Sarinah dan Gerakan Perempuan: Penjelasan Materi KTD GmnI Samarinda



Sangat sedikit pemimpin politik laki-laki yang mau menghabiskan waktu untuk mengulas soal gerakan perempuan. Dan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, yang berhasil melakukan itu. Bahkan, begitu pentingnya gerakan perempuan di mata Soekarno, ia menelurkan sebuah buku berjudul “Sarinah”.


Dalam konteks Indonesia, Soekarno soekarno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi



Berikut merupakan bab penjelas terkait materi di Slide PDF Postingan sebelumnya Blogg ini, di https://ruanghutani.blogspot.com/2019/11/kaderisasi-tingkat-dasar-gmni-se.html yang dibawakan oleh Fitriyani Sinaga.


Buku “Sarinah” selesai cetak November 1947. Kata Soekarno, buku ini berisi bahan-bahan yang disampaikannya saat kursus wanita di Jogjakarta. Kursus itu diselenggarakan dua minggu sekali. Bagi Soekarno, pemahaman soal perjuangan perempuan tidak bisa dianggap enteng.
Ia jengkel kepada mereka yang mengabaikan pentingnya membahas persoalan perempuan. Soekarno bilang, “kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain) kita tidak mengerti soal-soal wanita.” Sebab, bagi Soekarno, soal wanita adalah soal masyarakat.
Saya sudah membaca buku “Sarinah” itu. 

Peserta KTD GmnI Samarinda 


Menariknya, di dalam buku tersebut, Soekarno mengulas tiga tingkatan dalam pergerakan perempuan. Di sini, Soekarno menggunakan tingkatan, bukan kategorisasi atau pengelompokan.
Baiklah, saya berusaha mengelaborasi tiga tingkatan pergerakan perempuan versi Soekarno tersebut.



Tingkat pertama, perempuan berusaha menyempurnakan “keperempuanannya” (Soekarno menggunakan tanda kutip di bukunya). Kelihatannya, “keperempuanan” di sini dapat diartikan sebagai cara-pandang umum masyarakat—tentunya dalam masyarakat patriarchal—mengenai kodrat perempuan, seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.
Soekarno merujuk pada pengalaman perempuan barat.



Di sana, katanya, muncul perserikatan atau klub-klub perempuan, terutama di kalangan perempuan klas atas, yang tujuannya mempersiapkan perempuan lebih matang dalam berumah-tangga. Klub-klub itu mengajari perempuan ilmu memasak, menjahit, memelihara anak, bergaul, kecantikan, estetik, dan lain-lain.


Meskipun sudah mendirikan perkumpulan, dan anggotanya seluruhnya perempuan, tetapi mereka belum menyinggung soal hak-hak perempuan. Mereka tidak menyinggung sedikitpun patriarkisme dan ekses-eksesnya.




Kalaupun mereka mendirikan sekolah bagi perempuan, lagi-lagi itu tidak lebih sebagai bentuk “pembekalan” agar perempuan siap berkeluarga. “Sekolah-sekolah mereka tak ubahnya sekolah-sekolah berumah-tangga di zaman sekarang. Mereka mendidik wanita agar laku di kalangan pemuda bangsawan dan hartawan,” ungkap Soekarno.



Pelopor gerakan ini, tulis Soekarno, adalah Madame de Maintenon di Perancis dan A. H Francke di Jerman. Gerakan ini, ungkap Soekarno, tidak memberikan penyadaran kepada perempuan. Gerakan ini masih tunduk pada hukum patriarchal, yang merendahkan martabat kaum perempuan.
Tingkatan kedua, pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, khususnya dalam melakukan pekerjaan dan hak pilih dalam pemilu. Gerakan ini sering diberi label “emansipasi perempuan”.



Bagi Soekarno, kelahiran gerakan tingkat kedua ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Ia menjelaskan, perubahan corak produksi, dalam hal ini dari feodalisme ke kapitalisme, turut mengubah anggapan-anggapan (cara-pandang) di dalam masyarakat, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Kapitalisme butuh menarik perempuan keluar rumah agar menjadi buruh di pabrik-pabrik kapitalis.



Pelopor gerakan tingkat kedua ini adalah Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams di Amerikat Serikat; Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe, dan Theorigne de Mericourt di Perancis. Sekalipun, harus diakui, diantara mereka ini punya metode berjuang yang berbeda.
Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams, misalnya, ketika penyusuna konstitusi AS pada tahun 1776, mereka menuntut agar kaum perempuan diberi pengakuan dan tempat di dalamnya, seperti hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam kekuasaan politik.



Di Perancis, gerakan perempuan berwatak lebih radikal. Perempuan-perempuan Perancis mengambil bagian dalam Revolusi Perancis (1789). Madame Roland, seorang perempuan kalangan atas, yang pemikirannya banyak mempengaruhi pemimpin politik Perancis. Ia menuntut partisipasi perempuan yang lebih luas.


Kemudian ada Olympe de Gouges, mewakili perempuan kalangan bawah, yang tulisan dan pemikirannya secara tajam menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Soekarno memuji Olympe de Gouges sebagai perempuan radikal dan militan, yang berani menentang pemerintahan teror Robespiere.




Pergerakan ini lebih banyak bertumpu pada “persamaan hak” dalam segala hal, termasuk dalam urusan politik. Dalam ekspresi gerakannya, kata Soekarno, lebih banyak mempersoalkan dominasi laki-laki.


Namun, Soekarno menganggap gerakan ini sebagai tipe gerakan perempuan borjuis. Sebab, bagi Soekarno, sekalipun nantinya segala ruang itu dibuka bagi perempuan, termasuk politik, tetap saja yang menikmati hanya perempuan klas atas dan menengah. Sedangkan perempuan kebanyakan, yakni dari kalangan rakyat jelata, tidak bisa berpartisipasi.



Bagi Soekarno, selama relasi produksi tidak berubah, maka perempuan kalangan bawah tetap saja sulit berpartisipasi penuh dalam politik. Persamaan hak saja tidaklah cukup, jikalau perempuan masih terhisap di dalam relasi produksi kapitalistik. Maka, lahirlah gerakan perempuan tingkat ketiga: gerakan perempuan sosialis.
Tingkatan ketiga ini, yakni pergerakan perempuan sosialis, di mata Soekarno, merupakan penyempurnaan terhadap gerakan perempuan. Di sini, gerakan perempuan tidak sebatas menuntut persamaan hak alias penghapusan patriarkhi, tetapi hendak merombak total struktur sosial yang menindas rakyat—laki-laki dan perempuan.




Penyampaian materi Kesarinahan Gerakan Perempuan oleh Fitriyani Sinaga


Soekano banyak merujuk pada ahli teori Marxis, Frederick Engels, dalam buku berjudul “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara”. Karena itu, Soekarno beranggapan, penindasan perempuan tidak bisa dilepas dari relasi produksi. “Semakin penting kedudukan perempuan dalam produksi, maka semakin penting pula kedudukannya di dalam masyarakat,” katanya.
Soekarno juga banyak dipengaruhi oleh Clara Zetkin dan newsletter propagandanya, Die Gleichheit. Soekarno memahami perlunya menyeleraskan perjuangan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk sosialisme.



Dia berpendapat, perempuan yang bekerja, seperti juga laki-laki yang bekerja, menderita di bawah jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Karena itu, kepentingan keduanya identik, yakni menghapuskan kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.
Terkait partisipasi perempuan di parlemen, Soekarno berusaha menarik perbedaan antara feminis liberal dan gerakan perempuan sosialis: “kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan akhir, sedangkan wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata dalam perjuangan menuju pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial (sosialisme).”



Dalam konteks Indonesia, Soekarno soekarno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi menuju sosialisme. Ia mengutip pendapat Lenin: “Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tidak mungkin kita capai.”






Sarinah

K E W A J I B A N  W A N I T A
d a l a m
PERJOANGAN
R E P U B L I K  I N D O N E S I A
oleh

Ir. SOEKARNO

Bab I - VI


BAB I
SOAL -PEREMPUAN

Satu pengalaman, beberapa tahun yang lalu, waktu saya masih
”orang interniran”.




Pada suatu hari, saya datang bertamu bersama-sama seorang kawan dan isteri kawan itu pada salah seorang kenalan saya, yang mempunyai toko kecil. Rumah kediaman dan toko kenalan saya itu bersambung satu sama lain: bahagian muka dipakai buat toko, bahagian belakang
dipakai buat tempat kediaman.



Dengan budi yang amat manis kami diterima oleh kenalan itu, dipersiIakan duduk. Kami, - yaitu kawan saya, isterinya, saya, dan tuan rumah -, duduk berempat dekat meja tulis toko itu. Sigaret dikeluarkan, teh dihidangkan. Sesudah bercakap-cakap sebentar, - ”bagaimana kesehatan?”, ”bagaimana per-dagangan?” - maka kami (para tetamu) menerangkan kepada tuan-rumah, bahwa maksud kami datang,
bukanlah untuk membeli ini atau itu, melainkan semata-mata hanya
buat bertamu saja.



Isteri kawan saya menanyakan: bagaimanakah keadaan nyonyah rumah? - ia ingin ajar-kenal dengan nyonyah rumah.

Di sini tuan rumah nampak menjadi sedikit kemalu-maluan.
Rupanya ia dalam kesukaran untuk menjawab pertanyaan itu.
Sebentar telinganya menjadi kemerah-merahan, tapi ia menjawab dengan ramah-tamah: ”O, terima kasih, ia dalam keadaan baik-baik saja, tetapi sayang seribu sayang ia kebetulan tidak ada di rumah, -
ia menengok bibinya yang sedang sakit”.

Isteri kawan saya menyesal sekali bahwa nyonyah rumah tidak ada
di rumah; terpaksa ia belum dapat ajar-kenal dengan dia hari itu.

Tetapi ... tak lama kemudian ... saya, yang duduk berhadapan kain tabir yang tergantung di pintu yang memisah bagian toko dengan bagian rumah tinggal, saya melihat kain tabir itu ber-gerak sedikit, dan saya melihat mata orang mengintai. Mata orang perempuan! Saya melihat dengan nyata: kaki dan ujung sarung yang kelihatan dari bawah tabir itu, adalah kaki dan ujung sarung perempuan!

Dengan segera saya palingkan muka saya, berbicara dengan tuan rumah dengan memandang muka dia saja. Tetapi pikiran saya tidak tetap lagi. Satu soal telah berputar di kepala saya. Bukankah perempuan yang mengintai tadi itu isterinya tuan rumah? Mana bisa, tuan rumah toh mengatakan, bahwa isterinya sedang merawat orang sakit? Tetapi ... mengapa ia tadi kelihatan malu-malu, telinganya kemerah-merahan, tatkala ditanya di mana isterinya?

Saya ada dugaan keras, bahwa tuan rumah itu tidak berterus-terang. Rupa-rupanya, isterinya  ada di rumah. Tetapi ia tak mau memanggilnya keluar, supaya duduk di toko bersama-sama kami. Sebaliknya ia tidak mau mempersilakan isteri kawan saya supaya masuk ke dalam, ke bagian belakang, tempat kediamannya sehari-hari. Barangkali memang tidak ada tempat penerimaan tamu yang layak, di tempat kediaman itu. Ia nyata malu ...

Sesudah bercakap-cakap seperlunya, kami bertiga permisi pulang.
Kami mengambil jalan melalui kedai-kedai, dan pasar pula.
Tapi pikiran saya terus melayang. Melayang memikirkan satu  soal, - soal wanita.
Kemerdekaan! Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan?
Tetapi, ya - kemerdekaan yang bagaimana?



Kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki?
Kemerdekaan  a  l a  Kartini? Kemerdekaan  a  l a  Chalidah Hanum? Kemerdekaan  a  l a  Kollontay?



Seorang kawan saya, - guru sekolah di Bengkulu - , mempunyai seorang isteri yang ia cintai benar. Kedua laki-isteri ini saya kenal betul-betul, kedua-duanya saya anggap seperti adik saya sendiri. Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan ”modern”, tetapi isterinya kadang-kadang mengeluh kepada saya, bahwa ia merasa dirinya terlalu terkurung.

Di luar pengetahuan isterinya, saya anjurkan kepada kawan saya itu, supaya ia memberi kemerdekaan sedikit kepada isterinya. Ia menjawab: Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah, justru oleh karena ia amat cinta dan menjunjung tinggi kepadanya. Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah, untuk menjaga jangan sampai isterinya itu dihina orang. ”Percayalah Bung, saya tidak ada maksud mengurangi kebahagiaannya; saya hargakan dia sebagai sebutir mutiara”.
. . . ”sebagai sebutir mutiara”. . .

Ah, tidakkah banyak suami-suami yang menghargakan isterinya sebagai mutiara, - tetapi sebenarnya merusak atau sedikitnya mengurangi kebahagiaan isterinya itu?

Mereka memuliakan isteri mereka, mereka cintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya ”sebagai mutiara”, - tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pulalah mereka menyimpan isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, katanya, melainkan justru untuk menjaganya, untuk menghormatinya, untuk memuliakannya.
Perempuan mereka hargai sebagai Dewi, perempuan mereka pundi-pundikan sebagai Dewi, tetapi mereka jaga dan awas-awaskan dan ”selalu tolong” juga sebagai satu makhluk yang sampai mati tidak akan menjadi akil-balig. Kalau saya memikirkan hal yang demikian ini, maka teringatlah saya kepada perkataan Professor Havelock Ellis yang berkata, bahwa kebanyakan orang laki-laki memandang perempuan sebagai ”suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol”. Dipundi-pundikan sebagai seorang Dewi, dianggap tidak penuh sebagai seorang tolol!

Tidakkah masih banjak laki-laki yang men-dewi-tolol-kan isterinya itu? Malahan, tidakkah pada hakekatnya seluruh peradaban borjuis di negeri-negeri yang telah ”sopan” pada waktu sekarang ini, terhadap kaum perempuan berdiri atas kenyataan ”Dewi tolol” itu? Sebab, tidakkah seluruh hukum sipil dan adat-istiadat di negeri-negeri borjuis itu sebenarnya masih men-dewi-tolol-kan perempuan?

Kita, bangsa Indonesia, kita terbelakang di dalam banyak urusan kemajuan. Kita (terutama sekali di luar tanah Jawa) di dalam urusan posisi perempuan pun terbelakang, tetapi kebelakangan ini bermanfaat pula: Kita dapat melihat dari keadaan kaum perempuan di negeri-negeri yang lain, bagaimana soal perempuan harus kita pecahkan.
Kita dapat melihat mana yang baik bagi kita, dan mana yang buruk.
Yang baik kita ambil, yang buruk kita buang.

