. Tetapi ia tak mau memanggilnya
keluar, supaya duduk di toko bersama-sama kami. Sebaliknya ia tidak mau mempersilakan
isteri kawan saya supaya masuk ke dalam, ke bagian belakang, tempat kediamannya
sehari-hari. Barangkali memang tidak ada tempat penerimaan tamu yang layak, di tempat
kediaman itu. Ia nyata malu ...
Sesudah bercakap-cakap
seperlunya, kami bertiga permisi pulang.
Kami mengambil jalan
melalui kedai-kedai, dan pasar pula.
Tapi pikiran saya terus
melayang. Melayang memikirkan satu soal,
- soal wanita.
Kemerdekaan! Bilakah
semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan?
Tetapi, ya - kemerdekaan
yang bagaimana?
Kemerdekaan seperti yang
dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak menyamaratakan perempuan
dalam segala hal dengan laki-laki?
Kemerdekaan a l a Kartini? Kemerdekaan a l a Chalidah Hanum? Kemerdekaan a l a Kollontay?
Seorang kawan saya, -
guru sekolah di Bengkulu - , mempunyai seorang isteri yang ia cintai benar.
Kedua laki-isteri ini saya kenal betul-betul, kedua-duanya saya anggap seperti
adik saya sendiri. Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan ”modern”,
tetapi isterinya kadang-kadang mengeluh kepada saya, bahwa ia merasa dirinya
terlalu terkurung.
Di luar pengetahuan
isterinya, saya anjurkan kepada kawan saya itu, supaya ia memberi kemerdekaan
sedikit kepada isterinya. Ia menjawab: Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah,
justru oleh karena ia amat cinta dan menjunjung tinggi kepadanya. Ia tak
mengizinkan isterinya ke luar rumah, untuk menjaga jangan sampai isterinya itu
dihina orang. ”Percayalah Bung, saya tidak ada maksud mengurangi
kebahagiaannya; saya hargakan dia sebagai sebutir mutiara”.
. . . ”sebagai sebutir
mutiara”. . .
Ah, tidakkah banyak
suami-suami yang menghargakan isterinya sebagai mutiara, - tetapi sebenarnya
merusak atau sedikitnya mengurangi kebahagiaan isterinya itu?
Mereka memuliakan isteri mereka,
mereka cintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya ”sebagai
mutiara”, - tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak,
demikian pulalah mereka menyimpan isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan.
Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya,
katanya, melainkan justru untuk menjaganya, untuk menghormatinya, untuk memuliakannya.
Perempuan mereka hargai
sebagai Dewi, perempuan mereka pundi-pundikan sebagai Dewi, tetapi mereka jaga
dan awas-awaskan dan ”selalu tolong” juga sebagai satu makhluk yang sampai mati
tidak akan menjadi akil-balig. Kalau saya memikirkan hal yang demikian ini,
maka teringatlah saya kepada perkataan Professor Havelock Ellis yang berkata,
bahwa kebanyakan orang laki-laki memandang perempuan sebagai ”suatu blasteran
antara seorang Dewi dan seorang tolol”. Dipundi-pundikan sebagai seorang Dewi,
dianggap tidak penuh sebagai seorang tolol!
Tidakkah masih banjak
laki-laki yang men-dewi-tolol-kan isterinya itu? Malahan, tidakkah pada
hakekatnya seluruh peradaban borjuis di negeri-negeri yang telah ”sopan” pada
waktu sekarang ini, terhadap kaum perempuan berdiri atas kenyataan ”Dewi tolol”
itu? Sebab, tidakkah seluruh hukum sipil dan adat-istiadat di negeri-negeri borjuis
itu sebenarnya masih men-dewi-tolol-kan perempuan?
Kita, bangsa Indonesia,
kita terbelakang di dalam banyak urusan kemajuan. Kita (terutama sekali di luar
tanah Jawa) di dalam urusan posisi perempuan pun terbelakang, tetapi
kebelakangan ini bermanfaat pula: Kita dapat melihat dari keadaan kaum
perempuan di negeri-negeri yang lain, bagaimana soal perempuan harus kita pecahkan.
Kita dapat melihat mana
yang baik bagi kita, dan mana yang buruk.
Yang baik kita ambil, yang
buruk kita buang.
Adakah, misalnya
hasil-hasil pergerakan feminisme di Eropa sudah memuaskan, - memuaskan kepada
kaum perempuan Eropa sendiri? Adakah pergerakan neo-feminisme memuaskan pula
kepada kaum perempuan Eropa itu? Saya mengetahui, di Indonesia ada wanita-wanita:
feminis dan neo-feminis. Tetapi kepada mereka itu saya ingin bertanya: Tahukan
tuan, bahwa kaum perempuan Eropa sendiri tidak puas lagi dengan hasil feminisme
atau neo-feminisme itu?
Henriette Roland Holst,
itu pemimpin yang berkaliber besar, pernah mengatakan; bahwa feminisme atau neo-feminisme
tak mampu menutup ”scheur” (retak) yang meretakkan peri -kehidupan dan jiwa
kaum perempuan, sejak kaum perempuan itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan
sebagai buruh: ”scheur” antara perempuan sebagai ibu dan isteri, dan perempuan
sebagai pekerja di masyarakat. Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai
ibu dan isteri, tetapi peri -kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup
kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan isteri. Pergerakan feminisme
dan neo-feminisme ternyata tidak mampu menyembuhkan retak ini.
Lagi pula, tidakkah kita
melihat ekses (”keliwatbatasan”) pergerakan feminisme di Eropa itu, yang mau
menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki, dengan tak mengingati lagi,
bahwa kodrat perempuan memang tidak sama dengan kodrat laki-laki? Maksud
feminisme yang mula-mula baik, yakni persamaan hak antara perempuan dan laki-laki,
maksud baik itu di-eksesi (diliwati batasnya dengan ekses) dengan mencari
persamaan segala hal dengan kaum laki-laki: persamaan tingkah laku, persamaan cara
hidup, persamaan bentuk pakaian, dan lain-lain sebagainya lagi. Kodrat
perempuan diperkosa, dipaksa, disuruh menjadi sama dengan kodrat laki-laki.
Ekses yang demikian itu tak boleh tidak tentu akhirnya membawa kerusakan!
Oleh karena itu, sekali
lagi saya katakan, bahwa kita, di dalam segala kebelakangan kita itu, berada di
dalam posisi manfaat pula, yaitu dapat mencerminkan masyarakat Republik
Indonesia yang hendak kita susun itu, kepada pengalaman-pengalaman masyarakat
perempuan di negeri-negeri yang telah maju. Pelajarilah lebih dulu dalam-dalam
pergerakan-pergerakan perempuan di Eropa, sebelum kita mengoper saja segala
cita-citanya dan sepak terjangnya! ”Kita mempelajari sejarah untuk menjadi bijaksana
terlebih dahulu”, demikianlah perkataan John Seeley yang termasyhur. Perkataan
yang ditujukan kepada arti mempelajari sejarah itu, boleh pula dipakai untuk
menjadi pedoman di atas jalan perjoangan kaum perempuan di dalam Republik
Indonesia Merdeka.
”Janganlah tergesa-gesa
meniru cara modern atau cara Eropa, janganlah juga terikat oleh rasa konservatif
atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua barang dengan kodratnya”. Inilah
perkataan Ki Hajar Dewantara yang pernah saya baca. Saya kira buat soal perempuan
kalimat ini pun menjadi pedoman yang baik sekali.
Benar atau tidakkah
perasaan saya ini? Sinar mata yang mengintai itu seakan-akan satu simbul bagi
saya, satu lambang. Sinar mata si nyonya rumah tadi itu adalah sinar mata
sebagian besar perempuan-perempuan kita. Kasihan nyonya rumah tadi itu! Duduk
di ruangan muka, di ”tempat-umum”, tidak boleh; tetapi ia dikurung, ditutup,
dipingit; bukan ditempat yang luas, yang banyak sinar matahari, tidak,
melainkan di satu tempat yang gelap, yang sempit, yang tidak terpelihara.
Tidakkah masih banyak perempuan kita bernasib begini? Merdeka, melihat dunia,
tidak boleh, - tetapi dikurung pun di satu tempat yang tidak selayaknya!
Ternak masih melihat
dunia luaran, tetapi di beberapa daerah di Indonesia masih banyak Zubaida-Zubaida
dan Saleha-Saleha yang dikurung antara dinding-dinding yang tinggi. Yang mereka
lihat
sehari-hari hanyalah
suami dan anak, periuk nasi dan batu pipisan saja. Ya, sekali-sekali mereka
boleh keluar, sekali-sekali, kalau Sang Suami mengizinkan. Cahaya matanya, yang
dulu, waktu mereka masih kanak-kanak kecil, adalah begitu hidup dan bersinar,
cahaya matanya itu, kemudian, kalau mereka sudah setengah tua, menjadilah
cahaya mata yang seperti mengandung hikayat yang tiada akhirnya.
Cahaya mata, yang seperti
memandang ke dalam keabadian!
Cahaya mata yang demikian
itulah yang kulihat mengintai dari
belakang tabir ...
Bagaimanakah pendirian
Islam tentang soal perempuan ini? Apakah Islam tidak mempunyai hukum-hukum
tertentu tentang perempuan, sehingga di dalam Islam tidak ada lagi soal perempuan?
Saya bukan ahli fiqh.
Tentunya agama Islam mempunyai hukum-hukum tertentu tentang perempuan.
Tetapi saya mengetahui,
bahwa di dalam masyarakat Islam, dulu dan sekarang, ada beberapa aliran tentang
posisi perempuan. Ada yang ”kolot”, ada yang ”modern”. Ada yang ”sedang”.
Semuanya membawa dalil-dalilnya sendiri. Mana yang benar? Mana yang salah?
Sekali lagi saya berkata:
saya bukan ahli fiqh. Saya beragama Islam, saya cinta Islam, saya banyak
mempelajari sejarah Islam dan gerak-gerik masyarakat Islam, tetapi sayang
seribu sayang, saya bukan ahli fiqh. Walaupun demikian, saya telah mencari
beberapa tahun lamanya
di banyak buku-buku yang
dapat saya baca, bagaimanakah sebenarnya posisi perempuan dalam Islam. Sebagai
saya katakan tadi, tentang hal ini saya menjumpai banyak aliran. Sehingga
bolehlah saya katakan di sini, bahwa di dalam masyarakat Islam pun masih ada soal perempuan.
Kesan yang saya dapat daripada apa yang saya baca itu, adalah sama dengan kesan
yang didapat oleh Miss Frances Woodsman sesudah beliau mempelajari posisi
perempuan di dalam masyarakat Islam itu, yakni kesan, bahwa soal perempuan
adalah justru bagian yang
”most debated” - bagian yang paling menimbulkan pertikaian –
di dalam masyarakat
Islam.
Malahan seorang wanita
Islam Indonesia sendiri, Encik Ratna Sari,
yang dulu di Padang - di dalam
satu risalah yang membicarakan soal perempuan, ada menulis: ”Masyarakat kita
pun masih megandung dilemma’s, soal-soal yang pelik, yang masih teka-teki
sekarang, tapi sangat penting”.
Demikianlah. Saya
berpendapat, bahwa soal perempuan seluruhnya (juga dalam masyarakat Islam)
masih harus dipecahkan. Masih satu ”soal”. Atau, jikalau, memakai perkataan
Encik Ratna Sari: masih satu ”dilemma”, masih satu ”soal yang pelik”. Sekali
lagi, soal perempuan seluruhnya, - dan bukan hanya misalnya soal tabir atau
lain-lain soal yang kecil saja! Soal perempuan seluruhnya, posisi perempuan seluruhnya
di dalam masyarakat, - itulah yang harus
mendapat perhatian sentral, itulah yang harus kita fikirkan dan pecahkan, agar
supaya posisi perempuan di dalam Republik Indonesia bisa kita susun
sesempurna-sempurnanya.
Jadi: baik buat fihak yang
meneropong soal perempuan dengan teropong fiqh Islam, maupun buat fihak yang
meneropong soal ini dengan teropong Rasionalisme belaka, soal ini haruslah
masih dipandang sebagai satu soal yang masih perlu kita pecahkan. Dipecahkan,
difikirkan, dibolak-balikkan, bukan saja oleh kaum perempuan kita, tetapi juga
oleh kaum laki-1aki kita, oleh karena soal perempuan adalah memang satu soal masyarakat
yang teramat penting. Dan tidakkah
Nabi Muhammad s.a.w.
pernah bersabda, bahwa:
”Perempuan itu tiang
negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan,
rusaklah negeri”?
Kaum laki-laki, marilah
kita ikut memikirkan soal perempuan ini! Dan marilah kita memikirkan soal perempuan
ini bersama-sama dengan kaum perempuan!
Sebab di dalam masyarakat
sekarang ini, saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang
Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai kaum perempuan. Dia, kaum laki-laki,
dia lah kadang-kadang merasa dirinya diserahi memikirkan dan memecahkan
soal-soal semacam ini, dia lah kadang-kadang merasa dirinya cukup bijaksana
untuk mengambil keputusan, - sedang kaum perempuan tidak diajak ikut bicara,
dan disuruh terima saja apa yang diputuskan oleh kaum laki-laki itu. Tidakkah
misalnya janggal, bahwa soal tabir di dalam rapat, yang dulu saya persembahkan
ke dalam pertimbangan para pemimpin, diputuskan oleh satu majelis laki-laki saja,
sedang fihak perempuan tidak ditanya pendapatnya sama sekali?
Sesungguhnya, kita harus
belajar insyaf, bahwa soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan
perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah satu soal
masyarakat dan negara. Nanti, jikalau pembaca telah membaca uraian saya lebih lanjut,
maka pembaca akan mengerti, bahwa soal perempuan bukanlah soal buat kaum
perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan
sungguh, satu soal masyarakat dan negara yang amat penting!
Dan oleh karena soal
perempuan adalah soal masyarakat, maka soal perempuan adalah sama tuanya dengan
masyarakat; soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Atau lebih
tegas:
soal laki-laki-perempuan
adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Seyak manusia hidup di dalam gua-gua dan
rimba-rimba dan belum mengenal rumah, sejak ”zaman Adam dan Hawa”, kemanusiaan
itu pincang, terganggu oleh soal ini. Manusia zaman sekarang mengenal ”soal perempuan”,
manusia zaman purbakala mengenal ”soal laki-laki”. Sekarang kaum perempuan
duduk di tingkatan bawah, di zaman purbakala kaum laki-laki lah duduk di tingkatan
bawah. Sekarang kaum laki-laki yang berkuasa, di zaman purbakala kaum perempuan
lah yang berkuasa. Kemanusiaan, di atas lapangan soal laki-laki-perempuan,
selalu pincang. Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang satu
menindas saf yang lain. Harmoni hanyalah dapat tercapai, kalau tidak ada saf
satu di atas saf yang lain, tetapi dua ”saf” itu sama derajat,
- berjajar - yang satu di sebelah yang
lain, yang satu memperkuat kedudukan yang lain.
Tetapi masing-masing
menurut kodratnya sendiri. Sebab siapa melanggar kodrat alam ini, ia akhirnya
niscaya digilas remuk-redam oleh Alam itu sendiri. Alam benar adalah ”sabar”,
Alam benar tampaknya diam, - tetapi ia tak dapat diperkosa, ia tak mau
diperkosa.
Ia tak mau ditundukkan.
Ia menurut kata
Vivekananda adalah ”berkepala batu”!
BAB II
LAKI-LAKI
DAN PEREMPUAN
Allah telah berfirman,
bahwa Ia membuat segala hal berpasang-pasangan. Firman ini tertulis dalam surat
Yasin ayat 36:l ”Maha mulia lah Dia, yang menjadikan segala sesuatu
berpasang-pasangan”; dalam surat Az-Zuchruf ayat 1.2:
”Dan Dia yang menjadikan
segala hal berpasang-pasangan dan membuat bagimu perahu-perahu dan ternak, yang
kamu tunggangi”; dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49:
”Dan dari tiap-tiap
barang kita membuat pasang-pasangan, agar supaya kamu ingat”. Perhatikan:
Segala barang, segala hal.
Jadi bukan saja manusia
berpasang-pasangan, bukan saja kita ada lelakinya dan ada wanitanya.
Binatang ada jantannja,
bunga-bungapun ada lelakinya dan perempuannya, alam ada malamnya dan siangnya -,
barang-barang ada kohesinya dan adhesinya, tenaga-tenaga ada aksinya dan
reaksinya, elektron-elektron ada positifnya dan negatifnya, segala kedudukan
ada these dan anti-thesenya.
Ilmu yang maha hebat, yang
maha mengagumkan ini telah keluar dari Mulutnya Muhammad s.a.w. ditengah-tengah
padang pasir, beratus-ratus tahun sebelum di Eropa ada maha-guru maha-guru
sebagai Maxwell, Pharaday, Nicola Tesla, Descartes, Hegel, Spencer, atau
William Thompson.
Maha bijaksanalah Mulut yang
mengikrarkan perkataan-perkataan itu, maha hikmatlah isi yang tercantum di dalam
perkataan-perkataan itu! Sebab di dalam beberapa perkataan itu saja
termaktublah segala sifat dan hakekat alam!
Alam membuat manusia
berpasang-pasangan. Laki-laki tak dapat ada jika tak ada perempuan, perempuan tak
dapat ada jika tak ada laki-laki. Laki-laki tak dapat hidup normal dan subur
tak dengan perempuan, perempuan pun tak dapat hidup normal dan subur tak dengan
laki-laki. Olive Schreiner, seorang idealis perempuan bangsa Eropa, di dalam bukunya
”Drie dromen in de Woestijn”, pernah memperlambangkan lelaki dan perempuan itu
sebagai dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh satu tali gaib,
satu ”tali hidup”, - begitu terikat yang satu kepada yang lain, sehingga yang
satu tak dapat mendahului selangkah-pun kepada yang lain, tak dapat maju setapakpun
dengan tidak membawa juga kepada yang lain. Olive Schreiner adalah benar:
Memang begitulah keadaan manusia! Bukan saja laki dan perempuan tak dapat
terpisah satu daripada yang lain, tetapi juga tiada masyarakat manusia satupun
dapat berkemajuan, kalau laki-perempuan yang satu tidak membawa yang lain.
Karenanya, janganlah masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju dan
subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.
Janganlah laki-laki
mengira, bahwa bisa ditanam sesuatu kultur yang sewajar-wajarnja kultur, kalau
perempuan dihinakan di dalam kultur itu. Setengah ahli tarikh menetapkan, bahwa
kultur Yunani jatuh, karena perempuan dihinakan di dalam kultur Yunani itu.
Nazi Jerman jatuh, oleh karena di Nazi Jerman perempuan dianggap hanya baik
buat Kirche-Kiiche-Kleider-Kinder. Dan semenjak kultur masyarakat Islam (bukan
agama Islam!) kurang menempatkan kaum perempuan pula ditempatnya yang seharusnya,
maka matahari kultur Islam terbenam, sedikit-sedikitnya suram!
Sesungguhnya benarlah
perkataan Charles Fourrier kalau ia mengatakan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan
sesuatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan
perempuan di dalam masyarakat itu. Atau, benarlah pula perkataan Baba O’lllah,
yang menulis, bahwa ”laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor
burung”. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai
puncak udara yang setinggi-tingginya;
jika patah satu daripada
dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu samasekali.
Perkataan Baba O’lllah
ini sudah sering kali kita baca.
Tetapi walaupun
perkataannya itu hampir basi, - kebenarannya akan tinggal ada, buat selama-lamanya.
Jadi: laki-laki dan
perempuan menetapkan sifat hakekat masing-masing. Tali hidup yang ditamsilkan
oleh Olive Schreiner itu, bukan tali hidup sosial saja, bukan tali hidup yang
karena bersatu rumah atau bersatu piring nasi saja. Lebih asli daripada
pertalian perumahan yang satu dan piring nasi yang satu, adalah tali hidupnya
kodrat alam sendiri. Tali hidup ”sekse”! Laki-laki tak dapat subur jika tak ada
tali sekse ini, perempuan pun tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini. Dan
bukan tali sekse yang tali seksenya fungsi biologis saja, tapi juga tali seksenya
jiwa. Tiap-tiap sundal yang setiap hari barangkali menjual tubuhnya lima atau sepuluh
kali, mengetahui, bahwa ”tubuh” masih lain lagi daripada ”jiwa”. Dengan menjual
tubuh yang sampai sekian kali setiap hari itu, masih banyak sekali sundal yang
dahaga kepada cinta. Tali sekse jasmani dan tali sekse rohani, - itulah satu
bagian dari ”tali hidup” yang dimaksudkan oleh Olive Schreiner, yang
mempertalikan laki-laki dan perempuan itu. Memang tali sekse jasmani dan rohani
inilah kodrat tiap-tiap makhluk, dus juga kodrat tiap-tiap manusia. Manakala
tali sekse rohani dihilangkan dan hanya tali sekse jasmani saja yang dipuaskan,
maka tidak puaslah kodrat alam itu. Pada permulaan diadakan kultur baru di Sovyet
Rusia, maka ekses perhubungan antara laki-laki dan perempuan adalah keliwat. ”Tali
sekse” dianggap sebagai suatu keperluan tubuh saja, sebagai misalnya tubuh
perlu kepada segelas air kalau tubuh itu dahaga. ”Teori air segelas” ini di
tahun-tahun yang mula-mula sangat laku di kalangan pemuda-pemuda di Rusia.
Madame Kollontay menjadi salah seorang penganjurnya. Siapa merasa dahaga
seksuil, ia mengambil air yang segelas itu; - ”habis minum”, sudahlah pula.
Beberapa tahun lamanya teori air segelas ini laku. Tetapi kemudian ... kemudian
kodrat alam bicara. Kodrat alam tidak puas dengan segelas air saja, kodrat alam
minta pula minuman jiwa. Kodrat alam minta ”cinta” yang lebih memuaskan cita, ”cinta”
yang lebih suci. Lenin sendiri gasak teori air segelas ini habis-habisan dari
semulanya ia muncul. Dan sekarang orang di sana telah meninggalkan sama sekali
teori itu, orang telah mendapat pengalaman, bahwa Alam tak dapat didurhakai
oleh sesuatu teori.
Semua ahli-ahli fiIsafat
dan ahli biologi seia-sekata, bahwa tali sekse itu adalah salah satu faktor yang
terpenting, salah satu motor yang
terpenting dari peri-kehidupan manusia. Di samping-nya nafsu makan dan minum,
ia adalah motor yang terkuat. Di samping nafsu makan dan minum, ia menentukan
perikehidupan manusia.
Malahan ahli fiIsafat
Schopenhauer ada berkata: ”Syahwat adalah penjelmaan yang paling keras daripada
kemauan akan hidup. Keinsyafan kemauan akan hidup ini memusat kepada fi’il
membuat turunan,” begitulah ia berkata.
Kalau tali sekse diputuskan
buat beberapa tahun saja, maka manusia umumnya menjadi abnormal. Lihatlah
keadaan di dalam penjara, baik penjara buat orang laki-laki, maupun penjara buat
orang perempuan. Dua kali saya pernah meringkuk agak lama dalam penjara, dan
tiap-tiap kali yang paling mendirikan bulu saya ialah keabnormalan
manusia-manusia di dalam penjara itu. Percakapan-percakapan menjadi abnormal,
tingkah laku menjadi abnormal. Sering saya melihat orang-orang di dalam
penjara, yang seperti seperempat gila! Laki-laki mencari kepuasan kepada laki-laki,
dan direksi terpaksa memberi hukuman yang berat-berat.
Pembaca barangkali
tersenyum akan pemandangan saya yang ”mentah” ini, dan barangkali malahan
menyesali kementahannya. Pembaca barangkali mengemukakan nama orang-orang
besar, nama Nabi Isa, nama Gandhi, nama Mazzini, yang menjadi besar, antara
lain-lain karena tidak mempunyai isteri atau tidak mencampuri isteri. Ah, ... beberapa
nama! Apakah artinya beberapa nama itu, jika dibandingkan dengan ratusan juta manusia
biasa di muka bumi ini, yang semuanya hidup menurut kodrat alam? Kita di sini
membicarakan kodrat alam, kita tidak membawa-bawa moral. Alam tidak mengenal
moral, - begitulah Luther berkata. Beliau berkata lagi: ”Siapa hendak
menghalangi perlaki-isterian, dan tidak mau memberikan haknya kepadanya,
sebagai yang dikehendaki dan dimustikan oleh alam, - ia sama saja dengan
menghendaki yang alam jangan alam, yang api jangan menyala, yang air jangan
basah, yang manusia jangan makan, jangan minum, jangan tidur!” Tali sekse itu
memang bukan perkara moral. Tali sekse itu tidak moril, ia tidak pula immoril.
Tali sekse itu adalah menurut kodrat, sebagai lapar adalah menurut kodrat, dan
sebagai dahaga adalah menurut kodrat pula!
Apakah maksud saya dengan
uraian .tentang tali sekse ini? Pembaca, nyatalah, bahwa baik laki-laki, maupun
perempuan tak dapat normal,
tak dapat hidup sebagai
manusia normal, kalau tidak ada tali sekse ini. Tetapi bagaimanakah pergaulan
hidup di zaman sekarang? Masyarakat sekarang di dalam hal inipun, - kita belum
membicarakan hal lain-lain! - tidak adil kepada perempuan. Perempuan di dalam
hal inipun suatu makhluk yang tertindas. Perempuan bukan saja makhluk yang
tertindas kemasyarakatannya, tetapi juga makhluk yang tertindas ke-sekse-annya.
Masyarakat kapitalistis zaman sekarang adalah masyarakat, yang membuat
pernikahan suatu hal yang sukar, sering kali pula suatu hal yang tak mungkin.
Pencaharian nafkah, - struggle for life - di dalam masyarakat sekarang adalah
begitu berat, sehingga banyak pemuda karena kekurangan nafkah tak berani kawin,
dan tak dapat kawin. Perkawinan hanyalah menjadi privilegenya (hak-lebihnya)
pemuda-pemuda yang ada kemampuan rezeki sahaja. Siapa yang belum cukup nafkah,
ia musti tunggu sampai ada sedikit nafkah, sampai umur tiga puluh,
kadang-kadang sampai umur empat puluh tahun. Pada waktu ke-sekse-an sedang
sekeras-kerasnya, pada waktu ke-sekse-an itu menyala-nyala, berkobar-kobar
sampai kepuncak-puncaknya jiwa, maka perkawinan buat sebagian dari kemanusiaan
adalah suatu kesukaran, suatu hal yang tak mungkin. Tetapi, ... api yang menyala-nyala
di dalam jiwa laki-laki dapat mencari jalan keluar - meliwati satu ”pintu
belakang” yang hina -, menuju kepada perzinahan dengan sundal dan perbuatan-perbuatan
lain-lain jang keji-keji. Dunia biasanya tidak akan menunjuk laki-laki yang
demikian itu dengan jari tunjuk, dan berkata: cih, engkau telah berbuat dosa yang
amat besar! Dunia akan anggap hal itu sebagai satu ”hal biasa”, yang ”boleh juga
diampuni”. Tetapi bagi perempuan ”pintu belakang” ini tidak ada, atau lebih
benar: tidak dapat dibuka, dengan tak (alhamdulillah) bertabrakan dengan moral,
dengan tak berhantaman dengan kesusilaan, - dengan tak meninggalkan cap kehinaan
di atas dahi perempuan itu buat selama-lamanya. Jari telunjuk masyarakat hanya
menuding kepada perempuan saja, tidak menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk
kepada kedua fihak secara adil. Keseksean laki-laki setiap waktu dapat merebut
haknya dengan leluasa, - kendati masyarakat tak memudahkan perkawinan -, tetapi
keseksean perempuan terpaksa tertutup, dan membakar dan menghanguskan kalbu.
Perempuan banyak yang menjadi ”terpelanting mizan” oleh karenanya, banyak yang
menjadi putus asa oleh karenanya. Bunuh diri kadang-kadang menjadi ujungnya.
Statistik Eropa menunjukkan, bahwa di kalangan kaum pemuda, antara umur 15
tahun dan 30 tahun, yakni waktu keseksean sedang sehebat-hebatnya mengamuk di kalbu
manusia, lebih banyak perempuan yang bunuh diri, daripada kaum laki-laki. Jikalau
diambil prosen dari semua pembunuhan diri, maka buat empat negeri di Eropa pada
permulaan abad ke 20, statistik itu adalah begini:
Nama
negeri
|
Umur 15 – 20 tahun
|
Umur 21 – 30 tahun
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jerman
Denemarken
Swiss
Perancis
|
5,3%
4,6%
3,3%
3,5%
|
10,7%
8,3%
6,7%
8,2%
|
16 %
12,4%
16,1 %
10,9%
|
20,2%
14,8%
21 %
14 %
|
Ternyatalah, bahwa di
semua negeri ini lebih banyak perempuan muda bunuh diri daripada laki-laki
muda.
Sebabnya? Sebabnya tak sukar
kita dapatkan. Keseksean yang terhalang, cinta yang tak sampai; kehamilan yang
rahasia, itulah biasanya yang menjadi sebab.
Adakah keadaan di negeri
kita berlainan? Di sini tidak ada statistik bunuh diri, tapi saya jaminkan
kepada tuan: enam atau tujuh daripada sepuluh kali tuan membaca khabar seorang
pemuda bunuh diri di surat-surat khabar, adalah dikerjakan oleh pemuda
perempuan. Di dalam masyarakat sekarang, perempuan yang mau hidup menurut
kodrat alam tak selamanya dapat, karena masyarakat itu tak mengasih
kemungkinannya. Di beberapa tempat di Sumatera Selatan saya melihat ”gadis-gadis
tua”, yang tak dapat perjodoan, karena adat memasang banyak-banyak ”rintangan,
misalnya uang-antaran yang selalu terlalu mahal, kadang-kadang sampai ribuan
rupiah. Roman mukanya gadis-gadis itu seperti sudah tua, padahal mereka ada yang
baru berumur 25 tahun, 30 tahun, 35 tahun. Di daerah Indonesia yang lain-lain,
saya melihat perempuan-perempuan yang sudah umur 40 atau 45 tahun, tetapi yang
roman-mukanya masih seperti muda-muda. Adakah ini oleh karena
perempuan-perempuan di lain-lain tempat itu barangkali lebih cakap ”make-up” - nya
daripada perempuan di beberapa tempat di Sumatera Selatan itu? Lebih cakap
memakai bedak, menyisir rambut, memotong baju, mengikatkan sarung? Tidak, sebab
perempuan di tempat-tempat yang saya maksudkan itupun tahu betul rahasianya
bedak, menyisir rambut, memotong baju dan mengikatkan kain.
Tetapi sebabnya ”muka tua”
itu ialah oleh karena mereka terpaksa
hidup sebagai ”gadis tua”,
- tak ada suami, tak ada teman hidup, tak
ada kemungkinan menemui
kodrat alami. Di dalum bukunya tentang soal perempuan, August Bebel mengutip
perkataan Dr.H.Plosz yang mengatakan, bahwa sering ia melihat, betapa
perempuan-perempuan yang sudah hnmpir peyot lantas seakan-akan menjadi muda
kembali, kalau mereka itu mendapat suami. ”Tidak jarang orang melihat bahwa
gadis-gadis yang sudah layu atau yang hampir-hampir peyot, kalau mereka
mendapat kesempatan bersuami, tidak lama sesudah perkawinannya itu lantas menjadi
sedap kembali bentuk-bentuk badannya, merah kembali pipi-pipinya, bersinar lagi
sorot matanya. Maka oleh knrena itu, perkawinan boleh dinamakan sumber ke-muda-an
yang sejati bagi kaum perempuan”, begitulah kata Dr. Plosz itu.
Tetapi kembali lagi
kepada apa yang saya katakan tadi: masyarakat kapitalistis yang sekarang ini,
yang menyukarkan sekali struggle for life bagi kaum bawahan, yang di dalamnya
amat sukar sekaIi orang mencari nafkah, masyarakat sekarang ini tidak
menggampangkan pernikahan antura laki-laki dan perempuan. Alangkah baiknya
sesuatu masyarakat yang mengasih kesempatan nikah kepada tiap-tiap orang yang
mau nikah! Orang pernah tanya kepada saya: Bagaimanakah rupanya masyarakat yang
tuan cita-citakan?” Saya menjawab: ”Di dalam masyarakat yang saya cita-citakan
itu, tiap-tiap orang lelaki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang perempuan
bisa mendapat suami”.
Ini terdengarnya mentah
sekaIi, tuan barangkali akan tertawa atau mengangkat pundak tuan, tetapi
renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan saya di atas tadi, dan
kemudian katakanlah, apa saya tidak benar? Di dalam masyarakat yang struggle
for life tidak seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin, di
dalam masyarakat yang demikian itu, niscaya persundalan boleh dikatakan lenyap,
prostitusi menjadi ”luar biasa” dan bukan satu kanker sosial yang permanen yang
banyak korbannya. Prof. Rudolf Eisler di dalam buku kecilnya tentang sosiologi
pernah menulis tentang persundalan ini: ”Keadaan sekarang ini hanyalah dapat
menjadi baik kalau peri-kehidupan ekonomi menjadi baik, dan mengasih kesempatan
kepada laki-laki akan menikah pada umur yang lebih muda, dan mengasih kesempatan
kepada perempuan-perempuan yang tidak nikah, buat mencari nafkah sonder
pencaharian-pencaharian tambahan yang merusak kehormatan”.
Pendek kata: pada hakekat
yang sedalam-dalamnya, soal perhubungan antara laki-laki dan perempuan, jadi
sebagian daripada ”soal perempuan” pula, bolehlah kita kembalikan kepada pokok
yang saya sebutkan tadi: yakni soal dapat atau tidak dapat haknya keseksean,
soal dapat atau tidak dapat alam bertindak sebagai alam. Di mana alam ini
mendapat kesukaran, di mana alam ini dikurangi haknya, di situlah soal ini
menjadi genting. Saya tidak ingin kebiadaban, saya tidak ingin tiap-tiap manusia
mengumbar hantam-kromo saja meliwat-bataskan ke-sekse-annya, saya cinta kepada
ketertiban dan peraturan, saya cinta kepada hukum, yang mengatur perhubungan
laki-perempuan di dalam pernikahan menjadi satu hal yang luhur dan suci, tetapi
saya kata, bahwa masyarakat yang sekarang ini di dalam hal ini tidak adil
antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki minta haknya menurut kodrat alam,
perempuan pun minta haknya menurut kodrat alam. Ditentang haknya menurut kodrat
alam ini tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Tapi, dari masyarakat
sekarang, lelaki nyata mendapat hak yang lebih, nyata mendapat kedudukan yang
lebih menguntungkan. Sebagai makhluk perseksean, sebagai geslachtswezen,
perempuan nyata terjepit, sebagaimana ia sebagai makhluk masyarakat atau
makhluk sosial juga terjepit. Laki-laki hanya terjepit sebagai makhluk sosial
saja di dalam masyarakat sekarang ini, tapi perempuan adalah terjepit sebagai
makhluk sosial dan sebagai makhluk perseksean.
Alangkah baiknya
masyarakat yang sama adil di dalam hal ini.
Yang sama adil pula di
dalam segala hal yang lain-lain.
Saya akui, adalah
perbedaan yang fundamentil antara lelaki dan perempuan. Perempuan tidak sama
dengan laki-laki, laki-laki tidak sama dengan perempuan. Itu tiap-tiap hidung
mengetahui-nya. Lihatlah perbedaan antara tubuh perempuan dengan tubuh
laki-laki; anggauta-anggautanya lain, susunan anggautanya lain, fungsi-fungsi anggautanya
(pekerjaannya) lain. Tetapi perbedaan bentuk tubuh dan susunan tubuh ini hanyalah
untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan turunan,
dan memelihara turunan itu.
Untuk kesempurnaan tercapainya
tujuan alam ini, maka alam mengasih anggota-anggota tubuh yang spesial untuk
fungsi masing-masing. Dan hanya untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam
ini, alam mengasih fungsi dan alat-alat ”kelaki-lakian” kepada laki-laki, dan
mengasih fungsi serta alat-alat ”keperempuanan” kepada perempuan: Buat
laki-laki: memberi dzat anak; buat perempuan: menerima dzat anak, mengandung
anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak. Tetapi tidaklah perbedaan-perbedaan
ini harus membawa perbedaan-perbedaan pula di dalam peri-kehidupan perempuan
dan laki-laki sebagai makhluk masyarakat.
Sekali lagi: ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Tetapi sekali lagi pula saya ulangi di sini,
bahwa perbedaan-perbedaan itu HANYALAH karena dan untuk tujuan kodrat alam, yakni
HANYA-LAH
karena dan untuk tujuan perlaki-isterian dan peribuan saja. Dan sebagai tadi
saya katakan, kecuali perbedaan tubuh, untuk hal ini adalah perbedaan psikhis
pula antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan jiwa. Professor Heymans,
itu ahli jiwa yang kesohor, yang mempelajari jiwa perempuan dalam-dalam,
mengatakan, bahwa perempuan itu, untuk terlaksananya tujuan kodrat a1am itu,
adalah melebihi laki-laki di lapangan ”emotionalitas” (rasa terharu),
”aktivitas” (kegiatan), dan ”kharitas” (kedermawaan). Perempuan lebih lekas
tergoyang jiwanya daripada laki-laki, lebih lekas marah tetapi juga lebih lekas
cinta lagi daripada laki-laki, lebih lekas kasihan, lebih lekas ”termakan” oleh
kepercayaan, lebih ikhlas. dan kurang serakah, lebih lekas terharu, lebih lekas
meng-idealisirkan orang lain, lebih boleh dipercaya, lebih gemar kepada
anak-anak dan perhiasan, dan lain sebagainya. Semuanya ini mengenai jiwa. Tetapi
anggapan orang, bahwa perempuan itu akalnya kalah dengan laki-laki, ketajaman otaknya
kalah dengan laki-laki, anggapan orang demikian itu dibantah oleh Prof. Heymans
itu dengan tegas dan jitu: ”Menurut pendapat saya, kita tidak mempunyai hak
sedikitpun, buat mengatakan, bahwa akal perempuan kalah dengan akal laki-laki”...
Tiap-tiap guru dapat
membenarkan perkataan Profesor Heymans ini. Saya sendiri waktu menjadi murid di
H.B.S. mengalami, bahwa seringkali murid lelaki ”payah” berlomba kepandaian
dengan teman-teman perempuan dan malahan pula sering-sering ”terpukul” oleh
teman-teman perempuan itu. Pada waktu saya menjadi guru di sekolah menengah pun
saya mendapat pengalaman, bahwa murid-murid saya yang perempuan umumnya tak
kalah dengan murid-murid saya yang laki-laki. Profesor Freundlich, itu tangan kanannya
Profesor Einstein di dalam ilmu bintang yang pada tahun 1929 mengunjungi
Indonesia, dan kemudian menjadi maha guru di sekolah tinggi Istambul di dalam
mata pelajaran itu pula, menerangkan, bahwa studen-studennya yang perempuan tak
kalah dengan studen-studen laki-laki ”Mereka selamanya boleh diajak memutarkan
otaknya di atas soal-soal yang maha sukar”. Profesor O’Conroy yang dulu menjadi
maha guru di Universitas Keio di Tokyo, menceritakan di dalam bukunya tentang
negeri Nippon, bahwa di Nippon selalu diadakan ujian-ujian perbandingan (vergelijkende
examens) antara lelaki dan perempuan oleh kantor-kantor gubernemen atau
kantor-kantor dagang yang besar-besar, dan bahwa selamanya kaum perempuan nyata
lebih unggul daripada kaum laki-laki.
Ada-ada saja alasan yang
orang cari buat ”membuktikan”, bahwa kaum perempuan ”tak mungkin” menyamai
(jangan lagi melebihi!) kaum laki-laki ditentang ketajaman otak. Orang katakan,
bahwa otak perempuan kalah banyaknya dengan otak laki-laki! Orang lantas keluarkan
angka-angka hasil penyelidikan ahli-ahli, seperti Bischoff, seperti Boyd,
seperti Marchand, seperti Retzius, seperti Grosser. Orang lantas membuat daftar
sebagai di bawah ini:
Berat otak rata-rata:
Menurut
penyelidikannya
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Bischoff
Boyd
Marchand
Retzius
Grosser
|
1362
gram
1325 ”
1399 ”
1388 “
1388 ”
|
1219
gram
1183
“
1248 ”
1252 ”
1252 ”
|
Nah, kata mereka, mau apa
lagi? Kalau ambil angka-angka Retzius dan Grosser, maka otak laki-laki rata-rata
beratnya 1.388 gram, dan otak perempuan rata-rata 1.252 gram! Mau apa lagi?
Tidakkah ternyata laki-laki lebih banjak otaknya daripada perempuan?
Ini jago-jago kaum
laki-laki lupa, bahwa tubuh laki-laki juga lebih berat dan lebih besar daripada
tubuh perempuan! Berhubungan dengan lebih besarnya tubuh laki-laki itu, maka
Charles Darwin yang termasyhur itu berkata: ”Otak laki-laki memang lebih banyak
dari otak perempuan. Tetapi, jika dihitung dalam perbandingan dengan lebih
besarnya badan laki-laki, apakah otak laki-laki itu benar lebih besar?” Kalau
dihitung di dalam perbandingan dengan beratnya tubuh, maka ternyatalah
(demikianlah dihitung) bahwa otak perempuan adalah rata-rata 23,6 gram per kg.
tubuh, tetapi otak laki-laki hanya ... 21,6 gram per kg. tubuh! Jadi kalau
betul ketajaman akal itu tergantung dari banyak atau sedikitnya otak, kalau
betul banyak-sedikitnya otak menjadi ukuran buat tajam atau tidak-tajamnya
fikiran maka perempuan musti selalu lebih pandai dari kaum laki-laki!
Ya, kalau betul ketajaman
akal tergantung dari banyak sedikitnya otak! Tetapi bagaimana kenyataan? Bagaimana
hasil penyelidikan otaknya orang-orang yang termasyhur sesudah mereka mati? Ada
ahli-ahli fikir yang banyak otaknya, tetapi ada pula harimau-harimau fikir yang
tidak begitu banyak otaknya! Cuvier, itu ahli fikir, otaknya 1.830 gram, Byron
itu penyair besar, 1.807 gram, Mommsen 1.429,4 gram, tetapi gembong ilmu hitung
Gausz hanya 1.492 gram, ahli faIsafah Hermann hanya 1.358 gram, (di bawah ”nomor”!),
gajah faIsafah dan ilmu hitung Leibniz hanya 1.300 gram (di bawah ”nomor”!),
jago phisica Bunsen hanya 1.295 gram (di bawah ”nomor”!), kampiun politik
Perancis Gambetta hanya 1.180 gram (malahan di bawah ”nomor-perempuan” sama
sekali!).
Sebaliknya, Broca, itu
ahli fisiologi Paris yang termasyhur, pernah mengukur isi tengkorak-tengkorak
manusia dari Zaman Batu, - dari zaman tatkala manusia masih biadab dan bodoh! -
dan ia mendapat hasil rata-rata 1.606 cms, satu angka yang jauh lebih tinggi
daripada angka-angka isi tengkorak dari zaman sekarang. Malahan teori ”lebih
banjak otak lebih pandai” ini ternyata pula menggelikan, sebab Bischoff pernah
menimbang otak mayat seorang kuli biasa, - tentu seorang-orang bodoh -, dan dia
mendapat record 2.222 gram!, sedang Kohlbrugge berkata, bahwa ”otak orang-orang
yang gila atau idioot sering sekali sangat berat”! Dari mana orang masih mau
tetap menuduh bahwa orang perempuan kurang tajam fikiran, karena orang
perempuan kurang banyak otaknya kalau dibandingkan dengan orang laki-laki?