Adakah, misalnya hasil-hasil pergerakan feminisme di Eropa sudah memuaskan, - memuaskan kepada kaum perempuan Eropa sendiri? Adakah pergerakan neo-feminisme memuaskan pula kepada kaum perempuan Eropa itu? Saya mengetahui, di Indonesia ada wanita-wanita: feminis dan neo-feminis. Tetapi kepada mereka itu saya ingin bertanya: Tahukan tuan, bahwa kaum perempuan Eropa sendiri tidak puas lagi dengan hasil feminisme atau neo-feminisme itu?

Henriette Roland Holst, itu pemimpin yang berkaliber besar, pernah mengatakan; bahwa feminisme atau neo-feminisme tak mampu menutup ”scheur” (retak) yang meretakkan peri -kehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh: ”scheur” antara perempuan sebagai ibu dan isteri, dan perempuan sebagai pekerja di masyarakat. Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan isteri, tetapi peri -kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan isteri. Pergerakan feminisme dan neo-feminisme ternyata tidak mampu menyembuhkan retak ini.

Lagi pula, tidakkah kita melihat ekses (”keliwatbatasan”) pergerakan feminisme di Eropa itu, yang mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki, dengan tak mengingati lagi, bahwa kodrat perempuan memang tidak sama dengan kodrat laki-laki? Maksud feminisme yang mula-mula baik, yakni persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, maksud baik itu di-eksesi (diliwati batasnya dengan ekses) dengan mencari persamaan segala hal dengan kaum laki-laki: persamaan tingkah laku, persamaan cara hidup, persamaan bentuk pakaian, dan lain-lain sebagainya lagi. Kodrat perempuan diperkosa, dipaksa, disuruh menjadi sama dengan kodrat laki-laki. Ekses yang demikian itu tak boleh tidak tentu akhirnya membawa kerusakan!

Oleh karena itu, sekali lagi saya katakan, bahwa kita, di dalam segala kebelakangan kita itu, berada di dalam posisi manfaat pula, yaitu dapat mencerminkan masyarakat Republik Indonesia yang hendak kita susun itu, kepada pengalaman-pengalaman masyarakat perempuan di negeri-negeri yang telah maju. Pelajarilah lebih dulu dalam-dalam pergerakan-pergerakan perempuan di Eropa, sebelum kita mengoper saja segala cita-citanya dan sepak terjangnya! ”Kita mempelajari sejarah untuk menjadi bijaksana terlebih dahulu”, demikianlah perkataan John Seeley yang termasyhur. Perkataan yang ditujukan kepada arti mempelajari sejarah itu, boleh pula dipakai untuk menjadi pedoman di atas jalan perjoangan kaum perempuan di dalam Republik Indonesia Merdeka.

”Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, janganlah juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua barang dengan kodratnya”. Inilah perkataan Ki Hajar Dewantara yang pernah saya baca. Saya kira buat soal perempuan kalimat ini pun menjadi pedoman yang baik sekali.

Benar atau tidakkah perasaan saya ini? Sinar mata yang mengintai itu seakan-akan satu simbul bagi saya, satu lambang. Sinar mata si nyonya rumah tadi itu adalah sinar mata sebagian besar perempuan-perempuan kita. Kasihan nyonya rumah tadi itu! Duduk di ruangan muka, di ”tempat-umum”, tidak boleh; tetapi ia dikurung, ditutup, dipingit; bukan ditempat yang luas, yang banyak sinar matahari, tidak, melainkan di satu tempat yang gelap, yang sempit, yang tidak terpelihara. Tidakkah masih banyak perempuan kita bernasib begini? Merdeka, melihat dunia, tidak boleh, - tetapi dikurung pun di satu tempat yang tidak selayaknya!

Ternak masih melihat dunia luaran, tetapi di beberapa daerah di Indonesia masih banyak Zubaida-Zubaida dan Saleha-Saleha yang dikurung antara dinding-dinding yang tinggi. Yang mereka lihat
sehari-hari hanyalah suami dan anak, periuk nasi dan batu pipisan saja. Ya, sekali-sekali mereka boleh keluar, sekali-sekali, kalau Sang Suami mengizinkan. Cahaya matanya, yang dulu, waktu mereka masih kanak-kanak kecil, adalah begitu hidup dan bersinar, cahaya matanya itu, kemudian, kalau mereka sudah setengah tua, menjadilah cahaya mata yang seperti mengandung hikayat yang tiada akhirnya.
Cahaya mata, yang seperti memandang ke dalam keabadian!
Cahaya mata yang demikian itulah yang kulihat mengintai dari
belakang tabir ...

Bagaimanakah pendirian Islam tentang soal perempuan ini? Apakah Islam tidak mempunyai hukum-hukum tertentu tentang perempuan, sehingga di dalam Islam tidak ada lagi soal perempuan?

Saya bukan ahli fiqh. Tentunya agama Islam mempunyai  hukum-hukum tertentu tentang perempuan.

Tetapi saya mengetahui, bahwa di dalam masyarakat Islam, dulu dan sekarang, ada beberapa aliran tentang posisi perempuan. Ada yang ”kolot”, ada yang ”modern”. Ada yang ”sedang”. Semuanya membawa dalil-dalilnya sendiri. Mana yang benar? Mana yang salah?

Sekali lagi saya berkata: saya bukan ahli fiqh. Saya beragama Islam, saya cinta Islam, saya banyak mempelajari sejarah Islam dan gerak-gerik masyarakat Islam, tetapi sayang seribu sayang, saya bukan ahli fiqh. Walaupun demikian, saya telah mencari beberapa tahun lamanya
di banyak buku-buku yang dapat saya baca, bagaimanakah sebenarnya posisi perempuan dalam Islam. Sebagai saya katakan tadi, tentang hal ini saya menjumpai banyak aliran. Sehingga bolehlah saya katakan di sini, bahwa di dalam  masyarakat Islam pun masih ada soal perempuan. Kesan yang saya dapat daripada apa yang saya baca itu, adalah sama dengan kesan yang didapat oleh Miss Frances Woodsman sesudah beliau mempelajari posisi perempuan di dalam masyarakat Islam itu, yakni kesan, bahwa soal perempuan adalah justru bagian yang
”most debated” -  bagian yang paling menimbulkan pertikaian –
di dalam masyarakat Islam.

Malahan seorang wanita Islam Indonesia sendiri, Encik Ratna Sari,
yang dulu di Padang - di dalam satu risalah yang membicarakan soal perempuan, ada menulis: ”Masyarakat kita pun masih megandung dilemma’s, soal-soal yang pelik, yang masih teka-teki sekarang, tapi sangat penting”.

Demikianlah. Saya berpendapat, bahwa soal perempuan seluruhnya (juga dalam masyarakat Islam) masih harus dipecahkan. Masih satu ”soal”. Atau, jikalau, memakai perkataan Encik Ratna Sari: masih satu ”dilemma”, masih satu ”soal yang pelik”. Sekali lagi, soal perempuan seluruhnya, - dan bukan hanya misalnya soal tabir atau lain-lain soal yang kecil saja! Soal perempuan seluruhnya, posisi perempuan seluruhnya  di dalam masyarakat, - itulah yang harus mendapat perhatian sentral, itulah yang harus kita fikirkan dan pecahkan, agar supaya posisi perempuan di dalam Republik Indonesia bisa kita susun sesempurna-sempurnanya.

Jadi: baik buat fihak yang meneropong soal perempuan dengan teropong fiqh Islam, maupun buat fihak yang meneropong soal ini dengan teropong Rasionalisme belaka, soal ini haruslah masih dipandang sebagai satu soal yang masih perlu kita pecahkan. Dipecahkan, difikirkan, dibolak-balikkan, bukan saja oleh kaum perempuan kita, tetapi juga oleh kaum laki-1aki kita, oleh karena soal perempuan adalah memang satu soal masyarakat yang teramat penting. Dan tidakkah
Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda, bahwa:

”Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri”?

Kaum laki-laki, marilah kita ikut memikirkan soal perempuan ini! Dan marilah kita memikirkan soal perempuan ini bersama-sama dengan kaum perempuan!
Sebab di dalam masyarakat sekarang ini, saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai kaum perempuan. Dia, kaum laki-laki, dia lah kadang-kadang merasa dirinya diserahi memikirkan dan memecahkan soal-soal semacam ini, dia lah kadang-kadang merasa dirinya cukup bijaksana untuk mengambil keputusan, - sedang kaum perempuan tidak diajak ikut bicara, dan disuruh terima saja apa yang diputuskan oleh kaum laki-laki itu. Tidakkah misalnya janggal, bahwa soal tabir di dalam rapat, yang dulu saya persembahkan ke dalam pertimbangan para pemimpin, diputuskan oleh satu majelis laki-laki saja, sedang fihak perempuan tidak ditanya pendapatnya sama sekali?

Sesungguhnya, kita harus belajar insyaf, bahwa soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah satu soal masyarakat dan negara. Nanti, jikalau pembaca telah membaca uraian saya lebih lanjut, maka pembaca akan mengerti, bahwa soal perempuan bukanlah soal buat kaum perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh, satu soal masyarakat dan negara yang amat penting!

Dan oleh karena soal perempuan adalah soal masyarakat, maka soal perempuan adalah sama tuanya dengan masyarakat; soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Atau lebih tegas:
soal laki-laki-perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Seyak manusia hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba dan belum mengenal rumah, sejak ”zaman Adam dan Hawa”, kemanusiaan itu pincang, terganggu oleh soal ini. Manusia zaman sekarang mengenal ”soal perempuan”, manusia zaman purbakala mengenal ”soal laki-laki”. Sekarang kaum perempuan duduk di tingkatan bawah, di zaman purbakala kaum laki-laki lah duduk di tingkatan bawah. Sekarang kaum laki-laki yang berkuasa, di zaman purbakala kaum perempuan lah yang berkuasa. Kemanusiaan, di atas lapangan soal laki-laki-perempuan, selalu pincang. Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang satu menindas saf yang lain. Harmoni hanyalah dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di  atas  saf yang lain, tetapi dua ”saf” itu sama derajat, - berjajar - yang satu  di sebelah yang lain, yang satu  memperkuat kedudukan  yang lain.

Tetapi masing-masing menurut kodratnya sendiri. Sebab siapa melanggar kodrat alam ini, ia akhirnya niscaya digilas remuk-redam oleh Alam itu sendiri. Alam benar adalah ”sabar”, Alam benar tampaknya diam, - tetapi ia tak dapat diperkosa, ia tak mau diperkosa.
Ia tak mau ditundukkan.

Ia menurut kata Vivekananda adalah ”berkepala batu”!


BAB II
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Allah telah berfirman, bahwa Ia membuat segala hal berpasang-pasangan. Firman ini tertulis dalam surat Yasin ayat 36:l ”Maha mulia lah Dia, yang menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan”; dalam surat Az-Zuchruf ayat 1.2:

”Dan Dia yang menjadikan segala hal berpasang-pasangan dan membuat bagimu perahu-perahu dan ternak, yang kamu tunggangi”; dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49:

”Dan dari tiap-tiap barang kita membuat pasang-pasangan, agar supaya kamu ingat”. Perhatikan: Segala barang, segala hal.

Jadi bukan saja manusia berpasang-pasangan, bukan saja kita ada lelakinya dan ada wanitanya.

Binatang ada jantannja, bunga-bungapun ada lelakinya dan perempuannya, alam ada malamnya dan siangnya -, barang-barang ada kohesinya dan adhesinya, tenaga-tenaga ada aksinya dan reaksinya, elektron-elektron ada positifnya dan negatifnya, segala kedudukan ada these dan anti-thesenya.

Ilmu yang maha hebat, yang maha mengagumkan ini telah keluar dari Mulutnya Muhammad s.a.w. ditengah-tengah padang pasir, beratus-ratus tahun sebelum di Eropa ada maha-guru maha-guru sebagai Maxwell, Pharaday, Nicola Tesla, Descartes, Hegel, Spencer, atau William Thompson.

Maha bijaksanalah Mulut yang mengikrarkan perkataan-perkataan itu, maha hikmatlah isi yang tercantum di dalam perkataan-perkataan itu! Sebab di dalam beberapa perkataan itu saja termaktublah segala sifat dan hakekat alam!

Alam membuat manusia berpasang-pasangan. Laki-laki tak dapat ada jika tak ada perempuan, perempuan tak dapat ada jika tak ada laki-laki. Laki-laki tak dapat hidup normal dan subur tak dengan perempuan, perempuan pun tak dapat hidup normal dan subur tak dengan laki-laki. Olive Schreiner, seorang idealis perempuan bangsa Eropa, di dalam bukunya ”Drie dromen in de Woestijn”, pernah memperlambangkan lelaki dan perempuan itu sebagai dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh satu tali gaib, satu ”tali hidup”, - begitu terikat yang satu kepada yang lain, sehingga yang satu tak dapat mendahului selangkah-pun kepada yang lain, tak dapat maju setapakpun dengan tidak membawa juga kepada yang lain. Olive Schreiner adalah benar: Memang begitulah keadaan manusia! Bukan saja laki dan perempuan tak dapat terpisah satu daripada yang lain, tetapi juga tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki-perempuan yang satu tidak membawa yang lain. Karenanya, janganlah masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju dan subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.

Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam sesuatu kultur yang sewajar-wajarnja kultur, kalau perempuan dihinakan di dalam kultur itu. Setengah ahli tarikh menetapkan, bahwa kultur Yunani jatuh, karena perempuan dihinakan di dalam kultur Yunani itu. Nazi Jerman jatuh, oleh karena di Nazi Jerman perempuan dianggap hanya baik buat Kirche-Kiiche-Kleider-Kinder. Dan semenjak kultur masyarakat Islam (bukan agama Islam!) kurang menempatkan kaum perempuan pula ditempatnya yang seharusnya, maka matahari kultur Islam terbenam, sedikit-sedikitnya suram!

Sesungguhnya benarlah perkataan Charles Fourrier kalau ia mengatakan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan sesuatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat itu. Atau, benarlah pula perkataan Baba O’lllah, yang menulis, bahwa ”laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung”. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya;
jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu samasekali.

Perkataan Baba O’lllah ini sudah sering kali kita baca.
Tetapi walaupun perkataannya itu hampir basi, - kebenarannya akan tinggal ada, buat selama-lamanya.