Tidak, ”alasan otak” ini
adalah alasan kosong. ”Alasan otak” ini sudah lama dibantah, dihantam,
dibinasakan oleh ilmu pengetahuan! Bebel di dalam bukunya mengumpulkan
ucapan-ucapan ahli wetenschap tentang ”alasan otak” ini. Raymond Pearl berkata:
”Tidak ada satu bukti, bahwa antara ketajaman akal dan beratnya otak ada
perhubungan satu dengan yang lain”; Duckworth menetapkan: ”Tidak ada bukti,
bahwa manusia yang banyak otaknya itu tentu orang yang tajam akal”; dan Kohlbrugge menulis pula: ”Antara
ketajaman akal dan beratnya otak tidak ada pertalian apa-apa”. Dan tidakkah ada
cukup bukti, bahwa perempuan sama tajam fikirannya dengan kaum laki-laki,
sebagai dikatakan oleh Profesor Heymans, Prof. Freundlich, Profesor O’Conroy
itu tadi, dan boleh ditambah lagi dengan berpuluh-puluh lagi keterangan
ahli-ahli lain yang mengakui hal ini, kalau kita mau? Tidakkah kita sering
mendengar nama perempuan-perempuan yang menjadi bintang ilmu pengetahuan atau
politik, sebagai Madame Curie, Eva Curie, Clara Zetkin, Henriette Roland Holst,
Sarojini Naidu, dll?
Tuan barangkali akan
membantah, bahwa jumlah perempuan-perempuan kenamaan itu belum banyak, dan
bahwa di dalam masyarakat sekarang kebanyakannya kaum laki-lakilah yang
memegang obor ilmu pengetahuan dan faIsafah dan politik. Benar sekali,
tuan-tuan: Di dalam masyarakat sekarang! Benar sekali: di dalam masyarakat
sekarang ini, di mana laki-laki mendapat lebih banyak kesempatan buat
menggeladi akal-fikirannya, maka kaum laki-lakilah yang kebanyakan menduduki
tempat-tempat kemegahan ilmu dan pengetahuan. Di dalam masyarakat sekarang ini,
di mana kaum perempuan banyak yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih
kesempatan maju ke muka di lapangan masyarakat, banyak yang baginya diharamkan
ini dan diharamkan itu, maka tidak heran kita, bahwa kurang banyak kaum
perempuan yang ilmu dan pengetahuannya membubung ke udara. Tapi ini tidak menjadi
bukti bahwa dus kwalitas otak perempuan itu kurang dari kwalitas otak kaum
lelaki, atau ketajaman otak perempuan kalah dengan ketajaman otak laki-laki.
Kwalitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan
bekerjanya yang tidak sama, kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh
karena itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya kesempatan oleh masyarakat
sekarang kepada kaum perempuan, maka kita wajib berikhtiar membongkar ketidak-adilan
masyarakat terhadap kepada kaum perempuan itu!
Bahkan terhadap fungsi kodrat
dari kaum perempuan yang kita bicarakan tadi itu, yakni fungsi menjadi ibu, menerima
benih anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak, -
terhadap fungsi kodrat inipun dunia laki-laki masih kurang menghargakan kaum
perempuan! Orang laki-laki membusungkan dadanja, seraya berkata-kita, kaum
laki-laki kita maju ke padang peperangan, kita berani menghadapi bahaya- bahaya
yang besar. ”Apakah yang perempuan perbuat?” Orang laki-laki mengagul-agulkan
kelaki-lakiannya menghadapi maut, mengagul-agulkan jumlah jiwa laki-laki yang
mati guna keperluan sejarah, seraya berkata: ”Bahaya apakah yang perempuan
hadapi?” Orang lelaki yang demikian ini tidak mengetahui, bahwa dulu di zaman
purbakala, tatkala hukum masyarakat belum seperti sekarang ini, ialah di dalam
zaman ”hukum per-ibuan” alias matriatchat, - yang di dalam Bab III dan. IV akan
saya terangkan panjang lebar -, kaum perempuan-lah yang mengemudi masyarakat,
kaum perempuanlah yang kuasa, kaum perempuanlah yang mengepalai peperangan,
kaum perempuanlah memanggul senjata, kaum perempuanlah mengorbankan jiwanya
guna sejarah. Dan lagi ... apakah benar peperangan lebih berbahaya daripada
melahirkan anak? Apakah benar peperangan minta lebih banyak korban daripada
melahirkan anak? Tiap-tiap ibu dapat menerangkan,
bahwa melahirkan anak itulah yang sangat berbahaya di sepanjang hidup seseorang
manusia. Tiap-tiap ibu pernah menghadapi maut sedikitnya satu kali dalam
hidupnya, yakni pada waktu melahirkan anak, sudahkah kita pernah
berhadap-hadapan muka dengan maut itu, sudahkah kita pernah merasakan nafasnya
maut yang dingin itu menyilir di muka kita?
Terutama di negeri-negeri
yang belum besar usaha kedokteran, seperti di Eropa di zaman dulu, atau di Asia
di zaman sekarang, tidak sedikit jumlah perempuan yang jatuh di atas padang kehormatan
melahirkan anak. Dulu di negeri Pruisen saja, (perhatikanlah, belum Jerman
seluruhnya) antara tahun 1816 dan 1876, pada waktu ilmu kedokteran sudah mulai
subur, jumlah perempuan yang meninggal karena melahirkan anak adalah 321.791
orang, - yakni rata-rata 5.363 setahun-tahunnya! Jumlah ini di negeri 1nggeris
antara tahun 1.847 dan 1.901 adalah 213.533, yakni, kendati waktu itu ilmu dan
ikhtiar kedokteran telah maju pula, tak kurang dari 4.000 setahun tahunnya! ”Coba
orang laki-laki musti menanggung sengsara seperti perempuan ini, maka
barangkali segala apa diributkan untuk menolongnya!”, begitulah kata Profesor Herff.
Di Eropa, jumlah-jumlah itu sekian besarnya! Betapa pula di kampung-kampung dan
di dusun-dusun kita, di mana dokter belum dikenal orang! Betapa pula keadaan di
kalangan Sarinah! Maka benar sekali konklusi August Hebel, kalau ia mengatakan,
bahwa di dalam sejarah manusia ini, kalau dijumlahkan, lebih banyak perempuan
melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan melahirkan bayi, dari pada
laki-laki melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan peperangan.
Orang laki-laki! Ia
selalu menghina saja kepada kaum perempuan. Ia mentertawakan perempuan yang
hamil, ia meremehkan arti melahirkan bayi, ia tak ingat bahwa ia sendiri adalah
hasil dari kesengsaraan dan kepedihan ibunya yang bertahun-tahun. ”Bagi dia, bagi
laki-laki”;- begitulah Edward Carpenter, seorang pembela perempuan di negeri
Inggeris, berkata - ”bagi laki-laki maka persetubuhan itu adalah satu
peringanan dan satu kenikmatan. Ia kemudian pergi, dan tidak ingat lagi akan
perbuatannya itu. Tetapi buat perempuan fi’il ini adalah satu hal yang paling mulia
dan paling berarti di dalam hidupnya, laksana satu perintah yang maha rahasia
dan maha penting. Bagi perempuan, fi’il ini adalah satu perbuatan yang banyak
akibat-akibatnya, satu perbuatan yang ia tak dapat hapuskan lagi atau lupakan
lagi, - satu perbuatan yang ia terpaksa selesaikan dulu dengan segala
akibat-akibatnya, sebelum ia bisa merdeka lagi ... Hanya sedikit kaum laki-laki,
barangkali tidak ada seorangpun, yang insyaf akan dalamnya dan sucinya rasa-ibu
di dalam kalbu seorang perempuan, tidak seorangpun yang ikut merasakan
kebahagiaannya dan harapan-harapannya, atau keluh-kesahnya dan ketakutannya
yang maha pedih. Bebannya kehamilan, kekhawatirannya pada waktu melihat, bahwa
apa yang dikandungnya itu selalu berobah sifat; ketakutannya, kalau-kalau apa
yang dikandungnya itu tidak selamat seperti yang diharap-harapkannya,
keridlaannya buat kalau perlu menebus dengan jiwanya sendiri, asal saja si bayi
itu bisa lahir dengan selamat, semua adalah hal-hal yang orang laki-laki tak
dapat mengira-ngirakan atau meraba-rabakan. Kemudian, kemudian daripada itu,
pengorbanan yang ibu itu kasihkan buat keselamatan sianak kecil; keletihan dan
kepayahan yang bertahun-tahun, yang semasekali mendorong ke belakang segala
fikiran-fikiran akan kesenangan diri sendiri serta rasa cinta dan rasa kasih, yang
tak pernah orang dapat nilaikan dan hargakan betul ... dan kemudian lagi, rasa
pilu dan rasa sunyi kalau nanti anak laki-laki dan anak perempuan itu masuk ke
dunia ramai dan memutuskan tali perhubungan dengan rumah tangga. Di sini
tali-tali kekeluargaan itu diputuskan, sebagaimana dulu tali ari-ari diputuskan
pula. Buat segala hal yang sedih-sedih ini, perempuan tak boleh mengharap akan
dapat rasa simpati dari fihak kaum laki-laki”.
Begitulah perkataan
Edward Carpenter. Moga-moga Allah melimpahkan rakhmad kepada semua ibu-ibu di
dunia, yang semuanya, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah limpahkan
rakhmad kepada pembuat-pembuat kemanusiaan itu, kepada ini ”Bouwsters der Menschheid”
yang semuanya tidak ada yang minta dibalas jasa, tidak ada yang minta dibalas
budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita semua, agar supaya kita lebih menghormati
dan menghargai kaum perempuan itu!
Janganlah kaum laki-laki
lupa, bahwa sifat-sifat yang kita dapatkan sekarang pada kaum perempuan itu,
dan membuat kaum perempuan itu menjadi dinamakan ”kum lemah”, ”kaum bodo”, ”kaum
singkat pikiran”, ”kum nerimo”, dan 1ain-1ain bukanlah sifat-sifat yang karena
kodrat ada terlekat pada kaum perempuan, tetapi adalah buat sebagian besar hasilnya
pengurungan dan perbudakan kaum perempuan yang turun-temurun, beratus tahun,
beribu tahun. Di zaman dulu, sebagai saya katakan tadi, di zamannya matriarchat
yang nanti di dalam Bab III dan IV akan saya terangkan lebih jelas, di zaman dulu
itu sifat-sifat kelemahan itu tidak ada. Ilmu pegetahuan yang modern telah
menetapkan pengaruh keadaan (milieu) di atas jasmani dan rohani manusia. Apa sebab
kaum kuli dan tani badannya umumnya lebih besar dan kuat daripada kaum ”atasan”?
Oleh karena milieu kuli adalah mengasih kesempatan kepada badan si kuli itu
untuk menjadi besar dan menjadi kuat. Apa sebab perempuan-perempuan kuli lebih
kuat dan besar dari perempuan kaum ”atasan”? Oleh karena milieu perempuan kuli
adalah lain daripada milieu perempuan kaum atasan. Apa sebab bangsa-bangsa
negeri dingin tabiatnya lebih dinamis, lebih giat, lebih ulet daripada bangsa-bangsa
di negeri panas? Oleh karena milieu di negeri dingin memaksa kepada manusia
supaya sangat giat di dalam struggle for life, sedang di negeri panas seperti
misalnya di Indonesia sini manusia bisa hidup dengan setengah menganggur, -
dengan tak berbaju, tak berumah, dengan tak usah banyak membanting tulang. H.H.Van
Kol di dalam bukunya tentang negeri Nippon menerangkan, bahwa bangsa Nippon di
zaman yang akhir-akhir ini adalah kurang cebol daripada dulu (kakinya menjadi
lebih panjang dengan rata-rata
2 cm!), sesudah orang
Nippon itu banyak meniru milieu Eropah, yakni duduk di atas kursi.
Maka begitu jugalah ada
akibat milieu atas kaum perempuan. Dulu kaum perempuan tidak lemah-lemah badan
seperti sekarang ini; dulu kaum perempuan sigap-sigap badan perawak-annya, jauh
berbeda dengan badan-badan ramping dari misalnya puteri-puteri priyantun zaman
sekarang.
Dulu perempuan-perempuan
adalah cerdik dan tajam otaknya, lebar dan luas penglihat-annya, ulet dan besar
tenaganya, menaklukkan kaum laki-laki, yang seakan-akan ”mengambing saja di belakang
mereka”, sebagai ternyata buktinya dibanyak sejarah-sejarah. Dulu di zaman matriarchat
perempuan-perempuan menjadi raja, menjadi panglima perang, menjadi ketua di
rapat-rapat, menjadi kepala rumah tangga, menjadi prajurit, menjadi hakim, menjadi
kepala agama. Dulu kaum perempuan tidak banyak berbedaan dengan kaum laki-laki,
ya malahan ditentang beberapa sifat-sifat melebihi kaum laki-laki, mengalahkan
kaum
laki-laki.
Dan di zaman sekarangpun,
di zaman kita ini, dapatlah kita tunjukkan, bahwa pada bangsa-bangsa, yang
perempuannya tidak tertindas dan terkurung, kaum perempuan itu sigap-sigap
badan, tangkas-tangkas gerak, perkasa-perkasa tabiat dan perangainya, cerdik
dan luas fikirannya. Havelock Ellis memberi tahukan keterangannya Johnstone yang
lama bergaul dengan bangsa-bangsa Andombies di Afrika, bahwa perempuan-perempuan
Andombies itu kerja berat tetapi senang hidupnya, dan bahwa ”seringkali mereka
lebih kuat dari laki-lakinya, lebih subur, dan bentuk-bentuk badannya sigap dan
menarik hati”.
Dan tentang bangsa
Manymema di Afrika itu pula, Parke menceritakan, bahwa bangsa ini
”makhluk-makhluk yang sigap, yang perempuan-perempuannya sangat kenes dan sama
kuatnya memikul beban-beban berat dengan kaum laki-lakinya”. Menurut Duveyrier
maka semangat dan ketangkasan wanita-wanita Tuareg di Afrika Utara sangat menakjubkan,
malah Paul Lafargue mengatakan, bahwa tubuhnya wanita Tuareg itu lebih kuat
dari tubuh laki-laki. Dan menurut Hearne, maka ada satu suku bangsa Indian yang
perempuan-perempuannya lebih kuat dua kali ganda dari kaum laki-lakinya! Begitu
pula di bagian Papua Timur adalah menurut Schellong suku-suku, yang
perempuannya lebih kuat daripada putera-putera Adamnya. Di Sentral Australia
orang laki-laki kalau memukul perempuan, seringkali mendapat balasan pukulan
kontan-kontanan dengan rente dari perempuan itu, sehingga ”kapok” ia buat
selama-lamanya. (Karena perempuannya lebih kuat). Di Cuba, dan pada bangsa Pueblo
di Amerika Utara, dan di Patagonia, dan pada banyak bangsa Rus, tidak ada
perbedaan yang begitu besar antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan! Demikianlah
keterangan-keterangan Havelock Ellis, itu ahli manusia yang kesohor. Maka
dengan mengingat bukti-bukti dari zaman dahulu dan zaman sekarang itu, Henriette
Roland Holst dapat menulis-kan konklusinya dengan jitu, bahwa:
”Perbedaan-perbedaan tenaganya badan dan besarnya badan antara laki-laki dan
perempuan, perbedaan-perbedaan tulang dan urat-urat, adalah jauh lebih kecil
pada bangsa-bangsa yang biadab daripada pada bangsa-bangsa yang sudah sopan;
apa yang orang namakan kelemahan kaum perempuan itu adalah buat sebagian besar satu
sifat, yang ditumbuhkan padanya oleh keadaan keadaan hidupnya di zaman kekuasaan
kaum laki-laki”. Begitu juga pendapat August Bebel: ”Pada umumnya, maka di
zaman purbakala, perbedaan tubuh dan perbedaan kecerdasan kaum laki-laki dan
kaum perempuan itu adalah jauh lebih kecil daripada dalam masyarakat kita
sekarang ini. Pada hampir semua bangsa biadab dan bangsa-bangsa yang hidup
liar, maka perbedaan antara besar dan beratnya otak laki-laki dan otak
perempuan adalah jauh lebih kecil daripada pada bangsa-bangsa yang sudah
beradab”.
Maka oleh karena itu,
tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, jika orang mengatakan, bahwa perempuan
itu pada kodratnya di dalam segala hal berbeda dengan kaum laki-laki, di dalam
segala hal kalah dengan kaum laki-laki. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan
pula, jika orang mengatakan, bahwa sudah dibahagikan oleh alam kepada laki-laki
buat berjoang di masyarakat, menduduki jabatan-jabatan masyarakat, menjadi
kampiun-kampiun masyarakat, sedang sudah dibahagikan oleh alam pula kepada perempuan
untuk menanak nasi saja di rumah, menjaga rumah tangga di rumah, menjadi benda
saja yang selalu harus tinggal di rumah. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan jika
orang mengatakan demikian itu dengan membawa alasan bahwa ”sepanjang ingatan
kita” perempuan selalu kerja di rumah, dan tidak di dalam masyarakat. Sebab
perkataan yang demikian itu sama saja salahnya dengan perkataan, bahwa misalnya
perempuan qua kodrat alam selalu rambutnya panjang, karena sepanjang ingatan kita,
kita belum pernah melihat perempuan yang tidak berambut panjang. Dan bukan saja
tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan! Orang demikian itu juga tidak melihat
lebih jauh dari panjang hidungnya! Tidakkah di zaman yang akhir-akhir ini kita
melihat dengan mata sendiri ribuan perempuan-perempuan Indonesia yang tidak
mendekam di rumah, tetapi bekerja di kantor-kantor, di paberik-paberik tenun,
di paberik-paberik rokok, di paberik-paberik teh, di kebon-kebon tebu, - menjadi
kuli, menjadi mandor, menjadi klerk, menjadi komis, guru, dokter, wartawan dan
lain-lain Tidakkah kita melihat saban hari dengan mata sendiri juga isteri si
bapa tani berduyun-duyun keluar dari rumah tangganya, menuju ke kota dan ke
pasar-pasar, dengan membawa macam-macam hasil kebunnya, untuk berdagang di kota-kota
dan di pasar-pasar itu? Di manakah yang dinamakan penghidupan menurut kodrat
alam mereka, untuk mendekam di rumah itu? Bahwasanya, memang di kalangan si
Marhaen inilah, karena dorongan ”struggle for life”, kaum perempuan lebih
merdeka, lebih tidak terikat di rumah daripada di kalangannya kaum-kaum yang
agak mampu, yang kadang-kadang mengurung perempuannya itu seperti mengurung
ternak di dalam kandangnya. Maka senantiasa kaum yang mengurung perempuannya
itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup isteri-isterinya dan puteri-puterinya
itu ialah untuk memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, untuk memu1iakan
kedudukan mereka. Ya ... ”memuliakan” mereka ... tetapi ”memuliakan” mereka
dengan memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi dan si tolol!
Adakah ini berarti, bahwa
hidup si kuli perempuan atau si tani perempuan yang tidak sangat terikat kepada
rumah tangga, sudah boleh dikatakan enak? Ah, perempuan Marhaen!
Ah, Sarinah! Pulang dari
berkuli di paberik atau di kebun, pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang
berpuluh kilo meter jauhnya itu, masih menunggu lagi kepada mereka di rumah
pekerjaan buat sang suami dan sang anak. Masih menunggu pada mereka lagi
pekerjaan menanak nasi, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, memasak gulai.
Sang suami habis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, ... tunggu dipanggil
makan, tetapi Sarinah, - habis kerja di luar rumah masih adalah kerja lagi
baginya di dalam dapur atau di dekat sumur. Bagi laki-laki adalah ”kerja
delapan jam sehari” atau ”kerja sepuluh jam sehari”. Tetapi bagi Sarinah zaman
sekarang ini, hidup adalah berarti keluh-kesah terus-menerus, gangguan fikiran
terus- menerus, dari fajar menyingsing sampai di tengah malam ...
Kapankah matahari akan
bersinar lagi bagi Sarinah itu?
Dulu, di dalam kabutnya
zaman purbakala, dulu pernah Sarinah itu menduduki takhta-takhta kerajaan, dulu
pernah ia bernama Ratu Simha di negeri Kalinga atau Bundo Kandung di negeri
Pagar Ruyung. Dulu pernah ia bernama Srikandi yang mengepalai peperangan. Dulu,
di Nippon, ia, menurut Van Kol dan Prof. De Visser, pernah berabad-abad lamanya
memegang kecakrawartian masyarakat: ”Urusan rumah-tangga dan urusan anak-anak
mereka serahkan kepada pelayan-pelayan, dan berlomba-lombalah mereka dengan
orang-orang lelaki di atas lapangan ilmu dan perpustakaan. Di atas lapangan sya’ir
mereka sama tingginya dengan kaum laki-laki, di atas lapangan prosa mereka
memukul samasekali kaum laki-laki itu. Sehingga sampai di abad-abad yang
kemudian pun, dan terutama sekali di zaman berkembangnya perpustakaan Tionghoa,
maka kultur perpustakaan hampir semasekali di dalam tangannya ”kaum lemah” itu
... Tidak kurang dari 10 Rajaputeri tercatat namanya di buku sejarah,
(antaranya Rajaputeri Jinzo yang termasyhur, yang menaklukkan negeri Korea di
abad yang ketiga), yang semuanya menjalankan rol yang penting di dalam sejarah.
Di dalam buku-buku Tionghoa kuno, Nippon selalu disebutkan ”negeri kaum
perempuan” atau ”negeri raja-raja puteri”. Pada abad ke 10 dan ke 11 kaum
perempuanlah yang membuat hukum-hukum negara; ahli-ahli sya’ir menamakan
perempuan itu ”semennya masyarakat”. Di zaman-zaman kuno itu tak pernah perempuan
Nippon menekukkan lututnya di muka laki-laki. Di zaman Heian, anak laki-laki dan
anak perempuan mendapat warisan yang sama besarnya. Di dalam hukum-hukum negara
Kamakura-shogun adalah ditetapkan, bahwa laki-laki yang meninggalkan isterinya,
segala hak-hak miliknya jatuh kepada
isterinya itu”.
Dan bukan di Nippon saja
Sarinah pernah berkuasa di dalam masyarakat. Di negeri-negeri lainpun, bangsa
mana dan negeri manapun juga, - sejarah banyak mencatat nama-nama raja-raja
puteri, nama-nama kepala-kepala pemerintah puteri, yang umumnya sangat baik pemerintahannya,
begitu baik, sehingga misalnya Burbach berpendapat, bahwa sangat boleh jadi kaum
perempuan itu lebih cakap buat urusan politik daripada kaum laki-laki.
Dulu! ... Tetapi sekarang
bagaimana? Di Nippon yang dulu masyarakat mengasih kedudukan yang begitu tinggi
kepada perempuan, kini kaum isteri menjadi sampah, pelayan laki-laki, budak
laki-laki, yang tiada kekuasaan dan kemerdekaan sedikit juapun. Kini perempuan
di Nippon itu, yang dulu begitu gagah dan sigap dan dinamis, menjadi satu
makhluk yang tunduk, yang penurut, yang nerimo, yang taat di dalam segala hal
baik dan buruk kepada kaum laki-laki. Siapa membaca tulisan-tulisan Van Kol, De
Visser, O’Conroy, Lafcadio Hearn, dll, tentang ketundukan dan kenurutan isteri
Nippon itu, ia niscaya terharu hatinya, ia niscaya sukar pula mengenang-ngenangkan
di dalam ingatannya, bahwa ini makhluk-makhluk yang begitu menurut dan
menerima, dulu di zaman sediakala adalah tunggak-tunggaknya masyarakat!
Ya, makin nyatalah kepada
kita, bahwa penghidupan menurut kodrat yang menempatkan perempuan ke sisi
periuk-nasi dan panci-gulai itu, tak lain tak bukan adalah bukan penghidupan
menurut kodrat, bukan penentuan kodrat, (sebagai menerima dzat anak, mengandung
anak, melahirkan anak, memelihara anak), tetapi adalah penghidupan yang masyarakat
sekarang dan hukum masyarakat sekarang kasihkan kepadanya. Kalau hukum
masyarakat ini tidak menempatkan perempuan itu ke sisi api dapur dan pipisan
lada saja, kalau hukum masyarakat ini mengasih kelapangan kepada kaum perempuan
buat berlomba-lomba di lapangan masyarakat, maka perempuan tidaklah seperti perempuan
sekarang. Tidaklah ia ”kaum lemah”, tidaklah ia ”kaum bodoh”, tidaklah ia ”penakut”,
tidaklah ia kaum singkat fikiran, tidaklah ia kaum ”nerimo”. Tidaklah ia
makhluk yang mengambing saja sebagai ternak; tidaklah ia kaum yang selamanya
harus dijagai dan ditolong saja sebagai ”blasteran dewi dan si tolol”. Tidaklah
ia menjadi sebab, yang Plato, itu ahli faIsafah Yunani, tiap-tiap hari mengucap
terima kasih kepada dewa-dewa, bahwa dewa-dewa itu melahirkan dia sebagai orang
merdeka, dan bukan sebagai budak belian, sebagai laki-laki, dan bukan sebagai
perempuan. Tidaklah ia menjadi sebab, yang orang Yahudi sekarang tiap-tiap pagi
mengucapkan kalimat: ”Terpujilah Engkau, ya Allah, Robbul’alamin, bahwa Engkau
tidak membuat akan daku seorang perempuan”. Tidaklah ia menjadi sebab, yang
bangsa Inggeris tidak mempunyai kata buat manusia melainkan ”man” (laki-laki),
dan bangsa Perancis tak mempunyai perkataan buat manusia pula, melainkan ”homme”
(laki-laki)!
Pendek kata, soal
perempuan tak dapat kita nilaikan betul-betul harganya buat masyarakat, kalau
kita pisahkan dia dari sejarahnya masyarakat, sejarahnya perhubungan perempuan
dan laki-laki di dalam masyarakat.
Sejarah perempuan adalah
bergandengan dengan sejarah laki-laki, soal perempuan tak dapat dipisahkan dari
soal laki-laki.
Di muka telah
berulang-ulang kita katakan, bahwa di zaman Matriarchat (peribuan), kedudukan
perempuan adalah l a i n
dari di zaman sekarang,
berganda-ganda lebih tinggi dari di zaman sekarang.
Tetapi, apakah ini
berarti, bahwa kita dus lebih senang kepada aturan matriarchat itu? Sama sekali
tidak! Sebab manakala di zaman perbapaan (patriarchat) sekarang ini kaum isteri
menjadi kaum yang tertindas, maka di zaman peribuan adalah kaum laki-laki kaum
yang tertindas. Manakala patriarchat sekarang ini membawa ketidakadilan masyarakat
kepada kaum perempuan, maka matriarchat adalah membawa ketidakadilan masyarakat
kepada kaum laki-laki. Masyarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki saja, dan
tidak pula terdiri dari kaum perempuan saja. Masyarakat adalah terdiri dari kaum
laki-laki dan kaum perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak
sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu fihak menindas kepada yang lain,
tak perduli fihak mana yang menindas, dan tak perduli fihak mana yang
tertindas.
Masyarakat itu hanyalah
sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum
laki-laki dan perempuan, yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.
Saya bukan pencinta
matriarchat, saya adalah pencinta patriarchat, bukan oleh karena saya seorang
laki-laki, akan tetapi ialah karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih
utama daripada matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat
dengan hukum perbapaan, karena hanya dengan hukum keturunan menurut garis
perbapaanlah, - di mana perempuan diperisterikan oleh satu orang laki-laki saja,
dan tidak lebih -, orang dapat mengatakan dengan pasti: siapa ibunya, siapa bapaknya,
- siapa yang mengandungnya, tetapi juga siapa yang menerimakan ia ke dalam kandungan
itu. Tetapi di dalam hukum matriarchat, (yang menetapkan keturunan itu menurut
garis
p
e r i b u a n),
maka orang hanyalah dapat yakin siapa ibunya, tetapi tidak dapat yakin siapa
bapaknya. Di dalam bab-bab berikut akan saya kupas hal ini lebih lanjut.
Saya pencinta patriarchat,
tetapi hendaklah patriarchat itu satu patriarchat yang adil, satu patriarchat
yang tidak menindas kepada kaum perempuan, satu patriarchat yang tidak mengekses
kepada kezaliman laki-laki di atas kaum perempuan. Satu patri-archat yang
sebenarnya ”parental”. Saya yakin, bahwa agama-agama adalah dimaksudkan sebagai
”pengatur” patriarchat, pengkoreksi ekses-eksesnya patriarchat. Saya yakin,
bahwa itu lah salah satu maksud agama, - tetapi apa yang kini telah terjadi?
Lihatlah di masyarakat Nasrani. (Bukan agama Nasrani). Maksud agama didurhakai.
Perempuan sesudah kawin, hampir hilang haknya sama sekali, dan perempuan menjadi
pula barang dagangan persundalan. Dan lihatlah di masyarakat Islam. Maksud agama
Islam, semangat agama Islam, yaitu melindungi kaum perempuan dari ekses-eksesnya
patriarchat itu, kadang-kadang dilupakan orang, dipendam di bawah timbunan-timbunan
tradisi-tradisi, adat-adat, pendapat-pendapat dari kaum-kaum kuno, sehingga
kedudukan kaum perempuan yang mau dijunjung tinggi oleh Islam sejati itu
kadang-kadang menjadi sama sekali satu kedudukan yang hampir tak ada ubahny
daripada kedudukan seorang budak. Pendapat-pendapat dari setengah kaum yang demikian
itu di beberapa kalangan menjadi suatu tradisi fikiran, satu kebiasaan fikiran.
Firman-firman Tuhan yang untuk menentukan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam
sistim patriarchat itu, firman-firman ini lantas ditafsir-tafsirkan dengan
kacamata tradisi fikiran itu. Firman-firman ini lantas dijadikan alat-alat buat
menundukkan kaum perempuan di bawah lutut laki-laki, dijadikan alat-alat buat
memperlakukan kaum perempuan itu sebagai makhluk-makhluk yang harus mengambing
saja kepada ke Yang Dipertuan, kaum laki-laki. Maha bijaksanalah Allah dan Nabi
yang menetapkan patriarchat sebagai sistim kemasyarakatan yang cocok dengan
kodrat alam, tetapi maha piciklah sesuatu orang yang tak mengarti akan hikmat
patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat kezaliman dan
penindasan!
BAB III
DARI GUA
KE KOTA
Ilmu pengetahuan
(wetenschap) sudah lama membantah pendapat setengah orang, bahwa adanya manusia
di muka bumi ini barulah 6.000 tahun atau kurang lebih 7.600 tahun saja. Ilmu
geologi, anthropologi, archeologi, histori dan praehistori menetapkan dengan
bukti-bukti yang nyata, yang dapat diraba, bahwa manusia itu telah ratusan ribu
tahun mendiami muka bumi ini: Sir Arthur Keith misalnya menghitung zaman
manusia itu pada kurang lebih 800.000 atau 900.000 tahun. Setidak-tidaknya tak
kurang dari 300.000 tahun (I.H.Jeans). Hanya saja harus diketahui, bahwa
manusia purbakala itu belum begitu sempurna sebagai manusia zaman sekarang.
Manusia zaman purbakala
yang bernama Pithecanthropus Erectus (sekitar 500.000 tahun yang lalu), Homo
Heidelbergensis (sekitar 250.000 tahun yang lalu), Eoanthropus (sekitar 100.000
tahun yang lalu.), Neanderthalmensch (sekitar 50.000 tahun yang lalu),
manusia-manusia ini semuanya kalah kesempurnaannya dengan manusia zaman
sekarang. Tetapi 35.000 tahun yang akhir ini, sudahlah ternyata dengan
bukti-bukti, bahwa manusia sudah ”sempurna” seperti kita zaman sekarang. Sudah
barang tentu jumlah manusia itu dulu jauh kurang pula daripada sekarang. Sudah
barang tentu pula tidak di mana-mana di muka bumi itu selalu ada manusia, dan
tidak di mana-mana pula zaman manusia itu sama tuanya.
Ada negeri-negeri yang
sudah lama didiami manusia, ada negeri-negeri yang belum begitu lama didiami
oleh manusia. Sebaliknya, ada pula negeri-negeri, yang dulu didiami oleh.
manusia, tetapi sekarang kosong dan sunyi.
Misalnya saja padang
pasir Sahara. Ada bekas-bekas kultur manusia di Sahara itu, yang membuktikan,
bahwa di situ di zaman dulu banyak air dan rumput dan pohon-pohonan, banyak
syarat-syarat untuk manusia dan binatang untuk hidup, dan tidak padang pasir
yang kering, terik,
dan kosong seperti
sekarang. Sebaliknya, negeri-negeri Utara seperti Swedia dan Norwegia, yang
sekarang begitu banyak manusianya, di zaman dulu adalah kosong oleh karena
samasekali tertutup dengan es yang bermeter-meter tebalnya.
Perhitungan Sir Arthur
Keith itu disendikan kepada bukti-bukti yang ada. Tetapi mungkin juga ilmu
pengetahuan nanti mendapat lagi bukti-bukti yang lebih ”tua” dari itu, sehingga
perhitungan Sir Arthur Keith itu terpaksa dijadikan ”lebih tua” lagi. Maka
lantas terpaksa kita mengatakan, bahwa bukan 800.000 tahun, bukan 900.000 tahun
sudah ada manusia, tetapi bisa juga 1.000.000 tahun, atau 1.100.000 tahun, atau
1.200.000 tahun. Tetapi bagaimanapun juga, nyatalah sudah salahnya pendapat
setengah orang, bahwa manusia itu baru 7.600 tahun saja mendiami dunia ini.
Sudah barang tentu
manusia purbakala itu (meskipun kita mengambil manusia-manusia ”yang
betul-betul manusia” dari zaman praehistori yang terakhir) kecerdasannya, cara
hidupnya, anggapan-anggapannya, adat-istiadatnya, kebutuhan-kebutuhan-nya,
pergaulan hidupnya, lain daripada manusia zaman sekarang. Manusia-manusia
purbakala itu pada mulanya hidup di dalam rimba-rimba dan gua-gua. Mereka belum
mempunyai perkakas, mereka belum kenal besi, mereka belum cukup cerdas membuat
rumah. Malahan rumah ini bukan saja tak perIu bagi mereka, tetapi juga ... akan
merugikan kepada inereka. Sebab di zaman yang pertama itu, manusia hidup dari
memburu dan mencari ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu ikan,
seperti binatang-binatang juga ada yang memburu dan mencari ikan. Mereka selalu
berpindah-pindah tempat, tempat yang sudah habis binatangnya dan ikannya mereka
tinggalkan, untuk mencari lain tempat yang banyak binatangnya dan banyak
ikannya pula. Mereka adalah hidup secara ”nomade”, yang selalu berpindah kian
kemari, jadi yang tak perlu mempunyai ”rumah”. Hutan dan gua, itulah rumah
mereka.
Di dalam tingkat yang pertama
itu, mereka belum mempunyai masyarakat. Mereka hidup berkawan-kawanan,
bergolong-golongan di dalam persekutuan-persekutuan kecil yang dinamakan horde
(ke1ompok), dengan tak ada pertalian apa-apa melainkan pertalian kerja bersama
dan perlindungan-bersama, dengan tak ada ”moral” melainkan moral cari makan dan
cari hidup. Mereka tak banyak ubahnya daripada anjing-anjing serigala atau
gajah-gadjah, yang juga hidup di dalam gerombolan-gerombolan kelompok. Mereka
sebagai anjing-anjing dan gajah-gajah itu, selalu berpindah kian-kemari menurut
keperluan pencaharian hidup dan keselamatan hidup.
Kalau pada satu tempat,
buruan dan ikan sudah habis, ditinggalkanlah tempat itu, dan dicarinyalah
tempat lain.
Di dalam kelompok inilah
perempuan telah mulai menjadi makhluk yang ditaklukkan. ”Pembahagian pekerjaan
adalah sebabnya ketaklukan itu. Laki-laki semuanya pergi kian-kemari, semuanya
memburu, mencari ikan, semuanya berkelahi dengan binatang-binatang buas atau
dengan kelompok-kelompok manusia yang lain, tetapi perempuan hanya sebagian
saja yang ikut pekerjaan itu: Perempuan yang hamil atau yang membawa anak-anak
kecil, tak dapat ikut lari-lari, tak dapat ikut memburu atau berjuang. Ia
bersama-sama laki-laki. yang sudah kakek-kakek tinggal di dalam gua atau di
bawah pohon ”kediamannya”, menunggu kaum laki-laki pulang dari perburuan atau
perkelahiannya itu. Ia bergantung kepada laki-laki, dan menilik kekasaran dan kebinatangan semua makhluk yang masih
liar, maka niscaya nasib perempuan di waktu itu pada umumnya sangat tersia-sia.
Ia diperintah saja oleh laki-laki itu, diperkudakan, disuruh mencari
daun-daunan dan akar akaran, disuruh memelihara api siang dan malam, dibebani
dengan segala pekerjaan yang tidak termasuk perburuan dan pencarian ikan. Ia,
menurut August Bebel adalah budak yang pertama. Bebel berkata: ” Perempuan
adalah budak sebelum ada budak”. Ia adalah bernasib sama dengan anjing betina,
yang kalau yang jantan tak senang, terus digigit dan dihantam saja, - atau
ditinggalkan oleh anjing jantan itu mentah-mentahan. Malah kadang-kadang ia
dibunuh, sebagaimana kakek-kakek dan nenek-nenekpun dibunuh, karena terlalu
membebani kelompok itu. Hukum persuami-isterian belum ada di dalam kelompok
itu. Menurut Prof. Bachofen adalah di dalam kelompok itu ”promiskuiteit”,
artinya: bahwa di dalam kelompok itu hantam-kromo campuran - saja laki-laki dan
perempuan mencari kepuasan syahwat satu dengan yang lain. Hantam-kromo saja
urusan syahwat itu, - mana yang disukai pada sesuatu saat, itulah yang jadi.
Tidak dapat laki-laki di dalam kelompok itu berkata ”ini isteriku”, tidak dapat
pula perempuan menunjuk-kan seorang laki-laki seraya berkata ”ini suamiku”.
Begitulah pendapat Bachofen. Tetapi ada aliran lain pula mengoreksi teori
Bachofen ini, misal-nya Eisler, yang berkata: bahwa benar belum ada
”pernikahan” di dalam kelompok itu, tetapi pun tidak ada itu promiskuiteit yang
hantam-hantaman kromo samasekali. Menurut Eisler, di dalam kelompok tidak ada
anarkhi seksuil yang absolut. Laki-laki selalu ”berkawin” buat sementara dengan
perempuan yang ia senangi. Di dalam kelompok itu bukan ”promiskuiteit” yang
orang lihat, begitulah kata Eisler, tapi ”pasangan-pasangan yang sementara”,
tijdelijke paring, atau di dalam bahasa Jerman “Zeit-Ehe”. Zeit-Ehe ini nanti
kalau sudah ”bosan”, dilepaskan lagi atau ditiadakan lagi, buat menjadi lagi pasangan-pasangan baru dengan laki-laki lain
atau perempuan-perempuan lain. Sudahkah tuan pernah perhatikan pasangan
sementara di kalangan anjing? Anjing jantan selalu berganti isteri, dan anjing
betina selalu berganti suami, tetapi ”persuami-isterian” itu bukan hanya buat
satu
saat beberapa detik saja,
melainkan ”luku” sampai beberapa minggu lamanya. Anjing selalu ”berlaki-bini”,
sungguhpun hanya buat sementara.
Demikianlah pula
perlaki-isterian di dalam kelompok manusia. Benar lelaki mengambil isteri mana
saja di dalam kelompok itu yang ia sukai, benar perempuanpun berbuat begitu
tetapi ”pasangan-sementara” selalu ada. Hanya saja ”pasangan-sementara” ini
tidak membuat nasib orang perempuan itu menjadi ringan. Laki-laki tidak
menanggung tanggungan sedikit-pun atas akibat-akibatnya ”pasangan sementara”
itu, tetapi perempuanlah yang menanggung hamilnya, perempuanlah yang menanggung
pemeliharaan anak, perempuanlah yang menanggung segala konsekwensi
”pasangan-sementara” itu.
Di dalam periode kelompok
sudahlah perempuan sengsara, - budak yang
pertama - sebagai kata Bebel tadi itu. Hanyalah menurut ahli-ahli penyelidikan
bangsa-bangsa yang masih biadab, kesengsaraan ini tidak begitu berat dirasanya sebagai
kesengsaraan yang musti ditanggung oleh setengah perempuan-perempuan di zaman sekarang,
yang bukan saja tertutup samasekali jasmaninya seperti di dalam penjara, tetapi
juga tertutup fikirannya, kesenangan-kesenangannya, rohaninya, dan diperbudak
serta disiksa pula. Menurut keterangan ahli-ahli ini, maka bagaimapun juga
jeleknya nasib perempuan di dalam kelompok itu, belumlah ia menjadi siksaan
jiwa yang begitu sangat sebagai perempuan-perempuan tutupan di zaman sekarang
ini. Sorot mata perem-puan-perempuan kelompok tentu masih sorot mata ”merdeka”,
menilik gambar-gambar di dalam gua dari puluhan ribu tahun yang lalu, yang
menggambarkan perempuan ikut ”berpesta” dengan kaum laki-laki. Sebagaimana
nasib serigala betina di dalam kelompok serigala bukan nasib yang jelek
samasekali, - anjing serigala betina masih banyak kesenangannya dan
kemerdekaannya, maka perempuan kelompok pun masih banyak kesenangannya dan
kemerdekaannya.
Lama sekali periode ini.
Tetapi lambat laun datanglah perubahan. Periode mencari hidup dengan berburu
dan mencari ikan berganti dengan periode, yang pencaharian hidupnya secara
lain. Banyak ahli mengatakan, bahwa periode perburuan dan pencaharian ikan itu,
diikuti oleh periode menternakkan binatang, periode penggembalaan.
Binatang-binatang yang orang tangkap di waktu perburuan itu, yang tidak mati,
orang peliharakan, dan ini menjadi asal-asalnya orang memelihara ternak:
memelihara sapi, memelihara kuda, memelihara kambing, memelihara kerbau. Tetapi
setengah lagi kaum ahli, - misalnya Dr. Fleure dari University College of Wales
-, mengatakan, bahwa periode perburuan dan pencaharian ikan itu bukan diikuti
oleh periode peternakan, melainkan oleh periode menanam tumbuh-tumbuhan, yakni
periode pertanian. (Morgan, seorang ahli yang lain, ada berpendapat lain lagi.
Menurut beliau maka tidak adalah periode yang manusia hanya melulu berburu dan
mencari ikan saja. Makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan sudah dikenal manusia
sejak mulanya). Tetapi bagaimana juga, nyatalah bahwa pertanian adalah satu
tingkatan yang lebih tinggi daripada perburuan. Dr. Fleure menyandarkan
teorinya kepada alasan, bahwa sering terdapat bekas-bekas atau tanda-tanda
pertanian purbakala, yang tidak disertai pula dengan bekas-bekas atau
tanda-tanda peternakan. Jadi: ada pertanian dengan tak ada peternakan; dan ini
dianggap-nya sebagai bukti, bahwa pertanianlah yang lebih dulu.
Orang di kelompok itu,
kata Dr. Fleure,
tidak hanya makan daging dan ikan saja, tetapi niscaya makan juga
tumbuh-tumbuhan liar. Manusia bukan pemakan daging saja sebagai harimau dan
serigala, manusia bukan carnivor, - manusia adalah perlu juga kepada
tumbun-tumbuhan, kepada daun-daunan, kepada buah-buahan, kepada akar-akaran.