Jadi: laki-laki dan perempuan menetapkan sifat hakekat masing-masing. Tali hidup yang ditamsilkan oleh Olive Schreiner itu, bukan tali hidup sosial saja, bukan tali hidup yang karena bersatu rumah atau bersatu piring nasi saja. Lebih asli daripada pertalian perumahan yang satu dan piring nasi yang satu, adalah tali hidupnya kodrat alam sendiri. Tali hidup ”sekse”! Laki-laki tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini, perempuan pun tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini. Dan bukan tali sekse yang tali seksenya fungsi biologis saja, tapi juga tali seksenya jiwa. Tiap-tiap sundal yang setiap hari barangkali menjual tubuhnya lima atau sepuluh kali, mengetahui, bahwa ”tubuh” masih lain lagi daripada ”jiwa”. Dengan menjual tubuh yang sampai sekian kali setiap hari itu, masih banyak sekali sundal yang dahaga kepada cinta. Tali sekse jasmani dan tali sekse rohani, - itulah satu bagian dari ”tali hidup” yang dimaksudkan oleh Olive Schreiner, yang mempertalikan laki-laki dan perempuan itu. Memang tali sekse jasmani dan rohani inilah kodrat tiap-tiap makhluk, dus juga kodrat tiap-tiap manusia. Manakala tali sekse rohani dihilangkan dan hanya tali sekse jasmani saja yang dipuaskan, maka tidak puaslah kodrat alam itu. Pada permulaan diadakan kultur baru di Sovyet Rusia, maka ekses perhubungan antara laki-laki dan perempuan adalah keliwat. ”Tali sekse” dianggap sebagai suatu keperluan tubuh saja, sebagai misalnya tubuh perlu kepada segelas air kalau tubuh itu dahaga. ”Teori air segelas” ini di tahun-tahun yang mula-mula sangat laku di kalangan pemuda-pemuda di Rusia. Madame Kollontay menjadi salah seorang penganjurnya. Siapa merasa dahaga seksuil, ia mengambil air yang segelas itu; - ”habis minum”, sudahlah pula. Beberapa tahun lamanya teori air segelas ini laku. Tetapi kemudian ... kemudian kodrat alam bicara. Kodrat alam tidak puas dengan segelas air saja, kodrat alam minta pula minuman jiwa. Kodrat alam minta ”cinta” yang lebih memuaskan cita, ”cinta” yang lebih suci. Lenin sendiri gasak teori air segelas ini habis-habisan dari semulanya ia muncul. Dan sekarang orang di sana telah meninggalkan sama sekali teori itu, orang telah mendapat pengalaman, bahwa Alam tak dapat didurhakai oleh sesuatu teori.

Semua ahli-ahli fiIsafat dan ahli biologi seia-sekata, bahwa tali sekse itu adalah salah satu faktor yang terpenting, salah satu  motor yang terpenting dari peri-kehidupan manusia. Di samping-nya nafsu makan dan minum, ia adalah motor yang terkuat. Di samping nafsu makan dan minum, ia menentukan perikehidupan manusia.

Malahan ahli fiIsafat Schopenhauer ada berkata: ”Syahwat adalah penjelmaan yang paling keras daripada kemauan akan hidup. Keinsyafan kemauan akan hidup ini memusat kepada fi’il membuat turunan,”  begitulah ia berkata.

Kalau tali sekse diputuskan buat beberapa tahun saja, maka manusia umumnya menjadi abnormal. Lihatlah keadaan di dalam penjara, baik penjara buat orang laki-laki, maupun penjara buat orang perempuan. Dua kali saya pernah meringkuk agak lama dalam penjara, dan tiap-tiap kali yang paling mendirikan bulu saya ialah keabnormalan manusia-manusia di dalam penjara itu. Percakapan-percakapan menjadi abnormal, tingkah laku menjadi abnormal. Sering saya melihat orang-orang di dalam penjara, yang seperti seperempat gila! Laki-laki mencari kepuasan kepada laki-laki, dan direksi terpaksa memberi hukuman yang berat-berat.

Pembaca barangkali tersenyum akan pemandangan saya yang ”mentah” ini, dan barangkali malahan menyesali kementahannya. Pembaca barangkali mengemukakan nama orang-orang besar, nama Nabi Isa, nama Gandhi, nama Mazzini, yang menjadi besar, antara lain-lain karena tidak mempunyai isteri atau tidak mencampuri isteri. Ah, ... beberapa nama! Apakah artinya beberapa nama itu, jika dibandingkan dengan ratusan juta manusia biasa di muka bumi ini, yang semuanya hidup menurut kodrat alam? Kita di sini membicarakan kodrat alam, kita tidak membawa-bawa moral. Alam tidak mengenal moral, - begitulah Luther berkata. Beliau berkata lagi: ”Siapa hendak menghalangi perlaki-isterian, dan tidak mau memberikan haknya kepadanya, sebagai yang dikehendaki dan dimustikan oleh alam, - ia sama saja dengan menghendaki yang alam jangan alam, yang api jangan menyala, yang air jangan basah, yang manusia jangan makan, jangan minum, jangan tidur!” Tali sekse itu memang bukan perkara moral. Tali sekse itu tidak moril, ia tidak pula immoril. Tali sekse itu adalah menurut kodrat, sebagai lapar adalah menurut kodrat, dan sebagai dahaga adalah menurut kodrat pula!

Apakah maksud saya dengan uraian .tentang tali sekse ini? Pembaca, nyatalah, bahwa baik laki-laki, maupun perempuan tak dapat normal,
tak dapat hidup sebagai manusia normal, kalau tidak ada tali sekse ini. Tetapi bagaimanakah pergaulan hidup di zaman sekarang? Masyarakat sekarang di dalam hal inipun, - kita belum membicarakan hal lain-lain! - tidak adil kepada perempuan. Perempuan di dalam hal inipun suatu makhluk yang tertindas. Perempuan bukan saja makhluk yang tertindas kemasyarakatannya, tetapi juga makhluk yang tertindas ke-sekse-annya. Masyarakat kapitalistis zaman sekarang adalah masyarakat, yang membuat pernikahan suatu hal yang sukar, sering kali pula suatu hal yang tak mungkin. Pencaharian nafkah, - struggle for life - di dalam masyarakat sekarang adalah begitu berat, sehingga banyak pemuda karena kekurangan nafkah tak berani kawin, dan tak dapat kawin. Perkawinan hanyalah menjadi privilegenya (hak-lebihnya) pemuda-pemuda yang ada kemampuan rezeki sahaja. Siapa yang belum cukup nafkah, ia musti tunggu sampai ada sedikit nafkah, sampai umur tiga puluh, kadang-kadang sampai umur empat puluh tahun. Pada waktu ke-sekse-an sedang sekeras-kerasnya, pada waktu ke-sekse-an itu menyala-nyala, berkobar-kobar sampai kepuncak-puncaknya jiwa, maka perkawinan buat sebagian dari kemanusiaan adalah suatu kesukaran, suatu hal yang tak mungkin. Tetapi, ... api yang menyala-nyala di dalam jiwa laki-laki dapat mencari jalan keluar - meliwati satu ”pintu belakang” yang hina -, menuju kepada perzinahan dengan sundal dan perbuatan-perbuatan lain-lain jang keji-keji. Dunia biasanya tidak akan menunjuk laki-laki yang demikian itu dengan jari tunjuk, dan berkata: cih, engkau telah berbuat dosa yang amat besar! Dunia akan anggap hal itu sebagai satu ”hal biasa”, yang ”boleh juga diampuni”. Tetapi bagi perempuan ”pintu belakang” ini tidak ada, atau lebih benar: tidak dapat dibuka, dengan tak (alhamdulillah) bertabrakan dengan moral, dengan tak berhantaman dengan kesusilaan, - dengan tak meninggalkan cap kehinaan di atas dahi perempuan itu buat selama-lamanya. Jari telunjuk masyarakat hanya menuding kepada perempuan saja, tidak menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk kepada kedua fihak secara adil. Keseksean laki-laki setiap waktu dapat merebut haknya dengan leluasa, - kendati masyarakat tak memudahkan perkawinan -, tetapi keseksean perempuan terpaksa tertutup, dan membakar dan menghanguskan kalbu. Perempuan banyak yang menjadi ”terpelanting mizan” oleh karenanya, banyak yang menjadi putus asa oleh karenanya. Bunuh diri kadang-kadang menjadi ujungnya. Statistik Eropa menunjukkan, bahwa di kalangan kaum pemuda, antara umur 15 tahun dan 30 tahun, yakni waktu keseksean sedang sehebat-hebatnya mengamuk di kalbu manusia, lebih banyak perempuan yang bunuh diri, daripada kaum laki-laki. Jikalau diambil prosen dari semua pembunuhan diri, maka buat empat negeri di Eropa pada permulaan abad ke 20, statistik itu adalah begini:

Nama negeri
Umur 15 – 20 tahun
Umur 21 – 30 tahun
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Jerman
Denemarken
Swiss
Perancis
   5,3%
   4,6%
   3,3%
   3,5%
10,7%
  8,3%
  6,7%
  8,2%
16 %
    12,4%
16,1 %
    10,9%
 20,2%
 14,8%
 21 %
 14 %

Ternyatalah, bahwa di semua negeri ini lebih banyak perempuan muda bunuh diri daripada laki-laki muda.

Sebabnya? Sebabnya tak sukar kita dapatkan. Keseksean yang terhalang, cinta yang tak sampai; kehamilan yang rahasia, itulah biasanya yang menjadi sebab.

Adakah keadaan di negeri kita berlainan? Di sini tidak ada statistik bunuh diri, tapi saya jaminkan kepada tuan: enam atau tujuh daripada sepuluh kali tuan membaca khabar seorang pemuda bunuh diri di surat-surat khabar, adalah dikerjakan oleh pemuda perempuan. Di dalam masyarakat sekarang, perempuan yang mau hidup menurut kodrat alam tak selamanya dapat, karena masyarakat itu tak mengasih kemungkinannya. Di beberapa tempat di Sumatera Selatan saya melihat ”gadis-gadis tua”, yang tak dapat perjodoan, karena adat memasang banyak-banyak ”rintangan, misalnya uang-antaran yang selalu terlalu mahal, kadang-kadang sampai ribuan rupiah. Roman mukanya gadis-gadis itu seperti sudah tua, padahal mereka ada yang baru berumur 25 tahun, 30 tahun, 35 tahun. Di daerah Indonesia yang lain-lain, saya melihat perempuan-perempuan yang sudah umur 40 atau 45 tahun, tetapi yang roman-mukanya masih seperti muda-muda. Adakah ini oleh karena perempuan-perempuan di lain-lain tempat itu barangkali lebih cakap ”make-up” - nya daripada perempuan di beberapa tempat di Sumatera Selatan itu? Lebih cakap memakai bedak, menyisir rambut, memotong baju, mengikatkan sarung? Tidak, sebab perempuan di tempat-tempat yang saya maksudkan itupun tahu betul rahasianya bedak, menyisir rambut, memotong baju dan mengikatkan kain.
Tetapi sebabnya ”muka tua” itu ialah oleh karena mereka terpaksa
hidup sebagai ”gadis tua”, - tak ada suami, tak ada teman hidup, tak
ada kemungkinan menemui kodrat alami. Di dalum bukunya tentang soal perempuan, August Bebel mengutip perkataan Dr.H.Plosz yang mengatakan, bahwa sering ia melihat, betapa perempuan-perempuan yang sudah hnmpir peyot lantas seakan-akan menjadi muda kembali, kalau mereka itu mendapat suami. ”Tidak jarang orang melihat bahwa gadis-gadis yang sudah layu atau yang hampir-hampir peyot, kalau mereka mendapat kesempatan bersuami, tidak lama sesudah perkawinannya itu lantas menjadi sedap kembali bentuk-bentuk badannya, merah kembali pipi-pipinya, bersinar lagi sorot matanya. Maka oleh knrena itu, perkawinan boleh dinamakan sumber ke-muda-an yang sejati bagi kaum perempuan”, begitulah kata Dr. Plosz itu.

Tetapi kembali lagi kepada apa yang saya katakan tadi: masyarakat kapitalistis yang sekarang ini, yang menyukarkan sekali struggle for life bagi kaum bawahan, yang di dalamnya amat sukar sekaIi orang mencari nafkah, masyarakat sekarang ini tidak menggampangkan pernikahan antura laki-laki dan perempuan. Alangkah baiknya sesuatu masyarakat yang mengasih kesempatan nikah kepada tiap-tiap orang yang mau nikah! Orang pernah tanya kepada saya: Bagaimanakah rupanya masyarakat yang tuan cita-citakan?” Saya menjawab: ”Di dalam masyarakat yang saya cita-citakan itu, tiap-tiap orang lelaki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang perempuan bisa mendapat suami”.
Ini terdengarnya mentah sekaIi, tuan barangkali akan tertawa atau mengangkat pundak tuan, tetapi renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan saya di atas tadi, dan kemudian katakanlah, apa saya tidak benar? Di dalam masyarakat yang struggle for life tidak seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin, di dalam masyarakat yang demikian itu, niscaya persundalan boleh dikatakan lenyap, prostitusi menjadi ”luar biasa” dan bukan satu kanker sosial yang permanen yang banyak korbannya. Prof. Rudolf Eisler di dalam buku kecilnya tentang sosiologi pernah menulis tentang persundalan ini: ”Keadaan sekarang ini hanyalah dapat menjadi baik kalau peri-kehidupan ekonomi menjadi baik, dan mengasih kesempatan kepada laki-laki akan menikah pada umur yang lebih muda, dan mengasih kesempatan kepada perempuan-perempuan yang tidak nikah, buat mencari nafkah sonder pencaharian-pencaharian tambahan yang merusak kehormatan”.

Pendek kata: pada hakekat yang sedalam-dalamnya, soal perhubungan antara laki-laki dan perempuan, jadi sebagian daripada ”soal perempuan” pula, bolehlah kita kembalikan kepada pokok yang saya sebutkan tadi: yakni soal dapat atau tidak dapat haknya keseksean, soal dapat atau tidak dapat alam bertindak sebagai alam. Di mana alam ini mendapat kesukaran, di mana alam ini dikurangi haknya, di situlah soal ini menjadi genting. Saya tidak ingin kebiadaban, saya tidak ingin tiap-tiap manusia mengumbar hantam-kromo saja meliwat-bataskan ke-sekse-annya, saya cinta kepada ketertiban dan peraturan, saya cinta kepada hukum, yang mengatur perhubungan laki-perempuan di dalam pernikahan menjadi satu hal yang luhur dan suci, tetapi saya kata, bahwa masyarakat yang sekarang ini di dalam hal ini tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki minta haknya menurut kodrat alam, perempuan pun minta haknya menurut kodrat alam. Ditentang haknya menurut kodrat alam ini tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Tapi, dari masyarakat sekarang, lelaki nyata mendapat hak yang lebih, nyata mendapat kedudukan yang lebih menguntungkan. Sebagai makhluk perseksean, sebagai geslachtswezen, perempuan nyata terjepit, sebagaimana ia sebagai makhluk masyarakat atau makhluk sosial juga terjepit. Laki-laki hanya terjepit sebagai makhluk sosial saja di dalam masyarakat sekarang ini, tapi perempuan adalah terjepit sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk perseksean.