Dia adalah ”omnivor”. Maka oleh karena manusia omnivor, maka orang-orang
perempuan di kelompok itu, kalau kaum laki-laki berburu, mencari
tumbuh-tumbuhan, dan lambat-laun terbuka ingatannya akan menanam benih-benih
tumbuh-tumbuhan itu. Maka dia, perempuan adalah berjasa besar kepada
kemanusiaan sebagai makhluk yang pertama-tama mendapatkan ilmu bercocok tanam,
yang sampai sekarang menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Dan bukan
saja yang mendapatkan rahasia pertanian! - ia juga adalah pekerja pertanian
yang pertama. Ia juga adalah petani yang pertama, sebagai nanti akan saya
uraikan lebih lanjut.
Buat jasa ini saja
kemanusiaan pantas mendirikan patung terima-kasih bagi perempuan itu!
Bagaimanapun juga, -
peternakan lebih dulu, atau langsung kepada pertanian, - pada kira-kira 10.000
tahun atau 12.000 tahun yang lalu dunia manusia masuk ke dalam periode pertanian
itu. Dan apa yang
kita lihat? Perubahan
cara pencaharian hidup ini, perubahan proses pencaharian ini, membawa perubahan
besar di dalam nasib perempuan itu. Mulai sekarang dia menjadi makhluk yang
penting, oleh karena dialah mulai sekarang menjadi pembuat bekal hidup yang
penting,
yakni ubi, keladi, jagung
dan lain sebagainya yang dia perdapat dengan pertaniannya itu, meski
pertaniannya itu masih sederhana sekali. Dia mulai sekarang menjadi produsen
yang berharga. Malahan dialah yang menjadi induk kemajuan, induknya ”kultur”,
yang mula-mula. Dialah petani yang pertama, tetapi dia pulalah yang pertama
sekali mulai terbuka ingatannya membuat rumah. Laki-laki masih banyak lari
kian-kemari di hutan, ditepi-tepi sungai, di pantai laut, di padang-padang
rumput, di rawa-rawa, tetapi dia, perempuan, karena menjaga hamilnya, atau
menjaga anak-anaknya yang kecil serta kebunnya yang sederhana, tetapi tak dapat
ditinggalkan itu, dia mulai mencoba membuat tempat kediaman yang tetap. Dia
mulai mencoba-coba mendirikan ”rumah” yang akan melindungi dirinya serta
anak-anaknya daripada panasnya matahari dan basahnya air hujan, dinginnya hawa
malam dan tajamnya angin. Dialah yang dengan dahan-dahan kayu, ranting-ranting
dan daun-daun mula-mula mendirikan gubug yang amat bersahaja. Dan bukan saja
”rumah” Dia jugalah yang pertama-tama duduk di samping buaian kesenian. Dia, kaum
perempuan itu, dialah yang mula-mula terbuka ingatannya membuat tali guna
mengikat bagian-bagian gubugnya, membuat barang-barang keperluan hidup yang
sangat perlu, sebagai misalnya melunakkan kulit binatang yang sudah kering,
menganyam tikar atau menganyam keranjang, memintal serat kayu menjadi benang,
menenun benang itu menjadi kain kasar, membentuk tanah liat menjadi semacam
periuk atau semacam pinggan. Dia, kaum perempuan, dialah yang mula-mula
induknya kultur. Dialah pembangun kultur yang pertama, dia dan bukan laki-laki.
Dialah menurut Kautsky ”pembangun peradaban manusia yang pertama”. Juga buat
ini ia pantas mendapat patung terimakasih di dalam ingatan kita!
Makin lama makin ”laku”
pertanian itu. Hasil perburuan dan pencaharian ikan tidak selamanya tetap, -
kadang-kadang dapat, kadang-kadang tidak dapat. Tetapi pertanian hasilnya
selalu mengalir. Oleh karena itu, maka pertanian itu diperbesar, dan
lambat-laun menjadi tiang hidup yang nomor satu. Perburuan dan pencarian ikan
itu makin surut, makin diabaikan, makin dikesampingkan. Orang laki-laki yang
kini banyak tempo terluang, mulai mengerjakan peternakan. Maka di sini adalah
pertanian itu disampingi oleh peternakan. Tapi kecuali di negeri-negeri yang
memang negeri rumput, tak mampu peternakan itu mengalahkan pertanian. Pertanian
tetap sumber hidup yang paling penting.
Maka makin tambah
pentingnya arti pertanian di dalam kehidupan dan penghidupan manusia itu, makin
naiklah derajat perempuan, makin naiklah kekuasaannya. Makin naiklah
”bintangnya”, - naik, buat pertama kali di dalam sejarah kemanusiaan. Sebab
dialah yang kini menjadi produsen yang terpenting di dalam masyarakat, dari
padanyalah tergantung selamat atau tidak selamatnya masyarakat. Cara hidup yang
berpindah-pindah tempat itu berubah menjadi cara hidup yang tetap pada satu
tempat, manusia nomade yang hidup berkeliaran, selalu berpindah-pindah,
berganti sifat menjadi manusia yang ”berdiam”.
Dan di tempat kediaman
itu perempuanlah yang menjadi pusatnya! Tidak lagi ia kini dianggap seperti
”benda yang orang terpaksa bawa juga” seperti di zamannya kelompok, tidak lagi
ia kini dianggap seperti ”noodzakelijk kwaad”, tetapi menjadilah ia makhluk
yang sangat berharga. Ia menjadi tiang masyarakat, pengatur masyarakat, tunggak
masyarakat!
Maka perubahan di dalam
cara hidup ini membawa pula perubahan di dalam moral perlaki-isterian. Dulu
perlaki-isterian itu secara anjing serigala saja, dulu adalah ”Zeit-Ehe”
ataupun ”Promiskuiteit”. Tapi kini perlaki-isterian ini mulai diatur
sedikit-dikit, diatur perhubungannya antara laki-laki dan perempuan, dan diatur
pula hal-hal yang mengenai keturunan-keturunan sebagai hasilnya perhubungan
laki-laki dan perempuan itu. Kini buat pertama kali di dalam sejarah
kemanusiaan diadakan hukum yang mengatur perlaki-isterian dan keturunan itu.
Memang urusan keturunan inilah pokok-pangkal semua hukum perlaki-isterian,
asal-mula segala hukum perlaki-isterian. Melepaskan syahwat, membuat keturunan,
adalah mudah -, tetapi memelihara keturunan itu tidaklah mudah. Memelihara keturunan
itu hajat kepada kecakapan, kepada banyak pekerjaan, kepada banyak pusing
kepala. Dulu di dalam kelompok perempuan saja yang mendapat bagian pusing
kepala ini. Laki-laki tinggal bersenang-senang, tak ambil pusing lagi lebih
jauh apakah akibat pelepasan syahwat itu nanti. Hanya nanti, nanti kalau si
anak itu sudah besar, kalau si anak itu sudah tidak memusingkan kepala lagi
dengan pemeliharaannya, tetapi sebaliknya menguntungkan kepada yang
mempunyainya, maka laki-laki lantas mau berkuasa atas si anak itu. Dia lantas
berkata: “Dia anakku”. Tapi, ... orang laki-laki lain berkata pula:
”Dia anakku”! Ya, anak
siapa dia itu sebenarnya? Ia tak tentu bapanya! Ia banyak sekali ”bapanya”!
Laki-laki yang satu mengaku menjadi bapanya, lelaki yang lain membantah: tidak,
akulah bapanya. Memang begitulah akibat Zeit-Ehe atau Promiskuiteit. Orang selalu berkelahi,
kadang-kadang sampai pecah tercerai-berai kelompok itu, - nyatalah perlu sekali
kini diadakan hukum.
Maka kaum perempuan, yang
kini menduduki derajat yang penting itu, kaum perempuan itulah yang membuat
hukum itu. Kaum perempuan itu mengadakan hukum keturunan menurut garis
peribuan. Menurut hukum peribuan ini, maka keturunan disebutkan menurut garis
ibu, bukan ditangan bapa. Orang tidak menanya ”siapakah bapanya”, tetapi orang
menanya ”siapakah ibunya”. Memang (juga di masyarakat sekarang ini), manusia
sebenarnya hanyalah dapat ditetapkan dengan kenyataan-bukti: siapa ibunya, dan
tidak dengan yakin siapa bapanya. Juga buat zaman sekarang, dengan hukum-hukum
perkawinan, ”siapa bapa” itu sebenarnya hanyalah satu hal kepercayaan saja.
Goethe, itu penyair dan ahli faIsafah Jerman yang termasyhur, mengatakan, bahwa
”siapa bapa” itu hanyalah berdasar ”nur auf gutem Glauben” belaka. Artinya:
hanya berdasar atas kepercayaan, bukan atas kenyataan bukti! Sehingga sampai
sekarang adalah satu peribahasa Eropa yang berbunyi: ”Anak bijaksana, yang
mengenal bapanya”. Tetapi dengan bapa banyak atau dengan bapa satu, dengan
hukum perkawinan atau tidak dengan hukum perkawinan, dapatlah ditentukan dengan
pasti dan yakin: inilah ibunya, inilah orang yang mengandungkan dia, inilah
orang yang melahirkan dia ! Itulah sebabnya, maka perempuan di zaman periode
kedua dari evolusi kemanusiaan itu, lantas menetapkan ”hukum keturunan menurut
garis peribuan” itu menjadi hukum perlaki-isterian dan hukum-keturunan. Hukum
peribuan ini menjadi hukum yang pertama-tama di dalam pergaulan manusia. Jadi
perempuanlah yang pertama-tama mengaruniai kemanusiaan dengan hukum, perempuanlah
pembuat hukum yang pertama.
Menjadi: Perempuan petani
yang pertama. Perempuan pembangun kultur yang pertama. Perempuan pembuat hukum
yang pertama.
Buat ketiga kalinya saya
undang tuan-tuan mendirikan patung terima kasih kepadanya di dalam kalbu!
Maka dengan diadakannya hukum
peribuan ini, serta hilangnya sifat nomade menjadi sifat ”perumahan yang
tetap”, hilang pula sifat kelompok, dan menjadilah ia bersifat gens, - yakni
menjadilah ia ”keluarga besar”. Perempuan dengan semua keluarganya tua-muda
berdiam menjadi satu di satu tempat, - yang bukan keluarga tidak boleh
berkumpul di situ, tapi berdiam menjadi gerombolan lain dengan
keluarga-keluarganya sendiri pula. Di dalam gens yang demikian itu cara hidup
adalah cara hidup sama-rata. Boleh dikatakan cara hidup mereka itu adalah cara
hidup komunistis! Dr. F. Muller-Lyer, itu ahli
masyarakat yang termasyhur, ada menceritakan dari hal gens pada tingkatan ini:
”Anggota-anggota pergabungan keluarga itu memiliki tanah sebagai milik bersama,
mereka kerjakan tanah itu bersama-sama pula, dan mereka bagikan buah tanamannya
itu di antara keluarga-keluarganya menurut keperluan masing-masing. Sering
sekali mereka berdiam berkumpul di dalam rumah-rumah yang besar. Tiap-tiap
anggota mempunyai hak yang sama atas ladang itu, dan menerima segala apa yang
ia perlukan dari hasil pertanian-bersama itu. Pada hampir semua rakyat-rakyat
pertanian yang bertingkat sederhana ini, adalah cara kerja komunistis itu
cara-kerja yang asli”.
Keluarga (Jawa: somah)
seperti yang kita kenal sekarang ini, - satu suami, satu isteri, anak, di dalam
satu rumah, pahit-manis dipikul bersama-sama -, keluarga yang demikian itu
belum dikenal orang di masa itu. Orang hidup dengan semua sanak-sanak-familinya
menjadi satu gerombolan besar, satu persatuan darah yang besar, satu keluarga
besar, - rukun dan rapat, mati-hidup bersama-sama, mengerjakan ladang
bersama-sama, menentang musuh bersama-sama. Justru persekutuan
dan kerukunan gens inilah
menghambat terjadinya ”somah” itu. Sebab, oleh karena kini perempuan itu
menjadi satu makhluk yang sangat berharga, - tidak seperti dulu di zaman
kelompok -, maka gens tidak mau melepaskan dia pindah mengikuti suaminya kelain
gens.
(Suaminya perempuan itu
lebih dari satu. Sebalikya, laki-lakipun isterinya lebih dari satu). Orang
lelaki dari lain gens yang kawin dengan dia, tidak boleh membawa dia pindah
kerumahnya, tetapi si laki itulah yang musti pindah ke rumah perempuannja itu,
atau, kalau si laki itu tinggal di gens-nya sendiri, - ia datang di rumah
isterinya itu hanya pada waktu ada keperluan saja. (Sisanya aturan begini
sekarang misalnya masih ada di Minangkabau, begitu pula pada orang Indian di
Amerika Utara, pada beberapa bangsa di Oceania, pada sebagian bangsa Neger,
dll. Dulu aturan ini nyata benar ada pada bangsa Israil; sampai di zaman Yesus,
orang masih menamakan beliau Isa Ibnu Maryam! Juga pada bangsa Mesir, Phunicia,
Etruska, Lykia, Iberia, Inggeris, dll dulu berlaku aturan ini). Tuan mengerti,
aturan yang demikian ini tentu tidak mengasih jalan kepada timbulnya satu
”persomahan” yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak saja, yang seperti
kita kenal di zaman kemudian. Tetapi kendati begitu, kedudukan perempuan di
dalam gens itu adalah kedudukan yang sangat mulia sekali. Sudah barang tentu!
Sebab yang berkumpul men-jadi satu di dalam gens itu, - laki-perempuan -,
adalah keluarga-keluarga dari fihak perempuan. Meski seseorang perempuan sudah
kawin dengan orang laki-laki dari lain gens pun, ia masih berkumpul dengan
sanak-famili se gens, dan karenanya ia masih terus mendapat sokongan dari
sanak-famili se gens itu. Tapi laki-laki tidak mendapat sokongan itu, laki-laki
bertindak terhadap isterinya itu seperti ”orang sendirian”, sebagai individu.
Orang perempuan jadi lebih kuasa daripadanya. Orang perempuan di waktu itu
misalnya di Eropa disebutkan Frowa, - yang maknanya tuan puteri. (Ingatkan
perkataan mevrouw, atau Frau). Malahan, seringkali, di tingkat yang kemudian,
kalau gens-gens itu sudah bertalikan satu dengan lain meliputi satu daerah, dan
pemerintahan sudah dijalankan oleh satu kepala atau satu raja -, maka
ditetapkanlah bahwa kepala itu harus kepala puteri, rajanya raja puteri,
pahlawannya pahlawan puteri, pemimpin rapat pemimpin-puteri. Maka bertambahlah
hukum peribuan itu menjadi pemerintahan - ibu, - menjadi Matriarchat. Dari
bangsa Indian Irokees misalnya, Lafitau menulis: ”Semua pemerintahan di negeri
itu adalah di tangan perempuan: merekalah yang menguasai ladang-ladang dan
hasil-hasil ladang itu, merekalah menjadi jiwa persidangan-persidangan majelis negeri,
merekalah berkuasa atas perang atau damai, merekalah mengurus cukai, mengurus
kekayaan suku, kepada merekalah orang serahkan orang-orang tawanan, merekalah
menetapkan perkawinan-perkawinan, merekalah berkuasa atas anak-anak, dan
menurut garis merekalah diambil keturunan”. Pada bangsa Indian Wyandot keadaan
juga begitu, majelis pemerintahan mereka adalah terdiri dari 55 orang; anggota
laki-laki dari majelis ini
hanya 11 orang; tapi
anggota perempuan ... 44 orang!
Dan juga di dalam urusan
agama kaum perempuan dijadikan pemimpin. Mrs. Ray Strachey menerangkan, bahwa
justru di dalam urusan agamalah kaum perempuan di zaman dulu hampir selamanya
diutamakan dari kaum laki-laki; perempuan dianggap lebih suci daripada kaum
laki-laki. Di dalam kehidupan sehari-haripun orang lebih mencintai dewi-dewi
daripada dewa-dewa. Agama Sumeria, agama Shinto, yang kedua-duanya agama tua
sekali, sangat memuliakan perempuan. Pada banyak bangsa di lautan Teduh masih
selalu perempuan yang mengepalai agama.
Sekianlah keadaan kaum
perempuan di zaman hukum peribuan atau matriarchat itu. Di dalam bab IV hal ini
akan saya terangkan lebih lebar. Di dalam bab II pun sudah saya ceritakan
sedikit-sedikit tentang zaman peribuan ini. Di zaman itu kaum perempuan, karena
kemerdekaannya, adalah besar-besar dan sigap-sigap badan, cerdas-cerdas dan
tangkas-tangkas, berani-berani dan luas-luas penglihatan, - tidak seperti
perempuan-perempuan di zaman sekarang, yang kecil-kecil dan takut-takut. Di
zaman peribuan itu mereka bukan ”kaum lemah”, bukan ”kaum bodoh”, bukan ”kaum
sempit pikiran”, bukan ”kaum penakut”. Di zaman itu perempuan bukan ”kaum
dapur” saja, bukan ”bunga rumah tangga” saja. Mereka berkuasa, menduduki
masyarakat, mengendali masyarakat, menguasai masyarakat. Malah kaum laki-lakilah
yang di zaman itu dianggap sebagai kaum embel-embel semata-mata. Mereka hanya
dianggap sebagai anasir ”pemacek”, - anasir ”pembuat turunan”. Mereka, kaum
laki-laki itu, di zaman peribuan berkedudukan seperti semut laki atau lebah
laki dalam masyarakat semut dan masyarakat lebah. Juga dalam masyarakat semut
dan masyarakat lebah itu betina lebih penting daripada laki; juga di situ si
laki hanya pemacek. Malahan di masyarakat semut dan lebah itu si laki dibunuh
sesudah ia selesai mengerjakan pacekannya! Maka pantaslah orang menanya:
Manakah kebenaran semua ”teori” yang mengatakan, bahwa sudah kodrat
perempuan-perempuan. menjadi penunggu rumah tangga dan penunggu periuk-nasi
saja?
Tetapi ... zaman selalu
berjalan, zaman selalu beralih. Datanglah phase (tingkat) ketiga di dalam sejarah
peri-kemanusiaan itu, yang menggugurkan lagi kaum perempuan dari singgasananya.
Kaum laki-laki yang dulu berburu dan mencari ikan itu, yang kadang-kadang
berminggu-minggu meninggalkan kelompok atau gensnya buat berjuang di dalam
rimba atau bersenang-senang di dalam rimba, kaum laki-laki itu lambat-laun
makin lama makin meninggalkan cara pencarian hidup dengan berburu dan mencari
ikan itu. Buat apa cape-cape lagi membahayakan diri di dalam perburuan, yang
juga tidak selamanya berhasil baik itu, kalau ada sumber rezeki lain yang lebih
menyenangkan? Tidakkah hasil pertanian telah mencukupi segala-gala keperluan
hidup? Dulu, tatkala orang belum kenal pertanian, dulu orang terpaksa hidup di
gunung-gunung dan di rimba-rimba yang banyak binatang-binatang dan sato
hewannya. Kini orang meninggalkan rimba-rimba itu, meninggalkan tempat-tempat
yang sukar dan sempit, kini orang mencari tanah-tanah datar dan tanah-tanah
rata yang baik buat pertanian itu. Kini tanah yang subur dan yang berisi banyak
zatlah yang orang perlukan, - meskipun tidak ada binatang sato khewan di situ.
Kini ditanah yang bukan rimba dan bukan gunung itu perburuan itu menjadi sangat
terdorong ke belakang. Lagipula, sudah lama pula orang laki-laki terbuka
ingatannya buat menternakkan binatang sato khewan. Juga buat peternakan ini,
bukan rimba dan gunung-gunung yang diperlukan, tetapi tanah rata yang banyak
rumput. Karena peternakan inipun, maka laki-laki lantas banyak waktunya yang
senggang, banyak waktunya yang tak terpakai, tidak seperti dulu, tatkala ia
berhari-hari musti mengintai atau mengejar buruan. Maka lambat-laun laki-laki
lantas ikut-ikut menjadi tani pula. Malahan lambat-laun laki-laki itu lantas
”memborong” pekerjaan pertanian, - perempuan disuruh tinggal di rumah saja,
atau, kalau diajak ke ladang, hanya dipakai sebagai pembantunya saja. Maka
lambat-laun merosotlah kedudukan perempuan sebagai produsen, lambat-laun
lunturlah pamor wanita sebagai pemberi makan kepada semua keluarganya.
Sebaliknya si laki-lakilah yang makin naik derajat, si laki-lakilah yang makin
bertambah nama dan kekuasaannya. Sebab kini dialah yang bekerja di ladang,
dialah yang menguasai ladang. Dialah kini produsen yang pertama, dialah kini
pemberi-hidup.
Dialah kini menjadi penjaga dan pemelihara milik. Dulu di zaman
mula-mulanya pertanian, milik itu hanya berupa rumah, senjata-senjata,
perkakas-perkakas, perahu, sedikit pakaian, periuk-periuk, dll sebagainya saja.
Tapi kini, ternak semakin lama sudah semakin bertambah, lebih cepat bertambah
dari tambahnya manusia, sehingga, milik ternak itu kadang-kadang menjadi
berpuluh-puluh ekor atau beratus-ratus ekor!
Perdagangan bertukar
dengan gens-gens atau suku-suku yang lainpun, yang kini mulai berkembang,
menambah pula jumlah milik itu. Dan orang-orang tawananpun, yang dulu dibunuh
saja, kini dijadikan budak-budak pembantu di ladang dan ini berarti penambahan
milik pula. Maka kini timbullah satu soal yang maha penting: kepada siapakah laki-laki
akan mewariskan milik ini kalau ia meninggal dunia? Kini mulailah laki-laki memikirkan
hukum keturunan pula. Kini timbullah keinginan pada laki-laki itu supaya anak-anak
dia sendiri sajalah, - bukan anak-anak orang lain, sebagai di dalam hukum peribuan
-, yang mewarisi benda-benda dan milik-milik hasil keringatnya itu. Kini ia mau
yakin, mau pasti, bahwa anak-anak dia sendiri sajalah yang kelak mewarisi
ternak, perkakas, senjata-senjata, pakaian-pakaian, budak-budak pembantu itu.
Ia tidak mau membanting tulang buat hari kemudian anak orang-lain, ia hanya mau
membanting tulang buat hari kemudian anak dia sendiri. Maka oleh karena itu,
kini ia tentukan, bahwa perempuan-perempuannya! -, tidak bo1eh berkawin dengan
lelaki lain, melainkan hanya dengan dia sendiri saja. Kini ia tuntut kepada
perempuan itu dengan ancaman hukum mati kesetiaan perkawinan, kesetiaan
perlaki-isterian. Kini ia mau bekerja buat isteri-isteri dan anak-anaknya
sendiri saja, dan tidak buat gens seumumnya.
Maka lambat-laun pecahlah
persatuan gens yang sediakala itu, pecahlah pergaulan hidup secara sama rata
sama rata itu. Masing-masing laki-laki minta bahagiannya sendiri-sendiri dari
tanah kommunal milik gens itu. Masing-masing laki-laki membentuk satu ” gezin ”,
membentuk somah, yang di situlah ia pusatkan segala kemauannya mencari kekayaan,
segala energi-nya. Sebab ia kini tahu: ia bekerja buat turunannya sendiri!
Kalau ia mati, anak-anaknya sendirilah yang akan menerima kekayaan itu. Hak
keturunan dari ibu dihapuskan, diganti dengan hak keturunan dari bapa. Dan
Sarinah, yang dulu berkuasa dan berpengaruh itu, Sarinah kini menjadi makhluk
yang duduk di tingkatan yang kedua lagi. Malahan kemudian lagi, bapa lebih
mementingkan anak daripada isteri, dan Sarinah merosot lagi ke tempat kedudukan
yang ketiga.
Sebab anak inilah yang
menerus-kan darahnya, isteri hanyalah satu ”perantaraan” saja. Sarinah bukan
lagi penguasa masyarakat, tapi menjadi benda dalam rumah tangga saja, benda
penglahirkan anak dan benda pemelihara anak, yang tak lebih dan tak kurang
menjadi miliknya laki-laki.
Kini bukan Sarinah yang
menerima laki-laki tetapi laki-laki yang menerima Sarinah. Kini perkawinan
bukan berarti si laki menghamba kepada si perempuan, tetapi si perempuan menghamba
kepada si laki-laki. Kini gens terpecah menjadi beberapa somah, tetapi somah
(famili) ini benar-benar satu tempat perhambaan bagi Sarinah itu. Perkataan
famili adalah berasal dari perkataan Latin famulus, yang artinya hamba,
pelayan, budak, atau dari perkataan Oskia ”famel” yang juga bermakna budak.
Kini menjadi adat, si laki itu membeli perempuan waktu ia berkawin dengan dia,
sebagaimana ia membeli satu barang atau satu milik di kedai atau di pekan.
Inilah yang dinamakan kawin beli, yang kita jumpai di mana-mana di zaman hukum
perbapaan itu, sampai sekarang. Atau, kalau si laki tak mampu membeli, maka
perempuan dicuri atau dirampas mentah-mentahan oleh si laki itu, seperti orang
merampas atau mencuri sesuatu barang atau sesuatu milik di waktu malam. Kawin
beli dan kawin rampas adalah gambarnya hukum perbapaan itu. Sarinah menjadi
benda. Ditutuplah ia dan disimpanlah ia di dalam rumah seperti benda,
dilaranglah ia keluar dari rumah itu, supaya tidak dicuri orang, sebab ia suatu
benda; ditabirkanlah ia rapat-rapat manakala ada laki-laki asing, kalau-kalau
si laki asing itu timbul keinginan birahi kepadanya atau keinginan mencuri
kepadanya, karena ia sebuah benda. Kalau suaminya mati, maka bukan dia yang
menerima barang-barang warisannya suami, tetapi dia sendiri diwariskan kepada
saudara suaminya atau keluarga suaminya, sebagaimana juga halnya dengan
lain-lain benda milik suami yang mati itu. Segala susunan-susunan dan
sifat-sifat masyarakat berbalik samasekali. Hukum pemerin-tahan, hukum
kemilikan, hukum persuami-isterian, hukum keturunan, hukum perwarisan, semua
itu berubah sebagai ubahnya siang menjadi malam. Segala kemerdekaan perempuan
yang sediakala, hilang sama-sekali, hilang karena menjadi famulus di dalam
famili. Sarinah dikungkung, ditutup, dipingit, diperhambakan. Friederich Engels
mengatakan, bahwa perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu
adalah satu ”kekalahan perempuan yang paling hebat di dalam sejarah
kemanusiaan”. August Bebel menamakan dia revolusi besar yang pertama di dalam
sejarah manusia.
Perobahan ini, sebagai
satu revolusi besar di dalam susunan masyarakat, sudah tentu tidak terjadi
sekaligus, tetapi mungkin makan waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. Tetapi
sudah barang tentu pula, perempuan tidak selamanya mau menyerah begitu saja
digugurkan dari kedudukannya jang tinggi itu. Sebelum menyerah, berjoang ia mati-matian.
Sejarah dunia tak sunyi dari ceritera-ceritera perjoangan hebat antara
laki-laki dan perempuan di zaman perpindahan kekuasaan itu. Karena sudah tuanya
kejadian-kejadian ini, - sudah hampir hilang di dalam kabut zaman purbakala -,
maka banyak dari cerita-cerita itu menjadi bersifat dongeng saja, legende saja,
saga saja. Kita di Indonesia ini kenal akan dongengnya wanita ”Nusa Tembini”
yang berjoang mati-matian dengan kaum lelaki, mengusir kaum laki-laki dari
negeri-negeri daerahnya. Atau dongengnya Dewi Rayungwulan dari negeri Sigaluh,
dalam cerita Banjaransari. Kita juga kenal akan dongeng Ratu Roro Kidul, yang
tak mau tunduk kepada siapa juga, tak mau terambil kekuasaannya oleh siapapun
juga. Mungkinkah di zaman purbakala di Selatan tanah Jawa ada satu kerajaan
matriarchat, yang kini sudah lenyap, atau satu pulau matriarchat, yang kini
sudah tenggelam, sebagai di dalam dongeng Eropa ada pula diceritakan satu
negeri tenggelam yang bernama Atlantis? Di negeri Eropa pun ada dongeng-dongeng
perjoangan antara perempuan dengan laki-laki itu. Tiap-tiap murid sekolah
menengah telah pernah mendengar dari hal kaum ”Amazone” yang berperang dengan
kaum laki-laki gagah-gagah dan sigap-sigap, berkuda seperti pahlawan-pahlawan
yang gagah berani, yang pedangnya menyambar-nyambar ke kanan dan ke kiri
seperti kilat. Perhiasan-perhiasan yang orang pahatkan di gedung-gedung Yunani
atau Rumawi zaman dulu, banyak pula yang menggambarkan peperangan antara kaum
laki-laki dan perempuan itu. Tapi kecuali di beberapa tempat, hampir di
mana-mana, di dalam perjoangan ini kaum perempuan terpaksa kalah dan takluk.
Sesudah kaum laki-laki
berkuasa, maka bukan saja segala hukum-hukum masyarakat, hukum-hukum
perkawinan, hukum-hukum keturunan dan perwarisan, diubah dan dibentuk menurut
kemanfaatan hukum perbapaan itu, tetapi semua moral, adat-istiadat,
kepercajaan, seni, ideologi-ideologi, agama, berubah pula menurut kemanfaatan
hukum perbapaan itu. Agama-agama penyembahan alam yang dahulu, terdesak oleh
agama-agama baru, yang semuanya merendahkan deradat perempuan. Ceritera Jahudi
tua tentang pembuatan Sitti Hawa, bukan menurut ”gambarnya Tuhan”, tetapi dari
tulang rusuk Adam, (Qur’an tidak mengatakan begitu, meski setengah kaum
mengatakannya, tetapi dibantah oleh kaum muda), tidakkah ceritera ini bermaksud
menggambarkan bahwa perempuan itu adalah ”kelas dua” dari laki-laki? Dan
bukanlah orang katakan pula, bahwa Hawalah, - ai dia! perempuan! -, yang
menjadi sebabnya Adam terusir dari sorga? Bukankah oleh karena itu perempuan
lantas dikatakan ”makhluk dosa” dan makhluk yang tak suci? Di agama Yunani pun
digambarkan salahnya aturan mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan
perkataan Dewa Apollo yang berbunyi: ”Bukan Ibu yang membuat anak, dia hanyalah
menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh orang laki-laki. Orang juga dapat
menjadi bapa dengan tidak beristeri”. Maka dibuktikan oleh Apollo kebenaran
perkataannya yang terakhir ini dengan menunjuk kepada Dewi Minerva, yang
dilahirkan tidak dengan Ibu, tetapi keluar ”sudah jadi samasekali” dari kepala
bapanya, yaitu Dewa Yupiter. Begitu pula di dalam agama Hindu tua perempuan
direndahkan. Di dalam kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu, bahwa perempuan itu
”selalu memikir kesyahwatan, selalu marah, selalu palsu dan tidak jujur ...
Menurut tabiatnya, perempuan itu selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh
karena itu laki-laki musti selalu hati-hati terhadap kepadanya ... Perempuan
tak pernah dapat berdiri sendiri”.
Di lain tempat Manu
berkata: ”Orang hilang kehormatan karena perempuan; asalnya permusuhan adalah
perempuan;
karena itu jauhilah
perempuan”.
Agama Buddha pun, yang
umumnya begitu adil, sekonyong-konyong menjadi tidak adil kalau membicarakan
kedudukan kaum perempuan: ”Perempuan itu makhluk dosa; roman-muka perempuan
seperti keramat, tapi hatinya seperti syaitan”.
Marilah di sini saya
ceriterakan satu hal yang lucu.
Sudahkah pembaca pernah
mendengar perkataan ”couvade”? Couvade adalah satu adat-kebiasaan yang sampai
sekarangpun masih ada pada bangsa Baskia, yang berdiam di kanan-kiri gunung
Pyrenea di Eropa. Kalau seorang wanita Baskia bersalin, maka terjadilah
”sandiwara” berikut: Segera sesudah bersalin, wanita itu keluar dari tempat
pembaringannya, dan suaminya lantas berbaring di tempat itu, mengaduh,
merintih, sambat-sambat, seolah-olah dialah yang melahirkan anak. Ia berbuat
demikian itu dengan disaksikan oleh banyak tamu-tamu, yang ”menolong” dia, dan
ia tinggal di tempat pembaringan itu beberapa hari lamanya! Segala sesuatu
berlaku seolah-olah d i a, - laki-laki itu -, yang melahirkan anak. Isterinya
harus berbuat seakan-akan padanya ”tidak ada apa-apa”. Tamu-tamu itupun
samasekali tidak memperdulikan isteri itu. Sebaliknya, sang suami itu tadi yang
diladeni, sang suami itu tadi yang dijaga, ditolong. Sebab sang suami itu tadi
yang baru saja ”bersalin”! ...
Inilah adat yang
dinamakan couvade. Mula-mula orang kira, bahwa adat ini hanya terdapat pada
bangsa Baskia saja. Tetapi ia terdapat pula pada suku Abipon di Amerika
Selatan! Dan pada suku-suku Indian di Guiana! Juga pada beberapa suku di Afrika
dan di Asia Marco Polo menjumpainya di Yunnan Apollonius di tepi Lautan Hitam;
Plutarchus di pulau Cyprus. Couvade ternyata satu adat yang dulu tersebar
di mana-mana!
Apa arti couvade itu?
Lihatlah, demikian munafiknya laki-laki! Wanita yang mengandung, wanita yang
melahirkan bayi, wanita yang sakit, - tetapi itu harus disulap hilang. Dia,
laki-laki, dia yang ”bersalin”, dia yang ”mengadakan anak”, dia yang kuasa. Dia
yang berhak!
Sungguh menggelikan! .
Tentang couvade ini, maka
Paul Lafargue menulis dalam kitabnya tentang hukum peribuan: ”Manusia, makhluk
yang paling kejam dan paling edan antara segala hewan, sering sekali membungkus
keadaan-keadaan masyarakat yang penting dengan adat-adat kebiasaan yang paling
menggelikan. Couvade adalah salah satu tipuan yang dijalankan oleh laki-laki,
untuk mengusir wanita dari kedudukannya dan miliknja. Fi’il bersalin adalah
tadinya tanda hak lebih daripada wanita dalam famili tetapi laki-laki telah
menirukan fi’il ini dengan cara yang amat menggeli-kan, untuk meyakinkan
dirinya sendiri, bahwa dari dialah bayi itu mendapat hidupnya”.
Dari dia! Dari dia!
Wanita tidak kuasa apa-apa, wanita sekadar alat!
Begitulah kecelakaan yang
menimpa Sarinah itu. Alangkah kerasnya kejatuhannya itu, dari kedudukan yang.
begitu mulia kepada kedudukan hina, yang ia nanti musti derita beribu-ribu
tahun lamanya: tertutup, terkunci, terlantar, terabaikan sebagai benda,
terhina, tersiksa, terperas tenaganya seperti sapi. Bagi kita kaum yang sadar
di zaman sekarang, kejatuhan ini kita rasakan sebagai satu kesedihan yang maha
sedih, satu tragedi yang maha tragis. Tetapi ditinjau dari sudut pertumbuhan
masyarakat, maka perpindahan hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu adalah
satu kemajuan yang maha besar, satu evolusi masyarakat yang maha penting. Bagi
masyarakat di zaman itu perpindahan itu adalah satu keharusan sejarah. Sebab
masyarakat tak dapat berkembang-biak benar-benar, kalau masyarakat itu terikat
kepada perikatan gens dan hukum peribuan yang di situ individualitas (keperibadian
manusia seorang-orang) tak dapat merdeka dan leluasa, tak dapat ”bertumbuh” dan
”berkembang” menurut kehendaknya sendiri-sendiri, menurut hasrat sosial
sendiri-sendiri. Maka oleh karena itulah tenaga-tenaga masyarakat dan
tenaga-tenaga individualitas lantas memberontak kepada ikatan gens dan hukum
peribuan itu, menghantam hancur perikatan-perikatan itu, menyapu bersih segala
rintangan-rintangan yang menghalangi kepada berkembangnya individualitas itu.
”Kita laki-laki mau merdeka dari asuhan ibu, kita mau merdeka mengeluarkan
keringat kita buat kita sendiri, dan buat anak kita sendiri, kita mau merdeka
menyusun keluarga!” - itulah semboyan revolusi sosial pertama yang maha hebat
ini.
Dan revolusi yang
menjelmakan faham milik perseorangan memang berhasil! Berhasil, oleh karena
memang disuruh dan dibuat oleh masyarakat. Nyata masyarakat beruntung dengan
merdekanya individuaitas, nyata masyarakat akan dapat merdeka berkembang dengan
merdekanya individualitas itu. Nyata hukum keturunan menurut garis ibu itu
adalah kurang cocok, kurang sesuai, kurang mendorong maju, kurang menjadi
stimulasi kepada individualitas itu. Nyata di dalam hukum tua itu somah
(keluarga) tak dapat berkembang, - somah, yaitu satu-satunya benteng tempat
berkembang individu-alitas itu.
Maka oleh karena itu,
terteropong dengan teropong umum, terpandang dari pandangan kemasyarakatan,
maka revolusi ini adalah revolusi kemajuan, dan bukan revolusi kemunduran,
bukan revolusi reaksioner. Maka benarlah kita, kalau kita bersorak syukur,
bersorak ”horas” atas berhasilnya perjoangan mengganti hukum ... tua dengan
hukum baru itu. Tetapi tiap-tiap revolusi senantiasa mengekses, mengujung
kapada ujung yang meliwati batas kemustian. Revolusi patriarchat ini bukan
revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki dengan memelihara kemerdekaan
perempuan, tetapi menjadilah satu revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki
dengan mengorbankan kemerdekaan perempuan! Perlawanan kaum perempuan terhadap
pada revolusi ini tentu menjadi sebab pula bagi kaum laki-laki itu untuk
”melipat” kaum perempuan itu sama sekali, merampas segala kemerdekaan yang ada
pada perempuan itu sama sekali, agar supaya perlawanan perempuan itu menjadi
patah sama sekali. Perlawanan kaum perempuan itu, - sebagai di dalam tiap-tiap revolusi
-, menjadilah sebabnya kaum yang membuat revolusi itu mengadakan ”diktatur”:
Diktatur kaum laki-laki untuk mematahkan kontra revolusinya kaum perempuan.
Tetapi sesudah kaum
perempuan patah, maka inilah celakanya perempuan - kaum laki-laki itu tidak
mengembalikan kepadanya sebagian daripada kemerdekaannya yang sediakala.
Beribu-ribu tahun Sarinah tetap dan terus di- ”diktaturi” saja. Beribu-ribu
tahun ia tetap dipisahkan dari masyarakat, dipisah-kan dari pergolakan hidup
sehari-hari, dipisahkan dari ”struggle for life” yang dulu membuat dia menjadi
sehat dan sigap badan, sehat dan sigap fikiran, sehat dan sigap jiwa.
Beribu-ribu tahun ia ditutup di dalam kegelapannya rumah, diperlakukan seperti
benda, diperhambakan secara budak, atau paling mujur dipeliharakan seperti
blasteran dewi dan si tolol. Akhirnya, karena perhambaan yang turun-temurun
itu, ia menjadi makhluk yang lemah dan kecil badan, makkhluk yang bodoh,
makhluk yang tumpul fikiran, makhluk yang singkat pemandangan, makhluk yang
selalu takut, makhluk yang tiada kekerasan kemauan, makhluk yang karena tiada
melihat dunia lantas gemar bicara tetek-bengek, makhluk yang karena selalu
didurhakai lantas banyak akal ”tipu-muslihat”. ”Dia mengkerat menjadi kecil”,
demikianlah kata Bebel dalam satu tulisan. Nasib dia sekarang, nasib miskin
atau nasib kaya, nasib lapar atau nasib kenyang, nasib dia sekarang tidak lagi
tergantung dari kepribadian sendiri, tetapi sama sekali tergantung daripada
laki-laki yang menjadi suaminya.
Laki-laki inilah yang
kini menjadi Maha Dewanya. Sebagai fihak yang memelihara jiwanya, maka
menjadilah laki-laki itu satu kekuasaan yang membentuk hidupnya. Perkawinan,
mendapat jodo, itulah kini menjadi soal yang terbesar bagi perempuan, soal yang
mengisi segenap jiwanya, satu tanda besar di dalam hidupnya. Mendapatkan
seorang laki-laki yang sanggup mengangkat hidupnya itu ke derajat yang mulia,
yang dapat mengasih kepadanya keamanan dan kekayaan, - itulah kini menjadi
pusat segenap idam-idamannya, ke situlah diarahkan segenap kecantikannya.
Bukan lagi kepribadiannya
yang kini menentukan hidupnya, tetapi kecantikannya, kejelitaannya,
”sex-appeal”-nya. Keelok-annya itu kini menjadi senjata ekonomis, fungsi
kelaminnya menjadi fungsi ekonomi. Dengan keelokannya inilah ia kadang-kadang
dapat merebut kedudukan yang tinggi, - menjadi isteri orang besar, bini orang
yang termasyhur nama, gundik orang yang kaya-raya. Dengan keelokannya itulah
malahan ia kadang-kadang dapat menjadi permaisuri seorang raja.
Kita mengetahui dari
dongeng-dongeng, dari cerita-cerita wayang, dari bukti-bukti dalam sejarah,
betapa kadang-kadang seorang laki-laki miskin, karena kecakapan, keberanian,
keuletan, perjoangan, kelaki-lakian, pendek kata karena kepribadian, dapat
menjadi seorang pahlawan besar atau seorang raja. Ken Arok, itu penggembala
kerbau, menjadi Maharajadiraja di Singasari karena kepribadian; Ciung Wanara,
itu anak tukang besi, menjadi Sang Perabu Pejajaran, karena ”kepribadian. Tapi
bagi perempuan hanyalah kecantikan paras muka dan kecantikan badan saja, bukan
kepribadian yang dapat mendatangkan ”keajaiban” yang demikian itu. Kalau tidak
kebetulan Sang Arjuna berjalan meliwati tempat kediamannya, dan tertarik oleh
keelokannya yang ”seperti bulan purnama”, maka tak mungkin si gadis miskin naik
derajat menjadi puteri di dalam keraton.
Karena itu, maka segenap
jiwanya, segenap fikirannya, segenap angan-angannya, dipusatkan kepada soal
yang satu itu: mendapat jodo yang menyenangkan, dan kalau sudah mendapat jodo,
menjaga jangan sampai diceraikan lagi; menjaga jangan sampai sang suami tak
senang kepadanya, jangan sampai ia dialahkan oleh lain perempuan. Maka karena
itu pula, semua pendidikan yang dikasihkan kepada gadis-gadis adalah ditujukan
kepada hal yang satu ini. Dan apakah sifat-sifat perempuan yang kini disenangi oleh laki-laki? Tak lain dan
tak bukan sifat-sifat yang menetapkan perempuan itu di dalam perhambaan; ia tak
perlu pintar, tetapi ia harus tenang, harus menurut, harus taat, harus
merendah, harus sabar, harus sedia berkurban, harus halus suara, harus benci
kepada dunia luaran, harus cinta rumah tangga saja.