Alangkah baiknya masyarakat yang sama adil di dalam hal ini.
Yang sama adil pula di dalam segala hal yang lain-lain.

Saya akui, adalah perbedaan yang fundamentil antara lelaki dan perempuan. Perempuan tidak sama dengan laki-laki, laki-laki tidak sama dengan perempuan. Itu tiap-tiap hidung mengetahui-nya. Lihatlah perbedaan antara tubuh perempuan dengan tubuh laki-laki; anggauta-anggautanya lain, susunan anggautanya lain, fungsi-fungsi anggautanya (pekerjaannya) lain. Tetapi perbedaan bentuk tubuh dan susunan tubuh ini hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan turunan, dan memelihara turunan itu.

Untuk kesempurnaan tercapainya tujuan alam ini, maka alam mengasih anggota-anggota tubuh yang spesial untuk fungsi masing-masing. Dan hanya untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam ini, alam mengasih fungsi dan alat-alat ”kelaki-lakian” kepada laki-laki, dan mengasih fungsi serta alat-alat ”keperempuanan” kepada perempuan: Buat laki-laki: memberi dzat anak; buat perempuan: menerima dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak. Tetapi tidaklah perbedaan-perbedaan ini harus membawa perbedaan-perbedaan pula di dalam peri-kehidupan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk masyarakat.

Sekali lagi: ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi sekali lagi pula saya ulangi di sini, bahwa perbedaan-perbedaan itu HANYALAH karena dan untuk tujuan kodrat alam, yakni HANYA-LAH karena dan untuk tujuan perlaki-isterian dan peribuan saja. Dan sebagai tadi saya katakan, kecuali perbedaan tubuh, untuk hal ini adalah perbedaan psikhis pula antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan jiwa. Professor Heymans, itu ahli jiwa yang kesohor, yang mempelajari jiwa perempuan dalam-dalam, mengatakan, bahwa perempuan itu, untuk terlaksananya tujuan kodrat a1am itu, adalah melebihi laki-laki di lapangan ”emotionalitas” (rasa terharu), ”aktivitas” (kegiatan), dan ”kharitas” (kedermawaan). Perempuan lebih lekas tergoyang jiwanya daripada laki-laki, lebih lekas marah tetapi juga lebih lekas cinta lagi daripada laki-laki, lebih lekas kasihan, lebih lekas ”termakan” oleh kepercayaan, lebih ikhlas. dan kurang serakah, lebih lekas terharu, lebih lekas meng-idealisirkan orang lain, lebih boleh dipercaya, lebih gemar kepada anak-anak dan perhiasan, dan lain sebagainya. Semuanya ini mengenai jiwa. Tetapi anggapan orang, bahwa perempuan itu akalnya kalah dengan laki-laki, ketajaman otaknya kalah dengan laki-laki, anggapan orang demikian itu dibantah oleh Prof. Heymans itu dengan tegas dan jitu: ”Menurut pendapat saya, kita tidak mempunyai hak sedikitpun, buat mengatakan, bahwa akal perempuan kalah dengan akal laki-laki”...

Tiap-tiap guru dapat membenarkan perkataan Profesor Heymans ini. Saya sendiri waktu menjadi murid di H.B.S. mengalami, bahwa seringkali murid lelaki ”payah” berlomba kepandaian dengan teman-teman perempuan dan malahan pula sering-sering ”terpukul” oleh teman-teman perempuan itu. Pada waktu saya menjadi guru di sekolah menengah pun saya mendapat pengalaman, bahwa murid-murid saya yang perempuan umumnya tak kalah dengan murid-murid saya yang laki-laki. Profesor Freundlich, itu tangan kanannya Profesor Einstein di dalam ilmu bintang yang pada tahun 1929 mengunjungi Indonesia, dan kemudian menjadi maha guru di sekolah tinggi Istambul di dalam mata pelajaran itu pula, menerangkan, bahwa studen-studennya yang perempuan tak kalah dengan studen-studen laki-laki ”Mereka selamanya boleh diajak memutarkan otaknya di atas soal-soal yang maha sukar”. Profesor O’Conroy yang dulu menjadi maha guru di Universitas Keio di Tokyo, menceritakan di dalam bukunya tentang negeri Nippon, bahwa di Nippon selalu diadakan ujian-ujian perbandingan (vergelijkende examens) antara lelaki dan perempuan oleh kantor-kantor gubernemen atau kantor-kantor dagang yang besar-besar, dan bahwa selamanya kaum perempuan nyata lebih unggul daripada kaum laki-laki.

Ada-ada saja alasan yang orang cari buat ”membuktikan”, bahwa kaum perempuan ”tak mungkin” menyamai (jangan lagi melebihi!) kaum laki-laki ditentang ketajaman otak. Orang katakan, bahwa otak perempuan kalah banyaknya dengan otak laki-laki! Orang lantas keluarkan angka-angka hasil penyelidikan ahli-ahli, seperti Bischoff, seperti Boyd, seperti Marchand, seperti Retzius, seperti Grosser. Orang lantas membuat daftar sebagai di bawah ini:

Berat otak rata-rata:

Menurut  penyelidikannya
Laki-laki
Perempuan
Bischoff
Boyd
Marchand
Retzius
Grosser
1362  gram
1325    
1399    
1388    
1388    
1219  gram
1183     
1248    
1252    
1252    

Nah, kata mereka, mau apa lagi? Kalau ambil angka-angka Retzius dan Grosser, maka otak laki-laki rata-rata beratnya 1.388 gram, dan otak perempuan rata-rata 1.252 gram! Mau apa lagi? Tidakkah ternyata laki-laki lebih banjak otaknya daripada perempuan?

Ini jago-jago kaum laki-laki lupa, bahwa tubuh laki-laki juga lebih berat dan lebih besar daripada tubuh perempuan! Berhubungan dengan lebih besarnya tubuh laki-laki itu, maka Charles Darwin yang termasyhur itu berkata: ”Otak laki-laki memang lebih banyak dari otak perempuan. Tetapi, jika dihitung dalam perbandingan dengan lebih besarnya badan laki-laki, apakah otak laki-laki itu benar lebih besar?” Kalau dihitung di dalam perbandingan dengan beratnya tubuh, maka ternyatalah (demikianlah dihitung) bahwa otak perempuan adalah rata-rata 23,6 gram per kg. tubuh, tetapi otak laki-laki hanya ... 21,6 gram per kg. tubuh! Jadi kalau betul ketajaman akal itu tergantung dari banyak atau sedikitnya otak, kalau betul banyak-sedikitnya otak menjadi ukuran buat tajam atau tidak-tajamnya fikiran maka perempuan musti selalu lebih pandai dari kaum laki-laki!

Ya, kalau betul ketajaman akal tergantung dari banyak sedikitnya otak! Tetapi bagaimana kenyataan? Bagaimana hasil penyelidikan otaknya orang-orang yang termasyhur sesudah mereka mati? Ada ahli-ahli fikir yang banyak otaknya, tetapi ada pula harimau-harimau fikir yang tidak begitu banyak otaknya! Cuvier, itu ahli fikir, otaknya 1.830 gram, Byron itu penyair besar, 1.807 gram, Mommsen 1.429,4 gram, tetapi gembong ilmu hitung Gausz hanya 1.492 gram, ahli faIsafah Hermann hanya 1.358 gram, (di bawah ”nomor”!), gajah faIsafah dan ilmu hitung Leibniz hanya 1.300 gram (di bawah ”nomor”!), jago phisica Bunsen hanya 1.295 gram (di bawah ”nomor”!), kampiun politik Perancis Gambetta hanya 1.180 gram (malahan di bawah ”nomor-perempuan” sama sekali!).

Sebaliknya, Broca, itu ahli fisiologi Paris yang termasyhur, pernah mengukur isi tengkorak-tengkorak manusia dari Zaman Batu, - dari zaman tatkala manusia masih biadab dan bodoh! - dan ia mendapat hasil rata-rata 1.606 cms, satu angka yang jauh lebih tinggi daripada angka-angka isi tengkorak dari zaman sekarang. Malahan teori ”lebih banjak otak lebih pandai” ini ternyata pula menggelikan, sebab Bischoff pernah menimbang otak mayat seorang kuli biasa, - tentu seorang-orang bodoh -, dan dia mendapat record 2.222 gram!, sedang Kohlbrugge berkata, bahwa ”otak orang-orang yang gila atau idioot sering sekali sangat berat”! Dari mana orang masih mau tetap menuduh bahwa orang perempuan kurang tajam fikiran, karena orang perempuan kurang banyak otaknya kalau dibandingkan dengan orang laki-laki?

Tidak, ”alasan otak” ini adalah alasan kosong. ”Alasan otak” ini sudah lama dibantah, dihantam, dibinasakan oleh ilmu pengetahuan! Bebel di dalam bukunya mengumpulkan ucapan-ucapan ahli wetenschap tentang ”alasan otak” ini. Raymond Pearl berkata: ”Tidak ada satu bukti, bahwa antara ketajaman akal dan beratnya otak ada perhubungan satu dengan yang lain”; Duckworth menetapkan: ”Tidak ada bukti, bahwa manusia yang banyak otaknya itu tentu orang yang tajam akal”; dan            Kohlbrugge menulis pula: ”Antara ketajaman akal dan beratnya otak tidak ada pertalian apa-apa”. Dan tidakkah ada cukup bukti, bahwa perempuan sama tajam fikirannya dengan kaum laki-laki, sebagai dikatakan oleh Profesor Heymans, Prof. Freundlich, Profesor O’Conroy itu tadi, dan boleh ditambah lagi dengan berpuluh-puluh lagi keterangan ahli-ahli lain yang mengakui hal ini, kalau kita mau? Tidakkah kita sering mendengar nama perempuan-perempuan yang menjadi bintang ilmu pengetahuan atau politik, sebagai Madame Curie, Eva Curie, Clara Zetkin, Henriette Roland Holst, Sarojini Naidu, dll?

Tuan barangkali akan membantah, bahwa jumlah perempuan-perempuan kenamaan itu belum banyak, dan bahwa di dalam masyarakat sekarang kebanyakannya kaum laki-lakilah yang memegang obor ilmu pengetahuan dan faIsafah dan politik. Benar sekali, tuan-tuan: Di dalam masyarakat sekarang! Benar sekali: di dalam masyarakat sekarang ini, di mana laki-laki mendapat lebih banyak kesempatan buat menggeladi akal-fikirannya, maka kaum laki-lakilah yang kebanyakan menduduki tempat-tempat kemegahan ilmu dan pengetahuan. Di dalam masyarakat sekarang ini, di mana kaum perempuan banyak yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih kesempatan maju ke muka di lapangan masyarakat, banyak yang baginya diharamkan ini dan diharamkan itu, maka tidak heran kita, bahwa kurang banyak kaum perempuan yang ilmu dan pengetahuannya membubung ke udara. Tapi ini tidak menjadi bukti bahwa dus kwalitas otak perempuan itu kurang dari kwalitas otak kaum lelaki, atau ketajaman otak perempuan kalah dengan ketajaman otak laki-laki. Kwalitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama, kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya kesempatan oleh masyarakat sekarang kepada kaum perempuan, maka kita wajib berikhtiar membongkar ketidak-adilan masyarakat terhadap kepada kaum perempuan itu!

Bahkan terhadap fungsi kodrat dari kaum perempuan yang kita bicarakan tadi itu, yakni fungsi menjadi ibu, menerima benih anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak, - terhadap fungsi kodrat inipun dunia laki-laki masih kurang menghargakan kaum perempuan! Orang laki-laki membusungkan dadanja, seraya berkata-kita, kaum laki-laki kita maju ke padang peperangan, kita berani menghadapi bahaya- bahaya yang besar. ”Apakah yang perempuan perbuat?” Orang laki-laki mengagul-agulkan kelaki-lakiannya menghadapi maut, mengagul-agulkan jumlah jiwa laki-laki yang mati guna keperluan sejarah, seraya berkata: ”Bahaya apakah yang perempuan hadapi?” Orang lelaki yang demikian ini tidak mengetahui, bahwa dulu di zaman purbakala, tatkala hukum masyarakat belum seperti sekarang ini, ialah di dalam zaman ”hukum per-ibuan” alias matriatchat, - yang di dalam Bab III dan. IV akan saya terangkan panjang lebar -, kaum perempuan-lah yang mengemudi masyarakat, kaum perempuanlah yang kuasa, kaum perempuanlah yang mengepalai peperangan, kaum perempuanlah memanggul senjata, kaum perempuanlah mengorbankan jiwanya guna sejarah. Dan lagi ... apakah benar peperangan lebih berbahaya daripada melahirkan anak? Apakah benar peperangan minta lebih banyak korban daripada melahirkan anak? Tiap-tiap ibu dapat  menerangkan, bahwa melahirkan anak itulah yang sangat berbahaya di sepanjang hidup seseorang manusia. Tiap-tiap ibu pernah menghadapi maut sedikitnya satu kali dalam hidupnya, yakni pada waktu melahirkan anak, sudahkah kita pernah berhadap-hadapan muka dengan maut itu, sudahkah kita pernah merasakan nafasnya maut yang dingin itu menyilir di muka kita?