Perempuan harus cantik,
tetapi kecantikannya itu harus lain lagi dari kecantikan Srikandi yang sigap
dan tangkas, atau lain lagi dari kecantikan Brunhilde yang laksana kecantikan
singa betina, melainkan haruslah kecantikan jelita, halus seperti sutera, harus
”tunduk mata”, ramping badan, jatmika, seperti kecantikan bunga melati. Pendek
kata, idam-idaman kaum laki-laki adalah orang perempuan yang cukup memuaskan
kebirahiannya tetapi harus ”halus” dan ”lemah lembut”, yang sesuai dengan
status perhambaan dan ketaatan. Jadi yang sama sekali bertentangan benar dengan
sifat-sifat yang ia senang melihat kepada kaum laki-laki sendiri: Laki-laki
harus kuat, harus berani, harus besar badan, harus dinamis, harus bersuara
sebagai guntur, harus suka berjoang mati-matian, tetapi perempuan harus
kebalikannya sama sekali daripada itu. Ia harus lemah, harus, merasa dirinya
lemah, perlu mohon tolong dari orang laki-laki, mohon per-lindungan, mohon
hidup dari orang laki-laki. Orang perempuan yang demikian ini, orang laki-laki
sedia menganggapnya sebagai bidadari atau dewi; buat orang perempuan yang
demikian ini orang laki-laki bersedia berkurban dan berjoang. Di Eropa sebagai
salah satu akibat anggapan ini timbullah ridderisme, yang menganggap perempuan
itu sebagai satu makhluk jelita yang musti dihormati setinggi langit dan
diperlindungi. Pada kulitnya sahaja ridderisme ini seperti mengangkat tinggi
kepada perempuan, tetapi sebenarnya ridderisme itu adalah justru memandang
perempuan itu sebagai makhluk yang sangat lemah, yang selalu harus ditolong.
Tidakkah ”kegentlemanan” zaman sekarang ini, yang bersemboyan ”kehormatan bagi
para wanita”, pada hakekatnya berbatin juga menganggap lemah kepada perempuan
itu?
Dan lama-lama idam-idaman
kaum lelaki tentang wanita ini ”mewujud” kepada perempuan pula! Beratus-ratus
tahun perempuan hidup di dalam udara ”idam-idaman kaum lelaki tentang wanita”
ini, beratus-ratus tahun ia dipaksa hidup menurut ”idam-idaman kaum lelaki
tentang wanita” ini, - sebab kalau tidak, tak mungkin ia mendapat suami -, maka
lama-kelamaan idam-idaman kaum laki-laki ini menjadi idam-idaman kaum wanita
tentang dirinya sendiri pula! Rohaninya, jiwanya, fikirannya, kemauannya,
perangainya, batinnya, semua itu menjadi lemah dan tunduk, jelita dan sabar,
ikhlas dan taat, - lain lagi daripada jiwa, fikiran, nafsu, perangai kaum
Amazone atau kaum wanita Nusa Tembini di zaman matriarchat purbakala. Dan bukan
saja jiwa dan sukma perempuan itu menjadi lemah, bentuk badannya pun menjadi
lemah. Kini jarang sekali terlihat orang perempuan yang badannya subur dan
besar, sigap dan kuat seperti di zaman purbakala itu. Kini umumnya tubuh
perempuan itu kecil-kecil dan lemah-lemah. ”Kultur” tidak
berarti perempuan menjadi
lebih kuat rohani dan badani, ”kultur”
adalah membuat roh dan
badan perempuan itu menjadi lemah dan jelita. Lihatlah di kalangan kaum atasan,
di mana ”kultur” ini paling mendalam, maka kelemahan ini tampak dengan terang
seterang-terangnya. ”Awake koyo putri, antenge koyo putri”, itu sampai sekarang
masih menjadi sebutan orang Jawa. Di dalam kalangan kaum bawahan, kaum tani dan
kaum buruh, yang perempuannya tidak terlalu dikurung, tapi diajak berjoang
mencari sesuap nasi, maka kelemahan dan kejelitaan itu kurang tampak padanya.
Tetapi pada umumnya tak dapat dibantah lagi, bahwa perbedaan kekuatan dan
kebesaran tubuh serta perbedaan kecerdasan antara laki-laki dan perempuan itu,
di dalam zaman patriarchat itulah bertambah-tambahnya, di zaman patriarchat itulah
dipelihara-peliharakannya.
Demikianlah umumnya
keadaan kaum perempuan di zaman kekuasaan dipegang oleh kaum lelaki itu. Benar
sekali perkataan seorang perempuan bangsa Belanda, Clara Meyer Wichmann, bahwa
famili itu dus adalah satu machts verhouding, artinya, satu tempat laki-laki
menjalankan kekuasaannya atas perempuan.
Tatkala Nabi Isa dan
kemudian Nabi Muhammad datang membawa agamanya masing-masing, maka sudahlah
keadaan ini keadaan biasa
di mana-mana. Kedua-dua
Nabi itu lantas mencoba menjunjung kaum perempuan itu dari keada-annya yang
hina-dina itu, mencoba menolong perempuan itu dari ekses-ekses patriarchat,
mengadakan aturan-aturan guna mengatur serta mengadilkan patriarchat itu. Bukan
menghapuskan hukum perbapaan, tetapi mengaturnya, mengadilkannya. Sebab
kedua-duanya beranggapan, bahwa memang hukum perbapaanlah, dan bukan hukum
peribuan yang lebih cocok dengan kehendak alam, lebih sesuai dengan kehendak
kodrat. Tetapi pengajaran kedua-duanya pula telah tidak diperdulikan sama
sekali oleh sebagian pengikut-pengikut dan pemuka-pemuka agama yang kemudian.
Tradisi kaum penghina perempuan yang diperangi oleh dua Nabi ini, diteruskan
oleh pengikut-pengikut itu. Nabi Isa mengajarkan persamaan laki-laki dan
perempuan di hadapan Allah, tetapi pengikut-pengikutnya mengadakan lagi
aturan-aturan yang mengungkung kaum perempuan itu. Padahal! Sejarah telah
membuktikan dengan yakin, bahwa justru kaum perempuanlah yang menjadi
pengikut-pengikut dan propagandis-propagandis agama Nasrani yang paling ulet.
Kaum perempuanlah yang dibakar mati oleh Raja di Roma, kaum perempuanlah yang
dilemparkan kepada singa-singa dan dicabik-cabik tubuhnya oleh
binatang-binatang buas itu, oleh karena mereka menjadi pengikut atau
propagandis agama Nasrani itu. Ya, oleh karena memang kaum perempuan-lah salah
satu dari bagian-bagian masyarakat yang dibela oleh Nabi Isa itu, maka kaum
perem-puanlah berduyun-duyun masuk agama Isa; tetapi pengikut-pengikut Isa yang
laki-laki tak dapat melepaskan dirinya dari tradisi merendahkan perempuan;
mereka itu tak dapat membalas budi kepada kaum perempuan yang telah bekerja dan
berkurban begitu banyak untuk agama Isa. ”Orang perempuan tak boleh bicara di
dalam ”jemaah”; ”perempuan harus menurut dan menghormat kepada laki-laki”;
”Tapi aku tak mengizinkan perempuan belajar, atau perempuan memerintah
laki-laki, tapi aku mau perempuan itu diam”; ”Tak diizinkan kepada mereka untuk
berbicara, tetapi diperintahkan kepada mereka, supaya mereka tunduk”. Kalimat-kalimat
yang merendahkan kepada perempuan ini, terdapat di dalam kitab Nasrani, tetapi
kalimat-kalimat itu bukan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Isa.
Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut pengikut-pengikutnya. Begitu pula maka
dongeng Yahudi tua tentang kejadian Adam dan Hawa, yang mengatakan bahwa
perempuan tidak terbuat ”menurut gambar Allah”, melainkan hanya dari tulang
rusuk Adam saja, dan bahwa dialah yang menarik Adam ke dalam dosa, sehingga
dipandang perlu perempuan itu dianggap tidak suci dan selalu ditundukkan saja
kepada laki-laki, - dongeng Yahudi tua inipun dimasukkan oleh pengikut-pengikut
Isa itu ke dalam kitab. Dan sebagai ”gong”-nya ini semua, maka pada penghabisan
abad keenam, satu rapat besar dari semua kepala-kepala agama di kota Macon
sudah membuang tempo banyak-banyak buat membicarakan soal, apakah perempuan itu
benar-benar satu makhluk yang mempunyai nyawa atau tidak!
Kasihan kaum perempuan!
Dia yang paling banyak mengorbankan jiwa buat mempropagandakan agama Isa, dia
yang dibakar, dia yang dicabik-cabik singa, dia yang menyebar-kan agama Isa itu
kemana-mana , - Chlotilde yang menanam agama Nasrani di Franka, Berta di Kent,
Gisela di Hongaria -, tetapi dia pula yang selalu dikalahkan saja. Sampai
sekarang, dia, pada waktu dia dinikahkan oleh paderi kepada seorang laki-laki, musti
bersanggup di muka altar lebih dulu, bahwa dia ”akan taat dan menurut kepada
suami buat selama-lamanya”. Dan kasihan pula perempuan di dalam masyarakat
Islam! Nabi Muhammad menjunjung derajat wanita dari ekses-ekses patriarchat
jahiliah, memerdekakan dia dari perhambaan, tetapi kaum-kaum yang sempit
fikiran dan sempit mata menyeret dia kembali ke dalam lumpur derajat rendah dan
lumpur derajat hina. Kaum-kaum yang sempit fikiran dan sempit mata ini
meneruskan saja tradisi kaum jahiliah, atau ambil oper saja tradisi Persia dan
Yunani Byzantia yang amat menyempitkan hak-hak kaum perempuan. ”Perempuan di
dalam masyarakat Islam”, - tidakkah ini
di dalam telinga dunia
ramai terdengarnya sama saja dengan:
”Perempuan di dalam
penutupan dan perhambaan”?
Ya, benar-benar malang
nasib perempuan itu! Sejak datangnya aturan patriarchat sampai kepada
zaman-zaman yang hampir masuk zaman kita sekarang ini, ia, beribu-ribu tahun
lamanya, terun-temurun, terpaksa musti hidup di dalam satu dunia yang penuh
dengan kegelapan dan kesempitan. Orang Yunani menamakan dia ”Oikurema”, yang
berarti benda untuk mengurus rumah. Zaman beredar, masa beralih, abad berganti,
kerajaan-kerajaan bangun dan kerajaan-kerajaan runtuh lagi, macam peradaban
berubah berganti-ganti, tetapi di dalam nasib perempuan tiada perubahan, sama
sekali. Tetap ia musti hidup di dalam kegelapan dan kesempitan yang sediakala,
tetap ia dianggap sebagai makhluk jang nomor dua! Dan inipun bagi orang yang
mengerti ilmu masyarakat tidak mengherankan! Sebab, meskipun abad dan peradaban
itu berubah berganti-ganti, maka belum bangkitlah keharusan-keharusan –
masyarakat yang memerdekakan perempuan itu dari ikatan rumah tangga. Belum
bangkitlah keharusan-keharusan - masyarakat yang ”mengusir” dia dari tutupan
rumah, menghela dia ke dalam struggle for life dunia ramai. Zaman beredar
melalui tahun-tahun yang beribu-ribu bilangannya, tetapi masih tetap perempuan
paling mujur menjadi produsen buat somah, produsen buat ... keluarga, -
belumlah ia terhela keluar menjadi produsen masyarakat pula. Itulah sebabnya,
maka, semua kejadian-kejadian masyarakat terjadi tidak dengan bantuannya, tidak
dengan bahagiannya, tidak dengan pengetahuannya, tidak dengan persetujuannya.
Ia tetap hidup sebagai satu anasir, yang belum terhela aktif di dalam
pergolakan masyarakat, dan oleh karena itu, maka kedudukannyapun tetap
”kedudukan rumah tangga” saja.
Tetap demikian, ...
sampai abad delapanbelas hampir silam! Sampai timbulnya zaman industria1isme di
Eropa yang m e n g h e l a perempuan itu keluar dari kegelapan rumah,
masuk ke dalam struggle for life produksi masyarakat. Pada akhir abad
kedelapanbelas itu mulai timbul di Eropa zaman
k e p a b e r i k a n, dan
kepaberikan inilah nanti membongkar sama sekali aturan-aturan masyarakat yang
kuno, merobek-robek hukum adat dan hukum moral yang telah ribuan tahun tuanya,
menghela keluar semua makhluk-makhluk yang tadinya tertutup di antara
dinding-dinding kekeluargaan. Apa yang disusun dan diperkokoh oleh tradisi
berabad-abad lamanya itu, dibongkar samasekali oleh m e s i n di dalam tempo yang hanya puluhan tahun saja.
Mesin pemintal, dan mesin tenun, yang terdapatnya hampir satu saat dengan mesin
uap, mesin-mesin ini mengada-kan r e v o
l u s i y a n g m a h a
h e b a t di dalam susunan masyarakat,
adat, moral; di benua Eropa pada waktu itu. Dulu perempuan tinggal di dalam
rumah tangga untuk (kecuali memasak) membuatkan pakaian bagi suami dan anak.
Dulu perempuan sendiri yang memintal, menenun, menyulam, menjahit, sebagai juga
di negeri kita dulu tiap-tiap perempuan tinggal di rumah untuk menenun atau
membatik. Dulu perkataan ”ia saleh dan
menenun” adalah pujian yang tertinggi yang orang tuliskan di atas batu kuburan
orang perempuan yang sudah mati.
Tetapi kini pada akhir
abad kedelapanbelas itu, karena revolusi industri itu, maka bukan saja semua
bahan-bahan pakaian itu tak perlu lagi ditenun sendiri dengan banyak
susah-payah, melain-kan dapat dibeli dengan harga yang amat murah, sehingga
banyak perempuan menjadi merdeka dari pekerjaan di rumah itu, - tetapi
mesin-mesin yang dipakai di paberik-paberik itu tidak perlu pula pelayanan oleh
banyak tenaga laki-laki. Tenaga p e r e m p u a n dan tenaga k a n a k - k a n a k mencukupi buat pekerjaan meladeni mesin-mesin
itu. Perempuan dan kanak-kanak diundang bekerja ke dalam paberik. Maka
perempuan, yang berwindu-windu; berabad-abad tadinya tertutup di dalam
rumah-tangga itu, karena kesempitan nafkah hidupnya, menjadi terhela
bersama-sama anak-anaknya ke dalam paberik, ke dalam masyarakat,
ke dalam p r o d u k s i m a s y a r a k a t. Perempuan-perempuan dan
anak-anak itu menjadi kaum buruh. Di dalam tahun 1790 saja sudah adalah 60.000
perempuan Inggeris dan 40.000 anak-anak Inggeris menjadi kaum buruh di
paberik-paberik benang, di dalam tahun 1840 jumlah kuli perem-puan Inggeris itu
sudah menjadi 500.000 dan di dalam tahun 1890 naik lagi menjadi 1.500.000
orang! Dan bukan di negeri Inggeris saja! Di Perancis, di Jerman, di Belgia, di
negeri Belanda, di mana-mana saja industrialisme ini menghancurkan
tembok-tembok beton pengurungan perempuan, di mana-mana saja terhela perempuan
itu dari cengkeraman kemiskinan rumah-tangga, - keluar! keluar!
Ke dalam struggle for
life di dalam paberik, keluar ke sampingnya mesin, keluar ke dalam produksi
masyarakat, keluar!, untuk mencari sesuap nasi! Di dalam tahun 1909 di negeri.
Belanda adalah 28% dari semua perempuan bekerja sebagai buruh, dan jumlah ini
adalah 18,3% dari semua jumlah kaum buruh di dalam totalnya.
Gugurlah kini tradisi,
gugurlah segala moral, gugurlah segala kebiasaan anggapan, bahwa sudah p e n g h i d u p a n m e n u r u t k
o d r a t perempuan mendekam di dalam
rumah tangga, gugurlah semua anggapan, bahwa perempuan tak dapat makan kalau
tidak disuap oleh kaum laki-laki. Gugurlah semua faham, bahwa perempuan tidak
dapat dipakai buat pekerjaan masyarakat. Di manakah orang mau berkepala batu
menetapkan penghidupan menurut kodrat perempuan menenun di rumah dan menanak
nasi, kalau perempuan itu sendiri di akhir abad ke-18 dan di abad ke-19 dengan
bermiliun-miliun membuktikan kepada dunia, bahwa ia cakap memegang mesin, cakap
ikut menjalankan teknik, cakap menjadi pekerja industri, cakap campur di dalam
perusahaan?
Di negeri Jerman saja di
dalam tahun 1882 sudah ada 4.250.000 kaum buruh perempuan, di dalam tahun 1895
lebih dari 6.500.000 orang, dan di dalam tahun 1907 jumlah ini telah menjadi
9.500.000 orang!
Memang sebelum di Eropa
ada aturan-aturan yang melindungi kaum buruh, sebelum di situ ada undang-undang
per-buruhan,
maka kaum perempuan dan anak-anak itulah yang p a l i n g l
a k u sebagai kaum buruh. Apa sebab? Tak lain tak bukan, justru karena tabiat
tunduknya dan nerimonya perempuan yang telah menjadi
darah-daging-tulang-sungsum itu. Kaum perempuan lebih menurut, lebih sabar,
lebih takut, lebih murah, lebih mengetahui kewajiban, daripada kaum buruh
laki-laki. Yang tersebut belakangan ini selalu besar mulut, sering mabuk,
sering memberontak, dan - mahal upahnya! Upah satu orang laki-laki boleh
dipakai buat dua orang perempuan, dan mesin tenun dan mesin pintal memang lebih
sempurna dijalankan oleh tangan perempuan yang lebih halus daripada tangan
laki-laki. Itulah sebabnya, maka akibat revolusi industri di Eropa itu yang
paling dulu tampak ialah sangat lakunya tenaga kaum perempuan sebagai kaum
buruh. Revolusi di dalam cara produksi masyarakat menyebab-kan revolusi
menghancur-leburkan adat memingit kaum perempuan!
Dan bukan di Eropa saja!
Industrialisme itupun menjalar ke Timur, ke seluruh Asia, walaupun agak
terlambat. Sejak pertengahan abad ke -19 sudahlah industrialisme ini
mulai meng-hantam pula tembok beton penutupan perempuan di dunia Timur. Juga di
dunia Timur orang pada waktu silamnya abad ke-19 itu mulai melihat
perempuan-perempuan dan anak-anak keluar dari tutupan rumah tangga, masuk ke
dalam paberik tenun, paberik gula, paberik teh, atau ke dalam kebun-kebun
”kontrakan”. Juga di dunia Timur gugurlah lambat-laun segala belenggu-belenggu
tradisi, segala faham-faham dan moral-moral yang mau terus menetapkan perempuan
itu sebagai makhluk tutupan di rumah. Di negeri-negeri yang tidak terlalu keras
ikatan agama, maka kaum buruh perempuan segera menjadi barang yang biasa. Di
India, di Tiongkok, dan terutama sekali di Nippon, permasyarakatan ini berjalan
dengan cepat. Tetapi di lain-lain tempat masih keras juga ikatan belenggu
tradisi. Meredith Towsend, yang dulu membuat perbandingan antara kedudukan
perempuan di pelbagai negeri-negeri Asia, mengatakan bahwa, walaupun
perempuan-perempuan Nippon masih saja dihina dan ditindas oleh kaum laki-lakinya,
mereka toh masih agak bagus kedudukannya kalau dibandingkan dengan kedudukan
perempuan di beberapa bagian negeri-negeri Islam. Hukum-hukum Qur’an yang
mengasih kedudukan baik kepada mereka itu, diabaikan orang sehingga seperti
huruf mati belaka kalau melihat praktek penindasan sehari-hari. Faham-faham
yang asal-nya dari zaman kaum kolot, masih ditegakkan orang di banyak bagian
negeri-negeri Islam. Tetapi,- bagi siapa yang mempelajari gerak masyarakat dan
sejarah, dan cukup lebar-lebar matanya untuk membanding-bandingkan
tingkatan-tingkat-an masa dan sejarah, bagi dia tampak pula, bahwa kaum kolot
itu sebenarnya memperjoangkan satu perjoangan yang kalah. Juga di negeri-negeri
Islam, proses masyarakat ini akan menghancurkan anggapan, bahwa penghidupan
menurut kodrat perempuan hanyalah ”melahirkan anak-anak, serta menjadi penjaga
yang setia dari rumah tangga saja.”.
Juga di negeri-negeri
Islam proses masyarakat ini menghela, menarik, mendorong perempuan itu ke dalam
gelanggang pergolakan masyarakat, menaikkan derajat perempuan itu menurut
tinggi bagiannya di dalam proses produksi masyarakat. Sebab di dalam hal ini
tiadalah perbedaan antara kekuatan tenaga proses masyarakat di Timur dan di
Barat.
Yang berbeda hanyalah
temponya belaka, cepatnya atau lambatnya.
Demikianlah pengaruh
industrialisme itu atas nasib kaum perempuan Marhaen di benua Eropa dan Asia.
Tradisi p e n u t u p a n dan
p e n g u r u n g a n dihantam hancur-lebur oleh industrialisme itu,
dan begitu pula tradisi, bahwa hidupnya perempuan harus selalu tergantung
kepada nafkah dari laki-laki. Tetapi industrialisme itu t i d a k menghancurkan
pula tradisi perempuan sebagai k u d a -
b e b a n di dalam rumah-tangga. Tradisi
p e n g u r u n g a n hancur-lebur,
tetapi tradisi b u d a k r u m a h t a n g g a
berjalan terus. Pekerjaan memasak, mencuci; menjahit pakaian yang robek,
memelihara anak,
dan lain sebagainya
masihlah menjadi tanggungan perempuan. Sepuluh, duabelas, empatbelas jam
lamanya kadang-kadang ia musti bekerja di paberik, tetapi sebelum berangkat ke
paberik itu dan sesudah pulang dari paberik itu pula, ia masih harus
berkeluh-kesah bekerja buat pelbagai urusan rumah-tangga. Ia menjadi kuda beban
yang ”d o b e l”, kuda-beban d i p a b e r i k
D A N kuda-beban d i r u m a h
t a n g g a.
Ia mengerjakan pekerjaan
dua orang, pekerjaan produsen di dalam paberik dan pekerdjaan produsen di dalam
rumah tangga.
Orang 1nggeris ada
mempunjai sya’ir yang bunyinya:
Man works from rise to
set of sun
Woman’s work is never
done.
Artinya:
Laki kerja
dari matahari terbit sampai terbenam,
Perempuan
kerja tiada hentinya siang dan malam
1ni sya’ir adalah jitu
sekali buat menggambarkan beban perempuan itu. Betul barang-barang keluaran
paberik kini banyak didjual dipekan-pekan dan kedai-kedai, tetapi ia tak dapat
membelinya semuanya, karena tidak cukup mempunyai uang. Betul industrialisme
itu bagi siapa yang sedikit mampu adalah satu hal yang meringankan hidup di
dalam banyak urusan sehari-hari, tetapi perempuan kaum bawahan itu tidak mampu
membelanjai semua urusan sehari-hari itu. Maka oleh karena itu masih banyak
sekali pekerjaan rumah tangga yang masih tetap menjadi tanggungannya. Tetap ia
masih musti membuat sendiri seribu satu barang yang kecil-kecil. Kedai-kedai
penuh sigaret atau serutu bermacam-macam, tetapi ia masih tetap
menggulung-gulungkan rokok bagi sang suami sampai ayam jantan hampir berkokok.
Toko penuh dengan barang pakaian yang murah-murah, tetapi ia masih tetap
menisik pakaian anaknya yang sudah amoh sampai jatuh tertidur karena tak tahan
lagi kantuk matanya. Kedai dan toko sedia mengasih peringanan hidup macam
macam, asal saja ada uangnya, tetapi justru uang inilah yang ia tak dapat
adakan. Sesungguhnya, - telah hancur tradisi yang membuat dia makhluk pingitan dan
makhluk yang isi perutnya tergantung pada laki-laki saja, tetapi masih tetap
berjalan tradisi yang membuat dia kuda beban di dalam rumah-tangga. Ia
men-dapat kemerdekaan, terlepas dari ikatan tutupan, tetapi kemerdekaan itu
harus dibelinya dengan memikul d u a b e b a n yang hampir mematahkan tulang
belakangnya. Kesehatan tubuhnya selalu terganggu. Menurut statistik, maka
rata-rata setahun-tahunnya orang laki mangkir kerja 43/4 hari, tapi orang
perempuan 71/2 hari. Di Jerman dulu jumlah kaum buruh perempuan yang kena
penyakit tuberculose adalah 3 kali jumlah kaum buruh laki-laki yang kena
penyakit ini. Tak salah-lah perkataan seorang pemimpin perempuan, Lily Braun,
bahwa perempuan di dalam abad ke-19 dan ke-20 itu sama nasibnya dengan ”keledai
kecil yang musti menarik d u a kereta”: kereta rumah tangga dan kereta
pencaharian nafkah. Tetapi lebih jitu adalah perkataan Henriette Roland Holst: ”
j i w a - r a g a n y a a d a l a h r e t a k ” , ” d o o r h a a r
w e z e n l o o p t e e n s c h e u r ”: sepihak musti ingat kepada
rumah tangga, sepihak lagi kepada pencaha-rian nafkah di dunia ramai. Yang satu
tak dapat berjalan dengan tidak merugikan atau mengkonflik kepada yang lain.
Fikirannya, tubuhnya, jiwa-raganya, menjadi terombang-ambing antara dua
kewajiban ini, terbanting-banting antara dua tanggungan ini. Ia menjadi satu
makhluk yang ”senewen”, yang lari dari satu kebingungan ke lain kebingungan,
tersepak sebagai satu bola dari satu goal ke lain goal.
Sebab, meskipun dia sudah
bekerja di masyarakat, yaitu bekerja sebagai produsen masyarakat di dalam
paberik atau di perusahaan lain, - tetap ia seorang Wanita, tetap ia seorang
Isteri, tetap ia seorang Ibu. Tetap ia ingin membahagiakan suaminya, tetap ia
ingin membahagiakan anak-anaknya. Kewajiban terhadap suami dan anak ini, tak
dapat dan tak mungkin ia lupakan. Sebab, kecintaan kepada suami dan kecintaan
kepada anak, adalah memang J i w a W a n i t a. Wanita boleh modern, boleh
”feminis”, boleh menjadi orang pangkat tinggi, atau orang kuli hina-dina yang
limabelas jam sehari membanting tulang di paberik, - tetapi ia tetap Wanita,
yang ingin cinta, yang ingin kasih, yang ingin membahagiakan kepada suami dan
anak. Meskipun badan telah letih seperti remuk, pinggang telah patah karena
cape, - setiba wanita di rumah dari pekerjaan di paberik atau di kebun, ia akan
bekerja lagi, membanting-tulang lagi” memeras keringat lagi, ... buat suami,
...
buat anak. Ia tidak akan
dapat melepaskan diri dari tarikan jiwa
yang demikian itu. Sebab
ia ... wanita! Henriette Roland Holst menggambarkan jiwa wanita ini dengan
kata-kata yang berbunyi:
” D i e p o p d
e n b o d e m v a n
d e z i e l v a n
i e d e r e
v r o u w , l e e f t
d e w e n s n a a r
l i e f d e e n
m o e d e r s c h a p ”.
Artinya: ” D i d a 1 a m
j i w a t i a p - t i a p w a n i t a
y a n g
s e d a l a m - d a l a m
n y a , b e r s e m a y a m k e i n g i n a n
k e p a d a C i n t a
d a n K e i b u a n ”.
Maka oleh karena itu,
bagi perempuan kelas rendahan yang dapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh
di luar rumah, kendati kemerdekaan keluar dari rumah itu, kendati kesempatan
memerdekakan diri dari menjadi tanggungan laki-laki, masih tetaplah
peri-kehidupan baginya berarti satu kegelapan dan satu kepahitan. Belum terbit
matahari baru baginya, yang akan memecahkan kegelapan dan kepahitan itu.
Dan yang tidak mendapat
kesempatan bekerja sebagai kaum buruh? Juga mereka banyak yang menjadi merdeka
pula, tetapi merdeka yang amat sesat: merdeka sebagai sundal. Sundal menjadi
salah satu peristiwa sosial dari zaman industrialisme ini. Havelock Ellis
mengatakan, bahwa abad ke-19 itu adalah ”abadnya sundal”. Tiap-tiap kota besar
di zaman ini adalah ”satu rumah sundal yang amat besar!”.
Bagaimana keadaan kaum
perempuan fihak a t a s a n ?
Juga di sini perempuan
masih saja tersia-sia. Mesin berputar di paberik-paberik, membuat pelbagai
barang yang dulu harus dibuat oleh perempuan di kalangan kaum atasan pula.
Mesin itu memasukkan barang-barang itu ke dalam rumah tangga mereka, tetapi toh
tidak membuat peri-kehidupan mereka menjadi senang. Apa sebab? Bukan di
kalangan kaum rendahan saja, tetapi juga di kalangan amtenar dan kaum
pertengahan dulu perempuan harus memintal dan menenun sendiri, menjahit dan
menyulam sendiri, membuat kuwih dan mengerjakan pelbagai pekerjaan rumah tangga
sendiri, meskipun pekerjaannya itu tentu jauh lebih ringan daripada pekerjaan
perempuan-perempuan di kelas bawahan. Pelayan-pelayan adalah di kalangan kaum
atasan itu buat mengerjakan pekerjaan yang berat-berat. Tapi toh, hidup kaum
perempuan atasan itu dari dulu mula satu ”kehidupan rumah tangga” belaka.
Sekolah-sekolah, kantor-kantor, tempat-tempat dunia ramai, pekerjaan-pekerjaan
sebagai klerk, komis, pemegang buku dsb, tertutup rapat-rapat bagi mereka. Di
rumah tangga saja mereka musti mendekam. Tulisan ”dia saleh dan menenun”,
tulisan batu kubur yang berbunyi demikian itu terutama sekali terdapat pada
kubur-kubur kaum perempuan kelas atasan. Hari yang satu, sama saja dengan hari
yang lain; tiada perubahan sama sekali di dalam mereka punya daftar hidup;
hari-hari mereka duduk saja di dalam kamar kediaman dan kamar tamu,
bercakap-cakap membicarakan hal-hal tetek-bengek, diperlakukan oleh
”ridder-ridder” lelaki sebagai dewi-dewi halus yang selalu perlu ditolong dan
dijaga-jaga. Laki-laki inilah yang mengambilkan saputangan mereka kalau
saputangan-nya jatuh, laki-laki inilah mengangkatkan kursi, kalau mereka hendak
duduk. Mereka diladeni seperti Raja Puteri, seperti Dewi. Tapi dalam pada itu
juga, mereka diperlakukan oleh ”ridder-ridder” itu sebagai makhluk yang tak
cakap hidup sendiri, tak cukup kecerdasan dan kepandaian, tak kuat memikul
pekerjaan pekerjaan masyarakat, tak penuh fikiran dan ingatan.
Di dalam kalangan kaum
atasan inilah, kaum perempuan benar-benar dipelihara dan dijaga-jaga oleh
”ridder-ridder” itu sebagai blasterannya
d e w i d a n s i t
o l o l.
Kini barang-barang
paberik itu masuk ke dalam salon dan boudoir mereka. Mereka tak perlu memintal
benang lagi, tak perlu menenun lagi, tak perlu membuat kuih lagi, tak perlu
membuat obat-obat sendiri lagi. Sebab mereka mampu membeli semua
keperluan-keperluan rumah tangga itu dari paberik dan dari toko. Maka kehidupan
mereka semakin menjadi kosong, waktu mereka semakin banyak yang terluang.
Mereka semakin
”nganggur”. Mau masuk paberik menjadi kuli seperti perempuan bawahan, tak
mungkin baginya, - mereka musti ”jaga nama”, dan upah satu dua picis itupun mereka
tak perlukan sama sekali - mau masuk kantor-kantor atau sekolah-sekolah, belumlah
mereka mendapat pintu yang terbuka, bekerja di paberik sebagai kaum buruh
kasaran mereka tak mau, bekerja di kantor atau di masyarakat sebagai kaum buruh
halusan masih d i t a b u k a n kepadanya. Maka datanglah di dalam hidup mereka
itu satu siksaan pedih, lebih pedih daripada siksaan yang lain-lain; datanglah
kepadanya siksaan ”kesalnya menganggur” siksaan beratnya ”duduk tenguk-tenguk”.
Jeltje de Bosch Kemper, seorang perempuan Belanda, mengeluhkan keadaan yang
demikian ini dengan keluhan: ”Apa yang saya kerjakan dari umur delapan belas
tahun”, ... tak tahulah saya. Tinggal di rumah saja menyulam, menggambar, main
piano, menjahit sedikit, menulis surat, bertamu, jalan-jalan sedikit, ...
Kadang-kadang ada banyak juga hasil pekerjaan itu, tapi kadang-kadang juga
banyak yang tersia-sia”. Inilah keluhan seorang-orang yang menderita penyakit
”verveling” itu. Adakah keadaan di kalangan atasan dari perem-puan Indonesia
berbeda? Siapa yang membaca kitab R.A. Kartini ”Door duisternis tot licht”,
akan mendapat kesan yang sama: verveling, verveling, dan sekali 1agi verveling!
”Saya tak tahu, bagaimanakah saya dapat melakukan waktu”, begitulah selalu
keluhannya. Maka baik di dunia Eropa, maupun di dunia Indonesia, ” p u t e r i
– p u t e r i ”, yang terlalu banyak tempo, menganggur ini, menjadi ”mesin
ngomong” yang paling jempol, tukang ngobrol yang paling ulung, yang hari-hari,
dari pagi sampai sore, dari sore sampai malam, pekerjaannya cuma meng-obrol
saja tiada putusnya, mengobrol tentang kucing, tentang meja, tentang kuih,
tentang baju, tentang bedak, tentang seribu satu hal tetek-bengek. Dan terutama
sekali mengobrol tentang ... orang lain!
Dan ada akibat lain pula
daripada keadaan di kalangan kaum atasan yang saya gambarkan itu: yakni akibat
”gadis sukar laku”, dan ”laki-laki kawin tua”. Perempuan-perempuan atasan yang
tidak dikasih kesempatan untuk mencari nafkah sendiri itu, (di paberik tidak
dan di kantorpun tidak), sama sekali menjadi tanggungan bapanya atau
sanak-saudaranya jang laki-laki. Tiap-tiap orang laki-laki di rumahnya ada
”menyimpan” beberapa ”biji” dari mereka itu: adik, atau saudara sepupu, atau
bibi, yang harus ia tanggung sama sekali hidupnya.
Benar di zaman dulu-pun
begitu. Tetapi sekarang puteri-puteri ini tidak 1agi berarti penting sebagai
produsen di rumah tangga, yakni tidak berarti penting sebagai pembantu di rumah
tangga. Dulu mereka yang menenun kain, dulu mereka yang menjahit pakaian, dulu
mereka yang membuat makanan. Dulu mereka produktif. Kini sebagai akibat
produksi barang dagangan, maka kain dibeli dari toko, pakaian dijahit oleh
tukang menjahit, kuih-kuih banyak dibeli sudah matang. Dan segala itu dengan u a n g , - uang orang l
a k i - l a k i. Tanggungan orang laki-laki naik. Segala hal dialah yang musti
mengongkosi, segala hal dialah yang musti bayar. Ia menjadi takut kawin, takut
mendirikan somah sendiri, di mana masih begitu banyak ”embel-embel” yang musti
ia tanggung. Gadis-gadis tidak banyak yang meminangnya, mereka banyak yang
menjadi ”gadis-tua” yang selalu menertawakan segala hal yang tetek-bengek.
Ya, alangkah celakanya
nasib ”puteri-puteri” dan ”nyonya-nyonya” itu! Mereka menjadi satu peristiwa
masyarakat! Edward Carpenter, yang di muka sudah saya kutip perkataanya,
menulis-kan satu petikan dari kitab: ”Het Vrouwenvraagstuk”, yang menggambarkan
hidup puteri-puteri di negeri Inggeris di abad yang silam: tiap-tiap orang
dapat melihat ratusan puteri-puteri itu, boneka-boneka yang berpakaian bagus -,
duduk di muka jendela masing-masing, semuanya matanya memandang kepada
pita-pita berwarna yang ada di dalam tangannya:
Duduk di muka jendela
dengan berbedak dan berdandan seperti boneka, sambil tiada lain ”kerja”
melainkan mengatur pita! Ingatkah tuan-tuan kepada puteri-puteri Indonesia yang
juga berbedak dan berdandan seperti boneka, duduk di serambi rumah dan ”rajin
bekerja”, -
misalnya menyongket renda
kain tempat-tidur?
Siapakah yang lebih
celaka, si perempuan rendahan yang ”senewen” karena terlalu banyak kerja, atau
”boneka-boneka” ini? ”Nyonya, dan perempuan rendahan yang bekerja seperti kuda
beban di rumah tangga, dan sundal - itulah tiga type perem-puan yang keluar
dari proses masyarakat yang dahulu, muncul ke dalam masyarakat yang sekarang,
dan sukar bagi kita untuk mengatakan, siapa dari mereka itu yang paling menyimpang
dari cara hidup yang diingini oleh tiap-tiap perempuan di dalam hatinya”,
begitulah Edward Carpenter tadi itu berkata.
Tetapi lambat-laun
datanglah perubahan juga di dalam kalangan kaum atasan itu. Lambat-laun urusan
ekonomi mendesak pula kepada kaum laki-laki yang musti menanggung segala ongkos
rumah tangga itu. Mendesak kepada mereka untuk mengangkat hukum tabu yang
menutup pintu kantor, pintu perusahaan, pintu sekolah, bagi kaum perempuan itu.
Lambat-laun kaum puteri sendiripun dengan pergerakan
f e m i n i s m e
mengadakan desakan yang maha hebat kepada kaum laki-laki, untuk mengangkat tabu
yang menolak mereka dari proses masyarakat itu. Lambat-laun kaum laki-laki
sendiri merasa beratnya menanggung hidupnya keluarga-keluarga perempuan yang di
dalam segala-galanya harus ditulung itu, dan merasa manfaatnya kalau
perempuan-perempuan ini tidak lagi lemah, tidak lagi seperti makhluk tidak
berjiwa, tidak lagi menadahkan tangannya saja ke langit dan ke kaum laki-Iaki,
tetapi dapat mencari nafkah hidup sendiri-sendiri. Lambat-laun puteri-puteri
itu diijinkan masuk sekolahan-sekolahan dan madrasah-madrasah, masuk
kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan, menjadi guru, dokter, insinyur,
adpokat. Lambat-laun berubahlah idam-idaman laki-laki tentang perempuan yang
telah ratusan dan ribuan tahun terpaku di dalam angan-angannya itu. Kini
idam-idaman itu bukan lagi perempuan yang seperti sutera, yang lemah-lembut,
menadahkan tangan kepadanya dan memandang kepadanya sebagai memandang kepada
seorang Maha Dewa, memohonkan tolong dan perlindungan, - kini idam-idaman
laki-laki bergantilah menjadi: perempuan yang ”sportif”, yang cakap, yang tak
selalu butuh pertolongan, yang dapat meringankan bebannya. Perempuan-perempuan
yang demikian itulah, - gadis-gadis yang riang, sigap, sehat, sportif, cakap
bicara, ”sedikit kurang-ajar”, tangkas sebagai rusa betina, - klerk-klerk, juru
tik-juru tik, guru-guru, studen-studen wanita, dsb. - perempuan-perempuan yang
demikian itulah yang kini paling dapat memikat hati orang laki-laki.
Perempuan-perempuan yang demikian itulah yang kini paling banyak harapan segera
mendapat jodo. Tetapi yang tidak begitu, yang ”model kuno”, terpaksa terus
hidup kehidupannya yang sediakala, tersia-sia menunggu-nunggu datangnya seorang
jejaka, sampai ia sendiri menjadi gadis tua yang layu dan hilang keelokan dan
kesegarannya.
Tetapi masyarakat
kapitalistis sekarang inipun t i d a k selalu mengasih kesempatan bekerja
kepada semua orang yang mau bekerja, t i d a k selalu mengasih kesempatan kawin
kepada semua orang yang mau kawin. Di dalam bab II telah saya terangkan hal ini
sedikit-sedikit.
Maka oleh karena itu,
masih banyak sekali gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang tidak mendapat
suami, - kendati ketangkasan, kendati kesportifan, kendati kecakapan. Meskipun
cakap, meskipun tangkas, meski-pun telah berdiploma, belum tentu itu menjadi
jaminan akan mendapat seorang suami. Hanya yang paling jempol sajalah, yang
paling cakap, yang paling cantik, yang paling menarik, yang paling
ber-”sex-appea1”, mempunyai harapan akan mendapat jodo. ” S t r u g g l e f o r
l i f e ” kini juga menjadi ” s t
r u g g l e f o r m a n ”. Maka oleh karena itu, timbullah, -
mula-mula di Amerika di mana ”cari suami” itu yang paling susah -, satu
pergerakan ”menambah kecantikan”, satu
m a k e - u p - m o v e m
e n t , yang maksudnya mempelajari dan
mempraktekkan, betapakah cara mustinya perempuan menarik hati kaum laki-laki.
Menghaluskan kulit, mengatur rambut, memerahkan bibir, memilih warnanya bedak,
mencabut bulu alis supaya alis ini menjadi kecil seperti bulan tanggal satu,
menentu-kan warna creme dan menyapukan creme, mengatur badan waktu duduk,
menggerakkan badan waktu berjalan, itu semua-nya menjadi satu ”ilmu”, yang
siang dan malam berputar di dalam otaknya perempuan-perempuan fihak atasan itu.
Roman muka dan tingkah laku perempuan itu menjadi berubah sama-sekali. Kulit
jelita, bibir merah dan alis melengkung, bukan lagi satu hadiah alam yang
terdapat pada satu dua perempun saja, tetapi menjadi milik tiap-tiap hidung yang
mampu membelinya. Kadang-kadang sungguh menarik benar perempuan-perempuan yang
telah di ”make-up” itu, tapi kadang-kadarig juga menjadi-lah mereka itu justru
seperti ”hantu”, karena ”cap” di atas muka mereka itu terlalu melebih-lebihi
batasnya kesederhanaan! Tetapi sebagai satu
p e r i s t i w a s o s i a l adalah ini akibat dari masyarakat
yang di situ ”struggle for man” menjadi sukar sesukar-sukarnya. Juga di
Indonesia, ini ”movement”, walaupun sebab-sebabnya yang dalam tidak diinsyafi oleh
tiap-tiap orang, sudah mulai menjalar, tentu saja di bawah pimpinan beberapa
nyonya dari kalangan atasan!
Jadi: juga di kalangan
perempuan atasan, dunia belum menjadi satu sorga, walaupun pada umumnya sudah
banyak hasil pergerakan feminisme itu.
Ya, sekali lagi, walaupun
pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu! Di kebanyakan negeri
Eropa perempuan sudah boleh menjabat pelbagai pekerjaan di dunia ramai, sudah
banyak yang masuk sekolah tinggi dan menjadi wartawan, peniaga, insinyur,
dokter, adpokat. Di banyak negeri Eropa perempuan malahan sudah mendapat
hak-hak p o l i t i k yang sama dengan kaum lelaki, sehingga banyak dari mereka
telah menjadi anggota dewan haminte, dewan propinsi atau dewan parlemen. Tetapi
kendati hasil-hasil baik dari perjoang-annya ini, juga pada mereka dirasakan
oleh mereka sendiri adanya satu s c h e
u r. Juga pada mereka ada satu ”retak”, tetapi satu retak yang berbeda sedikit
daripada retak di kalangan perempuan kaum buruh. Di kalangan kaum buruh itu
retaknya ialah: terombang-ambing dan terbanting-banting antara dua tanggungan,
tanggungan mencari nafkah di luar, dan tanggungan mengurus rumah-tangga,
terbanting-banting antara tanggungan sebagai pekerja masyarakat, dan tanggungan
sebagai isteri dan ibu di rumah-tangganya. Bagi perempuan kaum buruh itu,
sebenarnya adalah satu ideal, satu keinginan jiwa yang maha tinggi: ingin
merdeka di dalam masyarakat dengan jalan ikut menjadi produsen masyarakat, dan
ingin menjadi isteri dan ibu yang mencinta, mengasih, menyayang, memelihara
suami serta anak-anak menurut kodrat alam. Tetapi tidak satu dari dua keinginan
ini dapat ia capai dengan sempurna, tidak satu dari dua ideal ini dapat menjadi
satu realitas baginya.
Sebab di dalam masyarakat
kapitalistis sekarang ini, sempurnanya pelayanan dua kewajiban ini adalah
terlalu membebani kepadanya, terlalu berat bagi tenaganya satu orang, sehingga
ia menjadi ”senewen” dan patah tulang belakang: Mau melepaskan kerja di dalam
masyarakat tak dapat, sebab, itu berarti hilangnya sesuap nasi dan hilangnya
kemerdekaan; mau melepaskan suami dan anak-anak tak mungkin, sebab, itu adalah
bertentangan dengan kodrat dan keinginan jiwa. Begitulah gambarnya retak yang
membelah jiwa-raga perempuan kaum bawahan menjadi dua belahan yang
terombang-ambing satu sama lain.
Bagaimanakah retak
perempuan kaum atasan? Juga di sini ia kini telah banyak menjabat pekerjaan
masyarakat. Juga di sini ia telah banyak bekerja di luar rumah tangga. Juga di
sinipun ia, selain memikirkan kerja di masyarakat itu, h a r u s juga memikirkan kerja sebagai isteri dan
sebagai ibu. Tetapi manakala dua pekerjaan ini di kalangan kaum buruh
mendatangkan ”senewen”, maka di kalangan atasan hanyalah mendatangkan ”rasa
kurang puas” sahaja. Sebab perempuan atasan itu
di rumahtangganya cukup mendapat
bantuan, bantuan alat-alat teknik sebagai gas dan listrik, bantuan harta yang
dapat membeli semua keperluan, dan bantuan pelayan-pelayan yang tinggal
memerintah saja. Ketidakpuasan yang ia rasakan itu bukan ketidakpuasan karena
”patahnya tulang belakang”, tetapi adalah ketidakpuasan
t e r g a n g g u n y
a w a k t u untuk menumpahkan cinta kasih kepada suami dan
terutama sekali kepada anak-anak, sebagai panggilan jiwanya dan panggilan
kodratnja. Kerja di masyarakat itu menjadi satu halangan baginya buat
kesempurnaan kehidupan laki-isteri anak, satu rintangan bagi k e h i d u p a n l a k i - i s t e r i yang sempurna dan bahagia.
Dan bukan saja rintangan
bagi kesempurnaan kehidupan laki-isteri manakala kehidupan itu s u d a h
a d a , - artinya: manakala s u d
a h hidup berlaki-isteri, s u d a h
ada suami, s u d a h ada anak -, tetapi bagi banyak kaum perempuan
atasan kehidupan laki-isteri inipun satu hal yang susah didapatnya. Bagi banyak
kaum atasan, sebagai tadi sudah saya katakan, mendapat suami masih satu teka
teki, - sehingga timbul peristiwa ”gadis-tua” dan ”make-up movement”. Maka oleh
karena itu, kini, sebagai reaksi atas keadaan yang demikian itu, bukan lagi
kerja di dalam masyarakatlah yang menjadi tujuan dan cita-cita, tetapi kehidupan
laki-isteri y a n g b a h a g i a . Bersuami, beranak, berumah tangga bahagia,
itulah kini idam-idaman yang pertama, keinginan jiwa yang paling tinggi. Kini
timbul satu aliran baru di kalangan kaum perempuan atasan itu, yang mengatakan,
bahwa feminisme tak cukup untuk mendatangkan kebahagiaan. Kini timbul aliran
n e o - f e m i n i s m e
, feminisme baru, yang menganggap
pekerjaan masyarakat itu ”nomor dua”, tetapi perkawinan, menjadi ibu,
memimpin keuarga nomor satu.
Sebelum kita lebih lanjut,
izinkanlah saya nanti dalam bab IV lebih dulu mengulangi hal matriarchat dan
patriarchat dengan kupasan yang sedikit lebih lebar. Sebab hanya dengan
mengerti betul-betul matriarchat dan patriarchat itulah kita akan dapat
mengerti sebab-sebabnya segala kesusahan-kesusahan yang diderita oleh kaum
perempuan. Sudah barang tentu kupasan itu tak dapat bersifat lebih daripada
satu ”peninjauan” saja, satu orientasi. Bukan tempatnya kitab ini mengupas soal
itu terlalu dalam. Buat kupasan yang dalam itu, perlu satu buku tebal yang
spesial!
Maka sekarang kita, di
dalam perjalanan ”dari gua ke kota” itu, sudah menginjak halaman zaman kita
sendiri. Dengan cara ikhtisar, kita sudah mengikuti sejarah Sarinah, dari zaman
kelompok sampai ke zamannya radio dan lampu listrik. Satu kali kita melihat
Sarinah di atas puncak kemuliaan, satu kali ia menjadi cakrawarti dunia, yaitu
di zaman berkem-bangnya sistim matriarchat. Tetapi di bagian yang lain-lain, di
dalam kelompok, di zaman histori tua, di zaman histori baru, di zaman histori
paling baru, - di semua bagian-bagian sejarah itu Sarinah selalu menjadi
makhluk yang celaka, makhluk yang selalu dikalahkan kaum laki-laki, makhluk
yang teperdaya. August Bebel di dalam bukunya ”Die Frau und der Sozialismus”
berkata, bahwa perem-puan adalah ’makhluk yang paling dulu diperbudak”. Tetapi
di lain tempat, di dalam majalah ”Neue Zeit”, ia pernah berkata pula, bahwa
perempuan itu adalah ”makhluk jang diperbudak s e l a m a - l a m a n y a”.
Kecuali perkecualian di
zamannya matriarchat itu, maka benar sekali perkataan Bebel ini. Mungkin-kah
datang satu waktu, di mana ia akan hidup merdeka kembali? Ataukah sudah memang
”kodrat” perempuan, hidup di bawah telapak laki-laki?
BAB IV
MATRIARCHAT
DAN PATRIARCHAT
Satu kali perempuan berkedudukan
mulia, yakni di zaman berkembangnya matriarchat. Adakah ini berarti, bahwa
kita, untuk kemuliaan perempuan itu musti mengharap diadakan kembali sistim
matriarchat itu?
Anggapan yang demikian
ini adalah anggapan yang salah, walaupun misalnya orang perempuan sekalipun
yang ber-anggapan begitu.
Sering sekali ada
perempuan menanya kepada saya: tidakkah lebih baik bagi kami sistim peribuan
itu daripada sistim yang sekarang ini?
Sebab, tidakkah di dalam
sistim peribuan itu perempuan berkedudukan mulia? Saya selalu menjawab: Jangan
tertarik oleh nama saja!
Buangkan fikiran yang
demikian itu dari ingatan saudara! Pertama oleh karena kita harus mencari
keselamatan masyarakat seumumnya, dan tidak keselamatan perempuan saja; kedua
oleh karena matriarchat itu adalah hasil perbandingan-perbandingan masyarakat
yang k u n o dan tidak dapat
diadakan lagi di dalam masyarakat sekarang; dan ketiga oleh karena tidak
selamanya peribuan itu mengasih tempat mulia kepada kaum perempuan.
Lebih dulu marilah kita
ingati, bahwa perkataan Bachofen, bahwa di mana saja ada hukum peribuan, di
situ pasti kedudukan perempuan tinggi dan mulia, sudah dibantah oleh ilmu
pengeta-huan: hukum peribuan ada yang membawa kemuliaan bagi perempuan, tetapi
ada juga yang tidak membawa kemuliaan bagi perempuan. Sebab, apakah hukum
peribuan itu pada asalnya? Hukum peribuan pada asalnya hanyalah satu aturan
untuk menjaga, jangan sampai manusia-manusia dari satu kekeluargaan hantam
kromo saja kawin satu sama lain, sehingga hantam kromo pula turunannya
bercampuran darah. Ia adalah reaksi kepada kebiasaan Promiskuiteit (pergaulan
laki-perempuan hantam kromo) yang di situpun pergaulan laki-laki perempuan tak
mengenal batasnya ibu, anak, dan saudara. Oleh sistim peribuan itu lantas
ditentukan, bahwa hanya laki-laki dari l
a i n g e r o m b o l a n saja yang boleh berkawin dengan seseorang
perempuan, dan turunannya dihitung
m e n u r u t g a r i s p
e r i b u a n dan menjadi hak perempuan
itu. Hanya ini sajalah asalnya maksud hukum peribuan itu, dan tidak lain.
”Aturan ini tidak tentu membawa kedudukan perempuan yang lebih baik dan lebih
merdeka; di dalam banyak sekali suku-suku yang memakai aturan peribuan
kedudukan perempuan sama sengsaranya dengan kedudukan perempuan di dalam
suku-suku yang memakai aturan perbapaan”, begitulah Henriette Roland Holst
berkata. Begitu pula pendapat Mrs Ray Strachey. Beliau mengatakan, bahwa
peribuan itu ”kadang-kadang mendatangkan perbudakan perempuan, kadang-kadang
pula mengekalkan milik-milik dan kekayaan-kekayaan di dalam tangannya, sehingga
ia lantas mendapat satu kedudukan yang lebih berkuasa”. Muller Lyer pun
berpendapat begitu, dan begitu pula ahli-ahli penyelidik lain seperti Schurz,
Eisler dll.
Hanya di mana hukum
peribuan ini menjadi pemerintahan peribuan, menjadi gynaeco-creatie, menjadi
matriarchat, menjadi sistim
p e m e r i n t a h a n -
ibu, maka di situlah perempuan berderajat, di situlah perempuan bermartabat
tinggi. Tetapi kitapun tidak boleh lupa memikirkan dan menanya: Apa sebab
pernah terjadi satu masa, yang
p e r e m p u a n yang berkuasa, dan tidak laki-laki? Sebabnya
ialah, oleh karena pada bagian pertama dari zaman pertanian itu, perempuanlah
produsen masyarakat yang terpenting. Dialah yang mengerjakan dan memimpin
pertanian, dialah yang menggenggam nasib perekonomiannya gens. Kalau dia tidak
bekerja, laparlah semua orang. Maka kedudukan sebagai produksi pokok itulah
yang menjunjung derajatnja; harganya sebagai pengasih hidup kepada
anggota-anggota gens itulah yang mengangkat namanya. Bukan hukum peribuan,
bukan sesuatu hukum, bukan sesuatu timbangan moral, yang menjadi sebab
kedudukannya penting. Sebaliknya, hukum peribuan, moral, hukum itu, adalah a k i b a t daripada kedudukannya yang penting itu.
Maka oleh karena itu, tak
dapat matriarchat itu datang kembali, kalau kedudukan perempuan sebagai
produsen masya-rakat tidak menjadi terpenting lagi seperti dulu. Mungkinkah
ini? Mungkinkah zaman pertanian cara dulu balik kembali? Atau mungkinkah datang
lagi satu sistim produksi masyarakat, yang kaum perempuan saja menjadi
pokoknya? Pembaca boleh mengharapkan segala hal, boleh memasang cita-cita yang
setinggi langit, tetapi jangan mengharapkan arah evolusi masya-rakat berbalik
kembali. Pembaca boleh mengharapkan susunan masyarakat yang lebih baik,
kedudukan manusia yang lebih layak, penghargaan kepada manusia satu sama lain
yang lebih adil, tetapi janganlah pembaca mengharapkan jarum masyarakat
diputarkan mundur. Sebab harapan yang demikian itu adalah harapan yang
mustahil, harapan yang kosong. Masyarakat tak dapat diharap balik kembali
kepada tingkat yang terdahulu, - tiap-tiap fase yang telah diliwati oleh
perjalanan masyarakat, sudahlah termasuk ke dalam alamnya ”kemarin”. Pertanian
kini bukan alam orang perempuan saja, dan fase pertanian itupun sebagai fase
kemasyarakatan sudah terbenam di dalam kabutnya ”zaman dahulu”. Kini fase
masyarakat adalah fase kepaberikan, fase permesinan, fase industrialisme. Tidak
dapat fase industrial-isme ini lenyap lagi untuk balik kembali kepada fase
pertanian, dan tidak dapat pula di dalam industrialisme ini perempuan saja yang
memegang kendali produksi! Perempuan dan laki-laki, laki-laki dan perempuan,
kedua-duanya menjadi produsen di dalam industrialisme itu. Maka oleh karena
itu, juga di dalam masyarakat sekarang ini matriarchat tak dapat datang
kembali.
Saudara barangkali
bertanya, tidakkah di Minangkabau kini ada matriarchat? Pembaca, di Minangkabau
sekarang sudah tidak ada lagi matriarchat, yang ada hanyalah restan-restan dari
hukum peribuan saja, yang makin lama makin lapuk. Hak keturunan menurut garis
peribuan masih ada di situ, perkawinan eksogam (mencari suami dimustikan dari
suku lain, tidak boleh dari suku sendiri) masih diadatkan di situ,
hak
harta pusaka tetap tinggal di dalam lingkungan ibu masih ditegakkan di situ, tetapi
matriarchat sudah lama lenyap, sejak pemerintahan Bunda Kandung di Pagar
Ruyung. Yang masih ada hanyalah runtuhan-runtuhan saja dari hukum peribuan,
sebagaimana runtuhan-runtuhan ini juga terdapat pula di beberapa daerah di luar
Minangkabau di daerah-daerah Lampung, daerah-daerah Bengkulu, di daerah
Batanghari, di Aceh, di Mentawai, di Enggano, di Belu, di Waihala, di Sulawesi
Selatan, dll, - dan di luar Indonesia pada beberapa suku Indian di Amerika
Utara, di kepulauan Mariana, di beberapa bagian kepulauan Philipina, di
Oceania, di beberapa daerah Neger, dll. Perhatikan pembaca, restan-restan hukum
peribuan ini (kecuali di Minangkabau) hanyalah terdapat pada bangsa-bangsa yang
masih sangat terbelakang saja, dan tidak pada bangsa-bangsa yang sudah cerdas
dan tinggi evolusinya serta kulturnya! Maka sebenarnya hukum peribuan di
Minangkabau itu adalah r e s t a n - r e
s t a n dari Minangkabau tingkat rendah,
dan bukan milik Minangkabau tingkat sekarang. Siapa mau memelihara hukum
peribuan itu di Minangkabau sekarang ini, dia adalah memelihara restan-restan
Minangkabau tingkat rendah, memelihara sisa-sisa bangkai periode kultur yang
telah silam. Dia dapat kita bandingkan dengan orang yang menghiaskan bunga
melati di sekeliling muka gadis cantik yang sudah mati: Cantik, merindukan,
memilukan, menggoyangkan jiwa, tetapi - mati!
Memang tak dapat
dibantah, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masa yang telah silam.
Lihatlah, di dalam kitab agama bahagian yang tua-tua saja terdapat hukum
peribuan itu, bukan di dalam kitab agama yang dari zaman yang kemudian: di
dalam Perjanjian Lama, Genesis 2,24 ada tertulis: ”Maka oleh karena itu, orang
laki-laki akan meninggalkan bapa-nya dan ibunya, dan bergantung kepada
isterinya, dan mereka akan menjadi satu daging”. Benar kalimat ini terdapat
juga di Perjanjian Baru (misalnya Mattheus 19,5 dan Markus 10, 7), dan
diartikan sebagai kesetiaan laki-laki kepada isterinya, tetapi asal-asalnya
nyatalah dari kitab Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama pula, Numeri
32,41 ada diceritakan hal yang berikut: Yair mempunyai bapa yang asalnya dari
suku Yuda, tetapi ibunya Yair adalah dari suku Manasse, maka dengan nyata Yair
di situ disebutkan ”ibnu Manasse”, dan mendapat warisan dari suku Manasse itu.
Begitu pula di dalam Nehemia 7,63: Di sini anak-anak seorang pendeta yang
beristerikan seorang perempuan dari suku Barzillai, dinamakan anak-anak
Barzillai, jadi menurut nama suku ibunya. Tidakkah, sebagai di muka saya
sebutkan juga, Nabi 1sa masih disebutkan Isa Ibnu Maryam?
Di dalam kitab sejarah
dunia Dr. Jan Romein, jilid I, diterangkan dengan yakin, bahwa peradaban kuno
di kanan kiri sungai-sungai Nil dan Tigris-Eufrata, ratusan, ribuan tahun
sebelum zaman Nabi 1sa, adalah timbul dari aturan-aturan matriarchat. Semua itu
membuktikan, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masyarakat kuno, timbul
dari perbandingan-perbandingan s o s i a
l - e k o n o m i s di masyarakat kuno.
Ia adalah tiugkatan atas rohaniah perbandingan produksi di masyarakat kuno, yang
t i d a k dapat diadakan lagi di suatu masyarakat
sekarang, di mana perbandingan sosial ekonomis adalah lain. Dan sejarah
duniapun membuktikan, bahwa hukum peribuan itu sepanjang jalannya sejarah yang
ratusan, ribuan tahun itu, makin lama makin surut, makin lama makin tak laku,
makin lama makin lenyap.
Di mana sekarang masih
ada hukum peribuan, - di Minangkabau atau di Oceania, di beberapa daerah Neger
atau di kepulauan Philipina, di Mentawai atau di Amerika Utara, - di mana
sekarang masih ada hukum peribuan itu, itu tak lebih daripada sisa-sisa belaka,
runtuh-runtuhan belaka daripada sebuah gedung kuno yang berabad-abad lamanya
selalu diubah, dihantam, digempur oleh zaman. Maka siapa ingin menghidup-kan
kembali atau memelihara hukum peribuan itu, dia adalah mau menghidupkan kembali
atau memelihara sebuah bangkai. Dia adalah menuju arah yang bertentangan 180
derajat dengan arah tujuan evolusi masyarakat; dia adalah reaksioner; dia
adalah sosial reaksioner.
Bukan dengan menghidupkan
kembali atau memelihara restan-restan matriarchat lah caranya kita musti
memerdekakan perempuan dari perbudakannya sekarang ini, bukan dengan
menghidupkan kembali atau memelihara satu sistim yang basis-nya adalah di dalam
fase masyarakat yang zaman duhulu. Kita musti mencari ikhtiar memerdekakan kaum
perempuan itu dengan basis masyarakat sekarang, atau dengan basis masyarakat
yang akan datang. Yang telah silam tak dapat timbul kembali, tetapi yang
sekarang ada, itulah yang kita hadapi, dan yang akan datang, itulah yang akan kita
alamkan. Nyahkanlah segala fikiran-fikiran
p r i m i t i f yang mau kembali
kepada hukum-hukum primitif itu! Sebab kalau tidak, lenyaplah nanti di dalam
kalbu tuan segala harapan, segala cita-cita, segala kegembiraan.
Angan-angan tuan itu
tidak akan tercapai, melainkan sebaliknya akan sia-sia sama sekali, kosong dan
gugur sama-sekali.
Lagi pula: a d a k a h hukum peribuan di Minangkabau itu mengasih
kedudukan baik dan mulia kepada perempuan? Saya kira, semua orang yang telah
pernah berdiam di Minangkabau, atau membaca buku-buku atau uraian-uraian
tentang Minang-kabau, mengetahui, bahwa di sana perempuan belum boleh dikatakan
hidup di dalam sorga. Beberapa akibat hukum peribuan di sana itu ia1ah: banjak
laki-laki meninggalkan Minangkabau untuk ”mancari” ke daerah lain, banyak
perceraian, perempuan susah mencari suami, sukar berkembangnya ekonomi
individuil, dan lain sebagainya.
Ya, kembali lagi kepada
kesalahan Bachofen tadi: hukum peribuan tidak selamanya mengasih kedudukan baik
kepada perempuan! Sebaliknya, manakala ia a d a mengasih kedudukan baik, maka hukum
peribuan itu kadang-kadang dan sering sekali membawa akibat l a k i -l a k i menjadi h a m
b a p e r e m p u a n ! Rudolf Eisler menerangkan
bahwa di dalam hukum peribuan ini ”sering sekali laki-laki musti bekerja
sebagai budak buat perempuan”. Keadaan yang semacam ini tentu bukan keadaan
yang sehat. Satu sistim yang memperbudakkan perempuan tidaklah sehat, satu
sistim yang memperbudakkan laki-lakipun tidaklah sehat. Yang sehat hanyalah
satu sistim, di mana laki-laki d a n perempuan sama-sama merdeka, sama-sama
beruntung, sama-sama bahagia. Maka oleh karena itu, cukuplah kiranya, kalau
saya katakan di sini, bahwa pemecahan ”soal perempuan” itu b u k a n l a h harus kita cari di dalam hukum peribuan dan b u k a n l a h pula di dalam matriarchat, tetapi di dalam
masyarakat yang lain, dengan aturan-aturan yang lain!
Di manakah di zaman dulu
ada hukum peribuan? Boleh dikatakan di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malah
ada suku-suku di zaman dulu itu, yang hukum peribuannya dilukiskan dengan
saksama dalam catatan-catatan orang-orang yang mengembara. Misalnya Bachofen
dapat mengetahui dengan saksama semua seluk-beluk hukum peribuan suku Nair di
India beberapa abad yang lalu, karena ia mempelajari catatan-catatan pengembara
bangsa Arab, Partugis, Belanda, Italia, Perancis, Inggeris dan Jerman, yang
mengunjungi daerah Nair itu beberapa abad yang lalu. Boleh dikatakan, di
mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malahan Bachofen mengatakan, bahwa
semua bangsa-bangsa yang primitif adalah berhukum peribuan. Friederich Engels pun
berkata, bahwa hukum peribuan itu satu fase masyarakat yang umum. Pada bangsa
Israil, pada bangsa Mesir, pada bangsa Phunicia, bangsa Etruska, bangsa Lykia,
di semenanjung Iberia, bangsa Inggeris, bangsa Germania tua, bangsa Indian di
Amerika, dan pada semua bangsa-bangsa di benua Asia serta kepulauan Asia dan
Oceania, - di semua tempat itu di zaman purbakala berlaku hukum peribuan itu.
Memang, kalau difikirkan dengan sebentar saja, maka tiap-tiap orang mengerti
apa sebabnya hukum peribuanlah yang menjadi hukumnya orang di zaman itu, tidak
ada hukum lain yang begitu mudah menetapkan dengan pasti keturunan seseorang
manusia, melainkan hukum peribuan ini. ” I b u n y a s i a
n u i a l a h s
i a n u ”.
Sebab, pada waktu itu
keluarga belum bersifat somah seperti sekarang, pada waktu itu satu g e l o m b o l a n laki-laki kawin dengan satu
g e r o m b o l a n perempuan: inilah yang dinamakan ”kawin
gerombolan”. ”Siapa bapa” di situ tidak terang. Karena itu hukum peribuan
menjadi hukumnya orang di waktu itu.
Kemudian daripada kawin
gerombolan ini, datanglah kawin pasangan, di mana perempuan menjadi isterinya s a t u orang laki-laki saja.
Di dalam fase kawin pasangan
inilah (di dalam waktu timbulnya faham milik perseorangan), di dalam kawin
pasangan inilah diadakan hukum perbapaan. Sebagai satu ”perpindahan” antara
kawin gerombolan ke kawin pasangan itu, adalah satu zaman yang membolehkan atau
mengharuskan seseorang perempuan sebelum ia mempunyai suami satu, bergaul
merdeka dengan laki-laki mana saja. Inilah yang oleh setengah ahli di dalam hal
ini dinamakan ”heaerisme”, ”persundalan”, yang sebenarnya berlainan sekali
dengan persundalan yang biasa. Di dalam matriarchat itu perempuan dianggap
sebagai ”ibu sekalian manusia”, yang mengasih hidup kepada semua orang. Tetapi
kini ia akan memelihara satu orang laki-laki saja! Ia musti ”dapat kerugian”
lebih dulu, atau ”bayar
kerugian” lebih dulu! Ia lantas dibolehkan menjalankan ”persundalan” pada waktu
gadis, atau ia musti mengorbankan kegadisannya kepada umum sebelum ia kawin
resmi kepada satu orang laki-laki saja.
Menurut agama di Babylon,
dulu seorang anak dara kalau ia hendak menikah, diwajibkan lebih dulu pergi ke
kuil Mylitta, dan di situ ia musti mengorbankan kegadisannya kepada banjak
laki-laki.
Begitu pula keadaan di
Memphis, di Cyprus, di Tyrus, di Sydonia, di dalam perayaan-perayaan Dewi Isis
di Mesir, di Asia Depan di dalam kuil
Anaitis. Engels berkata: ”Adat kebiasaan yang semacam itu dikerjakan oleh
hampir semua bangsa Asia di antara Laut Tengah dan sungai Gangga”.
Perempuan ibu umum!
Sebelum ia bersuami satu orang saja, ia musti memuaskan semua orang lebih
dahulu!
Sebelum ia memuaskan satu
orang saja, ia musti bayar dulu upeti kepada dewa-dewa. ”Sebab bukan supaya
menjadi layu di dalam tangannya satu orang laki saja, maka perempuan itu
dikaruniai keelokan dan kecantikan oleh alam. Hukum jasmani menolak semua
pembatasan, benci kepada semua perikatan, dan memandang tiap-tiap perkhususan
sebagai satu dosa kepada sifat kedewaan perempuan itu”, begitulah Bachofen
menulis di dalam kitabnya ”Mutterrecht”. Sampai zaman sekarangpun, misalnya di
Flores, di mana saya berdiam hampir lima tahun, ada satu daerah (Keo), di mana
gadis-gadis boleh bergaul dengan laki-laki mana saja yang mereka sukai, dan
yang paling ”jempol” di antara ”gadis-gadis” itu, - jempol memuaskan laki-laki
-, itulah yang nanti paling lekas laku mendapat suami. Di kepulauan Mariana, di
ulu-uluan Philipina, di kepulauan Polynesia, di beberapa suku di Afrika, sampai
sekarang masih berlaku pula adat ini.
Di kepulauan Baleara,
maka belum selang berapa lamanya masih ada adat, yang pada ”malam pernikahan”,
semua keluarga laki-laki dari pengantin lelaki meniduri pengantin perempuan itu
berganti-ganti.
Di Malabar, di uluan
India Belakang, di beberapa pulau lautan Teduh, kepala-kepala agamalah yang
menyelesai-kan pekerjaan ini.
Dan mungkin juga hak
”malam. pertama” yang dulu diberikan kepada raja-raja di Indonesia dan di Eropa,
- di beberapa negeri Eropa sampai silamnya zaman pertengahan masih ada hak ”jus
primae noctis” itu -, pada asalnya haruslah dianggap sebagai ”belian” kepada
dewa-dewa. (kalau-kalau dewa-dewa ini marah karena perempuan menjadi isteri
s a t u orang laki-laki
saja!) Dan tahukah tuan, bahwa sampai di dalam abad ke-15 di Nederland pun
menurut keterangan Murner, tamu-tamu di ”suguh” nyonya rumah atau puteri rumah
pada malam hari?
Ya, perempuan ibu umum!
Tidakkah pada hakekatnya ini suatu anggapan tinggi kepada perempuan itu? Tetapi
tidakkah pula terang kepada kita, bahwa aturan yang demikian ini tidak baik
kita pakai? Maka oleh karena itu, meskipun ada kalanya hukum peribuan itu di
dalam bentuk matriarchatnya mengasih kedudukan yang mulia kepada perempuan,
meskipun di bebe-rapa tempat di dunia sampai sekarang masih ada restan-restan
matriarchat itu di mana perempuan seperti berkedudukan mulia, maka janganlah
matriarchat itu menjadi cita-cita kita dan pedoman kita. Kalau hukum peribuan
itu sampai sekarang belum lenyap sama sekali, itu belumlah menjadi satu bukti,
bahwa dus hukum peribuan itu dapat tegak terus di masyarakat sekarang, dan d u
s boleh dipakai sebagai cita-cita dan pedoman di masyarakat sekarang. Tidak!
Kalau sekarang masih ada hukum-peribuan, maka buat sekian kalinya saya katakan:
itu hanyalah sisa-sisa dan runtuhan-runtuhan belaka dari satu gedung adat yang
telah gugur. Itu hanyalah satu ”kematian yang terlambat”.
Hukum peribuan p a s t i
mati, p a s t i gugur, p a s t i lenyap dari masyarakat industrialisme dan
masyarakat hak milik pribadi sebagai yang sekarang ini, w a l a u p u n ia ulet
nyawa. (Misalnya sampai di zamannya August Bebel (permulaan abad ini) masih ada
hukum peribuan itu di negeri modern, seperti Jermania (di propinsi Westfalen)
di mana si anak mewaris dari ibu, dan tidak dari bapa).
Pembaca barangkali ada
yang ingin tahu, apakah adat satu orang perempuan bersuami banyak (poliandri)
juga disebabkan oleh hukum peribuan? Susah menjawab pertanyaan ini! Mungkin disebabkan
oleh hukum peribuan, mungkin tidak disebabkan oleh hukum peribuan.
Eisler mengatakan, bahwa
poliandri itu ”bukan satu perkembangan yang umum” (bukan satu tingkat perubahan
yang umum). Engels menamakan dia ”perkecualian”, serta, ”hasil-hasil yang mewah
daripada sejarah”. Dan Bebel berkata, bahwa ”belum diketahui orang benar-benar,
perbandingan-perbandingan apakah yang menjadi sebab-sebabnya poliandri itu”.
Tetapi ada hal-hal yang dapat dipakai buat penunjuk jalan di dalam hal mencari
sebab-sebabnya poliandri itu; poliandri didapatkan terutama sekali hanya di
negeri-negeri p e g u n u n g a n y a n g
t i n g g i saja; seperti di Tibet. Di negeri-negeri
pegunungan yang tinggi-tinggi ini, di mana hampir tiada tumbuh-tumbuhan
samasekali, sudah barang tentu sangat berat struggle for life. Maka poliandri
atau persuamian banyak itu, menjadi satu jalan buat mencegah
t e r l a l u b e r t a m b a h n y a j u m l a h
k e t u r u n a n , dengan tidak
merugikan dan menghalangi kepada syahwat laki-laki. Benarkah keterangan ini?
Entah. Ada lain keterangan lagi, yakni yang berikut: menurut seorang penjelidik
yang bernama Tarnowsky, maka udara yang terlalu dingin berakibat melemah-kan
kepada syahwat. (Dikatakan: orang-orang yang naik ke puncak-puncak gunung yang
terlalu tinggi, menjadi lemah syahwatnya, dan syahwatnya ini sekonyong-konyong
menjadi keras kembali manakala mereka turun ke tempat-tempat yang lebih rendah.
Orang-orang di kutub Utara tidak begitu keras syahwatnya seperti orang-orang di
negeri-negeri kanan-kiri khatulistiwa. Orang-orang perempuan di negeri-negeri
dingin kadang-kadang baru pada umur 18 atau 19 tahun mendapat haid, tapi
gadis-gadis di negeri Arabia kadang-kadang pada umur sepuluh atau sebelas tahun
sudah mendapat haid). Maka oleh karena syahwat, terutama sekali syahwat
laki-laki, di negeri-negeri dingin ada kurang, maka tidak merusak kesehatan
perempuan manakala di negeri seperti Tibet itu satu perempuan bersuamikan dua,
tiga, empat, lima orang laki-laki. Jadi di negeri yang sangat dingin tidak
heran kita melihat poliandri, dan di negeri-negeri panas tak heran kita melihat
poligami. Lagi pula, bukan barang yang tidak diketahui umum, bahwa perempuan
yang banjak laki-lakinya itu kurang menjadi hamil daripada perempuan yang
bersuami hanya seorang saja. Lihatlah misalnya kepada sundal. Sundal yang saban
hari menerima syahwat laki-laki sampai lima, enam, se-puluh kali, jarang
menjadi hamil, meski ia tidak minum obat-obatan pencegah hamil atau tidak
mengambil ikhtiar satu juapun untuk mencegah bertumbuhnya benih. Dengan
sebab-sebab yang demikian itu, maka poliandri di negeri-negeri pegunungan
tinggi itu bukan saja tidak merusak-kan kesehatan perempuan, tetapi ada juga
berakibat mengurangi jumlah turunan, yang sangat susah memeliharanya di negeri
yang kurang rezeki itu. Bersangkutan atau tidak bersangkutan poliandri itu
dengan hukum peribuan belum terang kepada kita. Tetapi ternyatalah di sini
sekali lagi kebenaran teori, bahwa moral, anggapan-anggapan tentang sopan dan
tidak sopan, adat lembaga, etik, recht, dan lain-lain sebagainya itu, bukanlah
hasil pekerjaan budi pekerti manusia, tetapi adalah tergantung dan ditetapkan
oleh perbandingan-perbandingan sosial dan materiil.
Di manakah di negeri
tumpah darah kita ini, kecuali Minangkabau, masih ada sisa-sisa hukum peribuan?
Pertama, boleh dikatakan semua daerah-daerah yang berdekatan dengan Minangkabau
itu masih memakai hukum peribuan bagian-bagian dari keresidenan Bengkulu,
bagian-bagian dari Jambi, bagian-bagian dari Palembang. Sudah barang tentu
semuanya itu tidak murni lagi, tidak asli hukum peribuan lagi, melainkan sudah
tercampur bawur dengan hukum-hukum lain, terutama sekali tercampur dengan
syariat Islam. Sebagaimana di Minangkabau hukum peribuan bukan asli hukum
peribuan lagi, maka begitu juga di daerah-daerah ini hukum peribuan bukan asli
hukum-peribuan lagi. Hanya kadang-kadang saya heran melihat ”uletnya” hukum
peribuan itu, seakan-akan syariat Islam tak mudah melenyapkannya. Di negeri
Aceh, misalnya, yang penduduknya begitu teguhnya memeluk agama Islam, masih ada
sisa-sisa hukum peribuan yang belum lenyap! Di situ masih ada daerah-daerah
yang perempuan, sesudah nikah, masih tetap saja menjadi ”haknya” rumah orang
tuanya, sedang suaminya, kalau ia tidak ikut diam di rumah isterinya itu,
datang kepadanya hanya kalau ada keperluan saja. Anak-anak dari perkawinannya
itu tetap di rumah ibunya, ”gampung” anak-anak itu adalah -”gampung” ibunya!
Adat hukum peribuan inilah yang di daerah Semendo dan lain-lain daerah di
Sumatera Selatan menjadi dasar perka-winan ”ambil anak” atau ”cambur sumbai” di
tanah Lampung. Di situ si suami memutuskan pertaliannya dengan bapa ibu
sendiri, dan menjadi ”anaknya” mertuanya, berdiam di rumah mertuanya, bekerja
pada pekerjaan mertuanya. Ia ”ikut” kepada isterinya, ia menyerahkan
anak-anaknya kepada isteri-nya, ia hanyalah bertindak sebagai ”jantan” bagi
isterinya, anak-anaknya menjadi ahli waris isterinya. Terutama sekali kalau
orang hanya mempunyai anak-anak perempuan saja, (jadi tiada anak laki-laki),
maka selalu perkawinan ”cambur-sumbai” ini yang dipilih. Dengan begitu si anak
perempuan itu meneruskan keturunan dan harta miliknya famili, atau dengan
perkataan adat; buat ”tunggu jurai”, buat “menegakkan jurai”. Malahan di daerah
Semendo anak perempuan yang tertua t e t
a p menjadi penunggu dan penegak jurai
itu, meski ia mempunyai saudara laki-laki atau tidak mempunyai saudara
laki-laki. Suaminya wajib ikut kepadanya. Anak-anaknyalah yang meneruskan
jurai, dan bukan anak saudaranya yang laki-laki. Pendek kata, di daerah-daerah
Sumatera Tengah dan sebagian dari Sumatera Selatan, masih nyata ada sisa-sisa
hukum peribuan, begitu pula di Batanghari atas, di Kerinci, dan
tempat-lain-lain.
Di pulau Mentawai masih
ada sisa adat hukum peribuan yang berupa ”hetaerisme” (lihat di muka) antara ”gadis-gadis”
dengan pemuda-pemuda laki-laki, sebelum perkawinan. Di pulau Mentawai itu sama
sekali bukan satu kedurhakaan, kalau seorang ”gadis” sebelum ia mempunyai suami
sudah mempunyai anak, dan pemuda Mentawai tidak pula kecewa hatinya kalau
perempuan yang ia kawin itu sudah mempunyai anak! Begitu pula keadaan di pulau
Enggano. Anak-anak di luar atau di dalam perkawinan, tetap menjadi hak ibunya.
Di Borneo Barat, di Sintang, di pulau Timur (Belu, Waihala) masih ada adat,
yang seorang suami d i w a j i b k a n berdiam di rumah isterinya, dan di Sulawesi
Selatan ada adat ”mapuwoawo” yang menentukan, bahwa anak yang tertua dan yang
ketiga ditentukan menjadi hak ibunya, sedang bapa hanya mendapat hak atas anak
yang kedua atau keempat saya. Malah bukan saja hukum peribuan ada sisa-sisanya
di situ, tetapi juga ada matriarchat: dulu sering-sering di Sulawesi Selatan
orang perempuan dijadikan raja. Di Keo, yaitu di satu daerah Flores,
”gadis-gadis” selalu
bergaul bebas dengan laki-laki, dan ”gadis-gadis” yang paling ”jempol”
memuaskan hati laki-laki, merekalah yang nanti paling besar harapan buat lekas
mendapat suami.
Maka nyatalah dengan
bukti-bukti dari daerah-daerah primitif dari negeri sendiri itu, bahwa hukum
peribuan adalah hukum primitif,
hukum sesuatu rakyat
yang b e 1 u m t i n g g i
t i n g k a t
k e m a j u a n n y a . Hukum yang masih primitif itu tak mungkin baik
buat masyarakat modern, dan pantas diganti dengan hukum yang lebih sesuai
dengan masyarakat modern!
Bagaimanakah hukum
perbapaan? Sebagaimana saya sudah uraikan di muka, maka dibanding dengan hukum
peribuan, adalah hukum perbapaan itu satu k e m a j u a n : dengan hukum perbapaan
dapatlah berkembang s o m a h, dengan
hukum perbapaan dapatlah berkembang indivualisme yang perlu buat berkembangnya
masyarakat.
Marx menamakan
perpindahan dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu satu ”perpindahan yang
paling sesuai dengan kodrat alam”, dan Engels menamakan dia satu “kemajuan
dalam sejarah yang besar”. Hanya sayang sekali, bahwa kemajuan ini dibarengi
dengan perbudakan, perbudakan satu fihak guna menegakkan pertuanannya fihak
yang lain!
Pokok hukum perbapaan itu
digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang amat jitu: ”Ia berazaskan
pertuanan orang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak
yang tak dapat dibantah lagi siapa bapanya; dan perbapaan yang tak dapat
dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nanti harus mewarisi harta
milik si bapa itu”. Saya kira, tidak ada seorangpun, meskipun ia seorang
perempuan, yang akan membantah bahwa p a
d a a z a s n y a hukum perbapaan itu lebih baik bagi
masyarakat daripada hukum peribuan. Ah ya, ada perempuan yang mengatakan hukum
perbapaan itu masih ”berat sebelah”, dan lantas bercita-cita satu hukum yang di
tengah-tengah hukum perbapaan dan hukum peribuan, ada pula yang bercita-cita
campuran hukum peribuan dan hukum perbapaan itu, - tetapi baiklah direnungkan
dengan tenang dan dalam: hukum perbapaan
b u k a n satu hal a d i l atau t i
d a k a d i l, hukum perbapaan adalah
satu hukum yang p e r l u buat evolusi masyarakat. Yang tidak adil bukan hukum
perbapaan itu, melainkan e k s e s - e k
s e s hukum perbapaan itu, ”keliwat-batasan-keliwatbatasan”
hukum perbapaan itu. Ekses-ekses hukum perbapaan inilah nanti akan saya
bicarakan di dalam bab ini juga. Tetapi marilah saya sekarang membicarakan
lain-lain hal dari hukum perbapaan itu lebih dulu.
Sebagai telah saya
terangkan, maka hukum perbapaan ini timbul, sesudah masyarakat mengenal
”milik”, yakni mengenal ” m i l i k
p e r s e o r a n g a n ”.
Laki-laki yang meninggalkan perburuan, menyusun ”milik” itu dengan keringat
sendiri-sen-diri: Peternakan mengasih kekayaan yang berupa hewan, orang-orang
tawanan tidak dibunuh lagi tetapi dijadikan kekayaan yang berupa budak belian,
hasil pertanianpun membesar-besarkan harta pusaka. Untuk menetapkan milik ini
di dalam tangan a n a k - a n a k n y a s e n d i r i , menjaga jangan sampai ia jatuh di tangan
anak-anaknya orang lain, maka diadakanlah hukum perbapaan itu.
Tetapi jangan pembaca
kira, bahwa ia diadakan dengan sekonyong-konyong, dengan sekaligus. Ia adalah
akibat dari satu p r o s e s, sebagaimana
tiap-tiap revolusi masyarakat adalah akibat dari satu
p r o s e s. Ia bukan hasil pemutaran otak seorang-orang
”di suatu malam yang ia tak dapat tidur”, sebagai-mana juga tiada revolusi
masyarakat hasil pemutaran otak ”di suatu malam yang ia tak dapat tidur”. Ia
menurut keterangan Engels (berlawanan dengan Bachofen), sama sekali bukan satu
revolusi yang membuat banyak ribut-ribut, melainkan hanyalah satu perubahan
yang berangsur-angsur tenang. ”Ini”, begitulah ia berkata, ”ini sama sekali
tidak begitu sukar, sebagai yang kita kirakan di zaman sekarang. Sebab revolusi
ini, - salah satu revolusi yang terbesar, yang pernah dialamkan oleh manusia -,
tak harus mengenai seseorang anggota gens yang masih hidup. Semua keluarga gens
itu hidup tetap secara yang sudah-sudah. Hanyalah cukup mengambil satu
keputusan, bahwa d i k e m u d i a
n h a r i turunan anggauta laki-laki
dari gens tinggal di dalam gens itu, tetapi turunan anggota perempuan keluar
dari gens sendiri dan pindah ke gens bapanya. Dengan keputusan .ini, maka sudah
gugurlah aturan keturunan menurut garis ibu serta hukum waris dari ibu, dan
sudah ditegakkan aturan keturunan menurut garis bapa serta hukum waris dari
bapa ... Betapa mudahnya revolusi ini, itu kita dapat lihat pada beberapa
suku-suku Indian, di mana perubahan itu belum selang berapa lama telah terjadi,
atau sedang pula terjadi, buat sebagian karena bertambahnya kekayaan ... dan
buat sebagian lagi karena pengaruh zaman baru serta pengaruh pendeta-pendeta
Nasrani”. Begitulah pendapat Engels. Bachofen lebih percaja kepada perubahan
yang mendatangkan banyak peperangan. Mungkin kebenaran adalah ditengah-tengah:
ada yang tenang, ada yang dengan peperangan. Saya sudah tuliskan di muka, bahwa
ada pula daerah-daerah yang perempuan-perempuannya tidak mau tunduk begitu saja
kepada aturan baru ini, dan ini lah asal-asalnya cerita-cerita atau
dongeng-dongeng A m a z o n e atau Wanita Nusa Tembini. Kalau kita sekarang
datang di negeri kanan-kirinya gunung Kaukasus, kita akan melihat, bahwa masih
amat hidup di ingatan rakyat di situ dongengnya R
a j a P u t e r i T a m a r a, yang
sebagai harimau betina telah memerangi dan menaklukkan banyak raja-raja
laki-laki. Raja Puteri Tamara sampai kini malahan masih diagungkan oleh
rakyat-rakyat Kaukasia. Kecan-tikannya, kebijaksanaannya, kegagahberani-annya,
kesaktiannya sampai kini masih dituliskan di atas pedang-pedang, di
piala-piala, di alat-alat musik, dengan kata-kata, syair-syair serta
pujian-pujian yang berapi-api. Satu nyanyian Kaukasia berbunyi:
”Tamara memakai tudung
perang, dan telinganya dihiasi dengan anting-anting yang panjang. Matanya
seperti zamrud, giginya seperti mutiara, lehernya seperti yaspis. Ia memakai
baju perisai, menaiki kuda yang berwarna abu. Di bawah baju perisai itu, ia
memakai baju kain atlas”.