Terutama di negeri-negeri yang belum besar usaha kedokteran, seperti di Eropa di zaman dulu, atau di Asia di zaman sekarang, tidak sedikit jumlah perempuan yang jatuh di atas padang kehormatan melahirkan anak. Dulu di negeri Pruisen saja, (perhatikanlah, belum Jerman seluruhnya) antara tahun 1816 dan 1876, pada waktu ilmu kedokteran sudah mulai subur, jumlah perempuan yang meninggal karena melahirkan anak adalah 321.791 orang, - yakni rata-rata 5.363 setahun-tahunnya! Jumlah ini di negeri 1nggeris antara tahun 1.847 dan 1.901 adalah 213.533, yakni, kendati waktu itu ilmu dan ikhtiar kedokteran telah maju pula, tak kurang dari 4.000 setahun tahunnya! ”Coba orang laki-laki musti menanggung sengsara seperti perempuan ini, maka barangkali segala apa diributkan untuk menolongnya!”, begitulah kata Profesor Herff. Di Eropa, jumlah-jumlah itu sekian besarnya! Betapa pula di kampung-kampung dan di dusun-dusun kita, di mana dokter belum dikenal orang! Betapa pula keadaan di kalangan Sarinah! Maka benar sekali konklusi August Hebel, kalau ia mengatakan, bahwa di dalam sejarah manusia ini, kalau dijumlahkan, lebih banyak perempuan melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan melahirkan bayi, dari pada laki-laki melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan peperangan.

Orang laki-laki! Ia selalu menghina saja kepada kaum perempuan. Ia mentertawakan perempuan yang hamil, ia meremehkan arti melahirkan bayi, ia tak ingat bahwa ia sendiri adalah hasil dari kesengsaraan dan kepedihan ibunya yang bertahun-tahun. ”Bagi dia, bagi laki-laki”;- begitulah Edward Carpenter, seorang pembela perempuan di negeri Inggeris, berkata - ”bagi laki-laki maka persetubuhan itu adalah satu peringanan dan satu kenikmatan. Ia kemudian pergi, dan tidak ingat lagi akan perbuatannya itu. Tetapi buat perempuan fi’il ini adalah satu hal yang paling mulia dan paling berarti di dalam hidupnya, laksana satu perintah yang maha rahasia dan maha penting. Bagi perempuan, fi’il ini adalah satu perbuatan yang banyak akibat-akibatnya, satu perbuatan yang ia tak dapat hapuskan lagi atau lupakan lagi, - satu perbuatan yang ia terpaksa selesaikan dulu dengan segala akibat-akibatnya, sebelum ia bisa merdeka lagi ... Hanya sedikit kaum laki-laki, barangkali tidak ada seorangpun, yang insyaf akan dalamnya dan sucinya rasa-ibu di dalam kalbu seorang perempuan, tidak seorangpun yang ikut merasakan kebahagiaannya dan harapan-harapannya, atau keluh-kesahnya dan ketakutannya yang maha pedih. Bebannya kehamilan, kekhawatirannya pada waktu melihat, bahwa apa yang dikandungnya itu selalu berobah sifat; ketakutannya, kalau-kalau apa yang dikandungnya itu tidak selamat seperti yang diharap-harapkannya, keridlaannya buat kalau perlu menebus dengan jiwanya sendiri, asal saja si bayi itu bisa lahir dengan selamat, semua adalah hal-hal yang orang laki-laki tak dapat mengira-ngirakan atau meraba-rabakan. Kemudian, kemudian daripada itu, pengorbanan yang ibu itu kasihkan buat keselamatan sianak kecil; keletihan dan kepayahan yang bertahun-tahun, yang semasekali mendorong ke belakang segala fikiran-fikiran akan kesenangan diri sendiri serta rasa cinta dan rasa kasih, yang tak pernah orang dapat nilaikan dan hargakan betul ... dan kemudian lagi, rasa pilu dan rasa sunyi kalau nanti anak laki-laki dan anak perempuan itu masuk ke dunia ramai dan memutuskan tali perhubungan dengan rumah tangga. Di sini tali-tali kekeluargaan itu diputuskan, sebagaimana dulu tali ari-ari diputuskan pula. Buat segala hal yang sedih-sedih ini, perempuan tak boleh mengharap akan dapat rasa simpati dari fihak kaum laki-laki”.

Begitulah perkataan Edward Carpenter. Moga-moga Allah melimpahkan rakhmad kepada semua ibu-ibu di dunia, yang semuanya, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah limpahkan rakhmad kepada pembuat-pembuat kemanusiaan itu, kepada ini ”Bouwsters der Menschheid” yang semuanya tidak ada yang minta dibalas jasa, tidak ada yang minta dibalas budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita semua, agar supaya kita lebih menghormati dan menghargai kaum perempuan itu!

Janganlah kaum laki-laki lupa, bahwa sifat-sifat yang kita dapatkan sekarang pada kaum perempuan itu, dan membuat kaum perempuan itu menjadi dinamakan ”kum lemah”, ”kaum bodo”, ”kaum singkat pikiran”, ”kum nerimo”, dan 1ain-1ain bukanlah sifat-sifat yang karena kodrat ada terlekat pada kaum perempuan, tetapi adalah buat sebagian besar hasilnya pengurungan dan perbudakan kaum perempuan yang turun-temurun, beratus tahun, beribu tahun. Di zaman dulu, sebagai saya katakan tadi, di zamannya matriarchat yang nanti di dalam Bab III dan IV akan saya terangkan lebih jelas, di zaman dulu itu sifat-sifat kelemahan itu tidak ada. Ilmu pegetahuan yang modern telah menetapkan pengaruh keadaan (milieu) di atas jasmani dan rohani manusia. Apa sebab kaum kuli dan tani badannya umumnya lebih besar dan kuat daripada kaum ”atasan”? Oleh karena milieu kuli adalah mengasih kesempatan kepada badan si kuli itu untuk menjadi besar dan menjadi kuat. Apa sebab perempuan-perempuan kuli lebih kuat dan besar dari perempuan kaum ”atasan”? Oleh karena milieu perempuan kuli adalah lain daripada milieu perempuan kaum atasan. Apa sebab bangsa-bangsa negeri dingin tabiatnya lebih dinamis, lebih giat, lebih ulet daripada bangsa-bangsa di negeri panas? Oleh karena milieu di negeri dingin memaksa kepada manusia supaya sangat giat di dalam struggle for life, sedang di negeri panas seperti misalnya di Indonesia sini manusia bisa hidup dengan setengah menganggur, - dengan tak berbaju, tak berumah, dengan tak usah banyak membanting tulang. H.H.Van Kol di dalam bukunya tentang negeri Nippon menerangkan, bahwa bangsa Nippon di zaman yang akhir-akhir ini adalah kurang cebol daripada dulu (kakinya menjadi lebih panjang dengan rata-rata
2 cm!), sesudah orang Nippon itu banyak meniru milieu Eropah, yakni duduk di atas kursi.

Maka begitu jugalah ada akibat milieu atas kaum perempuan. Dulu kaum perempuan tidak lemah-lemah badan seperti sekarang ini; dulu kaum perempuan sigap-sigap badan perawak-annya, jauh berbeda dengan badan-badan ramping dari misalnya puteri-puteri priyantun zaman sekarang.

Dulu perempuan-perempuan adalah cerdik dan tajam otaknya, lebar dan luas penglihat-annya, ulet dan besar tenaganya, menaklukkan kaum laki-laki, yang seakan-akan ”mengambing saja di belakang mereka”, sebagai ternyata buktinya dibanyak sejarah-sejarah. Dulu di zaman matriarchat perempuan-perempuan menjadi raja, menjadi panglima perang, menjadi ketua di rapat-rapat, menjadi kepala rumah tangga, menjadi prajurit, menjadi hakim, menjadi kepala agama. Dulu kaum perempuan tidak banyak berbedaan dengan kaum laki-laki, ya malahan ditentang beberapa sifat-sifat melebihi kaum laki-laki, mengalahkan kaum
laki-laki.

Dan di zaman sekarangpun, di zaman kita ini, dapatlah kita tunjukkan, bahwa pada bangsa-bangsa, yang perempuannya tidak tertindas dan terkurung, kaum perempuan itu sigap-sigap badan, tangkas-tangkas gerak, perkasa-perkasa tabiat dan perangainya, cerdik dan luas fikirannya. Havelock Ellis memberi tahukan keterangannya Johnstone yang lama bergaul dengan bangsa-bangsa Andombies di Afrika, bahwa perempuan-perempuan Andombies itu kerja berat tetapi senang hidupnya, dan bahwa ”seringkali mereka lebih kuat dari laki-lakinya, lebih subur, dan bentuk-bentuk badannya sigap dan menarik hati”.
Dan tentang bangsa Manymema di Afrika itu pula, Parke menceritakan, bahwa bangsa ini ”makhluk-makhluk yang sigap, yang perempuan-perempuannya sangat kenes dan sama kuatnya memikul beban-beban berat dengan kaum laki-lakinya”. Menurut Duveyrier maka semangat dan ketangkasan wanita-wanita Tuareg di Afrika Utara sangat menakjubkan, malah Paul Lafargue mengatakan, bahwa tubuhnya wanita Tuareg itu lebih kuat dari tubuh laki-laki. Dan menurut Hearne, maka ada satu suku bangsa Indian yang perempuan-perempuannya lebih kuat dua kali ganda dari kaum laki-lakinya! Begitu pula di bagian Papua Timur adalah menurut Schellong suku-suku, yang perempuannya lebih kuat daripada putera-putera Adamnya. Di Sentral Australia orang laki-laki kalau memukul perempuan, seringkali mendapat balasan pukulan kontan-kontanan dengan rente dari perempuan itu, sehingga ”kapok” ia buat selama-lamanya. (Karena perempuannya lebih kuat). Di Cuba, dan pada bangsa Pueblo di Amerika Utara, dan di Patagonia, dan pada banyak bangsa Rus, tidak ada perbedaan yang begitu besar antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan! Demikianlah keterangan-keterangan Havelock Ellis, itu ahli manusia yang kesohor. Maka dengan mengingat bukti-bukti dari zaman dahulu dan zaman sekarang itu, Henriette Roland Holst dapat menulis-kan konklusinya dengan jitu, bahwa: ”Perbedaan-perbedaan tenaganya badan dan besarnya badan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan-perbedaan tulang dan urat-urat, adalah jauh lebih kecil pada bangsa-bangsa yang biadab daripada pada bangsa-bangsa yang sudah sopan; apa yang orang namakan kelemahan kaum perempuan itu adalah buat sebagian besar satu sifat, yang ditumbuhkan padanya oleh keadaan keadaan hidupnya di zaman kekuasaan kaum laki-laki”. Begitu juga pendapat August Bebel: ”Pada umumnya, maka di zaman purbakala, perbedaan tubuh dan perbedaan kecerdasan kaum laki-laki dan kaum perempuan itu adalah jauh lebih kecil daripada dalam masyarakat kita sekarang ini. Pada hampir semua bangsa biadab dan bangsa-bangsa yang hidup liar, maka perbedaan antara besar dan beratnya otak laki-laki dan otak perempuan adalah jauh lebih kecil daripada pada bangsa-bangsa yang sudah beradab”.

Maka oleh karena itu, tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, jika orang mengatakan, bahwa perempuan itu pada kodratnya di dalam segala hal berbeda dengan kaum laki-laki, di dalam segala hal kalah dengan kaum laki-laki. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan pula, jika orang mengatakan, bahwa sudah dibahagikan oleh alam kepada laki-laki buat berjoang di masyarakat, menduduki jabatan-jabatan masyarakat, menjadi kampiun-kampiun masyarakat, sedang sudah dibahagikan oleh alam pula kepada perempuan untuk menanak nasi saja di rumah, menjaga rumah tangga di rumah, menjadi benda saja yang selalu harus tinggal di rumah. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan jika orang mengatakan demikian itu dengan membawa alasan bahwa ”sepanjang ingatan kita” perempuan selalu kerja di rumah, dan tidak di dalam masyarakat. Sebab perkataan yang demikian itu sama saja salahnya dengan perkataan, bahwa misalnya perempuan qua kodrat alam selalu rambutnya panjang, karena sepanjang ingatan kita, kita belum pernah melihat perempuan yang tidak berambut panjang. Dan bukan saja tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan! Orang demikian itu juga tidak melihat lebih jauh dari panjang hidungnya! Tidakkah di zaman yang akhir-akhir ini kita melihat dengan mata sendiri ribuan perempuan-perempuan Indonesia yang tidak mendekam di rumah, tetapi bekerja di kantor-kantor, di paberik-paberik tenun, di paberik-paberik rokok, di paberik-paberik teh, di kebon-kebon tebu, - menjadi kuli, menjadi mandor, menjadi klerk, menjadi komis, guru, dokter, wartawan dan lain-lain Tidakkah kita melihat saban hari dengan mata sendiri juga isteri si bapa tani berduyun-duyun keluar dari rumah tangganya, menuju ke kota dan ke pasar-pasar, dengan membawa macam-macam hasil kebunnya, untuk berdagang di kota-kota dan di pasar-pasar itu? Di manakah yang dinamakan penghidupan menurut kodrat alam mereka, untuk mendekam di rumah itu? Bahwasanya, memang di kalangan si Marhaen inilah, karena dorongan ”struggle for life”, kaum perempuan lebih merdeka, lebih tidak terikat di rumah daripada di kalangannya kaum-kaum yang agak mampu, yang kadang-kadang mengurung perempuannya itu seperti mengurung ternak di dalam kandangnya. Maka senantiasa kaum yang mengurung perempuannya itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup isteri-isterinya dan puteri-puterinya itu ialah untuk memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, untuk memu1iakan kedudukan mereka. Ya ... ”memuliakan” mereka ... tetapi ”memuliakan” mereka dengan memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi dan si tolol!

Adakah ini berarti, bahwa hidup si kuli perempuan atau si tani perempuan yang tidak sangat terikat kepada rumah tangga, sudah boleh dikatakan enak? Ah, perempuan Marhaen!