Batu kuburan Tamara
dikatakan bertulis: ”Aku Raja Puteri Tamara. Aku mengisi negeri-negeri dan
laut-laut dengan namaku. Aku menyuruh ikan-ikan berpindah dari Laut Hitam ke
Laut Kaspia. Kudaku telah masuk kota Ispahan, dan pedang telah kutanamkan di
alun-alun Meidan di kota Istambul. Sesudah aku berbuat ini semua, aku pindah ke
akhirat dengan membawa kain sembilan depa.”
Tamara telah menaklukkan
semua musuhnya. Hanya Laut Kaspia sajalah yang belum mau tunduk. ”Apakah yang
Tamara, Raja Puteri dari semua raja-raja, dapat perbuat akan daku?”, begitulah
Laut Kaspia menanya.
”Kekuasaan Tamara memang
besar, tetapi lebih besar ialah ombakku dan gelombangku”.
Raja Puteri Tamara
mendengar perkataan ini, dan dengan pelahan ia menghadapkan mukanya kepada
penantang itu. Di antara dua alisnya yang panjang itu, mengerutlah kulit
mukanya. Dengan segera, menyeranglah prajurit-prajuritnya kepada Laut yang
memberontak itu, dan pantai-pantai Laut Kaspia memekik-mekik karena sakit.
Ombak-ombak Laut itu diserang dengan minyak tanah, dan api menyala-nyala
menjilat ke langit. Lama sekali Laut Kaspia berguling-guling di dalam nyalanya
api, dan memekik memohon ampun. la sanggup menyerahkan semua kekayaannya dan
sanggup takluk semata-mata. Akhirnya diberilah ampunan itu oleh Sang Raja
Puteri kepadanya.”
Demikianlah Raja Puteri
Tamara. Fanina H.Halle menunjukkan kepada kita, bahwa di dalam dongeng ini
diceritakan satu amazone motif yang tulen: perang melawan laut. Sebab, simbul
apakah laut itu? Laut adalah simbulnya laki-laki! Bumi, tanah, adalah simbul
perempuan, tetapi laut adalah simbul laki-laki. Sebagaimana juga kita bangsa
Indonesia menganggap bumi itu sebagai simbul perempuan: simbul Ibu, simbul Ibu
Pratiwi, maka bagi orang Kaukasia bumi adalah juga simbul perempuan. Tetapi
manakala kita menganggap langit sebagai simbul laki-laki, manakala kita berkata:
”Bapa Angkasa, Ibu Pratiwi”, maka bangsa Kaukasia dan juga bangsa Yunani,
menganggap l a u t sebagai simbul laki-laki. Bukankah tanah tidak
dapat subur kalau tidak menerima kesuburannya itu dari airnya laut? Maka
dongeng perjuangan Tamara yang Maha cantik itu, dapat pula dianggap sebagai
gambar perjuangan antara azas peribuan dan azas perbapaan, antara hukum
peribuan dan hukum perbapaan, antara matriarchat dan patriarchat.
Tamara hanyalah satu contoh
saja. Negeri lain-lain mempunyai ”Tamara” yang lain-lain pula. Tetapi ada satu
hal yang sangat menarik perhatian kita dengan Tamara Kaukasia itu: Tamara
Kaukasia sebenarnya adalah satu figur yang bukan sama sekali ”dangeng”!
Ia adalah satu figur yang
juga oleh t a r i c h diakui adanya. Ia
satu figur historis. la menjadi Raja Puteri di Kaukasia di antara tahun 1185
dan tahun 1214, - jadi belum sampai 800 tahun di belakang kita. Apakah artinya
ini? Ini berarti bahwa, kalau benar perjuangan Tamara itu satu perjuangan
matriarchat melawan patriarchat, maka perpindahan dari hukum peribuan kepada
hukum perbapaan itu tidak terjadi sama-sama waktu di seluruh dunia, tidak
serempak, melainkan berbeda-beda waktu. Ada negeri yang sudah ribuan tahun
menegakkan hukum perbapaan, ada negeri (sebagai Kaukasia) yang baru ratusan
tahun saja memakai hukum ini, dan ada pula negeri yang sampai zaman sekarang
belum meninggalkan hukum peribuan sama sekali. Engels dan Bachofen memang juga
mengatakan begitu! Dan bukan saja tidak serempak, - caranya-pun menurut Bebel
berbeda-beda; masing-masing menurut keadaannya sendiri-sendiri.
Ambillah misalnya
daerah-daerah di lingkungan negeri kita sendiri. Tidakkah nyata berbeda-beda
sifat restan-restan hukum peribuan di daerah-daerah itu, berbeda-beda pula
caranya hukum peribuan itu menggulung tikarnya, mengasih lapangan kepada hukum
perbapaan Islam? Ya, negeri kita memang salah satu negeri di mana perjuangan
antara hukum peribuan dan hukum perbapaan itu belum juga selasai. Sampai
sekarang. Di beberapa daerah negeri kita itu masih dapat melihat berjalannya
”revolusi-masyarakat” yang maha hebat ini.
Tetapi janganlah pembaca
mengira, bahwa di negeri lain di zaman dulu perjuangan ini selamanya berjalan
begitu tenang sebagai misalnya perjuangan antara ”kaum-adat” dan ”kaum agama”
di Minangkabau sekarang. Kesopanan modern berpengaruh besar atas sifat
perjuangan di Minangkabau sekarang ini. Kesopanan modern itu ”menghaluskan”,
”menyopankan” sifat perjuangan itu, sedang dulu di zaman tua, keadaan-keadaan
adalah lain, dan manusia-manusiapun adalah lain. Orang zaman sekarang adalah
orang ”beradab”, orang ”sopan”, - tetapi dulu? Dulu segala hal lebih ”mentah”,
lebih ”hantam-kromo”. Dulu orang merantai dengan rantai besi, memukul dengan
kentes galih asam, menyembelih dengan golok terang-terangan. Karena itu maka
perjuangan antara matriarchat dan patriarchat di zaman dulu itu mungkin tidak
begitu tenang sebagai di Minangkabau sekarang ini.
Ya, dulu orang lebih
”mentah”. Patriarchat pun lebih ”mentah”. Sudah saya katakan, bahwa nafsu
kepada m i l i k, nafsu kepada milik
perseorangan motornya patriarchat ini, dan bahwa perempuanpun dijadikan milik,
dijadikan milik perseorangan. Sarinah berpindah sifat, dan sifat memilik
menjadi sifat dimilik, dari subyek menjadi obyek.
Ia tadinya cakrawarti,
kini ia menjadi benda. Benda, yang dimiliki, yang harus disimpan, harus
disembunyikan, tak boleh dilihat orang lain, apalagi disentuh orang lain.
Perempuan yang suka disentuh orang lain, disembelih kontan-kontanan.
Edward Carpenter berkata:
” N a f s u k e p a d a m i l i k
itu membuat laki-laki menutup dan m e m p e r b u d a k k a n p e r e m p u a n
y a n g i a c
i n t a i i t u.” .
Ya, - ”milik”! Karena
itupun, tidak , kalau ”milik” itu (dulu
lebih ”mentah-mentahan” daripada sekarang) bukan saja disimpan dan
disembunyikan, tetapi juga d i t a m b a h, sebagaimana orang
m e n a m b a h juga barang milik yang biasa: di mana-mana
patriarchat datang, di situ datanglah pula poligami, atau lebih benar:
poligine, p o l y g
i n i e, yakni peristerian yang banyak-banyak. Makin banyak perempuan, makin
baik; sebab makin bertambah banyaknya ”milik” itu, berarti bertambahnya
kesejahteraan dan kemuliaan, bertambahnya tenaga bekerja dan kekuasaan,
bertambahnya rezeki dan kemegahan. Manakala laki-laki hanya mempunyai isteri
seorang saja, maka isteri satu ini tidak menjadi halangan buat mengambil
”selir” berapa banyaknyapun juga. Menurut keterangan Injil, maka Koning Salomo
(Sulaiman) mempunyai 700 isteri dan 300 o
r a n g s e l i r ! Demikianlah memang; adatnya patriarchat di
zaman dulu! Perhatikanlah lagi beberapa contoh yang berikut ini: Di dalam kitab
Perjanjian Lama, Genesis, fatsal 16, ayat 1 dan 2, diceriterakan bahwa Nabi
Ibrahim disuruh oleh Sarah buat ”mengambil” budaknya yang bernama Hajar; juga
di dalam Genesis, fasal 30, ayat 1 dan berikutnya, diceritakan bahwa Yakub
disuruh oleh Rachel buat ”mengambil”
budaknya yang bernama Bilha, dan disuruh pula oleh Lea (saudara Rachel) buat
”mengambil” budaknya yang bernama Zilpa.
Dan ada lagi satu hal
yang boleh kita ambil dari cerita Yakub. Menurut Injil, maka isteri-isteri
Yakub yang bernama Rachel dan Lea itu, adalah d u a s
a u d a r a. Mereka kedua-duanya adalah
anak Laban. Entah, mereka dua-duanya menjadi isteri satu orang! Inipun oleh
patriarchat dianggap sopan, tidak melanggar kesusilaan.
Dan masih ada lagi satu
hal penting dalam ceritera Yakub.
Menurut Injil, Yakub
mendapat Rachel dan Lea itu dengan jalan
m e m b e l i n y a dari bapanya: baik Rachel maupun Lea ia beli
dengan menjual tenaganya, kepada Laban, masing-masing tujuh tahun lamanya. Maka
kita di sini menginjak satu sifat penting dari patriarchat pula: p e r e m p u
a n m i l i k y a n g
h a r u s d i b e l i. Inilah
yang di dalam salah satu bab di muka sudah pula saya terangkan: kawin beli,
perkawinan dengan jalan membeli, perkawinan dengan menganggap perempuan itu
sebagai satu b e n d a p e r d a g a n g a n. Orang Yunani di zaman
dulu menyebutkan wanita-wanitanya ”alphesiboiai”, yang artinya: menghasilkan
sapi, berharga sapi, boleh ditukarkan dengan sapi! Ya, perempuan satu benda
perdagangan, yang, kalau sudah dibayar harganya, dapat diperlakukan
semau-maunya, oleh yang membelinya itu. Ia boleh dipandang sebagai benda
perhiasan rumah, boleh disimpan dan disembunyikan rapat-rapat, boleh disuruh
bekerja mati-matian seperti budak-belian, boleh dijual lagi, boleh dibunuh,
boleh diwariskan kepada ahli-waris bersama benda yang lain-lain. Ia boleh
dihidupi atau tidak dihidupi, boleh dimanusiakan atau tidak. dimanusiakan. Di
zaman Rumawi dahulu, menurut keterangan Engels adalah satu kebiasaan, bahwa
perempuan itu, beserta semua famili, sebelum suaminja mati, sudah ditentukan
dengan testamen kepada siapakah ia nanti akan diwariskan kalau suaminya mati.
Ya, ia memang benda belaka, milik ia punja suami! Kalau ia dibunuh oleh
suaminya itu, maka i t u p u n
h a k suaminya. (Engels). Sampai di abad kelimabelas
di Jerman dan di negeri Belanda menurut keterangan Murner perempuan masih
”disuguhkan” kepada tetamu, sebagai orang menyuguh-kan sepotong kuih. ”Het is
in Nederland het gebruik, wanneer de man een gast heeft, dat hij hem zijn vrouw
op goed geloof toevertrouwt”. Atau mungkinkah ini sisa ”ibu umum” daripada
hukum peribuan?
Dan kalau laki-laki tidak
mempunyai cukup syarat untuk membeli perempuan itu? Tidak cukup harta benda,
atau tidak mau membeli dengan tenaga buruh seperti Yakub kepada Laban? Sudah
saya terangkan di muka: zaman dulu zaman ”mentah-mentahan”. Kalau tidak dapat d i b e l i
perempuan itu, maka tiada keberatan moral sama sekali, jika perempuan
itu dicuri, dirampok mentah-mentahan.
K a w i n r a m p a s , itulah menurut keterangan saya di muka tadi
juga salah satu sifat patriarchat liar. Kita semua sudah pernah membaca cerita
”Perampokan perawan Saba”, dan kita malah sering sekali melihat cerita wayang
di mana perempuan dicuri dan dibawa lari. Di dalam Perjanjian Lama, bagian Boek
der Richteren, 21, diceritakan, bahwa kaum Buntamin mencuri anak-anak gadis
Silo.
”Kawin beli” dan ”kawin
rampas”, … s a
m p a i s e k a r a n g kita masih
mengalaminya dan mengerjakannya, meskipun dengan jalan yang lebih ”sopan”.
Sampai di zaman sekarang masih ada adat ”marlojong” di tanah Batak. Dan di
Chili Selatan tiap-tiap pengantin perempuan ”harus dirampas lebih dulu” oleh
suaminya, dengan persetujuan orang tua atau tidak dengan persetujuan orang tua.
Tapi justru perkawinan yang demikian itu yang dianggap syah. Dan apakah asalnya
uang ”antaran”, uang belis”, uang ”sasrahan” atau barang ”sasrahan” yang di
kalangan bangsa Eropa dan di kalangan bangsa kita sampai sekarang masih saja
orang bayarkan kepada pengantin perempuan atau bakal mertua, - lain daripada u
a n g p e m b e l i perempuan di zamannya patriarchat liar itu?
Di kalangan Eropa,
terutama sekali di lapisan-lapisan yang atas, orang tidak segan-segan
memperhubungkan perkawinan dengan perhitungan untung atau rugi. Di kalangan
bangsa kitapun, terutama sekali di ”tanah seberang”, nyata perempuan masih
dianggap barang dagangan. Di Flores masih kuat sekali adat pembayaran ”uang
belis” sampai ratusan rupiah; di Bengkulu, di Kroe, di Lampung, di lain-lain
negeripun ”uang antaran” kadang-kadang sampai ribuan rupiah! Sudah saya
terangkan, bahwa inilah menjadi sebab begitu banyak ”gadis tua” yang sampai
tinggi umur belum mempunjai suami: orang lelaki ter-halang kepada perkawinan,
oleh karena uang p e m b e l i a n n y a
begitu mahal! Dan bukan saja kawin beli
dengan kontan kita kenal, kita di Indonesiapun mengenal kawin beli dengan
kredit, (boleh dicicil) dan kita kenal juga kawin beli yang dibelinya dengan
menjual tenaga buruh. Inilah yang oleh ahli etnologi dan sosiologi dinamakan k a w i n j a s a, dan inilah yang kita jumpai pula di beberapa
bagian di negeri kita, antara lain di negeri Batak.
Dan kawin rampas? Lihatlah
adat kebiasaan bangsa Eropa, mengadakan ”perjalanan perkawinan” sesudah nikah!
Pada asal-nya adat kebiasaan yang romantis ini tidak lain daripada adat
kebiasaan m e n c u r i (melarikan)
perempuan itu dari kekuasaan orang tua. Dulu di zaman purbakala waktu segala
hal masih ”mentah”, orang tentu saja melawan atau menyerang kepada pencuri itu
dengan senjata, mengejar dia dengan tombak dan panah, melempari dia dengan batu
atau pentung. Kini orang sudah ”sopan”; kini orang melempari pengantin yang mau
berangkat untuk perjalanan perkawinan itu dengan ... beras!
Di kalangan bangsa kita
masih banyak juga daerah-daerah yang perempuan itu dicuri lebih dulu, misalnya
saja di negeri Tapanuli, yang di situ masih ada adat ”marlojong” atau
”dilojongkon” (dilarikan) atau adat ”tangko babiat” (seperti macan). Di daerah
Pasemah adat inipun masih ada. Menurut keterangan Eisler, maka pencurian
perempuan inilah yang menjadi asalnya adat ”pembalasan darah” di zaman dulu,
yakni asalnya adat b e l a p a t i, a m b i l n y a w a b a l a s
n y a w a, yang lazim terdapat di semua bangsa-bangsa di seluruh muka
bumi.
Tahukah tuan asalnya adat
”tukar cincin” pada bangsa Eropa? Adat ini adalah berasal dari adat merampas
perempuan: si perempuan diikat, dirantai oleh fihak yang merampas. Lambat laun
”rantai” ini menjadi lebih sopan. Di kota Roma adat ini sudah menyopan sedikit;
sebagai tanda menjadi hamba sang suami, maka pengantin perempuan di Roma
mendapat cincin b e s i dari ia punya suami. Di kemudian hari, maka
diubahlah cincin besi ini menjadi cincin tembaga, cincin perak, cincin emas,
dan kemudian lagi terjadilah adat sekarang, jaitu lelaki dan perempuan ”tukar
cincin”, sebagai tanda setia satu sama lain dari dunia sampai akhirat ...
Maka demikianlah,
sifat-sifat patriarchat liar itu masih saja berkesan dalam adat-istiadat di
zaman sekarang, bukan saja pada bangsa-bangsa yang belum berkemajuan, tetapi
juga pada bangsa-bangsa yang sudah modern seperti bangsa Eropa dan Amerika.
Berabad-abad, ratusan tahun, ribuan tahun cap ”benda” itu masih saja melekat
pada perempuan. Ia masih tetap saja dianggap sebagai milik yang boleh
diperlakukan sesuka-suka orang tuanya dan sesuka-suka suaminya. Dulu
kasar-kasaran, kini halus-halusan; dulu mentah-mentahan, kini sopan-sopanan;
tapi pada hakekatnya sama: laki-laki kuasa, isteri benda; laki-laki tuan,
isteri hamba. Malah adat kebiasaan l e v
i r a t masih juga terus berjalan sampai
sekarang. Apakah l e v i r a t itu? Levirat adalah perkataan yang asalnya
dari perkataan levir, yang artinya i p a r. Levirat adalah adat, yang
menetapkan, bahwa kalau sang suami mati, maka jandanya lantas menjadi isterinya
saudara-suami itu, - isteri iparnya sendiri -, atau isterinya keluarga dekat
dari suami itu. Nyatalah di sini perempuan itu dianggap sebagai satu milik yang
dioperkan ke saudara suaminya, satu benda yang diwariskan pindah ke tangan
saudaranya suami yang mati. Atau setidak-tidaknya, ia hanyalah dianggap sebagai
alat penegakkan keturunan saja, satu alat pelahirkan anak, satu ”mesin peng-eram”!
Di India orang perempuan
yang tidak dapat hamil, dioperkan kepada saudara suaminya, s e b e l u m suaminya itu mati, - coba-coba barangkali
dengan saudara suami inilah mesin pengeram itu dapat mengeluarkan anak. Inilah
yang dinamakan ”perkawinan nyoga”, satu macam perkawinan yang dasar ideologinya
sama dengan levirat itu.
Dan ambillah adat
kebiasaan orang Yahudi. Di dalam kitab Perjanjian Lama, bagian kitab Musa
Deuteronomium, 25, ayat 5 sampai 10, ternyatalah bahwa orang perempuan yang tak
mempunyai anak, dioperkan kepada iparnya, kalau suaminya meninggal dunia. Benar
di dalam hukum Yahudi pengoperan ini adalah satu h a k yang
boleh
d i t u n t u t oleh janda itu, - kalau si ipar tak mau
mengoper dia, dia boleh meludahi muka iparnya itu di muka umum! -, tetapi hal
ini tidak mengubah kepada d a s a r n y
a ideologi itu tadi: perempuan obyek,
perempuan benda, perempuan milik, yang di sini menuntut pemeliharaan. Sebab,
mencari kecintaan menurut kehendak hatinya sendiri, kawin dengan orang yang
bukan ipar itu, dus menegakkan keturunan di luar lingkungan darah suami-nya
yang mati itu, ia t i d a k b
o l e h ! Ia m u s t i
kawin dengan ipar itu saja, kalau ipar itu mau.
Lain-lain bangsa masih
juga ada yang mengerjakan levirat itu, sampai sekarang: bangsa Drus dan bangsa
Afghan, yang dua-duanya beragama Islam, masih mengerjakan adat ini, dan di
negeri kita antara lain-lain orang Gayo dan Alas dan Pasemah (telah beragama
Islam) dan orang Batak (telah beragama Serani) masih juga belum melepaskan levirat
itu. Sungguh dalam sekali tertanamnya akar-akar patriachat liar itu di dalam
ideologinya sesuatu rakjat!
Ada lagi dua hal yang
perlu saya terangkan lebih jelas di sini berhubungan dengan anggapan bahwa
perempuan itu ”benda”:
pertama hal persundalan,
kedua hal ”perempuan makhluk dosa”.
Salah satu sifat
patriarchat ialah persundalan. Bukan persundalan atau hetaerisme seperti di
zaman hukum peribuan, tatkala perempuan dianggap ibu umum, tapi persundalan
yang benar-benar persundalan:
m e n j u a l diri kepada
laki-laki dengan mendapat uang, atau menjual diri kepada laki-laki dengan
mendapat barang ”harga” yang lain-lain. Dulu di zaman hukum peribuan
persundalan itu satu ”amal keagamaan”, satu religieuze daad, satu perbuatan
yang diwajibkan oleh ibadat.
Tetapi kini ia menjadi
amal p e r d a g a n g a n. Perempuan, yang kini satu b a r a n g, satu b e n d
a yang ada harga, yang tak dimiliki
kalau tidak d i b e l i atau d i r a m p a s, perempuan itu kini menjadi satu
barang yang t i d a k tiap-tiap orang laki-laki mempunjainya. Maka buat
memuaskan syahwat kaum laki-laki yang belum cukup kekayaan untuk membeli
seorang i s t e r i atau belum cukup keberanian untuk merampas seorang i s t e
r i, timbullah perdagangan perempuan secara ” b a r a n g e c e r a n ”. Siapa belum mampu membeli seekor sapi,
dapatlah ia membeli daging sekati saja! Dan yang betul-betul meng-gambarkan
ideologi patriarchat ialah, bahwa anggapan umum t i d a k terlalu menolak atau membecji
persundalan ini. Orang perempuan diwajibkan setia, orang perempuan tidak boleh
mendurhakai suami, orang gadis harus menjaga betul-betul kegadisannya, tetapi
orang lelaki, bujang atau tidak bujang, boleh mengerjakan perzinahan di luar
rumah sebanyak kali ia mau. Ya, bukan saja anggapan umum, tetapi hukum
negeripun hampir semua mengsyahkan persundalan itu! Dulu di negeri Yunani, n e
g a r a l a h yang mengadakan
deikterion-deikterion (rumah-rumah sundal), di mana tiap-tiap orang boleh
melepas-kan syahwatnya dengan bayar tarif yang tetap, yakni kurang lebih lima
gobang satu kalinya. Dan di lain-lain negeri, di Romawi, di Yeruzalem, di
India, di Nippon, di situpun dulu n e g
a r a yang menjadi germo (pengurus rumah
persundalan) yang pertama. Solon, pembuat hukum Yunani jang termasyhur, yang
mula-mula mengadakan deikterion-deikterion itu, mendapat pujian khalayak
buatkebijak-sanaan” itu dengan kata-kata: ”Solon, terpujilah engkau! Sebab
engkau telah mengadakan sundal-sundal buat keselamatan kota, buat kesucian kota
yang penuh dengan pemuda-pemuda yang kuat, yang, umpama engkau tidak mengadakan
aturan yang bijaksana itu, niscaya akan mengganggu keamanan perempuan-perempuan
yang mulia!” Sudahkah tuan pernah mengetahui termasyhurnya rumah-rumah
persundalan Yoshiwara di kota Tokyo, yang mendapat perlindungan dari negara?
Ingatkah tuan pula keadaan di negeri kita sendiri beberapa puluh tahun yang
lalu, waktu pemerintah Belanda juga mengakui syahnya dan mereglementir
persundalan itu? Maka begitu pula belum selang berapa lamanya, semua negara di
Eropa mengsyahkan dan mereglementir persundalan itu.
Yang dibekuk dan
dimasukkan penjara hanyalah sundal-sundal yang tidak memegang ”surat” saja,
yakni sundal-sundal yang belum tercatat namanya di dalam kitab register!
Memang tak dapat
disangkal, bahwa persundalan itu bukan sekadar akibat ”kebejatan moral” saja,
bukan sekedar satu akibat dari nafsu birahi perempuan-perempuan liar, tetapi
ialah satu keadaan yang tidak boleh tidak p a s t i lahir karena salahnya susunan masyarakat dan
s a l a h n y a a n g g a p a n t e r h a d a p h a r g a p e r e m p u a n.
Ia adalah satu ”buatan
masyarakat” (perkataan Engels), sebagai patriarchat sendiripun satu buatan
masyarakat. ”Ia adalah suatu buatan masyarakat seperti yang lain-lain; ia
melanjutkan adanya kebebasan seksuil, - untuk kepentingan kaum lelaki”. Ia tak
dapat lenyap, kalau susunan masyarakat yang salah itu tidak lenyap dan anggapan
salah terhadap perempuan itu tidak dibongkar. la, menurut perkataan Marx, tetap
mengikuti peri-kemanusiaan ”sebagai satu bayangan”, sampai ke alamnya ”peradaban”
sekalipun. Dan ia sebaliknya juga akan membangunkan satu ”buatan masyarakat”
yang lain lagi, yang juga
tak dapat lenyap di zaman
sekarang ini: ia membangunkan
Figurnya i s t e r i
y a n g m e n d u r h a k a
i s u a m i, karena
s u a m i m e n d u r h a k a i i s t e r i.
Laki-laki pergi bercinta
dengan sundal di luar rumahtangga, isteripun yang ditinggalkan di rumah itu
menerima percintaan-nya orang dari luar rumah tangga. Laki-laki tidak setia,
perempuan tidak setia pula.
”Di samping
perlaki-isterian tunggal (antara seorang suami dan seorang isteri) dan
hetaerisme (maksudnya: pelacuran) perceraian adalah suatu peristiwa masyarakat
yang tak dapat dihindari - dilarang, dihukum keras, tetapi tak dapat ditindas.”
Begitulah Engels menulis.
Persundalan adalah satu
buatan masyarakat, tetapi pendurhakaan suamipun adalah satu buatan masyarakat.
Walaupun dilarang keras, diancam dengan hukuman berat, diperangi dengan wet dan
penjara,
ia tidak dapat ditindas
dan dihilangkan.
Itulah sebabnya, maka
meskipun patriarchat itu pertama-tama dan terutama sekali diadakan untuk
”memastikan turunan”, toh sampai sekarang, kendati penjagaan wet, kendati
ancaman neraka yang bagaimanapun juga ”siapa bapa” masih tetap satu soal
” k e p e r c a y a a n ”
saja, dan bukan satu hal yang dapat dijamin kepastiannya. Satu hal
”kepercayaan”, dan bukan satu hal
k e n y a t a a n. Satu
hal k i r a - k i r a, dan bukan satu
hal
k e p a s t i a n. Sehingga
kitab hukum Code Napoleonpun, yang menjadi contoh bagi banyak kitab-kitab hukum
di Eropa, (antara lain-lain juga menjadi contoh hukum Nederland), di dalam
artikel 312 ada menulis: ”L’enfant concu pendant le mariage a pour pere le
mari”. – “Anak yang dihamilkan di dalam persuami-istrian, yang d i a n g g a
p menjadi bapanya ialah sang suami”.
Dengan jitu dan jenaka sekali Engels membubuhi komentar atas artikel 312 Code
Napoleon ini:
I n i l a h h a s i l
y a n g p a l i n g b a r u d a r i t i g a r i b u
t a h u n p e r s u a m i - i s t e r i a n s a t u ! ...
Marilah sekarang kita
bicarakan sifat patriarchat yang lain lagi itu: perempuan sebagai ”makhluk
dosa”. Inipun sudah saya ceritakan sedikit-sedikit di dalam bab yang di muka.
Patriarchat dengan jalan parit-paritnya ”agama” telah merendahkan kedudukan
perempuan, antara lain dengan mengatakan, bahwa perempuan itu bikinan syaitan. Sebagaimana
di antara kaum agama ada yang mengatakan, bahwa buat kemuliaan di akhirat
nanti, segala hal keduniaan harus dijauhi dan dibenci, yakni, bahwa kesucian
roh hanyalah dapat diperoleh apabila manusia menjauhi tiap-tiap nafsu kepada
kekayaan milik dan kekayaan benda, sebagaimana bagi setengah kaum agama, k e m
i s k i n a n adalah satu ideal dan satu
pedoman hidup -, maka terhadap kepada perempuanpun, (yang juga benda, juga
milik, juga kekayaan!), mereka berkata: jauhilah dan bencilah perempuan itu,
karena ia adalah menjauhkan kamu dari nikmatnya akhirat. Aneh sekali
pertentangan ini: Kaum ”dunia” mencari kemuliaan Clan kenikmatan
sebesar-besarnya dengan mengumpulkan sebanyak mungkin perempuan di dalam rumah
tangganya laksana mengumpulkan sebanyak mungkin ternak di dalam kandang, kaum
”agama” mencari kemuliaan dan kenikmatan dengan mensyaitankan tiap-tiap
perhubungan, ya tiap-tiap angan-angan kepada perempuan! Faham benci dan
mensyaitan-kan perempuan di kalangan agama ini dinamakan a s k e t i s m e dan s e l i b a t (a s c e t
i s m e dan c e l i b a a t).
Apakah arti asketisme dan
selibat itu? Asketisme memulia-kan cara hidup yang semiskin-miskinnya, dan
memerangi tiap-tiap nafsu kepada kemewahan dan kesenangan: baik nafsu kepada
harta kekayaan, maupun nafsu kepada kelezatan makan dan minum, maupun nafsu
kepada kerumah-tanggaan, maupun nafsu kepada k e p u a s a n s y a h w a t. Selibat memuliakan cara hidup
tidak dengan perlaki-isterian, -lelaki tidak dengan perempuan, perempuan tidak
dengan lelaki. Asketisme dan selibat sudah menyelinap ke dalam banyak agama di
zaman dulu. Agama Manu, agama Buddha, agama Nasrani sampai kepada berontaknya
Maarten Luther di abad yang keenambelas, semuanya dimasukinya. Perempuan
dianggap sebagai a s a l s e g a l a
d o s a. Perempuanlah yang dulu menjatuhkan Adam dari kemuliaan sorga,
dan perempuanlah yang sampai akhir zaman akan tetap berdaya-upaya menjatuhkan
anak Adam dari kemuliaan sorga. Malah ada satu fihak yang berkata, bahwa
memotong kemaluan (lelaki) adalah satu perbuatan yang dibenarkan oleh Allah;
fihak ini menunjukkan, bahwa di dalam Injil Mattheus 19 ayat 11 dim 12 ada
tertulis: ”Ada orang yang terpotong, yang dilahirkan demikian oleh ibunya; dan
ada orang yang terpotong, yang dipotong oleh orang lain; dan ada orang yang
terpotong, yang memotong dirinya sendiri, untuk mendapat kerajaan akhirat”.
Menurut fihak ini, pengebirian adalah satu perbuatan ulia, tidak kawin satu
perbuatan terpuji, benci perempuan satu tabiat yang maha luhur. Origenes
berkata: ”Perkawinan adalah tidak kudus, satu hal yang kotor, satu alat
pemuaskan syahwat”, dan buat menolak kekotoran ini, ia telah mengebiri dirinya
sendiri! Begitupun telah tercatat di dalam sejarah, bahwa memang sering
pendeta-pendeta yang karena merasa dirinya kurang kuat mengekang kehendak
syahwatnya dengan kekang jiwa saja, lantas mengebiri diri sendiri, seperti
Origenes itu. Tertullianus berkata: ”Perempuan, engkau akan selalu mengeluh dan
berpakaian koyak-koyak, matamu akan selalu penuh dengan air: mata kemasygulan,
buat melupakan, bahwa engkaulah telah menjerumuskan peri-kemanusiaan ke dalam
lumpur kebinasaan. Perempuan, engkaulah pintu gerbang neraka jahanam!”.
Di muka sudah saya
tuliskan, bahwa di dalam agama yang lain-lainpun, misalnya agama Buddha dan
Manu, ada aturan keras yang mengharamkan perempuan itu. Di dalam Sufi Islam pun
aliran asketisme dan selibat itu keras sekali. Saya kira, di dalam patriarchat
liar asketisme dan selibat di kalangan kaum agama adalah sama-sama satu buatan
masyarakat sebagai persundalan adalah satu buatan masyarakat. Sebab, baik
persundalan, maupun asketisme dan selibat, adalah sama-sama akibat daripada
anggapan bahwa perempuan adalah milik dan benda; milik dan benda yang boleh
dijual-belikan, atau - yang harus dijauhi, agar dapat mencapai kenikmatan
akhirat.
Sudah barang tentu
golongan-golongan agama yang mengikuti aliran asketisme dan selibat itu t i d a
k mau mengakui, bahwa mereka merendahkan perempuan. Mereka selalu meng-atakan,
bahwa mereka justru memuliakan perempuan. Mereka malah mengakui, bahwa Tuhan
”kadang-kadang” mensucikan perempuan juga! Fihak Islam Sufi menyebutkan nama
Siti Aminah yang ditakdirkan oleh Tuhan buat mengandung Muhammad; fihak selibat
Nasrani menyebut-kan nama Siti Maryam; dan fihak Buddha menyebutkan nama Maya.
Tidakkah mereka semuanya perempuan-perempuan yang dimuliakan?
Mereka tidak mengetahui,
bahwa di lain-lain agamapun ada perempuan-perempuan yang dimuliakan, bahkan
disembah!, tetapi yang di situ perempuan sebagai makhluk m a s y a r a k a t
ditindas clan direndahkan. D e w i Kybele, d e w i Mylitta, d
e w i Aphrodite, d e w i Venus, d e w i Ceres di Eropa Selatan, d e w i Edda, d
e w i Freya di Eropa Utara, d e w i
Syri, d e w i Pratiwi, d e w i Lakshmi, d e w i Koan 1m atau Kwannon di dunia Timur, -
tidakkah mereka ini semuanya perempuan-perempuan yang disembah? Tetapi tidakkah
di negerinya dewi-dewi itu posisi sosial daripada kaum perempuan amat rendah
sekali?
Marilah sekarang kita
palingkan muka ke Indonesia.
Di manakah di Indonesia
masih ada patriarchat? Pertanyaan yang demikian ini kurang tegas. Yang
dimaksudkan tentunya: di manakah di Indonesia masih ada patriarchat liar? Sebab kita bangsa Indonesia hampir semua hidup
di dalam sistim patri-archat. Kecuali di daerah-daerah yang nyata matriarchat,
maka kita semua, beragama atau tidak beragama, kita semua patri-archat. Malahan
di muka telah saya katakan, bahwa agama Islam dan agama Keristen sebenarnya
adalah k o r e k s i atas patriarchat yang meng-ekses, k o r e k s i atas hukum perbapaan yang bersifat kebiadaban.
Hukum perbapaan yang menindas dan merampok, memperlakukan perempuan sebagai
benda dan sebagai ternak, hukum perbapaan yang ”liar” itu dikoreksi, hendak
diganti dengan hukum perbapaan yang adil dan baik. Tetapi agama sering sekali
belum cukup ”mendalam”, atau agama nyata diabaikan oleh pengikut-pengikutnya,
sehingga di berapa daerah Indonesia yang penduduknya telah ”Islam” atau telah
”Keristen”, patriarchat liar masih tampak dengan nyata.
Saya di muka telah
menceritakan hal adat ”marlojong”.
Tanah Batak memang masih
tampak sekali ”klassik” ditentang kepatriarchatan. Kawin beli, kawin rampas,
kawin jual tenaga, levirat (koophuwelijk, roofhuwelijk, diensthuwelijk,
levirat) masih semua berbekas di tanah Batak itu. Orang Batak yang hendak
kawin, harus lebih dulu membayar uang ”mangoli”, yakni uang membeli. Orang yang
tidak mempunyai cukup uang, bolehlah membeli kekasihnya dengan tenaga kerja; ia
harus ”sumondo”. Dengan dibelinya perempuan. itu, pindahlah perem-puan itu dari
tangan bapanya menjadi m i l i k suaminya samasekali. Ia keluar dari
marga sendiri, masuk ke dalam marga suaminya sama sekali. Ia tidak mewaris
harta benda suaminya itu, kalau suaminya itu meninggal. Ia tidak boleh mewaris,
malahan akan diwariskan. Kalau suaminya itu tidak mempunyai saudara atau tidak
mempunyai keluarga yang dekat, maka sepeninggal suaminya itu ia boleh kembali
kepada marganya sendiri, tetapi ia dimustikan membayar kembali uang beliannya
lebih dahulu! Anak-anaknya yang perempuan tidak boleh ikut mewaris harta benda
peninggalan bapanya, oleh karena mereka kelak t o h akan dibeli orang lain, - t
o h akan menjadi milik orang lain dan meninggalkan marga bapanya.
Pembaca melihat, semua
sifat-sifat patriarchat terdapat kembali di tanah Batak itu. Dengarkanlah
perumpamaan Batak di bawah ini:
Sian dangkana tu
rantingna,
Sian angkangna tu
anggina.
Dalam bahasa Indonesia
kira-kira sebagai berikut:
Dari dahan ke rantingnya,
Dari kakak ke adiknya.
Ya, kalau saudara tua
mati, saudara muda akan mengganti dia!
Orang yang mencinta adat
ini barangkali akan mengatakan, bahwa levirat toh ada baiknya juga? Memang,
barangkali levirat ada ”baiknya” juga: si janda tidak terus menjadi janda,
tetapi segera ada orang yang ”mengurus” akan dia. Memang ada satu sya’ir lain
lagi, yang sering dinyanyikan oleh perempuan Batak:
Tumagonan unang muli,
Tu anak sisada-sada.
Tung mate i annon,
Ndang adong na mangabia.
Dalam bahasa Indonesia
kira-kira begini:
Lebih baik jangan kawin,
Kepada anak sebatang
kara.
Kalau dia nanti mati,
Tidak ada penggantinya.
Nyatalah dari syair ini,
bahwa perempuan-perempuan itu sendiri seperti senang kepada levirat. Tetapi
tidakkah benar pula kalau saya katakan, bahwa t
i a p - t i a p adat, meskipun adat yang menindas bagaimanapun juga kerasnya,
telah merobah demikian rupa kepada rasa fikiran, ideologi fihak yang tertindas
itu, sehingga mereka itu sendiri cinta kepada adat itu? Tidakkah benar kalau
saya katakan, bahwa banyak perempuan cinta kepada pingitan, cinta kepada hal
bahwa silaki-laki menguruskan segala apa saja bagi mereka dan mereka tak usah
ikut banyak pusing kepala ini dan itu, cinta kepada ketenteraman kehidupan di
samping api dapur dan buaian anak saja, tidakkah benar kalau saya katakan bahwa
banjak perempuan cinta kepada rantai yang merantaikan mereka?
Syair yang kedua itu
bukanlah satu alasan. Ia hanyalah satu buntut, satu akibat. Ia tidak mematikan
kenyataan, bahwa levirat adalah berdasar kepada pengertian ”benda”, berdasar
kepada pengertian ”milik”. Ia berdasar kepada pengertian mewariskan milik. Di
daerah Batak Karo, seorang janda yang dioper oleh saudara suaminya, lantas
bernama ”lako man”, yang maknanya: penyedia makan. Ia ”mendatangkan makan”, ia
satu milik yang menguntungkan! Seorang etnolog pernah berkata-: ”Feitelijk is
het de vrouw, die den man onderhoudt; een Batak, die trouwt, is voor de
toekomst geborgen”. Artinya: ”Sebenarnya, perempuan-lah yang memberi makan
kepada laki-laki; seorang Batak yang kawin, terpeliharalah hidupnya buat
seterusnya”.
Adakah lain-lain tempat
lagi di Indonesia dengan ”patriarchat liar” yang masih nyata? Ada! Bukan di
tanah Batak saja ada sisa patriarchat liar! Perhatikanlah: Adat membayar uang
”jeunamee” sebelum laki-laki kawin di salah satu daerah Aceh mengingatkan kita
kepada kawin beli, terutama sekali oleh hal yang berikut: ”Kalau si isteri
meninggal dunia, maka si laki-Iaki itu boleh mengambil salah seorang gadis
saudara isteri yang meninggal itu, sebagai gantinya, dengan tak usah membayar
lagi ”jeunamee” sepeserpun jua. Di daerah Gayo dan Alas nyatalah perkawinan
satu perbuatan membeli orang. Di sana orang perempuan yang telah kawin (dan
telah dibayar ”harganya”) disebutkan orang: ”anggo” (Gayo) atau ”alongi”
(Alas). Dua-dua perkataan ini bermakna
t e r b e l i.
Keluarganya menamakan dia ”juolon”, yang artinya: ”jualan”, ”barang jualan”.
Kalau suami-nya mati, berjalanlah levirat: ia ”ngalih” atau ”mengalih”, -
mengalih sebagai milik, kepada lain tangan. Dan kalau suaminya tiada saudara
atau keluarga, bolehlah ia pulang kembali ke gampongnya; tetapi anak-anaknya
tak boleh ia bawa. ”Laba” pembelian itu tak boleh dibawa keluar, tetapi harus
tetap menjadi rezeki fihak yang membeli!
Di Lampung pun di
beberapa daerah masih sangat tampak sifat penjual-belian itu. Seorang etnolog
menyatakan: ”Perempuan (di Lampung) yang
telah dibeli oleh seorang laki-Iaki, tidak mempunyai hak apa-apa lagi sama
sekali. Segala apa yang menjadi miliknya, sehingga anak-anaknya sekalipun,
menjadi milik si laki-laki itu. Kekuasaan bapa tidak berbatas. Si bapa itu
berhak mengawinkan anak-anak perempuannya kepada siapa saja yang mau mengawini
kepadanya. Malahan sampai di bahagian pertama abad ke 19, si bapa itu menjual
anak-anaknya sebagai budak belian” .
Di Lampung inilah, dan
juga di daerah Bengkulu, sampai sekarang masih ada adat ”jujur”, adat ”kulo”,
adat bayar ”uang antaran”, yang semuanya pada hakekatnya ialah adat jual beli
perempuan. Besarnya ”jujur” atau ”antaran’“ itu kadang-kadang ribuan rupiah. Di
Endeh (Flores) uang pembelian itu (di sana dinamakan uang ”belis”)
kadang-kadang juga amat tinggi sekali. Saya sendiri di Endeh pernah menyaksikan
orang membayar uang belis Rp 800.- (waktu uang masih mahal). Uang-uang pembelian
yang amat tinggi itulah menjadi sebab di beberapa daerah Lampung, Bengkulu dan
Flores banyak ”gadis tua”.
Di Endeh ada beberapa
”gadis tua” yang telah berumur... 60 tahun!
Tuan barangkali menanya:
kenapa orang laki-laki kadang-kadang berani membayar uang pembelian yang begitu
mahal!
Amboi, uang yang
dibajarnya itu tidak terbuang percuma! Sebab satu kali ia buang uang, satu kali
ia beli orang perempuan, satu kali ia ”payah” atau ”meringis”, - seumur hidup
ia boleh senang-senang goyang kaki saja: perempuan nanti bekerja keras mencari
makan buat dia. Uang mangoli, uang jeunamee, uang jujur, uang antaran, uang
belis, - semuanya membawa laba. Yang payah dan meringis nanti bukan yang
membeli, tetapi yang dibeli jua adanya.
Sungguh benarlah
perkataan Bebel: ”Perempuan adalah budak belian, - budak belianpun dibeli
dengan emas”!
Sudah mengetahui kita
sekarang, apakah sifat hakekat matri-archat dan patriarchat itu.
Sekarang, baiklah saya
meninjau lebih dalam ekses-eksesnya (keliwatbatasannya) patriarchat itu.
Kita harus membuat
perbedaan antara patriarchat yang meliwati batas, dan patriarchat yang tidak
meliwati batas.
Patriarchat yang tersebut
belakangan ini, yakni patriarchat yang sekedar hanya untuk menetapkan hukum
turunan dan hukum waris saja, memang sudah sesuai dengan syarat-syarat
kesuburan masyarakat.
Ia adalah tiang besarnya
somah, soko-gurunya somah. Revolusi sosial ”dari hukum peribuan ke hukum
perbapaan” adalah satu revolusi yang progresif. Demikian pula agama Islam dan
agama Keristen tidak menentang patriarchat yang demikian ini, tetapi malahan
m e n e t a p k a n
benarnya patriarchat yang demikian ini.
Tetapi patriarchat
melalui batas. Ia mengekses. Ia menjadi stelsel penindasan perempuan. Ia
menjadi stelsel yang merampas segala hak-hak perempuan, dan memindahkan hak-hak
itu ke dalam tangan laki-laki saja sebagai monopoli. Di bawah ini saya hendak
memberi beberapa contoh yang amat menyedihkan.
Lebih dahulu, marilah
kita dengan singkat meninjau ke-dudukan patriarchat berhubung dengan agama.
Sudah berulang-ulang saya katakan, bahwa agama yang murni, yakni agama sebagai
yang dianjurkan oleh Nabi Isa dan Nabi Muhammad sendiri, tidak berisi
penindasan kepada perempuan. Nabi Isa dan Nabi Muhammad malahan bermaksud m e n g k o r e k s i ekses-ekses patriarchat
yang pada waktu mereka bekerja sebagai Nabi Allah, sedang mengamuk di negeri
mereka dan di negeri-negeri lain.
Di negeri Nabi Isa, pada
waktu itu adalah berlaku dua macam kultur: kultur Yahudi yang memang kultur
asli di situ, dan kultur Hellenia Rumawi, yakni kulturnya kaum yang pada waktu
itu menjajah negeri Yahudi.
Kedudukan kaum perempuan
di masyarakat Yahudi paling tepat dapat saya gambarkan dengan mengutip
perkataan-perkataan yang diucapkan oleh orang Yahudi laki-laki di dalam
sembahyangnya tiap-tiap pagi: ”Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, yang telah
membuat aku tidak perempuan”. Dan orang perempu-an Yahudi bersembahyang: ”Terpujilah
Tuhan Rabbulalamin, bahwa Ia membuat aku menurut Kehendak-Nya”.
Dan kedudukan kaum
perempuan di masyarakat Hellenia Rumawi telah saya gambarkan di muka dengan
memberi tahu kepada pembaca, bahwa perkataan Rumawi ”famulus” (keluarga) adalah
bermakna: budak, hamba, abdi.
Plato mengucapkan
terimakasih kepada dewa-dewa buat delapan macam berkat yang dewa-dewa itu
karuniakan kepadanya: yang pertama dari delapan berkat itu ialah, bahwa ia
dilahirkan di dunia sebagai orang merdeka dan tidak sebagai budak belian, dan
yang kedua ialah bahwa ia dilahirkan sebagai laki-laki dan tidak sebagai
perempuan. Dan di mukapun sudah saya katakan, bahwa di negeri Hellenia (Yunani)
perempuan disebutkan ”oikurema”, yang bermakna ”benda pengatur rumah tangga”.
Demikianlah keadaan
perempuan di negerinya Nabi Isa.
Maka datanglah Nabi Besar
ini mengoreksi ekses-ekses patriarchat itu. Dengan tegas dinyatakannya, bahwa
bagi Tuhan s a m a l a h laki-laki dan perempuan. Bahkan inilah yang
menjadi sebab, bahwa di zaman pertama daripada agama Keristen itu, k a u m
p e r e m p u a n l a h yang
paling giat mengikutinya dan paling giat membelanya. Merekalah yang dengan
mulut tersenyum menjalani siksaan-siksaan yang dilaku-kan kepadanya oleh musuh
agama Keristen, - dibakar hidup-hidup, dirobek-robek tubuhnya oleh singa,
diseret mati oleh sapi-sapi jantan sebagai diceriterakan oleh Sienkiwiecz di
dalam bukunya ”Quo Vadis” yang termasyhur. Di waktu itu masya-rakat Nasrani
sangat menghargakan dan menghormat kepada perempuan. Tetapi di zaman kemudian
daripada itu, derajat mereka diturunkan lagi. Nabi Isa sendiri t i d a k p e r n a h mengucapkan sepatah katapun yang
merendahkan kaum perempuan. Ini dapat dibuktikan dari kitab Perjanjian Baru.
Misalnya ucapan bahwa ”orang laki-Iaki adalah gambar dan kemasyhuran Tuhan;
orang perempuan adalah kemasyhuran orang laki-laki”, adalah ucapan dari zaman
kemudian daripada Nabi Isa.
Ah, perempuan hanya
kemasyhuran saja dari orang laki-laki! G a m b a r dari orang laki-laki pun
tidak! August Bebel mengejek ucapan ini dengan kata: ”Dus tiap-tiap orang
laki-laki tolol, atau bajingan sekalipun, boleh menganggap dirinya lebih tinggi
daripada perempuan yang bagaimana cakap dan muliapun juga. Di dalam praktek,
sayang sekali, keadaan memang begitu, sampai sekarang”.
Dan di dunia Islam? Di
dunia Islampun begitu. Sebelum Nabi Muhammad dinubuahkan menjadi Nabi, Arab
jahiliah berpesta raya di dalam ekses-ekses patriarchat dengan cara yang
mendirikan bulu.
Di negeri-negeri lain
perempuan sekadar dibendakan dan dibudakkan, tetapi di Arab jahiliah ia sering
dianggap sebagai sampah yang mengotorkan. Anak perempuan dibuang, dibunuh,
dikubur hidup-hidup ... Maka datanglah Pemimpin Besar Muhammad memerangi
ekses-ekses patriarchat itu. Tetapi beberapa waktu sesudah Muhammad mangkat,
datanglah lagi penindasan dan penghinaan. Sampai zaman sekarang, belum lenyap
sama sekali pembudakan dan penindas-an itu di beberapa daerah umat Islam, baik
di Barat maupun di Timur, di Afrika Tengah maupun di Sentral Asia.
Dan dunia yang bukan
Keristen dan bukan Islam? Keadaan setali tiga uang. Ekses-ekses patriarchat
masih belum terhapus sama sekali.
Ya, soal perempuan memang
belum selesai, jauh daripada selesai! Ada negeri-negeri yang walaupun sudah
berkemajuan tinggi, di situ ekses-ekses patriarchat masih mengamuk dengan cara
yang mengerikan hati (Jepang). Ada negeri-negeri yang di situ tadinya ekses-ekses
patriarchat luar biasa hebatnya, tetapi oleh karena negara dengan ulet dan
saksama membanterasnya, kini sudah banyak kurangnya, meskipun belum lenyap sama
sekali (Rusia Timur). Ada negeri-negeri yang di situ sudah banyak perbaikan
nasib perempuan, tetapi masih ada soal ”retak” atau ”scheur” sebagai yang saya
ceritakan di muka tadi (Eropa, Amerika). Dan ada pula negeri-negeri yang di
situ keadaan perempuan masih saja seperti beberapa ribu tahun yang lalu,
tatkala Nabi Ibrahim berjalan di padang pasir. (Hadramaut Dalam, Tibet, dlsb.).
Maukah pembaca satu
contoh ekses patriarchat di negeri yang sudah berteknik tinggi? Saya tidak
mengenal lain contoh yang lebih ”jitu” daripada di negeri Jepang. Umumnya
orang-orang yang melihat keadaan perempuan di negeri Jepang, - apa lagi yang
melihatnya secara pelancongan turis saja -, sangat tertarik oleh ”kekulturan”
perempuan
di sana. Dan memang juga
orang-orang yang sudah lama berdiam di Jepang semuanya ter-tarik oleh
”kekulturan” mereka itu. Lafcadio Hearn, O’Conroy, van Kol, Griffis, Lederer,
Alice M. Bacon, Weulersse, dan lain-lain pencinta negeri Nippon, semuanya
memuji kehalusan dan kekulturan perempuan Jepang. Semua mereka itu umumnya
menyebutkan perempuan Jepang ”dewi-dewi kebaikan”, ”puteri-puteri kehalusan”, -
bahasa Belanda: engelen, bahasa Inggeris: angels. Tetapi mereka pun mengetahui
sebab-sebab yang lebih dalam, yang menyebabkan perempuan-perempuan Jepang itu
menjadi dewi-dewi kebaikan dan puteri-puteri kehalusan. Mereka mengatakan,
bahwa hidup perempuan Jepang adalah satu ”kesedihan” (tragedi), satu
”korbanan”, dan bukan sekali-kali satu ”puisi”, satu syair. Salah seorang
pemimpin Indonesia yang dulu ikut dengan delegasi Islam ke Tokyo menjadi kagum,
tatkala ia melihat bahwa orang perempuan Jepang tidak mau duduk di kursi
sebelum ia dipersilahkan duduk oleh suaminya yang telah duduk lebih dahulu.
Kalau umpamanya saudara ini mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam daripada
kebaktian ini, kalau ia mengetahui dasar sosial daripada kebaktian ini, - niscaya
ia tidak akan kagum, tetapi terharu!
Sungguh, amat mengharukan
nasib perempuan Nippon itu. Di muka telah saya katakan, bahwa dulu, ratusan
tahun yang lalu, sebelum zaman feodal, ia adalah sangat merdeka. Dulu ia
memimpin masyarakat, menjadi pemuka ilmu pengetahuan. Dulu ia menjadi pembuat
hukum negara, bahkan sepuluh kali ia mendjadi Radja Puteri di atas singgasana
Negara. Dulu ia dinamakan ”semennya masyarakat”, dan Nippon dinamakan ”negeri
wanita” atau ”negeri raja-raja wanita”. Tetapi sekarang! Sekarang ia menurut
pendapat salah seorang penulis yang telah berdiam di Nippon puluhan tahun
(O’Conroy) tidak lebih dari ”benda zaliman suaminya” dan ”seorang
pengurus-rumah yang tidak bergaji dan alat pelahirkan anak”. Dulu, menurut van
Kol, ia tak pernah menekuk lututnya di hadapan orang laki-laki, tetapi sekarang
ia harus memandang suaminya itu sebagai ”Yang Dipertuan yang wajib ia berhamba
dengan segala kehormatan, dan dengan segala pengagungan yang ia bisa berikan
kepada-nya” (Weulersse). Sekarang ia tak boleh berjalan di muka sang suami,
tetapi harus membuntut di belakang sang suami. Bahasa yang ia pakai terhadap
sang suami adalah lain daripada bahasa yang ia pakai terhadap teman-temannya.
Bahkan bahasa yang ia pakai terhadap kepada anaknya yang laki-laki, haruslah
lain daripada bahasa yang ia pakai terhadap kepada anaknya jang perempuan! .
Suaminya pergi melancong,
pergi menonton, pergi ke rapat, pergi pelesir dengan sundal-sundal di
rumah-rumah ”joroya” atau ”machiya”, tetapi ia tinggal di rumah, bekerja, bekerja,
bekerja. Van Kol pemimpin Belanda yang cinta kepada negeri Nippon itu menamakan
perempuan Nippon satu ”werkdier”, satu ”kuda beban yang tiada berhentinya
bekerja”. Van Kol pula yang menulis: ”Perempuan (Nippon) tidak masuk hitungan.
Hanya si ”bapa” yang ada; ia (si bapa) adalah pusat segala hal; ia me-wakili
dan meneruskan keturunan. Perempuan dianggap sebagai boneka saja, tidak sebagai
isteri, tidakpun sebagai orang yang dipercaya”. Seorang penulis lain
menyebutkan dia ”satu milik buat dipakai, satu benda yang musti selalu ada”.
Kewajiban hidupnya yang
terbesar, ”devoir pourla vie”nya, ialah
m e n u r u t, - m e n u r
u t kehendak sang suami. Demikian
Weulersse berkata. Dan seorang penulis Nippon pula, Shingoro Takaishi,
mengatakan: ”kewajiban orang perempuan yang terbesar, seumur hidup, ialah
menurut”, - ”the great life-long duty of a woman is obedience”. Dan cobalah
pembaca perhatikan kalimat yang berikut, terambil dari buku Nippon ”Pengajaran
Besar buat Perempuan”: ”Segala apa saja yang diperintahkan suami, harus diturut
oleh perempuan dengan penuh ketaatan. Ia musti menengadahkan muka kepada suami,
seakan-akan suami itu setinggi langit. Ia musti selalu memikirkan apakah yang
dapat menyenangkan hati sang suami.
Ia musti bangun
pagi-pagi, masuk tidur jauh malam, supaya rumah tangga selalu beres. Adat kita
dari zaman dulu ialah bahwa bayi perempuan yang baru lahir, harus diletakkan
tiga hari lamanya di atas tanah. Dari adat kita ini ternyata, bahwa laki-laki
tinggi seperti langit, dan perempuan rendah seperti tanah”.
Pada waktu orang
perempuan Nippon menikah, ia harus memakai pakaian yang berwarna putih, sebab
bagi orang Nippon warna putih adalah warnanja maut. Simbolik ini berarti, bahwa
pada waktu ia menikah, ia telah mati bagi kehendak-kehendak dan
keinginan-keinginan sendiri. Orang tuanyapun pada waktu itu membakar api, -
membakar api seperti pada waktu kematian salah seorang keluarganya. Ia tinggal
hidup bagi Dia yang Satu itu saja, - tinggal hidup bagi Sang Suami.
Ia tidak boleh berkata
apa-apa, kalau suaminya jauh-jauh malam belum pulang dari pelesir. Ia musti
menunggu dengan sabar, memasang telinga dengan teliti, supaya, kalau ia,
mendengar jejak kaki suaminya di tangga, ia segera dapat membukakan pintu dan
menghormatnya dengan menekukkan lutut. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalaupun
sang suami itu membawa sundal ke dalam rumah. Ia malahan tak boleh berkata
apa-apa, kalau sang suami memerintahkan kepadanya, membereskan tempat tidur
buat suaminya dan sundal itu, atau menyediakan sake hangat di sebelah tempat
tidur itu, meskipun ia mengetahui bahwa sake itu ialah buat menguatkan
nafsu-birahinya sang suami itu. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalau ia kemudian
disuruh menutup pintu bilik, disuruh menunggu duduk di muka pintu itu,
kalau-kalau nanti sang suami memanggil kepadanya dengan tepokan tangan, -
meminta ini atau itu buat kesenang-annya dengan sundal itu.
Di dalam buku O’Conroy,
professor ini menceriterakan satu pengalaman yang amat mengharukan:
”Saya tidak akan dapat
melupakan pengalaman saya pertama kali, tatkala saya menyaksikan, betapa
seorang anak perempuan yang masih pengantin baru, duduk di muka pintu kamar
tidurnya, menunggu suaminya memanggil dia dengan tepokan tangan. Ia baru umur
enam belas tahun dan belum banyak, lebih daripada seorang kanak-kanak.
Ia mengira telah mendapat
satu keberuntungan yang besar, karena mendapat seorang suami yang agak kaya. Ia
sangat membanggakan dirinya, rumah tangganya, suaminya. Ia agungkan suaminya
itu sebagai seorang-orang yang maha mulya. Ia ingin sekali lekas mendapat
seorang anak laki-laki.
Ia baru kawin seminggu,
tatkala suaminya datang di rumah. membawa seorang sundal. Ia diperintahkan oleh
suaminya itu menyediakan tempat tidur, dan menunggu di muka pintu. Tatkala saya
melihat dia itu, dia sedang duduk di atas tikar kecil dari jerami. Ia goyangkan
badannya ke muka dan ke belakang, merintih, seluruh tubuhnya gemetar dan
menggigil. Ia menggenggamkan tangannya sehingga kaku, dan tiap kali ia
menundukkan tubuhnya ke muka, dipukul-pukulkanlah kepalanya di atas papan.
Tampaknya kepada saya ialah seperti ia mau memukulkan keluar fikiran-fikiran
yang ada di dalam kepalanya itu. Sekonyong-konyong mengalirlah air matanya
banyak-banyak di atas pipinya. la menggigit-gigit bibir supaya tidak berteriak,
dan darah menetes dari ujung-ujung mulutnya. la mengambil pucuk kimononya, dan
diputar-putarkannya di dalam tangannya. Kemudian ia memasukkan pucuk kimono itu
ke dalam mulutnya, supaya tidak keluar satu jeritan sakit hatinya. Keadaan saya
di situ rupanya dianggap sebagai satu penghinaan oleh suami itu, dan saya tidak
berani lagi bertamu di situ setengah tahun lamanya. Tatkala saya bertamu lagi
kesitu, - seperti sudah ditakdirkan, sedang terjadi lagi hal yang sama pula:
suaminya dengan sundal di dalam kamar. Tetapi ini kali isteri itu duduk tenang
membaca surat kabar, dan tatkala ia melihat saya, berdirilah ia sesudah
memanggutkan kepalanya secara biasa, menyongsong kedatangan saya, mengucapkan
selamat datang kepada saya dengan muka yang tersenyum. la telah belajar,
belajar bahwa kewajibannya ialah menurut” ...
Sungguh, tidak ada satu
perempuan Jepang yang tidak menurut. Sebab kecemaran nama yang paling sangat di
negeri Jepang, kehinaan yang paling besar, ialah dicerai (ditalak) oleh suami.
Semua kehinaan masih dapat dipikul, semua kepedihan masih dapat ditahan, -
kecuali kehinaan yang satu ini. Lebih baik sengsara dan menangis dalam hati
seumur hidup, daripada mendapat perintah dari sang suami supaya pulang.
Dan suami ini dapat
menyuruh dia pulang setiap waktu, pagi atau sore, siang atau malam. Begitulah
keadaannya sekarang. Padahal di zaman dulu, suami yang menceraikan isterinya,
kehilangan sama sekali semua harta miliknya, karena harta miliknya itu menjadi
hak isteri yang diceraikan itu!
Ya, - ”suami” - itulah
kata satu-satunya yang terdapat di dalam kamus seorang perempuan Jepang. la
seorang isteri yang ”sempurna”, yang halus, yang mencinta, yang taat, yang
bakti, yang berkorban, - karena sang suami itu. Orang tak mudah mengarti hal
ini. Dr. Nitobe sendiri, itu penulis Jepang yang termasyhur, berkata, bahwa
perempuan Jepang itu sudah menjadi satu soal, satu problem. ”Problem bagi
dunia, problem bagi negerinya, problem bagi dirinya sendiri”. Ia mencinta meski
tak pernah dicinta, mengorbankan dirinya meski tak pernah mendapat terima
kasih. Ia selalu memberi, dan tak pernah mendapat. Hidupnya, menurut O’Conroy,
adalah satu ”tetesan air mata dan satu senyuman, satu keduka-citaan yang
dipikul dengan diam-diam, satu hidup mati berdiri yang tiada persamaannya di
sudut dunia manapun jua”. Baginya, menurut tulisan van Kol, tidak kawin adalah
satu noda yang amat besar, tetapi kawin satu siksaan yang amat pedih.
Betapa hebatnya cinta
seorang perempuan Jepang! Ia mencinta dengan segenap jiwanya, tetapi tak dapat
menjelmakan cintanya itu, karena suaminya tak mengizinkan dia duduk terlalu
dekat. Ia musti selalu bersikap hormat, selalu bersikap” abdi”. Maka
dicurahkannyalah cintanya itu habis-habisan kepada anak. Lafcadio Hearn tidak
mengenal satu hal yang lebih mengharukan hati, daripada seorang perempuan
Jepang yang mengusap-usap dan mencium-cium kepada anaknya. Matanya yang
memandang kepada anaknya itu seringkali berlinang-linang.
Tetapi, apakah laki-laki
Jepang membalasnya dengan cinta pula?
Menurut semua ahli-ahli
jiwa orang Jepang, maka laki-laki Jepang itu tak kenaI apa cinta itu. Bahasa
Jepang tak mengenal kata buat ”cinta kasih”, di dalam arti dan makna yang kita
kenal kepadanya. Perkataan mereka buat ”cinta” adalah satu perkataan yang
bermakna persatuan tubuh, dan aksara mereka buat ”cinta” adalah aksara yang
menggambarkan persatuan tubuh. Perempuan bagi mereka hanya makhluk pelepas
syahwat. Cerita-cerita roman Jepang hampir tak pernah berakhir dengan ”happy
end”, - yaitu kebahagiaan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Cinta
batin, cinta jiwa, tidak ada. Karena itu maka laki-laki Jepang tidak mengarti,
bahwa ia menjalankan satu penghinaan kepada isterinya, kalau ia menyundal,
menyelir, membawa perempuan lain ke dalam rumah. Ia merasa boleh mempunyai
selir (makake) berapa saja, - di luar dan di dalam rumah. Ia merasa boleh
menyundal beberapa kali saja setiap hari, sekuat uang dan kemampuannya. Bergaul
dengan geisha-geisha dan perempuan jalang dianggapnya bukan satu keimmorilan.
Di seluruh negeri Jepang, di tiap-tiap sudut adalah rumah-rumah joroya dan
machiya. Tidak ada satu pesta, tidak ada satu perjamuan, yang tidak
”disempurnakan” dengan geisha-geisha.
Perzinahan, -
persetubuhan di luar nikah -, bukanlah satu dosa. Menurut perhitungan cacah
jiwa rakyat yang dikerjakan oleh Departemen Tata Usaha Keraton beberapa tahun
yang lalu, maka 60% dari anak-anak bangsawan adalah dilahirkan oleh
isteri-isteri yang tidak dikawin.
Tetapi janganlah seorang
perempuan yang sudah bersuami syah,
berzina dengan laki-laki
lain! Hukuman berat, dari wet dan dari etika, akan jatuh di atas kepalanya! Beberapa
puluh tahun yang dahulu, ia malahan dijatuhi hukuman mati karena perzinahan
itu. Ia hanyalah sebuah milik yang tak boleh diraba oleh orang lain; suami
adalah yang memiliki milik itu, dan suami itu boleh menambah jumlah milik itu
menurut kemampuannya.
Patriarchat bukan
patriarchat, kalau perempuan hanya milik s u a m i
s a j a. Pada asalnya, b
a p a l a h yang memilikinya lebih dahulu. Milik si bapa ini, karena
perkawinan, pindah kepada si suami. Bapa tidak menyelidiki lebih jauh, maukah
atau tidak maukah anaknya itu kepada laki-laki yang hendak mengawininya. Bapa
yang menimbang, bapa yang memutus. Dan anakpun tidak akan banyak bicara, - anak
menurut saja. Tidak banyak ”ramai-ramai” atau pesta perkawinan diadakan. Sebab
perkawinan hanyalah satu ”amal kontrak sipil” saja. Menurut van Kol, maka,
segera sesudah menikah, perempuan itu lantas saja dibawa ke rumah suaminya, dan
”lantas saja disuruh bekerja di rumah tangga”. Badannya, tenaganya, jiwanya,
menjadi barang milik. Dan anak-anaknyapun kelak menjadi milik: Kalau ia
dicerai, - diusir dari rumah suaminya -, maka anak-anaknya seorangpun tidak
boleh mengikutinya!
Pada waktu belum menikah,
bapanya boleh mengasihkan dia kepada siapa saja yang dikehendaki oleh bapanya
itu.
Ia boleh dijualnya kepada
germo-germo, boleh digadaikannya sebagai tanggungan hutang. Kadang-kadang,
anak-anak perempuan yang masih amat kecilpun, baru berumur lima-enam tahun,
telah dilepaskan oleh bapanya kepada agen-agen sundal itu, untuk ”dididik”
supaya kelak menjadi sundal biasa atau menjadi geisha.
Agen-agen rumah joroya
atau rumah machiya keluar masuk kampung, mencari perawan-perawan yang sudah
dara, atau anak-anak kecil yang masip bermain-main. Kemiskinan kaum tani Nippon
yang amat sangat, itulah bumi subur untuk kejahatan agen-agen ini. ”Tidak ada
uang di rumah, ... tetapi masih ada anak gadis”... itu berarti masih ada
harapan. Agen-agen itu amat tajam sekali hidungnya. Mereka dengan ketajaman
hidung serigala, dengan segera mencium, di manakah letaknya desa-desa yang
penduduknya di dalam kesusahan. Ada daerah-daerah di negeri Nippon, yang di
situ hampir tidak ada lagi gadis-gadis atau perempuan-perempuan muda.
Seorang penulis
menceriterakan satu kejadian yang biasa: ”Di dalani satu gubug, duduk seorang
orang tani yang sudah tua, dengan isterinya, dan anaknya perempuan yang masih
kecil. Ketiga mereka itu duduk dekat kepada api, mencoba-coba mencari hangat.
Orang tua itu memakai semacam mantel, terbuat daripada rumput. Angin dingin
masuk dari lobang-lobang cela pintu yang terbuat dari pada kertas, dan pintu
itu bergoyang karena angin. Tikar yang mereka duduki, warnanya kuning dan
kotor, dan sudah amoh. Ibu dan anak diam, tidak mengucapkan sepatah kata
juapun; orang laki itu sekali-sekali mengeluarkan suara, tetapi tiada artinya.
Yang bergerak hanya tubuh perempuan dan anak itu, karena menggigil kedinginan.
Sekonyong-konyong
terdengar dari luar pintu suara sopan santun, - minta maaf karena mengganggu.
Bapa tani itu pergi ke pintu, dan sebelum ia membukanya, berjongkoklah ia,
serta mengatur tangannya menurut aturan kehormatan. Ia tundukkan kepalanya,
sehingga kepalanya itu hampir mengenai tikar yang kotor itu. Demikianlah ia
mengucap selamat datang, memper-silahkan tamu supaya masuk. Dengan banyak
sekali mem-bungkuk-bungkuk dan memanggut-manggut, pergilah tamu itu ke tempat
dekat api. Di situ dikerjakan lagi hormat-menghormat dengan saksama.
Keempat-empat orang itu menaruh tangan di atas tikar, - telapak ke bawah, ujung
jari ke dalam. Kepala ditundukkan hingga hampir mengenai tikar. Bapa tani meng-ucapkan
salam kehormatan rumahnya, meminta beribu-ribu maaf atas segala kekurangan. Si
tamu membalas dengan kalimat-kalimat yang sangat hormat dan sopan menurut
kebiasaan. Satu mangkuk kecil dengan teh hijau disuguhkan kepada tamu terhormat
itu, yang dengan banyak desakan tuan-rumah akhirnya mau duduk juga di tempat
kehormatan dalam bilik itu. Teh itu diminumnya dengan pelahan-pelahan dan
menurut aturan semestinya, dan sesudah sejurus waktu yang pantas, mulailah ia
membuka pembicaraan. Anak perempuan itu tak boleh berkata apa-apa, - tak
perduli umurnya enam tahun, atau enambelas tahun, atau enamlikur tahun! Ia
harus tunduk kepada kehendak bapa ... Kalau pembicaraan jual-beli sudah
selesai, maka ia menundukkan badannya kepada bapanya itu, dan kemudian juga
kepada si tamu itu. Pakaian-pakaiannya yang sedikit itu ia kumpulkan menjadi
satu bungkusan. Berangkatlah ia mengikuti tuannya” ...
Ia menjadi gadis joroya,
atau seorang ”maiko” yang dididik menjadi geisha. Boleh dikatakan, ia tidak
akan merdeka lagi, sebelum tubuhnya layu dan keelokannya hilang. Di negeri
Nippon sedikitnya 4.000.000 gadis-gadis kecil di bawah umur 15 tahun
meninggalkan rumah orang tuanya secara itu. Di dalam kitab O’Conroy saya
membaca keterangan orang Jepang Mr.
Satoh yang amat pedas, yang berbunyi: “Salah satu sebab, mengapa pencatatan
kelahiran anak di negeri Jepang tidak
begitu berguna, ialah,
oleh karena anak-anak masuk kepada barang ”roerende goederen” yang menjadi
milik orang yang memilikinya. Sebagai juga halnya dengan babi, ayam, sapi,
serta kambing, maka anak-anak itu diternakkan, - buat nanti dijual. Dulu orang
membeli anak-anak dengan harga 50 sampai 60 yen, sekarang seorang anak
perempuan yang berumur delapan tahun dan cantik paras mukanya hanyalah berharga
10 yen” ...
Ah, Sarinah di negeri
Sakura yang indah itu, dan yang kebudayaannya di lain fihak begitu tinggi!
Hanya tiga jenis tempat nasibnya:
Dinikah orang, atau tidak
dinikah orang, atau dibeli orang dan
dijadikan ”bunga”.
Dinikah orang berarti perhambaan yang berat;
tidak dinikah orang
berarti kehinaan seumur hidup; dibeli orang dan menjadi bunga joroya atau
geisha berarti kesengsaraan puluhan tahun.
Barangkali menjadi
geishalah yang paling mendingan.
Sebagaimana di kota
Athena (Yunani) di zaman purbakala perempuan-perempuan yang tidak mau dikurung
dan ditindas oleh kaum laki-laki, sama menjadi h
e t a e r e, - yaitu menjadi sundal merdeka, - maka di Nippon geisha-geishalah
yang paling ”senang”. Bacalah keterangan seorang geisha yang saya kutip ini!
Menggelikan, tetapi juga menyedihkan! ”Kami geisha-geisha masih boleh dikatakan
yang paling untung. Lebih untung dari perempuan-perempuan yang punya suami,
atau sundal-sundal biasa. Perempuan yang bersuami diwajibkan tidur dengan satu
orang laki-laki seumur hidup, dan tidak mendapat bayaran sepeserpun juga.
Sundal biasa diwajibkan tidur dengan banyak orang-orang laki-laki, dan
kadang-kadang mendapat persenan juga. Kami kaum geisha tidur hanya dengan
sedikit orang laki-laki saja, dan seringkali juga boleh memilih sendiri siapa
yang kami cintai. Dan mereka mengasih persenan-persenan kepada kami” ...
Sungguh, di negeri
”matahari terbit” itu, belum terbit mata-hari bagi kaum perempuan! Tetapi ia tidak
boleh mengaduh; ia tidak boleh bermuka sedih. Ia diwajibkan selalu bermuka
manis, ia harus selalu tersenyum. Ia tidak boleh mengganggu hati sang suami
dengan muka yang tidak menarik hati. Ia diwajibkan selalu seperti bidadari,
meskipun baru saja dipukuI, dikasari kata, dimasuki sundal rumah-tangganya.
Akhirnya ia menjadi satu makhluk yang selalu tersenyum, tersenyum, tersenyum
saja. Tetapi berapa rintihan sukma, berapa senggukan tangis tersembunyi di
belakang senyuman itu? Adalah satu peribahasa Nippon yang berbunji: ”Orang
laki-laki tertawa dengan hatinya; orang perempuan tertawa dengan mulutnya
saja”.
Sejak dari kecil ia sudah
disuruh mengafalkan isi buku kuno tulisan Kaibara Ekiken (sudah barang tentu
pujangga pendidik perempuan ini orang ... laki-laki!) yang bernama ”Onna
Dai-Gaku” (”Sekolah Tinggi buat perempuan”), yang mengandung ajaran seribu satu
kewajiban dan seribu satu larangan yang seram-seram. Salah satu kewajiban itu
ialah: tetap bermuka manis, tetap gembira, meskipun hati merintih-rintih.
Dan salah satu larangan
ialah: perempuan tidak boleh mengomel, sebab Konghucu telah berkata bahwa ”ayam
betina yang pagi-pagi sudah berkokok, niscaya membawa sial”! Herankah kita
bahwa perempuan di negeri matahari terbit ini menjadi ”bidadari-bidadari kejelitaan”,
yang tiada bandingannya di muka bumi? Bukan karena adanya agama Buddha saja;
negeri Nippon dinamakan ”negeri bunga teratai”. Bunga teratai Nippon yang
sesungguhnya, ialah wanita Nippon itu! Ditanam di dalam lumpur, tetapi tetap
cantik manis; ditumbuhkan di dalam kotoran, tetapi tetap menarik hati! ...
Van Kol menulis tentang
perempuan Nippon itu: ”Perempuan hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya
saja; kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan perasaan-perasaan hati
sendiri, tidak diberikan kepadanya”. ”Perempuan dididik dalam kepercayaan,
bahwa laki-laki dapat mengerjakan segala hal lebih baik daripada dia, dan bahwa
banyak sekali hal-hal yang sama sekali tidak dapat dikerjakan oleh wanita.
Ditanamkan dalam-dalam di dalam ingatannya, bahwa semua urusan dunia hanya
laki-lakilah yang dapat memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada
anak-anak perempuan yang masih kecil diajarkan, bahwa mereka tak mempunjai hak
apa-apa bilamana mengenai adiknya laki-laki”. Peribahasa Jepang berbunyi: ”Di
dalam tiga dunia perempuan tak boleh mengaso: dunia sekarang, dunia yang sudah
silam, dunia yang akan datang”. Satu lagi: ”Tiga hukum ketaatan harus
diindahkan oleh perempuan; waktu ia kecil, ia harus taat kepada orang tuanya;
waktu dewasa, ia harus taat kepada suaminya; waktu tua, ia harus taat kepada
anaknya”. Andre Bellessort menulis: ”Di Nippon, tidak ada barang sesuatu yang
lebih menghibakan hati, daripada wanita. Segala miliknya, harus ia anggap
sebagai kemurahan hati suaminya. Hidupnyapun adalah karena kemurahan hati Yang
Dipertuan itu”. Griffis berkata: ”Barangkali tidak ada yang melebihi wanita
Jepang sebagai ibu, sebagai isteri, sebagai anak, sebagai kawan, di atas
lapangan kebajikan meniadakan diri sendiri dan mengorbankan
diri sendiri” .
Demikianlah nasib wanita
Jepang. Saya kira nasib mereka itu menggambarkan ekses-ekses patriarchat dengan
cara yang terang
sekali. Negeri Nippon
terbagi menjadi dua alam: alamnya laki-laki
yang menindas, dan
alamnya perempuan yang tertindas. Di atas segala lapangan, dua alam ini
berlainan satu dari yang lain. Tingkah laku, budi pekerti, tabiat, cara hidup
sehari-hari, bahasa, kesenangan-kesenangan, angan-angan, cita-cita, - semuanya
berlainan, semuanya mempunyai corak sendiri. Laki-laki yang turun-temurun berabad-abad
hidup dalam ideologinya penindas, bangun tidur sebagai penindas yang selalu
diturut dan ditaati, - laki-laki itu akhirnya sama sekali menjadi ”manusia
lain” daripada perempuan yang turun-temurun berabad-abad selalu tunduk dan
tertindas itu. Perempuan menjadi seperti makhluk-makhluk sutera, seperti
”bidadari”, seperti dewi-dewi kebaikan yang menurut seorang penulis Perancis
penuh dengan ”grace et douceur”, tetapi laki-laki Jepang adalah angker, angkuh,
kaku, sengit, gampang membentak dan menempiling. Lafcadio Hearn yang paling
mengenal bangsa Jepang di antara ”penulis-penulis yang lain, Lafcadio Hearn
berkata bahwa wanita Jepang itu ”begitu berbeda segala-galanya daripada
laki-laki Jepang, sehingga kelihatannya mereka itu memang satu bangsa lain sama
sekali”. Di dalam bukunya O’Conroy ada termuat komentarnya seorang penulis
Jepang atas ucapan Lafcadio Hearn itu: Ia membenarkan Lafcadio, dengan
perkataan: ”Hampir semua orang asing memang melihat perbedaan antara laki-laki
kita dan perempuan kita. Laki-laki kita umumnya memang tidak rapih, mukanya
seperti liar, tingkah lakunya kasar, bahasanya tidak teratur, sikapnya di
tempat umum tidak sopan. Perempuan-perempuan kita selamanya membelakangkan
diri, sopan, dan di dalam kehidupan rumah tangga malahan lebih sederhana dan
lebih sopan lagi. Kalau laki-laki kita dengan tingkah-lakunya yang kasar itu
dianggap sebagai contoh kelaki-lakian, maka perempuan-perempuan kita harus
dianggap sebagai bidadari-bidadari”. Van Kol pun demikian pendapatnya:
”Barangkali tidak ada negeri lain di dunia ini, di mana perem-puan begitu b e r b e d a dari laki-laki, seperti di Jepang. Orang boleh
berkata benar-benar, bahwa di sana itu ada dua bangsa manusia yang
sebelah-menyebelah satu sama lain: laki-laki dan perempuan, yang bukan saja
perangainya berbeda, tetapi juga badannya berbeda satu sama lain. Terutama
sekali kepada orang-orang Eropa perbedaan ini sangat menyolok mata”.
Itulah akibat ekses
patriarchat! Ratusan tahun kebiasaan menindas telah memberi ”kesan” kepada
rohani dan jasmani yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah
memberi ”kesan” pula kepada rohani dan jasmani yang tertindas. Memang perbedaan
di atas lapangan rohani dan jasmani itu, - yang tidak untuk ”keperluan turunan”
-, telah saya bicarakan di muka: Perbedaan-perbedaan itu bukan perbedaan yang
karena kodrat alam, bukan perbedaan yang dari zaman purbakala telah ada, tetapi
ialah perbedaan-perbedaan yang karena milieu, perbedaan-perbedaan yang karena
kebiasaan hidup, - perbedaan-perbedaan yang karena menindas atau ditindas
turun-temurun. Siapa yang di zaman sekarang ini, sesudah ilmu pengetahuan dapat
mengangkat tabir yang menutup pelbagai rahasia-rahasia dalam masyarakat
manusia, masih saja mengatakan, bahwa memang k o d r a t perempuan berbadan lemah, berjalan tunduk,
berfikir dungu, berperasaan sempit, berkemauan tak tentu, dan bahwa oleh karena
itu d u s sudah k
o d r a t perempuan untuk ditaruh di lapisan bawah atau ditaruh di luar
pergaulan hidup, - dia sendiri adalah orang yang bodoh, orang yang dangkal
pengetahuan. Dia saya persilahkan membuka buku sejarah-masyarakat, antara
lain-lain sejarah masyarakat Nippon yang membuktikan kebodohan anggapannya itu:
Dulu, di zaman sebelum zaman feodal, perempuan Jepang tangkas, sigap badan,
cerdas, menjadi raja-raja puteri, memerintah, memegang obor kesenian,
mengalahkan kaum laki-laki yang menurut van Kol di waktu itu. ”verwijfd”, -
sekarang, sesudah ratusan tahun ekses patriarchat, ia berjalan membungkuk,
menjadi makhluk ”jelita”, kaum yang mengalah, orang yang ”nerimo”. Sungguh
masya-rakat Jepang itu masyarakat yang baik kita pelajari, oleh karena
masyarakat di sana itu dengan jarak yang hanya seribu tahun saja telah mengenal
dua ”macam” perempuan: perempuan yang menang rohani dan jasmani, dan perempuan
yang kalah rohani dan jasmani.
Dan saya heran: tidakkah
pernah orang mendengar nama Amazone? Tidakkah pernah orang mendengar nama
Tembini? Anggapan tentang apa yang disebut ”pencaharian hidup menurut kodrat”,
”tujuan menurut kodrat”, ”bakat menurut kodrat” dan lain sebagainya itu, yang
hendak m e n e t a p k a n perempuan itu di samping api dapur s a j a dan buaian anak s a j a, anggapan demikian itu dibantah
mentah-mentah oleh sejarah masyarakat.
Tetapi, pembaca,
janganlah pembaca kira bahwa contoh-contoh ekses patriarchat yang keliwat,
hanya terdapat di Jepang saja! Tidak! Di daerah-daerah Islam dari negara Rusia,
(tetapi pemerintah Sovyet bekerja keras untuk mengemansipasikan wanita di
daerah-daerah yang di bawah kekuasaannya), dan, di negeri-negeri yang
berpemerintahan Islam pula, ada tempat-tempat yang patriarchat mengekses
sehingga mendirikan bulu. Bacalah kitab-kitab Fanina W. Halle, Meredith
Townsend, Frances Woodsmall, dsb! Sudah barang tentu ”Islam” d i t e m p a t - t e m p a t i t u bukan
Islam murni sebagai yang di kehendaki Tuhan dan Rasulullah, yang memberi
kedudukan baik kepada wanita. Sebenarnya saya di dalam risalah ini ingin sekali
menceriterakan tentang ekses-ekses patriarchat di daerah-daerah Islam itu, tetapi
sayang seribu sayang ada dua hal yang menghalanginya: Pertama oleh karena
tempat di dalam kitab ini kurang luas, kedua oleh karena buku-buku saya yang
mengenai perkara ini semuanya ketinggalan di Bengkulu. Insya Allah, kalau Tuhan
mengizinkan, kalau buku-buku itu sudah dapat saya datangkan, kalau saya ada
waktu, saya hendak menulis satu risalah tentang ”Perempuan di dunia Islam”.
Saya tadi mengambil
Jepang sebagai gambaran, oleh karena Jepang adalah negeri m o d e r n. Saya menaroh masyarakat Jepang
itu dalam peneropongan, untuk memberi pengartian kepada pembaca, bahwa
kemodernan t i d a k s e l a m a n y a dibarengi dengan
penjunjungan derajat perempuan. Tetapi perhatikanlah: manakala nanti
industrialisme di Nippon makin banyak membutuhkan tenaga perempuan, manakala
industri-alisme itu nanti makin banyak menarik tenaga wanita ke dalam p r o d u k s i m a s y a r a k a t, - maka tidak akan laku
lagi sepeserpun segala ajaran-ajaran kitab ”Onna Dai Gaku” yang kolot itu. Maka
tidak boleh tidak akan b e r o b a h derajat perempuan di Jepang itu. Maka
pasti akan berganti m o r a l tentang kewanitaan di Jepang itu. Malahan di
waktu sekarang ini t e l a h m u l a i
perubahan itu berlaku berangsur-angsur. Banyak ”perempuan baru” kini telah
berjalan di jalan-jalan Tokyo, Kyoto, Nagoya, dll. Peperangan Jepang Tiongkok
yang banyak membutuhkan tenaga perempuan di paberik-paberik, peperangan dunia
II yang dito, memberi dorongan lagi kepada proses perobahan itu. Saya kira,
segala sisa-sisa kekolotan itu akan lenyap sama sekali sebelum abad ke XXI
mengetok pintu. Buat kesekian kalinya kita akan melihat, bahwa segala
ikatan-ikatannya moral yang kolot, segala belenggu-belenggu ”agama” yang
menyalahi Agama, akan pecah hancur putus karena hantaman hukum Predestinasi
Sosial Ekonomis.
Perempuan akan merdeka
dan pasti merdeka. Bukan di Nippon saja, tetapi juga di tempat-tempat yang
keadaan wanita-nya kini lebih mesum lagi daripada di Nippon itu: di beberapa
tempat di Magribi dan Arabia, di Syarkulardan dan di Punjab, di beberapa daerah
Sentral Asia dan Sentral Afrika, di beberapa daerah tanah air kita sendiri.
Perempuan di Jepang masih boleh keluar pintu, masih boleh ke pasar dan ke
kedai, masih boleh ke medan umum, masih boleh melihat dunia. Tetapi di
tempat-tempat yang saya sebutkan itu ada banyak mereka yang sama sekali
dikurung, ditutup, dipingit. Van Kol mengeluh kalau ia melihat nasib Keiko atau
Setsuko di negeri Sakura, tetapi ia tentu mengakui pula bahwa nasib Zulaeha
atau Maemunah di beberapa daerah Islam ada yang lebih menyedihkan lagi. Banyak
penulis yang sudah mengelilingi seluruh dunia Timur, dari Magribi sampai ke
Jepun, dari Peiping sampai ke Singapura, tidak dapat menunjukkan tempat-tempat
yang wanitanya lebih terkungkung daripada justru di beberapa daerah yang
namanya daerah ”Islam”.
Jepang adalah satu
paradox, antara kemodernan dan kekolotan. Tetapi kekolotan fahamnya tentang
wanita, tidak memegang record. Record kekolotan adalah dipegang oleh sebagian
dari umat yang namanya telah beragama Islam. Bukan sesuai dengan kehendak
Islam, tetapi, bertentangan dengan kehendak Islam!
BAB V
WANITA BERGERAK
Keadaan wanita yang ditindas oleh fihak laki-laki itu akhir-nya, tidak
boleh tidak, niscaya membangunkan dan membangkit-kan satu pergerakan yang
berusaha meniadakan segala tindasan-tindasan itu. Itu memang sudah hukum alam.