Ah, Sarinah! Pulang dari berkuli di paberik atau di kebun, pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang berpuluh kilo meter jauhnya itu, masih menunggu lagi kepada mereka di rumah pekerjaan buat sang suami dan sang anak. Masih menunggu pada mereka lagi pekerjaan menanak nasi, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, memasak gulai. Sang suami habis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, ... tunggu dipanggil makan, tetapi Sarinah, - habis kerja di luar rumah masih adalah kerja lagi baginya di dalam dapur atau di dekat sumur. Bagi laki-laki adalah ”kerja delapan jam sehari” atau ”kerja sepuluh jam sehari”. Tetapi bagi Sarinah zaman sekarang ini, hidup adalah berarti keluh-kesah terus-menerus, gangguan fikiran terus- menerus, dari fajar menyingsing sampai di tengah malam ...
Kapankah matahari akan bersinar lagi bagi Sarinah itu?
Dulu, di dalam kabutnya zaman purbakala, dulu pernah Sarinah itu menduduki takhta-takhta kerajaan, dulu pernah ia bernama Ratu Simha di negeri Kalinga atau Bundo Kandung di negeri Pagar Ruyung. Dulu pernah ia bernama Srikandi yang mengepalai peperangan. Dulu, di Nippon, ia, menurut Van Kol dan Prof. De Visser, pernah berabad-abad lamanya memegang kecakrawartian masyarakat: ”Urusan rumah-tangga dan urusan anak-anak mereka serahkan kepada pelayan-pelayan, dan berlomba-lombalah mereka dengan orang-orang lelaki di atas lapangan ilmu dan perpustakaan. Di atas lapangan sya’ir mereka sama tingginya dengan kaum laki-laki, di atas lapangan prosa mereka memukul samasekali kaum laki-laki itu. Sehingga sampai di abad-abad yang kemudian pun, dan terutama sekali di zaman berkembangnya perpustakaan Tionghoa, maka kultur perpustakaan hampir semasekali di dalam tangannya ”kaum lemah” itu ... Tidak kurang dari 10 Rajaputeri tercatat namanya di buku sejarah, (antaranya Rajaputeri Jinzo yang termasyhur, yang menaklukkan negeri Korea di abad yang ketiga), yang semuanya menjalankan rol yang penting di dalam sejarah. Di dalam buku-buku Tionghoa kuno, Nippon selalu disebutkan ”negeri kaum perempuan” atau ”negeri raja-raja puteri”. Pada abad ke 10 dan ke 11 kaum perempuanlah yang membuat hukum-hukum negara; ahli-ahli sya’ir menamakan perempuan itu ”semennya masyarakat”. Di zaman-zaman kuno itu tak pernah perempuan Nippon menekukkan lututnya di muka laki-laki. Di zaman Heian, anak laki-laki dan anak perempuan mendapat warisan yang sama besarnya. Di dalam hukum-hukum negara Kamakura-shogun adalah ditetapkan, bahwa laki-laki yang meninggalkan isterinya, segala hak-hak miliknya jatuh kepada
isterinya itu”.

Dan bukan di Nippon saja Sarinah pernah berkuasa di dalam masyarakat. Di negeri-negeri lainpun, bangsa mana dan negeri manapun juga, - sejarah banyak mencatat nama-nama raja-raja puteri, nama-nama kepala-kepala pemerintah puteri, yang umumnya sangat baik pemerintahannya, begitu baik, sehingga misalnya Burbach berpendapat, bahwa sangat boleh jadi kaum perempuan itu lebih cakap buat urusan politik daripada kaum laki-laki.

Dulu! ... Tetapi sekarang bagaimana? Di Nippon yang dulu masyarakat mengasih kedudukan yang begitu tinggi kepada perempuan, kini kaum isteri menjadi sampah, pelayan laki-laki, budak laki-laki, yang tiada kekuasaan dan kemerdekaan sedikit juapun. Kini perempuan di Nippon itu, yang dulu begitu gagah dan sigap dan dinamis, menjadi satu makhluk yang tunduk, yang penurut, yang nerimo, yang taat di dalam segala hal baik dan buruk kepada kaum laki-laki. Siapa membaca tulisan-tulisan Van Kol, De Visser, O’Conroy, Lafcadio Hearn, dll, tentang ketundukan dan kenurutan isteri Nippon itu, ia niscaya terharu hatinya, ia niscaya sukar pula mengenang-ngenangkan di dalam ingatannya, bahwa ini makhluk-makhluk yang begitu menurut dan menerima, dulu di zaman sediakala adalah tunggak-tunggaknya masyarakat!

Ya, makin nyatalah kepada kita, bahwa penghidupan menurut kodrat yang menempatkan perempuan ke sisi periuk-nasi dan panci-gulai itu, tak lain tak bukan adalah bukan penghidupan menurut kodrat, bukan penentuan kodrat, (sebagai menerima dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, memelihara anak), tetapi adalah penghidupan yang masyarakat sekarang dan hukum masyarakat sekarang kasihkan kepadanya. Kalau hukum masyarakat ini tidak menempatkan perempuan itu ke sisi api dapur dan pipisan lada saja, kalau hukum masyarakat ini mengasih kelapangan kepada kaum perempuan buat berlomba-lomba di lapangan masyarakat, maka perempuan tidaklah seperti perempuan sekarang. Tidaklah ia ”kaum lemah”, tidaklah ia ”kaum bodoh”, tidaklah ia ”penakut”, tidaklah ia kaum singkat fikiran, tidaklah ia kaum ”nerimo”. Tidaklah ia makhluk yang mengambing saja sebagai ternak; tidaklah ia kaum yang selamanya harus dijagai dan ditolong saja sebagai ”blasteran dewi dan si tolol”. Tidaklah ia menjadi sebab, yang Plato, itu ahli faIsafah Yunani, tiap-tiap hari mengucap terima kasih kepada dewa-dewa, bahwa dewa-dewa itu melahirkan dia sebagai orang merdeka, dan bukan sebagai budak belian, sebagai laki-laki, dan bukan sebagai perempuan. Tidaklah ia menjadi sebab, yang orang Yahudi sekarang tiap-tiap pagi mengucapkan kalimat: ”Terpujilah Engkau, ya Allah, Robbul’alamin, bahwa Engkau tidak membuat akan daku seorang perempuan”. Tidaklah ia menjadi sebab, yang bangsa Inggeris tidak mempunyai kata buat manusia melainkan ”man” (laki-laki), dan bangsa Perancis tak mempunyai perkataan buat manusia pula, melainkan ”homme” (laki-laki)!

Pendek kata, soal perempuan tak dapat kita nilaikan betul-betul harganya buat masyarakat, kalau kita pisahkan dia dari sejarahnya masyarakat, sejarahnya perhubungan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat.

Sejarah perempuan adalah bergandengan dengan sejarah laki-laki, soal perempuan tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki.

Di muka telah berulang-ulang kita katakan, bahwa di zaman Matriarchat (peribuan), kedudukan perempuan adalah  l a i n  dari di zaman sekarang, berganda-ganda lebih tinggi dari di zaman sekarang.
Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita dus lebih senang kepada aturan matriarchat itu? Sama sekali tidak! Sebab manakala di zaman perbapaan (patriarchat) sekarang ini kaum isteri menjadi kaum yang tertindas, maka di zaman peribuan adalah kaum laki-laki kaum yang tertindas. Manakala patriarchat sekarang ini membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum perempuan, maka matriarchat adalah membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum laki-laki. Masyarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum perempuan saja. Masyarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan kaum perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu fihak menindas kepada yang lain, tak perduli fihak mana yang menindas, dan tak perduli fihak mana yang tertindas.

Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.

Saya bukan pencinta matriarchat, saya adalah pencinta patriarchat, bukan oleh karena saya seorang laki-laki, akan tetapi ialah karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama daripada matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan, karena hanya dengan hukum keturunan menurut garis perbapaanlah, - di mana perempuan diperisterikan oleh satu orang laki-laki saja, dan tidak lebih -, orang dapat mengatakan dengan pasti: siapa ibunya, siapa bapaknya, - siapa yang mengandungnya, tetapi juga siapa yang menerimakan ia ke dalam kandungan itu. Tetapi di dalam hukum matriarchat, (yang menetapkan keturunan itu menurut garis  
p e r i b u a n), maka orang hanyalah dapat yakin siapa ibunya, tetapi tidak dapat yakin siapa bapaknya. Di dalam bab-bab berikut akan saya kupas hal ini lebih lanjut.

Saya pencinta patriarchat, tetapi hendaklah patriarchat itu satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak menindas kepada kaum perempuan, satu patriarchat yang tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum perempuan. Satu patri-archat yang sebenarnya ”parental”. Saya yakin, bahwa agama-agama adalah dimaksudkan sebagai ”pengatur” patriarchat, pengkoreksi ekses-eksesnya patriarchat. Saya yakin, bahwa itu lah salah satu maksud agama, - tetapi apa yang kini telah terjadi? Lihatlah di masyarakat Nasrani. (Bukan agama Nasrani). Maksud agama didurhakai. Perempuan sesudah kawin, hampir hilang haknya sama sekali, dan perempuan menjadi pula barang dagangan persundalan. Dan lihatlah di masyarakat Islam. Maksud agama Islam, semangat agama Islam, yaitu melindungi kaum perempuan dari ekses-eksesnya patriarchat itu, kadang-kadang dilupakan orang, dipendam di bawah timbunan-timbunan tradisi-tradisi, adat-adat, pendapat-pendapat dari kaum-kaum kuno, sehingga kedudukan kaum perempuan yang mau dijunjung tinggi oleh Islam sejati itu kadang-kadang menjadi sama sekali satu kedudukan yang hampir tak ada ubahny daripada kedudukan seorang budak. Pendapat-pendapat dari setengah kaum yang demikian itu di beberapa kalangan menjadi suatu tradisi fikiran, satu kebiasaan fikiran. Firman-firman Tuhan yang untuk menentukan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam sistim patriarchat itu, firman-firman ini lantas ditafsir-tafsirkan dengan kacamata tradisi fikiran itu. Firman-firman ini lantas dijadikan alat-alat buat menundukkan kaum perempuan di bawah lutut laki-laki, dijadikan alat-alat buat memperlakukan kaum perempuan itu sebagai makhluk-makhluk yang harus mengambing saja kepada ke Yang Dipertuan, kaum laki-laki. Maha bijaksanalah Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistim kemasyarakatan yang cocok dengan kodrat alam, tetapi maha piciklah sesuatu orang yang tak mengarti akan hikmat patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat kezaliman dan penindasan!


BAB III
DARI GUA KE KOTA

Ilmu pengetahuan (wetenschap) sudah lama membantah pendapat setengah orang, bahwa adanya manusia di muka bumi ini barulah 6.000 tahun atau kurang lebih 7.600 tahun saja. Ilmu geologi, anthropologi, archeologi, histori dan praehistori menetapkan dengan bukti-bukti yang nyata, yang dapat diraba, bahwa manusia itu telah ratusan ribu tahun mendiami muka bumi ini: Sir Arthur Keith misalnya menghitung zaman manusia itu pada kurang lebih 800.000 atau 900.000 tahun. Setidak-tidaknya tak kurang dari 300.000 tahun (I.H.Jeans). Hanya saja harus diketahui, bahwa manusia purbakala itu belum begitu sempurna sebagai manusia zaman sekarang.

Manusia zaman purbakala yang bernama Pithecanthropus Erectus (sekitar 500.000 tahun yang lalu), Homo Heidelbergensis (sekitar 250.000 tahun yang lalu), Eoanthropus (sekitar 100.000 tahun yang lalu.), Neanderthalmensch (sekitar 50.000 tahun yang lalu), manusia-manusia ini semuanya kalah kesempurnaannya dengan manusia zaman sekarang. Tetapi 35.000 tahun yang akhir ini, sudahlah ternyata dengan bukti-bukti, bahwa manusia sudah ”sempurna” seperti kita zaman sekarang. Sudah barang tentu jumlah manusia itu dulu jauh kurang pula daripada sekarang. Sudah barang tentu pula tidak di mana-mana di muka bumi itu selalu ada manusia, dan tidak di mana-mana pula zaman manusia itu sama tuanya.

Ada negeri-negeri yang sudah lama didiami manusia, ada negeri-negeri yang belum begitu lama didiami oleh manusia. Sebaliknya, ada pula negeri-negeri, yang dulu didiami oleh. manusia, tetapi sekarang kosong dan sunyi.

Misalnya saja padang pasir Sahara. Ada bekas-bekas kultur manusia di Sahara itu, yang membuktikan, bahwa di situ di zaman dulu banyak air dan rumput dan pohon-pohonan, banyak syarat-syarat untuk manusia dan binatang untuk hidup, dan tidak padang pasir yang kering, terik,
dan kosong seperti sekarang. Sebaliknya, negeri-negeri Utara seperti Swedia dan Norwegia, yang sekarang begitu banyak manusianya, di zaman dulu adalah kosong oleh karena samasekali tertutup dengan es yang bermeter-meter tebalnya.

Perhitungan Sir Arthur Keith itu disendikan kepada bukti-bukti yang ada. Tetapi mungkin juga ilmu pengetahuan nanti mendapat lagi bukti-bukti yang lebih ”tua” dari itu, sehingga perhitungan Sir Arthur Keith itu terpaksa dijadikan ”lebih tua” lagi. Maka lantas terpaksa kita mengatakan, bahwa bukan 800.000 tahun, bukan 900.000 tahun sudah ada manusia, tetapi bisa juga 1.000.000 tahun, atau 1.100.000 tahun, atau 1.200.000 tahun. Tetapi bagaimanapun juga, nyatalah sudah salahnya pendapat setengah orang, bahwa manusia itu baru 7.600 tahun saja mendiami dunia ini.

Sudah barang tentu manusia purbakala itu (meskipun kita mengambil manusia-manusia ”yang betul-betul manusia” dari zaman praehistori yang terakhir) kecerdasannya, cara hidupnya, anggapan-anggapannya, adat-istiadatnya, kebutuhan-kebutuhan-nya, pergaulan hidupnya, lain daripada manusia zaman sekarang. Manusia-manusia purbakala itu pada mulanya hidup di dalam rimba-rimba dan gua-gua. Mereka belum mempunyai perkakas, mereka belum kenal besi, mereka belum cukup cerdas membuat rumah. Malahan rumah ini bukan saja tak perIu bagi mereka, tetapi juga ... akan merugikan kepada inereka. Sebab di zaman yang pertama itu, manusia hidup dari memburu dan mencari ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu dan mencari ikan. Mereka selalu berpindah-pindah tempat, tempat yang sudah habis binatangnya dan ikannya mereka tinggalkan, untuk mencari lain tempat yang banyak binatangnya dan banyak ikannya pula. Mereka adalah hidup secara ”nomade”, yang selalu berpindah kian kemari, jadi yang tak perlu mempunyai ”rumah”. Hutan dan gua, itulah rumah mereka.

Di dalam tingkat yang pertama itu, mereka belum mempunyai masyarakat. Mereka hidup berkawan-kawanan, bergolong-golongan di dalam persekutuan-persekutuan kecil yang dinamakan horde (ke1ompok), dengan tak ada pertalian apa-apa melainkan pertalian kerja bersama dan perlindungan-bersama, dengan tak ada ”moral” melainkan moral cari makan dan cari hidup. Mereka tak banyak ubahnya daripada anjing-anjing serigala atau gajah-gadjah, yang juga hidup di dalam gerombolan-gerombolan kelompok. Mereka sebagai anjing-anjing dan gajah-gajah itu, selalu berpindah kian-kemari menurut keperluan pencaharian hidup dan keselamatan hidup.