Tetapi adalah hukum alam juga, bahwa kesedaran dan kegiatan sesuatu pergerakan
bertingkat-tingkat.
”Ber-evolusi”. Pergerakan perempuan ber-evolusi.
Buat mengarti tingkat-tingkat evolusi pergerakan perempuan itu, pembaca
lebih dulu dengan singkat saya ajak meninjau lagi keadaan masyarakat perempuan
di dunia Barat seratus lima puluh tahun yang lalu.
Barangkali pembaca menanya: kenapa ”dunia Barat”?
Jawab atas pertanyaan itu adalah mudah dan singkat: oleh karena di dunia
Baratlah lahirnya pergerakan wanita mula-mula. Di dunia Baratlah pertama-tama
terdengar semboyan ”perempuan, bersatulah”! Di dunia Baratlah berkembangnya
contoh untuk kaum wanita di dunia lain. Malahan dari mulut wanita dunia Barat,
dari mulut Katharina Brechkovskaya, pertama-tama terdengar seruan: ”Hai wanita
Asia,
sedar dan melawanlah!”.
Tatkala perempuan di dunia Barat sudah sedar, sudah bergerak, sudah
melawan, maka perempuan di dunia Timur masih saja diam-diam menderita pingitan
dan penindasan dengan tiada protes sedikitpun juga. Tidak diketahui, tidak
dikira-kirakan, oleh perempuan di dunia Timur itu, bahwa a d a
kemungkinan menghilangkan tindasan dan pingitan itu, bahwa a d a
jalan untuk memerdekakan diri. Dikiranya, bahwa tindasan dan pingitan
itu memang sudah kehendaknya alam. Tetapi sebagaimana faham-faham politik yang
timbul di dunia Barat lambat-laun menular pula ke dunia Timur, demikian pula
maka semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang didengung-dengungkan di dunia
Barat itu akhirnya mengumandang dan menggaung juga di tepi-tepi sungai Nil,
sungai Yang Tse, dan sungai Gangga. Kini dunia Timur sudah mempunyai
”pergerakan wanita”, kini Asia sudah tidak lagi mendidih dan menggolak dengan
perjoangan kaum laki-laki s a j a,
tetapi wanita Asia pun sudah mulai ikut-serta di dalam perjoangan
untuk seksenya sendiri dan untuk tanah airnya.
Tetapi, boleh dikatakan belum ada satu negeri di benua Timur itu
yang pergerakan wanitanya, - kecuali beberapa individu -, telah
b e r i d e o l o g i setinggi
ideologi pergerakan wanita di dunia Barat di dalam tingkatannya yang terakhir.
Timur meniru kepada Barat, tetapi menirunya itu belum menyamai segenap
tingkatan yang boleh menjadi teladan kepadanya.
Bilamana di dunia Barat pergerakan wanita dengan nyata menunjukkan tiga
stadia evolusi, tiga tingkatan, - tingkatan
k e s a t u, tingkatan
k e d u a, dan tingkatan k e t i g a -, maka Timur yang meniru Barat
itu, paling mujur, barulah sampai ketingkatan k e s a t u dan k e d u a
saja. Dan itupun belum sehebat, seberkobar-kobar, semenyala-nyala
tingkatan kesatu dan kedua di benua Barat beberapa puluh tahun yang telah lalu!
Apakah tingkatan-tingkatan pergerakan wanita di dunia Barat itu?
Marilah saya ceritakan hal itu kepada pembaca, lebih dulu secara
”selayang terbang”. Itulah cara yang paling ”mengartikan”.
Sesudah peninjauan ”selayang terbang” itu, - saya maksudkan:
sesudah peninjauan ”dari udara”, yang memberikan ”ikhtisar umum” -, maka
pembaca akan saya ajak turun lagi ke bumi bagian kecil-kecil,
ke buminya detail. Dengan cara yang demikian, kita akan lebih mudah
mengarti sejarah kesedaran wanita di benua Barat, dari dulu. sampai sekarang.
S e b e n a r n y a, belum boleh dikatakan ada ”pergerakan wanita” di
Barat sebelum pecahnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis pada silamnya
abad kedelapan belas.
Baru d i d a 1 a m Revolusi Amerika dan Perancis itulah buat
pertama kali ada aksi fihak wanita yang tersusun, yang boleh diberi gelar
”pergerakan wanita”. Baru d i d a l a m Revolusi itulah kaum wanita Barat
secara tersusun menuntut hak-haknya sebagai manusia, sebagai anggauta masyarakat,
sebagai warga Negara, memprotes kezaliman atas diri mereka sebagai sekse dan
sebagai warga negara wanita.
S e b e l u m Revolusi-Revolusi
itu, belum adalah gerakan itu. Hanya di kalangan kaum perempuan b a n g s a w a
n dan h a r t a w a n adalah semacam ”kerajinan”, semacam ”kegiatan”, yang saya
namakan
” t i n g k a t a n k e s a t u ”
daripada pergerakan wanita. Sebenarnya perkataan p e r g e r a k a n wanita
buat tingkatan kesatu inipun kurang tepat, sebab ”kerajinan” atau ”kegiatan”
itu sama sekali bukan pergerakan, - apalagi gerakan! ”Kerajinan” dan ”kegiatan”
itu hanyalah satu ”onder-onsje” (pertemuan antara kawan-kawan) belaka, ...
- satu ”kelangenan” (J.) Bukan satu
”aksi”, bukan satu perlawanan tersusun”, bukan satu ”gelombang kesedaran”. Ia
hanyalah satu ”kesukaan”, satu ”pengisi waktu nganggur”. Ia terutama sekali
dikerjakan oleh wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang jemu dengan terlalu
banyaknya waktu menganggur.
Ada gunanya ”kegiatan” semacam itu saya namakan satu t i n g k a t
k e s a t u daripada p e r g e r a k a n wanita!
Sebab di Indonesia sini, terutama sekali sebelum Indonesia merdeka
kebanyakan kegiatan-kegiatan wanita yang disebutkan orang ”pergerakan wanita
Indonesia”, sebenarnya tidak lebih daripada kegiatan semacam ”onder-onsje” atau
”kelangenan” pula. Satu onder-onsje priyantun-priyantunan, yang sama sekali
jauh terasing daripada massa, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi
politik sama sekali!
Apakah kegiatan ”tingkatan kesatu” di benua Barat itu?
Tingkatan kesatu ini ialah tingkatan perserikatan-perserikatan, -
club-club -, yang anggotanya rata-rata dari kalangan kaum wanita atasan, dan
yang tujuannya serta usaha-nya ialah memperhatikan k e r u m a h
t a n g g a a n. Ilmu masak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu
bergaul, ilmu kecantikan, ilmu estetik, serta prakteknya, - hal-hal yang
semacam itu yang men-jadi lapangan usahanya. Club-club itu ”menyempurnakan”
wanita sebagai isteri dan sebagai ibu. ”Menyempurnakan” anggota-anggotanya
untuk cakap memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, cakap mem-berahikan
suami, cakap
menjadi ibu. Perbandingan hak antara laki-laki dan perempuan t i d a k
disinggungnya, ekses-ekses patriarchat t
i d a k ditentangnya. Kegiatan mereka
ialah justru untuk menyempurna-kan diri mereka
d i d a 1 a m ekses-ekses patriarchat itu.
Demikianlah misalnya, bantuan masyarakat kepada pekerjaan Sarinah
sebagai Ibu. Dengan bantuan itu maka kebahagiaan somah menjadi kebahagiaan yang
sebenar-benar-nya. Jikalau benar ada kekeramatan somah, maka beginilah somah
itu menjadi keramat sekeramat-keramatnya!
Sesungguhnya! Alangkah munafiknya pembela-pembela sistim masyarakat yang
sekarang! Mereka ”mengeramatkan” somah, mereka katanya melindungi somah, mereka
menolak percampuran tangan
dari masyarakat ke dalam urusan somah, tetapi justru sistim masyarakat
yang mereka bela itu memecahkan kebahagiaan somah habis-habisan! Justru sistim
masyarakat yang mereka ikuti itu mengisi somah dengan kepahitan-kepahitan yang
tiada bilangan. Justru sistim masyarakat kapitalistis itu mengusir Sarinah
pagi-pagi benar ke luar dari sarangnya, somah memeras dia laksana kain basah
dalam pekerjaan budak sepanjang hari, mengembalikan dia jauh-jauh sore atau
jauh-jauh malam dalam keadaan lelah badan dan lelah jiwa kepada somah, dan
kemudian melabrak dia lagi dengan cambuknya pekerjaan-pekerjaan rumah-
tangga yang bermacam-macam ragam sampai dia ambruk di tempat
pembaringan, entah jam berapa di tengah malam? Inikah kekeramatan somah yang
mereka hendak pertahankan? Sekali lagi: hanya bilamana batas antara somah dan
pekerjaan tidak lagi tajam dan tidak lagi keras, hanya bilamana somah dan
pekerjaan i s i - m e n g i s i satu
sama lain, maka somah dapat menjadi keramat sejatinya keramat. Hanya bilamana
demikian, maka somah benar-benar menjadi satu
s a r a n g.
Sarangnya Orang, sarang Manusia! Wanita sebagai Ibu memelihara anak,
wanita sebagai Isteri dan Ibu memasak penganan ekstra atau memasak sendiri
semua makanan kalau ia mau, wanita sebagai Isteri dan Ibu menjalankan rumah
tangga, semuanya itu dalam kesenangan dan dengan kemerdekaan memilih, semuanya
itu sebagai amal kasih
dan amal bahagia. Semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia,
berkat b a n t u a n masyarakat,
berkat p e r c a m p u r a n t a n g a n masyarakat yang berupa pengoperan
sebagian besar fungsi-fungsi somah oleh masyarakat, dan berkat alat-alat teknik
yang diasakan ke dalam somah oleh masyarakat itu. Tidakkah keramat sarang yang
demikian itu? Sarang bahagia, dan bukan sarang ketidak-bahagiaan sebagai
sediakala? Sarang bahagia, dari mana pada waktu pagi Sarinah dapat terbang
keluar untuk dengan h a k p e n u h mengembangkan kepribadiannya dalam
masyarakat, dan kemana ia pada waktu sore
dapat terbang kembali untuk dengan
h a k p e n u h mengembangkan dharmanya sebagai yang
diberikan oleh kodrat alam kepadanya?
Henriette Roland Holst menamakan Dunia yang akan menjelmakan keadaan ini
satu ”sarang orang-orang yang bersahabat”,
satu ”nest van genoten”.
Satu Sarang Besar dari orang-orang yang bersahabat!
Dan di dalam Sarang Besar itu, demikianlah penglihatan saya, ribuan,
milyunan sarang-sarang kecil.
Sarang-sarang kecil Manusia!
Sarang-sarang kecil Wanita Merdeka!
Mungkinkah Indonesia menjadi Sarang Besar yang demikian itu?
=========================
BAB VI
SARINAH DALAM PERJOANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Siapa yang memperhatikan benar-benar tingkat-tingkat pergerakan wanita
sebagai yang saya gambarkan di muka tadi, akan dapat menentukan tepat
pergerakan wanita Indonesia di derajat mana: Terutama sekali di zaman sebelum
pecahnya perang Pasifik sebagian besar daripada pergerakan wanita Indonesia
barulah menduduki tingkatan yang kesatu, - tingkat main puteri-puterian - yang
telah dianggap basi di negeri lain berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan sebagian
kecil menduduki tingkat yang kedua, yang di negeri lain
pun telah menjadi tingkat yang telah lalu. Di zaman kolonial
Belanda, maka hasil yang dicapai oleh pergerakan wanita Indonesia
itu sungguh amat kecil: di dalam tahun 1941 diadakan hak pemilihan buat
haminte yang sangat sekali terbatas, dan itu pun dengan aturan ...
”vrije aangifte”. Hasil ini amat
kecil, jika dibandingkan dengan hasil hak pemilihan
yang dicapai oleh wanita di negeri lain. Apakah ini mengherankan? Sudah
tentu tidak! Sebab pemerintah Belanda adalah pemerintah Belanda, dan aksi
wanita di Indonesia, jikalau dibandingkan dengan
aksi suffragette di Inggeris misalnya, atau aksi Panitia-panitia
Penyedar di Jermania, adalah laksana kucing dibandingkan dengan harimau.
Manakala wanita Indonesia mengira, bahwa mereka dengan pergerakannya itu dulu
telah ikut-serta secara ”hebat” di dalam perjoangan evolusi kemanusiaan, baiklah
mereka mencerminkan pergerakan mereka itu dalam kaca benggala pergerakan wanita
di
negeri lain. Alangkah kecil nampaknya! Alangkah jauh terbelakangnya!
Alangkah tiada adanya ideologi sosial yang berkobar-kobar di dalam dadanya.
Sekarang kita telah merdeka. Kita telah mempunyai Negara.
Kita telah mempunyai Republik. Bagaimanakah aktivitas wanita di dalam
Republik kita itu, bagaimanakah h a r u s n y a aktivitas wanita
di dalam p e r j o a n g a n Republik kita itu? Inilah soal yang amat
penting, yang harus diinsyafi sungguh-sungguh oleh semua pemimpin wanita
Indonesia. Malahan bila mungkin, jangan ada seorang wanitapun yang tidak
insyaf, jangan ada seorangpun di antara mereka yang ketinggalan! Dengan tiada
berfaham komunis saya dapat mengagumi ucapan Lenin: ”Tiap-tiap koki harus dapat
menjalankan politik”.
Buat segenap wanita Indonesia itulah saya menulis kitab ini. Supaya
mereka insyaf, supaya mereka ikut serta dalam perjoang-an, - supaya mereka
mempunyai p e d o m a n dalam perjoangan. Manakala La Passionaria (Dolores
Ibarouri) di dalam Revolusi Spanyol berseru:
”Hai wanita-wanita Spanyol, jadilah revolusioner, - tiada kemenangan
revolusioner jika tiada wanita revolusioner!”, maka saya berkata:
”Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, - tiada
kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada
wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”
Ucapan saya ini adalah satu variant daripada ajaran yang terkenal: ”Tiada
aksi revolusioner, jika tiada teori revolusioner”. ”Teori tak disertai
perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tiada pakai teori, tiada
berarah tujuan.” Camkanlah ajaran ini! Janganlah mengira, bahwa segala
apa yang saya tuliskan di dalam bab-bab di muka dan yang akan saya uraikan di
dalam bab ini ”terlalu teori”. Amboi, umpama saya ada kesempatan memberikan
sepuluh kali lebih banyak teori tentang soal wanita daripada ini, saya akan
berikan! Sebab, ngawurlah orang yang bergerak tidak dengan teori! ”Teori tak
disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tidak pakai teori, tiada berarah
tujuan”. Demikianlah ajaran tadi. Lebih jitu lagi orang boleh berkata: Teori
tak dengan perbuatan, mati! Perbuatan tak dengan teori, ngawur!
Sampai di manakah duduknya perjoangan kita, rakyat Indonesia, sekarang
ini? Sejak tahun 1908 kita mengadakan pergerakan,
sejak tahun 1908 kita siang dan malam seolah-olah demam dengan
pergerakan. Sejak hampir 40 tahun kita tidak mengenal istirahat.
Sejak 17 Agustus 1945 kita mempunyai Negara, tetapi sejak itu pula
kita malahan makin membanting tulang, makin ”demam”, makin
seperti ”keranjingan syaitan”! Arus perjoangan tidak berhenti-henti,
arus perjoangan itu tidak mengenal ampun, terus menarik kita dan
terus menghela kita. Sampai di manakah, sekarang, kita ini?
Tatkala Wahidin Sudirohusodo dalam tahun 1908 mendirikan Budi Utomo,
dengan diikuti oleh cendekiawan-cendekiawan intelek bangsa, maka dadanya adalah
penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Umar Said Tjokroaminoto dengan suaranya
yang seperti suara burung perkutut, bersama-sama dengan Haji Samanhudi,
mendirikan Sarekat Dagang Islam, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta
tanah air. Tatkala tidak lama kemudian daripada itu beliau merobah Sarekat
Dagang Islam itu menjadi Sarekat Islam, maka dadanyapun penuh dengan rasa cinta
tanah air. Tatkala Ernest Douwes Dekker (Setiabudi) bersama-sama dengan Tjipto
Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki Hadjar Dewantara) mendirikan
Nationaal Indische Partij, maka dada mereka penuh dengan rasa cinta tanah air.
Tatkala Semaun dan Alimin dan Muso dan Darsono membangkitkan Partai Komunis
Indonesia dan Sarekat Rakyat, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air.
Tatkala Mohammad Hatta, dengan kawan-kawannya yang ulung, bergerak dalam
Perhimpunan Indonesia, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala
Sutomo bersama-sama dengan kawan-kawannya intelektuil mendirikan P.B.I.,
mendirikan Parindra, mendirikan Bank Nasional, maka dadanya penuh dengan rasa
cinta tanah air. Tatkala saya bersama-sama dengan beberapa butir kawan
mendirikan Partai Nasional Indonesia, dan kemudian menggerakkan partai itu
menjadi partai yang dicintai rakyat, maka dada saya, alhamdulillah, penuh pula
dengan rasa cinta tanah air. Tatkala kita pada 17 Agustus 1945 dengan tekad
yang bulat dan keras laksana peluru baja mendirikan Republik, maka dada kita
penuh dengan rasa cinta tanah air. Dan manakala kita sekarang mati-matian
mempertahankan Republik itu, mati-matian membentengi Republik itu dengan kesetiaan
kita, mati-matian merealisasikan isi semboyan kita ”sekali merdeka, tetap
merdeka”, maka dada kita semua penuh meluap-luap menyala-nyala berkobar-kobar - dengan apinya cinta tanah
air!
Sama-sama kita di dalam tempoh yang hampir 40 tahun itu merasakan cinta
tanah air, sama-sama kita mengamalkan cinta tanah air. Tetapi
p e r t i m b a n g a n yang
mendorong kita kepada rasa dan kepada amal itu, tidak selamanya sama. Yang satu
mengamalkan cinta tanah air, karena ia merasa perlu membela kepentingan-kepentingan
golongan putera-puteri priyayi yang kurang pengajaran dan perlu diberi
pengajaran, yang lain mengamalkan cinta tanah air karena perlu menyusun
tenaganya golongan kaum dagang Indonesia yang selalu terdesak oleh saingan
asing. Yang satu lagi mengamalkan cinta tanah air untuk melepaskan seluruh kaum
atasan Indonesia dari ikatan penjajah-an agar supaya kaum atasan itu dapat
berkembang, yang lain lagi mengamalkan cinta tanah air untuk membela
kepentingan kaum tani dan agama yang diikutinya. Partai Komunis Indonesia dan
Sarekat Rakyat mengamalkan cinta tanah air untuk menentang penghisapan golongan
buruh dan tani oleh imperialisme, Parindra mengamalkan cinta
tanah-air sebagai kampiunnya golongan yang agak atasan.
Semuanya mengamalkan cinta tanah air, malahan barangkali semuanya
mengejar Indonesia Merdeka. Tetapi jikalau kita selidiki satu-persatu
partai-partai itu, - sejak dari Budi Utomo, sampai ke Sarekat Dagang Islam,
sampai ke Sarekat Islam, sampai ke Nationaal Indische Partij, sampai ke Partai
Komunis Indonesia, sampai ke Sarekat Rakyat, sampai ke Parindra, sampai ke
Partai Nasional Indonesia dan partai lain-lain – timbullah pertanyaan: dapatkah
partai-partai itu dalam b e n t u k n y
a y a n g d u l u
i t u membawa rakyat Indonesia kepada
k e m e r d e k a a n yang kekal
dan abadi?
Inilah satu pertanyaan penting, yang harus dijawab, oleh karena
jawabannya itu mengandung pengajaran buat perjoangan kita selanjutnya. Dan
jawaban itu dengan jujur dan tegas haruslah berbunyi: P a r t a i - p a r t a
i i t u
d i d a 1 a m be n t u k
d a n p o l i t i k n y a y a n g
d u l u i t u t i d a k
d a p a t m e m b a w a r a k y a t
I n d o n e s i a k e p a d
a k e m e r d e k a a n y a n g
k e k a l d a n a b a d i !
Oleh karena apa? Oleh karena partai-partai itu semuanya satu-persatu
menderita kekurangan-kekurangan! Ambillah misalnya Budi Utomo. Jikalau
umpamanya Budi Utomo hendak meng-ikhtiarkan Indonesia Merdeka, - dapatkah ia
berhasil? Dengan apa? Dengan anggota-anggotanya yang tidak banyak itu, dan
hampir semuanya bekerja
kepada jabatan-jabatan pemerintahan asing? Dengan mencoba
m e y a k i n k a n pihak
Belanda, bahwa penjajahan tidak adil, dan kemerdekaan adil? Percobaan yang
demikian itu akan sama sia-sianya dengan mendudukkan setetes air di punggung
seekor itik! Atau ambillah Parindra. Jikalau umpamanya Parindra merobah Indonesia
Rayanya dengan Indonesia Merdeka, dan berjoang untuk Indonesia Merdeka,
dapatkah ia berhasil? Dia tidak dapat berhasil, oleh karena ia tidak mempunyai
pengikut massa dan tidak cukup revolusioner.
Pernah dulu saya katakan di dalam satu karangan, bahwa ”seribu
dewa dari kayangan tak dapat membuat Parindra menjadi partai yang
revolusioner” oleh karena b u m i n y
a Parindra memang bukan
kaum yang revolusioner, melainkan kaum pertengahan yang belum
revolusioner. Atau, pembaca barangkali melayang-kan fikiran kepada Sarekat
Islam, yang dulu terkenal sebagai satu partai rakyat yang terbesar, yang
anggotanya pernah satu setengah milyun orang, yang pemimpinnya pernah ditakuti
Belanda sebagai ”de aanstaande Koning der Javanen”? Saya pernah duduk di
tengah-tengah kancah Sarekat Islam itu. Enam tahun lamanya saya pernah berdiam
di bawah satu atap dengan pemimpinnya yang utama itu. Tetapi justru karena itu,
saya mengetahui kekurangan-kekurangannya Sarekat Islam. Sarekat Islam adalah
satu partai yang massal, tetapi ia bukan partainya massa. Programnya kurang
tegas. Banyak kaum tani menjadi anggotanya,
tetapi ada pula tuan tanah, banyak pula saudagar-saudagar dan pedagang
pertengahan, pegawai-pegawai pemerintah Belanda, bangsawan yang ternama. Ia
tidak tegas menentang imperialisme dan tidak menuntut kemerdekaan mutlak;
kapitalisme yang ia perangi ialah, - demikian tertulis di dalam programnya - ,
hanja ”zondig kapitalisme” belaka. Akibat daripada melayani
kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama lain itu tadilah, logis
membawa Sarekat Islam kepada perpecahan: Tjokro c.s. - Semaun c.s. Dengan
segala hormat kepada almarhum Tjokroaminoto yang saya cintai, saya berkata:
Sarekat Islam tidak mungkin membawa kita kepada kemerdekaan! Dan partainya
Semaun c.s. yang justru memisah-kan diri dari Sarekat Islam, karena
kekurangan-kekurangan Sarekat Islam itu - bagaimanakah dengan
Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyatnya? Tidakkah mereka akan
dapat mencapai Indonesia Merdeka? Sebab tidakkah mereka revolusioner? dan
tidakkah mereka berhubungan rapat dengan massa? Partai Komunis Indonesia dan
Sarekat Rakyat, di dalam bentuknya dan politik-nya yang dulu, tak dapat
mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena mereka justru tidak ”tepat” politiknya
itu, yaitu membuat satu kesalahan fundamentil dalam mengira bahwa kini sudah
datang waktunya untuk revolusi sosial. Dan Partai Nasional Indonesia pun,
partai saya sendiri dulu, di dalam bentuknya dan politiknya yang dulu, tak akan
dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena ia terlalu memandang perjoangan
rakyat Indonesia itu sebagai satu perjoangan nasional t e r s e n d i r i, dan
kurang memperhatikan kedudukan perjoangan rakyat Indonesia itu sebagai satu
bagian daripada satu Revolusi Besar Internasional.
Lihat - alangkah pentingnya pengalaman-pengalaman yang saya sebutkan di
atas itu. Kita sekarang telah merdeka, kita sekarang telah mempunyai Republik,
tetapi manakala kita tidak memperhatikan pengalaman-pengalamannya sejarah dan
tidak memberi bentuk dan politik yang benar kepada perjoangan kita, - tidak
menjalankan perjoangan kita itu dengan sifat yang benar dan pada tempat yang
benar -, maka kemerdekaan itu mungkin terbang ke awang-awang. Maha Besar
dan Maha Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa rakyat Indonesia telah merdeka,
tetapi untuk m e m i l i k i k e m e r d
e k a a n i t u b u a t
s e l a m a - l a m a n y a dan
mengisinya dengan
k e s e j a h t e r a a n s o s i
a l, - untuk itu perlulah penglihatan yang tepat dan usaha-usaha yang tepat
pula. Mencapai kemerdekaan alhamdulillah sudah, memiliki terus kemerdekaan itu
kini menjadi tugas.
Maka perlulah kita mengupas beberapa soal. Soal-soal sebagai misalnya:
Haruskah kita terus revolusioner? dan apa yang dinamakan revolusioner? -
dapatkah kita pisahkan Revolusi Indonesia daripada Revolusi Besar
Internasiona1? - haruskah kita sekarang ini menjalankan Revolusi Sosial,
ataukah harus kita pusatkan sifat Revolusi kita sekarang ini kepada sifat
Revolusi Nasional? - atau haruskah kita jalankan Revolusi Sosial dan Revolusi
Nasional itu simultan, serentak bersama-sama? dan kalau sifat Revolusi kita itu
masih harus sifat nasional, buat apa program kesejahteraan sosial? - bagaimana
caranya kita menuju kepada kesejahteraan sosial itu? - dapatkah kita
menyelesaikan Revolusi itu tidak dengan massa, dan bagaimana jalannya supaya
Revolusi itu tetap Revolusinya massa? - b a g a i m a n a k e w a j i b a
n w a n i t a d i d
a l a m R e v o l u s i y a n g
b e r i s i s e k i a n b a n y a k
s o a l - s o a l i t u , s u p a y a
R e v o l u s i i t u m e n j a m i n k a n k e d u d u k a n s e b a i k - b a i k n y a k e p a d a
w a n i t a
d i k e m u d i a n h a r i? - soal-soal sebagai ini harus berani kita
hadapi, harus kita fikir-fikirkan, harus kita p e c a h k a n. Tidak ada
gunanya menghindari soal-soal ini, - semuanya toh pasti akan menerkam kita. Dan
mati hidup kita sebagai bangsa tergantung dari padanya!
Pukul 10 pagi, 17 Agustus 1945, Sang Merah Putih naik di angkasa
Jakarta, Pegangsaan Timur 56. Apa yang terjadi di sana itu, dan di seluruh
Indonesia di hari-hari yang kemudiannya, adalah satu peristiwa r e v o l u s i o n e r. Sebab pada hari itu
dirobek konstitusi Belanda yang menya-takan Indonesia menjadi satu bagian dari
Kerajaan Belanda. Tetapi tidak saja yuridis, dan tidak saja politis, peristiwa
itu adalah peristiwa revolusioner, - sosial (maatschappelijk) pun ia adalah
pula satu peristiwa revolusioner. Sebab Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah
kita maksudkan sebagai langkah pertama ke arah penyeleng-garaan satu tujuan
sosial yang revolusioner, yaitu: satu pergaulan hidup Indonesia yang tidak
berkapitalisme, satu pergaulan hidup di Indonesia yang sama sekali berazaskan
azas-azas lain daripada yang sudah-sudah, satu pergaulan hidup kesejahteraan sosial,
sebagai bagian daripada pergaulan hidup dunia yang berkesejahteraan sosial.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kita lakukan bukan untuk feitnya proklamasi
belaka, Negara Republik Indonesia kita bangunkan bukan h a n y a untuk
mempunjai n e g a r a belaka, kita laku-kan tindakan-tindakan itu
sebagai pucukan perjoangan s o s i a
l yang revolusioner, - sebagai syaratnya
satu perjoangan untuk melaksanakan satu prinsip sosial yang revolusioner.
Undang-undang Dasar Negara yang kita susun, adalah menunjukkan dengan nyata
arah yang revolusioner itu: mukaddimmahnya yang mengatakan bahwa:
”Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu
dalam satu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu
susunan negara Republik Indonesia yang ber-kedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: ke - Tuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu k e a d i l a n s o s i a l
b a g i s e l u r u h
r a k y a t I n d o n e s i a
”, - mukadammah undang-undang dasar kita
ini dengan nyata menegaskan bahwa Republik diadakan untuk penyelenggaraan satu
tujuan sosial yang revolusioner. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah satu langkah
yang pertama, kata saya tadi, ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosia1 yang
revolusioner! Dan langkah pertama ke arah penjelenggaraan satu tujuan yang
revolusioner, adalah revolusioner! Dan penyelenggaraan tujuan itu, - dari
langkah pertamanya sampai kepada ujung akhirnya -, adalah pula revolusioner!
Tetapi kecuali daripada itu, peristiwa menjadi merdekanya suatu bangsa
yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa lain, - merdeka betul-betul
merdeka, dan bukan merdeka boneka, - adalah satu peristiwa revolusioner, oleh
karena peristiwa itu tidak dapat dihidangkan secara konstitusionil: Tidak dapat
”diatur”, ”disedia-sediakan”, ”dihadiahkan” secara konstitusionil menurut
hukum, pada jam itu dan hari itu, dalam bulan sekian dan tahun sekian.
Merdekanya sesuatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme, adalah satu
peristiwa yang sama sekali bersangkut-paut dengan situasi- situasi
revolusioner. Dan situasi-situasi revolusioner itu tidak dapat diatur atau
disedia-sediakan lebih dulu secara konstitusionil. Dan tidak akan - tidak
mungkin! - sengaja diatur atau disediakan secara konstitusionil. Sapi dan
kerbau harus bisa terbang lebih dahulu, sebelum sesuatu negara imperialis
mengatur dan menyedia-nyediakan dengan sengaja situasi-situasi revolusioner
untuk memungkinkan kemerdekaan bangsa yang daripadanya ia menghisap zat-zat
untuk hidupnya atau kesejahteraannya! ”Tak pernah sesuatu kelas dengan
suka-rela melepaskan kedudukannya yang berlebih”, demikianlah ucapan Marx yang
terkenal. Oleh karena itulah pula, maka merdekanya sesuatu bangsa jajahan
adalah satu peristiwa revolusioner. Tergantung dari situasi-situasi
revolusioner itulah, apakah lahirnya bayi merdeka itu disertai oleh pertumpahan
darah yang banyak atau tidak. Bukan adanya atau tidak adanya pertumpahan
darahlah yang menentukan sesuatu kejadian bersifat revolusioner atau tidak
revolusioner, tetapi i s i n y a kejadian itu! Sering kali banyak darah
ditumpahkan justru oleh anasir-anasir reaksioner.
Merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa d a l a m
proses revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan, satu cincin dalam
rantai revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan. Ia dus revolusioner, ia tidak
konstitusionil. Adakah Proklamasi 17 Agustus konstitusionil? Kaum reaksi
malahan mencoba membatalkan kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan
konstitusionil! Bumi dan langit ia goyangkan untuk mengeritiki kemerdekaan kita
itu dengan alasan-alasan konstitusionil, segala kentongannya ia pukul untuk
mengajak segala kaum reaksi sedunia untuk mereduksi soal Indonesia menjadi satu
soal kecil ”urusan dalam negeri” konstitusionil! Tetapi ia tidak akan berhasil,
ia pasti akan kandas. Sebab memang bukan sesuatu pekerjaan konstitusionil,
melainkan situasi-situasi r e v o l u s
i o n e r yang telah menelorkan
kemerdekaan Indonesia itu, dan karenanya tiada kekuatan manusia apapun dapat
menghapuskannya, tiada muslihat manusia apapun dapat meniadakannya.
Di dalam tahun 1929 saya tahu bahwa situasi-situasi revolusioner itu
akan datang, dan kemerdekaan Indonesia telah saya lihat menyingsing
di cakrawala. - Dengan hati yang berdebar debar karena rasa kegembiraan
yang tak tertahan, di dalam tahun 1929 itu terlepaslah
dari mulut saya kalimat yang terkenal: ”Kaum imperialisme, awaslah!
Awas! Jikalau nanti geledek Perang Pasifik menyambar-nyambar dan membelah
angkasa, jikalau nanti air Samudera Teduh menjadi merah, dan bumi di
sekelilingnya menggempa karena ledakan bom dan dinamit, di situ rakyat
Indonesia akan melepaskan belenggu-belenggunya, di situ rakyat Indonesia akan
merdeka!”
Ucapan ini bukan satu ”nujuman”. Ia bukan pernyataan seorang-orang yang
melihat gambar hari kemudian terlukis dalam rangkaian bintang-bintang di
langit.
Ia bukan pula keluar dari mulutku karena dorongan harapan berdasar
”wishfull thinking”. Bukan pula sekedar hasutan kepada rakyat semata-mata,
meskipun Belanda sudah barang tentu demikian menganggapnya dan melemparkan saya
dalam penjara bertuhun-tahun. Ia adalah hasil
p e r h i t u n g a n a k a
n d a t a n g n y a s i t u a s i - s i t u a s i
r e v o l u s i o n e r, d a
n p e r h i t u n g a n a k a n
m e m p e r g u n a k a n s i t u
a s i - s i t u a s i r e v o l u s i o
n e r
i t u.
Di dalam tahun 1929 itu sudah terang bagi saya, bahwa peperangan Pasifik
pasti akan pecah. Tidak ada satu kekuatan duniawipun dapat mengelakkannya.
Kapitalisme yang makin lama makin memonopoli, lapangan persaingannya yang makin
lama makin sesak sehingga laksana mencekek nafas, antitese-antitese yang
laksana hendak merobek-robek dadanya, garis hidupnya yang makin lama makin
menyatakan, bahwa ia telah turun (telah ”im Niedergang”) dan megap-megap
mencari nafas dan pasti akan mengalami bencana bilamana tidak dipecahkan
kebuntuan yang mencekek nafas itu, usaha-usaha mati-matian untuk menyelamatkan
kapitalisme itu dengan fasisme yang main labrak dengan cambuk konsentrasi kamp
dan main drel dengan senapan mesin, - semua itu membuktikan, bahwa kapitalisme
sedang mengalami krisis yang maha-maha hebat; dan bahwa krisis itu p a s t i
akan mengklimaks dalam satu peperangan mati-matian yang seru dan seramnya belum
pernah dialami oleh kemanusiaan, satu peperangan dunia yang tidak saja akan
mempuingkan muka bumi di dunia Barat, tetapi juga akan menggeledek dan
menghalilintar di dunia Timur.
Pasti peperangan itu datang, segenap urat-urat dan saraf-saraf
kapitalisme telah nampak menggeletar dan terpasang segenting-gentingnya, -
pasti peperangan itu datang, hantu-hantunya telah mengintai di cakrawala! Dan
pasti, tiada ampun, - itu saya tahu -, imperialisme Belanda, akan terseret-serta
di dalam hamuknya taufan prahara peperangan itu, dan pasti pula, tiada ampun,
ia akan terhantam remuk-redam atau hampir remuk-redam oleh hantaman palu-palu
godamnya!
Dan jikalau nanti imperialisme Belanda telah remuk-redam atau hampir
remuk-redam, maka itu adalah satu s i t
u a s i r e v o l u s i o n e r. Satu
situasi revolusioner yang akan menjadi satu
a n a s i r - o b y e k t i f
yang baik untuk melepaskan Indonesia dari cengkereman imperialisme
Belanda itu. Manakala kita tidak cukup kekuatan untuk melepaskan diri kita dari
cengkeraman imperialisme itu semasa ia masih segar bugar, maka haruslah kita
menunggu kesempatan dan mempergunakan kesempatan yang ia berada di dalam
keadaan lemah atau remuk. Tetapi untuk dapat mempergunakan kesempatan itu, k i
t a s e n d i r i h a r u s
k u a t. Kita harus menyusun a n
a s i r s u b y e k t i f untuk dapat mempergunakan kesempatan itu:
kita harus menyusun tenaga-tenaga kita, menebalkan tekad kita, melatih
ketangkasan kita, menggembleng barisan-barisan kita, mengkongkritkan kemauan
nasional kita.
Di samping situasi revolusioner yang obyektif yang berupa lemahnya atau
remuk-nya imperialisme Belanda itu, harus dibangunkan
(dan kita bangunkan) situasi revolusioner yang subyektif yang berupa
penghebatan serta konkretisasi kemauan revolusioner dan tenaga revolusioner
kita. Dan situasi revolusioner yang subyektif itu nanti harus kita gempurkan
sehebat-hebatnya pada waktu situasi revolusioner yang obyektif sedang masak
semasak-masaknya. Dan pada saat dua situasi revolusioner ini bertemu satu sama
lain laksana cetusan antara dua poolnya lading elektris yang bertrilyun-trilyun
volt, pada saat itu gugurlah dengan suara gemuruh yang terdengar dari ujung
dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain, kerajaan Belanda di dunia
Timur.
Pada saat itulah Banteng Indonesia akan meraung:
Merdeka, Indonesia telah merdeka, Sekali merdeka, tetap merdeka!
Demikianlah visiun kejadian yang akan datang yang saya lukiskan
di dalam tahun 1929. Maka teranglah: Terjadinya situasi revolusioner
obyektif itu tadi bukan satu hal konstitusionil, pembangunan situasi
revolusioner subyektif itu pula sama sekali bukan satu perbuatan
konstitusionil, dan pertemuan dua situasi revolusioner itu pun jauh daripada
bersifat konstitusionil. Tidak, peristiwa merdekanya Indonesia adalah satu
peristiwa revolusioner! Revolusioner di dalarn terjadinya, revo-lusioner di
dalam kedukukannya, revolusioner di dalam tujuannya! Revolusioner di dalam
tujuannya, oleh karena ia, sebagai tadi saya katakan, adalah satu langkah
pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner,
revolusioner pula di dalarn kedudukannya oleh karena ia (nanti saya jelaskan)
satu bagian daripada satu proses dunia yang revolusioner.
Revolusioner di dalam tujuannya! Di sinilah tempatnya saya meninjau
soal: Tidakkah sekarang telah tiba saatnya untuk memulai Revolusi Sosial?
Mengapa Revolusi Sosial itu masih dianggap t u j u a n ? Belum dapatkah kita
sekarang menjelmakannya, - merealisasikannya? Kaum wanita, yang membaca
uraian-uraian saya di bab-bab yang di muka ini, sudah barang tentu ada yang
tertarik oleh uraian tentang maksud dan tujuan pergerakan wanita tmgkat ketiga,
dan berkeyakinan juga bahwa hanya di masyarakat sosialislah wanita dapat
menjadi wanita yang merdeka. Memang, jikalau di antara pembaca-pembaca wanita
ada yang memperoleh keyakinan demikian sebagai hasil membaca kitab saya ini,
jikalau di antara pembaca-pembaca wanita itu sebagian besar lantas mengerti
kekurangan-kekurangan feminisme atau neo-feminisme dan mengerti, bahwa soal
wanita hanyalah dapat memperoleh pemecahannya yang sempurna dalam Dunia Baru
yang berkesejahteraan sosial, maka sayalah yang paling bersyukur, sayalah yang
paling berbahagia.
Jangan segan jerih-payah, buanglah jauh-jauh tiap-tiap kuman
inferioriteits-complex! Memang perjoanganmu bukan perjoangan ringan,
perjoanganmu adalah perjoangan raksasa. Memang tujuan yang kugambarkan di kitab
ini bukan tujuan yang kecil, tetapi tujuan yang amat besar. Tiada tujuan besar
dapat tercapai dengan tiada jerih payah, dengan tiada mengatasi
kesukaran-kesukaran, dengan tiada melakukan pengorbanan-pengorbanan.
Agust Bebel, kampiun wanita yang sering kusebut-sebut namanya
di muka tadi, mengunci bukunya ”Die Frau und der Sozialismus” dengan
kata-kata:
”Juga di atas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak
ketinggalan di dalam perjoangan ini, dalam mana diperjoangkan kemerdekaan
mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah
harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam
perjoangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, - bahwa
mereka telah bertetap hati i k u t - s e
r t a dalam perjoangan itu. Pihak
laki-laki berkewajiban, membantu mereka itu dalam membuang semua purbasangka
yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta mereka dalam perjoangan.
Jangan satu orangpun menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira
bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna
kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilnyapun,
yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya
membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan
air menjadilah sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadilah sungai besar,
sungai-sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu halanganpun
akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebat itu. Demikianlah
pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan; selamanya alam itu
memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka
kemenangan akhir pasti nanti datang.
Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua orang
masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara yang lebih
rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita masih akan melihat
permulaannya periode kebudayaan yang lebih indah itu, yakni apakah kita masih
akan mengalami permulaan-nya periode itu, pertimbangan-pertimbangan semacam itu
tak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tak boleh menjadi sebab untuk
meninggalkan jalan yang sudah kita injak.
Kita tak mampu menentukan berapa lamanya atau bagai-mana sifatnya
bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kitapun tak mampu
mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri,
tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepaskan di dalam
zaman seperti zaman yang kita alamkan sekarang ini. Kita berjoang terus dan
berusaha terus, dan tak memperdulikan soal ”di mana” atau ”kapan” batu-batu
tandanya zaman bahagia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.
Dan jikalau kita jatuh di padang perjoangan ini, maka turunan-turunan
kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan,
bahwa kita telah memenuhi kewajiban kita sebagai
manusia, dan dengan keyakinan, b
a h w a t u j u a n k i t a
p a s t i
n a n t i t e r c a p a i,
bagaimanapun juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya tujuan itu!”
Demikianlah Bebel! Saya teruskan pesanan Bebel itu kepada kamu,
wanita-wanita Indonesia. Malah saya tambah lagi: bandingkanlah
zaman Bebel itu dengan zaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman
yang meski ada Undang-undang Sosialis sekalipun, masih bernama a m a n jika dibandingkan dengan zaman kita
sekarang ini. Kita, kita sekarang ini berada dalam zaman perjoangan yang
sepuluh, seratus kali lebih gegap-gempita daripada zamannya Bebel itu. Kita
sekarang ini dalam bahaya, Negara kita dalam bahaya, meriam, bom dan dinamit
menggeledek dan mengguntur di angkasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati
bergelimpangan, kota-kota kita menjadi puing, desa-desa kita menjadi lautan
api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, - segenap tenaga pertahanan kita
kerahkan habis-habisan untuk mempertahankan Republik kita yang diserang itu.
Sungguh seratus kali lebih genting keadaan kita jika dibandingkan dengan
keadaan perjoangan sosialis di Jermania itu! Manakala Bebel menegaskan bahwa
tiada seorangpun boleh ketinggalan, - betapa pula dengan kita sekarang ini?
Ibaratnya, bukan saja manusia yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi
alam ini, yang berupa apapun, harus kita gugahkan, bangkit-kan, mobilisasikan
untuk membela Negara yang hendak dihancurkan musuh itu. Di Jermania adalah dulu
itu perjoangan di bawah ancaman Undang-undang Sosialis, tetapi di sini
perjoangan adalah perjoangan membela hidup terhadap serangan kontra-revolusi
yang sedang memuntahkan peluru dan memuntahkan api, sedang mengamuk, membinasa,
membunuh, membakar! Tidak seorangpun boleh ketinggalan dalam perjoangan yang
semacam itu!
Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta
mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika
Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha
menyusun Negara Nasional.
Jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai
akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha
menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan-sosial.
Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah
engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!
Komentar
Posting Komentar