Kalau pada satu tempat, buruan dan ikan sudah habis, ditinggalkanlah tempat itu, dan dicarinyalah tempat lain.

Di dalam kelompok inilah perempuan telah mulai menjadi makhluk yang ditaklukkan. ”Pembahagian pekerjaan adalah sebabnya ketaklukan itu. Laki-laki semuanya pergi kian-kemari, semuanya memburu, mencari ikan, semuanya berkelahi dengan binatang-binatang buas atau dengan kelompok-kelompok manusia yang lain, tetapi perempuan hanya sebagian saja yang ikut pekerjaan itu: Perempuan yang hamil atau yang membawa anak-anak kecil, tak dapat ikut lari-lari, tak dapat ikut memburu atau berjuang. Ia bersama-sama laki-laki. yang sudah kakek-kakek tinggal di dalam gua atau di bawah pohon ”kediamannya”, menunggu kaum laki-laki pulang dari perburuan atau perkelahiannya itu. Ia bergantung kepada laki-laki, dan menilik kekasaran dan kebinatangan semua makhluk yang masih liar, maka niscaya nasib perempuan di waktu itu pada umumnya sangat tersia-sia. Ia diperintah saja oleh laki-laki itu, diperkudakan, disuruh mencari daun-daunan dan akar akaran, disuruh memelihara api siang dan malam, dibebani dengan segala pekerjaan yang tidak termasuk perburuan dan pencarian ikan. Ia, menurut August Bebel adalah budak yang pertama. Bebel berkata: ” Perempuan adalah budak sebelum ada budak”. Ia adalah bernasib sama dengan anjing betina, yang kalau yang jantan tak senang, terus digigit dan dihantam saja, - atau ditinggalkan oleh anjing jantan itu mentah-mentahan. Malah kadang-kadang ia dibunuh, sebagaimana kakek-kakek dan nenek-nenekpun dibunuh, karena terlalu membebani kelompok itu. Hukum persuami-isterian belum ada di dalam kelompok itu. Menurut Prof. Bachofen adalah di dalam kelompok itu ”promiskuiteit”, artinya: bahwa di dalam kelompok itu hantam-kromo campuran - saja laki-laki dan perempuan mencari kepuasan syahwat satu dengan yang lain. Hantam-kromo saja urusan syahwat itu, - mana yang disukai pada sesuatu saat, itulah yang jadi. Tidak dapat laki-laki di dalam kelompok itu berkata ”ini isteriku”, tidak dapat pula perempuan menunjuk-kan seorang laki-laki seraya berkata ”ini suamiku”. Begitulah pendapat Bachofen. Tetapi ada aliran lain pula mengoreksi teori Bachofen ini, misal-nya Eisler, yang berkata: bahwa benar belum ada ”pernikahan” di dalam kelompok itu, tetapi pun tidak ada itu promiskuiteit yang hantam-hantaman kromo samasekali. Menurut Eisler, di dalam kelompok tidak ada anarkhi seksuil yang absolut. Laki-laki selalu ”berkawin” buat sementara dengan perempuan yang ia senangi. Di dalam kelompok itu bukan ”promiskuiteit” yang orang lihat, begitulah kata Eisler, tapi ”pasangan-pasangan yang sementara”, tijdelijke paring, atau di dalam bahasa Jerman “Zeit-Ehe”. Zeit-Ehe ini nanti kalau sudah ”bosan”, dilepaskan lagi atau ditiadakan lagi, buat menjadi lagi pasangan-pasangan baru dengan laki-laki lain atau perempuan-perempuan lain. Sudahkah tuan pernah perhatikan pasangan sementara di kalangan anjing? Anjing jantan selalu berganti isteri, dan anjing betina selalu berganti suami, tetapi ”persuami-isterian” itu bukan hanya buat satu
saat beberapa detik saja, melainkan ”luku” sampai beberapa minggu lamanya. Anjing selalu ”berlaki-bini”, sungguhpun hanya buat sementara.

Demikianlah pula perlaki-isterian di dalam kelompok manusia. Benar lelaki mengambil isteri mana saja di dalam kelompok itu yang ia sukai, benar perempuanpun berbuat begitu tetapi ”pasangan-sementara” selalu ada. Hanya saja ”pasangan-sementara” ini tidak membuat nasib orang perempuan itu menjadi ringan. Laki-laki tidak menanggung tanggungan sedikit-pun atas akibat-akibatnya ”pasangan sementara” itu, tetapi perempuanlah yang menanggung hamilnya, perempuanlah yang menanggung pemeliharaan anak, perempuanlah yang menanggung segala konsekwensi ”pasangan-sementara” itu.

Di dalam periode kelompok sudahlah perempuan sengsara, - budak yang  pertama - sebagai kata Bebel tadi itu. Hanyalah menurut ahli-ahli penyelidikan bangsa-bangsa yang masih biadab, kesengsaraan ini tidak begitu berat dirasanya sebagai kesengsaraan yang musti ditanggung oleh setengah perempuan-perempuan di zaman sekarang, yang bukan saja tertutup samasekali jasmaninya seperti di dalam penjara, tetapi juga tertutup fikirannya, kesenangan-kesenangannya, rohaninya, dan diperbudak serta disiksa pula. Menurut keterangan ahli-ahli ini, maka bagaimapun juga jeleknya nasib perempuan di dalam kelompok itu, belumlah ia menjadi siksaan jiwa yang begitu sangat sebagai perempuan-perempuan tutupan di zaman sekarang ini. Sorot mata perem-puan-perempuan kelompok tentu masih sorot mata ”merdeka”, menilik gambar-gambar di dalam gua dari puluhan ribu tahun yang lalu, yang menggambarkan perempuan ikut ”berpesta” dengan kaum laki-laki. Sebagaimana nasib serigala betina di dalam kelompok serigala bukan nasib yang jelek samasekali, - anjing serigala betina masih banyak kesenangannya dan kemerdekaannya, maka perempuan kelompok pun masih banyak kesenangannya dan kemerdekaannya.

Lama sekali periode ini. Tetapi lambat laun datanglah perubahan. Periode mencari hidup dengan berburu dan mencari ikan berganti dengan periode, yang pencaharian hidupnya secara lain. Banyak ahli mengatakan, bahwa periode perburuan dan pencaharian ikan itu, diikuti oleh periode menternakkan binatang, periode penggembalaan. Binatang-binatang yang orang tangkap di waktu perburuan itu, yang tidak mati, orang peliharakan, dan ini menjadi asal-asalnya orang memelihara ternak: memelihara sapi, memelihara kuda, memelihara kambing, memelihara kerbau. Tetapi setengah lagi kaum ahli, - misalnya Dr. Fleure dari University College of Wales -, mengatakan, bahwa periode perburuan dan pencaharian ikan itu bukan diikuti oleh periode peternakan, melainkan oleh periode menanam tumbuh-tumbuhan, yakni periode pertanian. (Morgan, seorang ahli yang lain, ada berpendapat lain lagi. Menurut beliau maka tidak adalah periode yang manusia hanya melulu berburu dan mencari ikan saja. Makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan sudah dikenal manusia sejak mulanya). Tetapi bagaimana juga, nyatalah bahwa pertanian adalah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada perburuan. Dr. Fleure menyandarkan teorinya kepada alasan, bahwa sering terdapat bekas-bekas atau tanda-tanda pertanian purbakala, yang tidak disertai pula dengan bekas-bekas atau tanda-tanda peternakan. Jadi: ada pertanian dengan tak ada peternakan; dan ini dianggap-nya sebagai bukti, bahwa pertanianlah yang lebih dulu.
Orang di kelompok itu, kata Dr. Fleure, tidak hanya makan daging dan ikan saja, tetapi niscaya makan juga tumbuh-tumbuhan liar. Manusia bukan pemakan daging saja sebagai harimau dan serigala, manusia bukan carnivor, - manusia adalah perlu juga kepada tumbun-tumbuhan, kepada daun-daunan, kepada buah-buahan, kepada akar-akaran. Dia adalah ”omnivor”. Maka oleh karena manusia omnivor, maka orang-orang perempuan di kelompok itu, kalau kaum laki-laki berburu, mencari tumbuh-tumbuhan, dan lambat-laun terbuka ingatannya akan menanam benih-benih tumbuh-tumbuhan itu. Maka dia, perempuan adalah berjasa besar kepada kemanusiaan sebagai makhluk yang pertama-tama mendapatkan ilmu bercocok tanam, yang sampai sekarang menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Dan bukan saja yang mendapatkan rahasia pertanian! - ia juga adalah pekerja pertanian yang pertama. Ia juga adalah petani yang pertama, sebagai nanti akan saya uraikan lebih lanjut.

Buat jasa ini saja kemanusiaan pantas mendirikan patung terima-kasih bagi perempuan itu!

Bagaimanapun juga, - peternakan lebih dulu, atau langsung kepada pertanian, - pada kira-kira 10.000 tahun atau 12.000 tahun yang lalu dunia manusia masuk ke dalam periode pertanian itu. Dan apa yang
kita lihat? Perubahan cara pencaharian hidup ini, perubahan proses pencaharian ini, membawa perubahan besar di dalam nasib perempuan itu. Mulai sekarang dia menjadi makhluk yang penting, oleh karena dialah mulai sekarang menjadi pembuat bekal hidup yang penting,
yakni ubi, keladi, jagung dan lain sebagainya yang dia perdapat dengan pertaniannya itu, meski pertaniannya itu masih sederhana sekali. Dia mulai sekarang menjadi produsen yang berharga. Malahan dialah yang menjadi induk kemajuan, induknya ”kultur”, yang mula-mula. Dialah petani yang pertama, tetapi dia pulalah yang pertama sekali mulai terbuka ingatannya membuat rumah. Laki-laki masih banyak lari kian-kemari di hutan, ditepi-tepi sungai, di pantai laut, di padang-padang rumput, di rawa-rawa, tetapi dia, perempuan, karena menjaga hamilnya, atau menjaga anak-anaknya yang kecil serta kebunnya yang sederhana, tetapi tak dapat ditinggalkan itu, dia mulai mencoba membuat tempat kediaman yang tetap. Dia mulai mencoba-coba mendirikan ”rumah” yang akan melindungi dirinya serta anak-anaknya daripada panasnya matahari dan basahnya air hujan, dinginnya hawa malam dan tajamnya angin. Dialah yang dengan dahan-dahan kayu, ranting-ranting dan daun-daun mula-mula mendirikan gubug yang amat bersahaja. Dan bukan saja ”rumah” Dia jugalah yang pertama-tama duduk di samping buaian kesenian. Dia, kaum perempuan itu, dialah yang mula-mula terbuka ingatannya membuat tali guna mengikat bagian-bagian gubugnya, membuat barang-barang keperluan hidup yang sangat perlu, sebagai misalnya melunakkan kulit binatang yang sudah kering, menganyam tikar atau menganyam keranjang, memintal serat kayu menjadi benang, menenun benang itu menjadi kain kasar, membentuk tanah liat menjadi semacam periuk atau semacam pinggan. Dia, kaum perempuan, dialah yang mula-mula induknya kultur. Dialah pembangun kultur yang pertama, dia dan bukan laki-laki. Dialah menurut Kautsky ”pembangun peradaban manusia yang pertama”. Juga buat ini ia pantas mendapat patung terimakasih di dalam ingatan kita!

Makin lama makin ”laku” pertanian itu. Hasil perburuan dan pencaharian ikan tidak selamanya tetap, - kadang-kadang dapat, kadang-kadang tidak dapat. Tetapi pertanian hasilnya selalu mengalir. Oleh karena itu, maka pertanian itu diperbesar, dan lambat-laun menjadi tiang hidup yang nomor satu. Perburuan dan pencarian ikan itu makin surut, makin diabaikan, makin dikesampingkan. Orang laki-laki yang kini banyak tempo terluang, mulai mengerjakan peternakan. Maka di sini adalah pertanian itu disampingi oleh peternakan. Tapi kecuali di negeri-negeri yang memang negeri rumput, tak mampu peternakan itu mengalahkan pertanian. Pertanian tetap sumber hidup yang paling penting.

Maka makin tambah pentingnya arti pertanian di dalam kehidupan dan penghidupan manusia itu, makin naiklah derajat perempuan, makin naiklah kekuasaannya. Makin naiklah ”bintangnya”, - naik, buat pertama kali di dalam sejarah kemanusiaan. Sebab dialah yang kini menjadi produsen yang terpenting di dalam masyarakat, dari padanyalah tergantung selamat atau tidak selamatnya masyarakat. Cara hidup yang berpindah-pindah tempat itu berubah menjadi cara hidup yang tetap pada satu tempat, manusia nomade yang hidup berkeliaran, selalu berpindah-pindah, berganti sifat menjadi manusia yang ”berdiam”.
Dan di tempat kediaman itu perempuanlah yang menjadi pusatnya! Tidak lagi ia kini dianggap seperti ”benda yang orang terpaksa bawa juga” seperti di zamannya kelompok, tidak lagi ia kini dianggap seperti ”noodzakelijk kwaad”, tetapi menjadilah ia makhluk yang sangat berharga. Ia menjadi tiang masyarakat, pengatur masyarakat, tunggak masyarakat!

Maka perubahan di dalam cara hidup ini membawa pula perubahan di dalam moral perlaki-isterian. Dulu perlaki-isterian itu secara anjing serigala saja, dulu adalah ”Zeit-Ehe” ataupun ”Promiskuiteit”. Tapi kini perlaki-isterian ini mulai diatur sedikit-dikit, diatur perhubungannya antara laki-laki dan perempuan, dan diatur pula hal-hal yang mengenai keturunan-keturunan sebagai hasilnya perhubungan laki-laki dan perempuan itu. Kini buat pertama kali di dalam sejarah kemanusiaan diadakan hukum yang mengatur perlaki-isterian dan keturunan itu. Memang urusan keturunan inilah pokok-pangkal semua hukum perlaki-isterian, asal-mula segala hukum perlaki-isterian. Melepaskan syahwat, membuat keturunan, adalah mudah -, tetapi memelihara keturunan itu tidaklah mudah. Memelihara keturunan itu hajat kepada kecakapan, kepada banyak pekerjaan, kepada banyak pusing kepala. Dulu di dalam kelompok perempuan saja yang mendapat bagian pusing kepala ini. Laki-laki tinggal bersenang-senang, tak ambil pusing lagi lebih jauh apakah akibat pelepasan syahwat itu nanti. Hanya nanti, nanti kalau si anak itu sudah besar, kalau si anak itu sudah tidak memusingkan kepala lagi dengan pemeliharaannya, tetapi sebaliknya menguntungkan kepada yang mempunyainya, maka laki-laki lantas mau berkuasa atas si anak itu. Dia lantas berkata: “Dia anakku”. Tapi, ... orang laki-laki lain berkata pula:

”Dia anakku”! Ya, anak siapa dia itu sebenarnya? Ia tak tentu bapanya! Ia banyak sekali ”bapanya”! Laki-laki yang satu mengaku menjadi bapanya, lelaki yang lain membantah: tidak, akulah bapanya. Memang begitulah akibat Zeit-Ehe atau     Promiskuiteit. Orang selalu berkelahi, kadang-kadang sampai pecah tercerai-berai kelompok itu, - nyatalah perlu sekali kini diadakan hukum.

Maka kaum perempuan, yang kini menduduki derajat yang penting itu, kaum perempuan itulah yang membuat hukum itu. Kaum perempuan itu mengadakan hukum keturunan menurut garis peribuan. Menurut hukum peribuan ini, maka keturunan disebutkan menurut garis ibu, bukan ditangan bapa. Orang tidak menanya ”siapakah bapanya”, tetapi orang menanya ”siapakah ibunya”. Memang (juga di masyarakat sekarang ini), manusia sebenarnya hanyalah dapat ditetapkan dengan kenyataan-bukti: siapa ibunya, dan tidak dengan yakin siapa bapanya. Juga buat zaman sekarang, dengan hukum-hukum perkawinan, ”siapa bapa” itu sebenarnya hanyalah satu hal kepercayaan saja. Goethe, itu penyair dan ahli faIsafah Jerman yang termasyhur, mengatakan, bahwa ”siapa bapa” itu hanyalah berdasar ”nur auf gutem Glauben” belaka. Artinya: hanya berdasar atas kepercayaan, bukan atas kenyataan bukti! Sehingga sampai sekarang adalah satu peribahasa Eropa yang berbunyi: ”Anak bijaksana, yang mengenal bapanya”. Tetapi dengan bapa banyak atau dengan bapa satu, dengan hukum perkawinan atau tidak dengan hukum perkawinan, dapatlah ditentukan dengan pasti dan yakin: inilah ibunya, inilah orang yang mengandungkan dia, inilah orang yang melahirkan dia ! Itulah sebabnya, maka perempuan di zaman periode kedua dari evolusi kemanusiaan itu, lantas menetapkan ”hukum keturunan menurut garis peribuan” itu menjadi hukum perlaki-isterian dan hukum-keturunan. Hukum peribuan ini menjadi hukum yang pertama-tama di dalam pergaulan manusia. Jadi perempuanlah yang pertama-tama mengaruniai kemanusiaan dengan hukum, perempuanlah pembuat hukum yang pertama.

Menjadi: Perempuan petani yang pertama. Perempuan pembangun kultur yang pertama. Perempuan pembuat hukum yang pertama.
Buat ketiga kalinya saya undang tuan-tuan mendirikan patung terima kasih kepadanya di dalam kalbu!

Maka dengan diadakannya hukum peribuan ini, serta hilangnya sifat nomade menjadi sifat ”perumahan yang tetap”, hilang pula sifat kelompok, dan menjadilah ia bersifat gens, - yakni menjadilah ia ”keluarga besar”. Perempuan dengan semua keluarganya tua-muda berdiam menjadi satu di satu tempat, - yang bukan keluarga tidak boleh berkumpul di situ, tapi berdiam menjadi gerombolan lain dengan keluarga-keluarganya sendiri pula. Di dalam gens yang demikian itu cara hidup adalah cara hidup sama-rata. Boleh dikatakan cara hidup mereka itu adalah cara hidup komunistis! Dr. F. Muller-Lyer, itu ahli masyarakat yang termasyhur, ada menceritakan dari hal gens pada tingkatan ini: ”Anggota-anggota pergabungan keluarga itu memiliki tanah sebagai milik bersama, mereka kerjakan tanah itu bersama-sama pula, dan mereka bagikan buah tanamannya itu di antara keluarga-keluarganya menurut keperluan masing-masing. Sering sekali mereka berdiam berkumpul di dalam rumah-rumah yang besar. Tiap-tiap anggota mempunyai hak yang sama atas ladang itu, dan menerima segala apa yang ia perlukan dari hasil pertanian-bersama itu. Pada hampir semua rakyat-rakyat pertanian yang bertingkat sederhana ini, adalah cara kerja komunistis itu cara-kerja yang asli”.

Keluarga (Jawa: somah) seperti yang kita kenal sekarang ini, - satu suami, satu isteri, anak, di dalam satu rumah, pahit-manis dipikul bersama-sama -, keluarga yang demikian itu belum dikenal orang di masa itu. Orang hidup dengan semua sanak-sanak-familinya menjadi satu gerombolan besar, satu persatuan darah yang besar, satu keluarga besar, - rukun dan rapat, mati-hidup bersama-sama, mengerjakan ladang bersama-sama, menentang musuh bersama-sama. Justru persekutuan
dan kerukunan gens inilah menghambat terjadinya ”somah” itu. Sebab, oleh karena kini perempuan itu menjadi satu makhluk yang sangat berharga, - tidak seperti dulu di zaman kelompok -, maka gens tidak mau melepaskan dia pindah mengikuti suaminya kelain gens.
(Suaminya perempuan itu lebih dari satu. Sebalikya, laki-lakipun isterinya lebih dari satu). Orang lelaki dari lain gens yang kawin dengan dia, tidak boleh membawa dia pindah kerumahnya, tetapi si laki itulah yang musti pindah ke rumah perempuannja itu, atau, kalau si laki itu tinggal di gens-nya sendiri, - ia datang di rumah isterinya itu hanya pada waktu ada keperluan saja. (Sisanya aturan begini sekarang misalnya masih ada di Minangkabau, begitu pula pada orang Indian di Amerika Utara, pada beberapa bangsa di Oceania, pada sebagian bangsa Neger, dll. Dulu aturan ini nyata benar ada pada bangsa Israil; sampai di zaman Yesus, orang masih menamakan beliau Isa Ibnu Maryam! Juga pada bangsa Mesir, Phunicia, Etruska, Lykia, Iberia, Inggeris, dll dulu berlaku aturan ini). Tuan mengerti, aturan yang demikian ini tentu tidak mengasih jalan kepada timbulnya satu ”persomahan” yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak saja, yang seperti kita kenal di zaman kemudian. Tetapi kendati begitu, kedudukan perempuan di dalam gens itu adalah kedudukan yang sangat mulia sekali. Sudah barang tentu! Sebab yang berkumpul men-jadi satu di dalam gens itu, - laki-perempuan -, adalah keluarga-keluarga dari fihak perempuan. Meski seseorang perempuan sudah kawin dengan orang laki-laki dari lain gens pun, ia masih berkumpul dengan sanak-famili se gens, dan karenanya ia masih terus mendapat sokongan dari sanak-famili se gens itu. Tapi laki-laki tidak mendapat sokongan itu, laki-laki bertindak terhadap isterinya itu seperti ”orang sendirian”, sebagai individu. Orang perempuan jadi lebih kuasa daripadanya. Orang perempuan di waktu itu misalnya di Eropa disebutkan Frowa, - yang maknanya tuan puteri. (Ingatkan perkataan mevrouw, atau Frau). Malahan, seringkali, di tingkat yang kemudian, kalau gens-gens itu sudah bertalikan satu dengan lain meliputi satu daerah, dan pemerintahan sudah dijalankan oleh satu kepala atau satu raja -, maka ditetapkanlah bahwa kepala itu harus kepala puteri, rajanya raja puteri, pahlawannya pahlawan puteri, pemimpin rapat pemimpin-puteri. Maka bertambahlah hukum peribuan itu menjadi pemerintahan - ibu, - menjadi Matriarchat. Dari bangsa Indian Irokees misalnya, Lafitau menulis: ”Semua pemerintahan di negeri itu adalah di tangan perempuan: merekalah yang menguasai ladang-ladang dan hasil-hasil ladang itu, merekalah menjadi jiwa persidangan-persidangan majelis negeri, merekalah berkuasa atas perang atau damai, merekalah mengurus cukai, mengurus kekayaan suku, kepada merekalah orang serahkan orang-orang tawanan, merekalah menetapkan perkawinan-perkawinan, merekalah berkuasa atas anak-anak, dan menurut garis merekalah diambil keturunan”. Pada bangsa Indian Wyandot keadaan juga begitu, majelis pemerintahan mereka adalah terdiri dari 55 orang; anggota laki-laki dari majelis ini
hanya 11 orang; tapi anggota  perempuan ... 44 orang!

Dan juga di dalam urusan agama kaum perempuan dijadikan pemimpin. Mrs. Ray Strachey menerangkan, bahwa justru di dalam urusan agamalah kaum perempuan di zaman dulu hampir selamanya diutamakan dari kaum laki-laki; perempuan dianggap lebih suci daripada kaum laki-laki. Di dalam kehidupan sehari-haripun orang lebih mencintai dewi-dewi daripada dewa-dewa. Agama Sumeria, agama Shinto, yang kedua-duanya agama tua sekali, sangat memuliakan perempuan. Pada banyak bangsa di lautan Teduh masih selalu perempuan yang mengepalai agama.

Sekianlah keadaan kaum perempuan di zaman hukum peribuan atau matriarchat itu. Di dalam bab IV hal ini akan saya terangkan lebih lebar. Di dalam bab II pun sudah saya ceritakan sedikit-sedikit tentang zaman peribuan ini. Di zaman itu kaum perempuan, karena kemerdekaannya, adalah besar-besar dan sigap-sigap badan, cerdas-cerdas dan tangkas-tangkas, berani-berani dan luas-luas penglihatan, - tidak seperti perempuan-perempuan di zaman sekarang, yang kecil-kecil dan takut-takut. Di zaman peribuan itu mereka bukan ”kaum lemah”, bukan ”kaum bodoh”, bukan ”kaum sempit pikiran”, bukan ”kaum penakut”. Di zaman itu perempuan bukan ”kaum dapur” saja, bukan ”bunga rumah tangga” saja. Mereka berkuasa, menduduki masyarakat, mengendali masyarakat, menguasai masyarakat. Malah kaum laki-lakilah yang di zaman itu dianggap sebagai kaum embel-embel semata-mata. Mereka hanya dianggap sebagai anasir ”pemacek”, - anasir ”pembuat turunan”. Mereka, kaum laki-laki itu, di zaman peribuan berkedudukan seperti semut laki atau lebah laki dalam masyarakat semut dan masyarakat lebah. Juga dalam masyarakat semut dan masyarakat lebah itu betina lebih penting daripada laki; juga di situ si laki hanya pemacek. Malahan di masyarakat semut dan lebah itu si laki dibunuh sesudah ia selesai mengerjakan pacekannya! Maka pantaslah orang menanya: Manakah kebenaran semua ”teori” yang mengatakan, bahwa sudah kodrat perempuan-perempuan. menjadi penunggu rumah tangga dan penunggu periuk-nasi saja?*)

Tetapi ... zaman selalu berjalan, zaman selalu beralih. Datanglah phase (tingkat) ketiga di dalam sejarah peri-kemanusiaan itu, yang menggugurkan lagi kaum perempuan dari singgasananya. Kaum laki-laki yang dulu berburu dan mencari ikan itu, yang kadang-kadang berminggu-minggu meninggalkan kelompok atau gensnya buat berjuang di dalam rimba atau bersenang-senang di dalam rimba, kaum laki-laki itu lambat-laun makin lama makin meninggalkan cara pencarian hidup dengan berburu dan mencari ikan itu. Buat apa cape-cape lagi membahayakan diri di dalam perburuan, yang juga tidak selamanya berhasil baik itu, kalau ada sumber rezeki lain yang lebih menyenangkan? Tidakkah hasil pertanian telah mencukupi segala-gala keperluan hidup? Dulu, tatkala orang belum kenal pertanian, dulu orang terpaksa hidup di gunung-gunung dan di rimba-rimba yang banyak binatang-binatang dan sato hewannya. Kini orang meninggalkan rimba-rimba itu, meninggalkan tempat-tempat yang sukar dan sempit, kini orang mencari tanah-tanah datar dan tanah-tanah rata yang baik buat pertanian itu. Kini tanah yang subur dan yang berisi banyak zatlah yang orang perlukan, - meskipun tidak ada binatang sato khewan di situ. Kini ditanah yang bukan rimba dan bukan gunung itu perburuan itu menjadi sangat terdorong ke belakang. Lagipula, sudah lama pula orang laki-laki terbuka ingatannya buat menternakkan binatang sato khewan. Juga buat peternakan ini, bukan rimba dan gunung-gunung yang diperlukan, tetapi tanah rata yang banyak rumput. Karena peternakan inipun, maka laki-laki lantas banyak waktunya yang senggang, banyak waktunya yang tak terpakai, tidak seperti dulu, tatkala ia berhari-hari musti mengintai atau mengejar buruan. Maka lambat-laun laki-laki lantas ikut-ikut menjadi tani pula. Malahan lambat-laun laki-laki itu lantas ”memborong” pekerjaan pertanian, - perempuan disuruh tinggal di rumah saja, atau, kalau diajak ke ladang, hanya dipakai sebagai pembantunya saja. Maka lambat-laun merosotlah kedudukan perempuan sebagai produsen, lambat-laun lunturlah pamor wanita sebagai pemberi makan kepada semua keluarganya. Sebaliknya si laki-lakilah yang makin naik derajat, si laki-lakilah yang makin bertambah nama dan kekuasaannya. Sebab kini dialah yang bekerja di ladang, dialah yang menguasai ladang. Dialah kini produsen yang pertama, dialah kini pemberi-hidup.

Dialah kini menjadi  penjaga dan pemelihara milik. Dulu di zaman mula-mulanya pertanian, milik itu hanya berupa rumah, senjata-senjata, perkakas-perkakas, perahu, sedikit pakaian, periuk-periuk, dll sebagainya saja. Tapi kini, ternak semakin lama sudah semakin bertambah, lebih cepat bertambah dari tambahnya manusia, sehingga, milik ternak itu kadang-kadang menjadi berpuluh-puluh ekor atau beratus-ratus ekor!

Perdagangan bertukar dengan gens-gens atau suku-suku yang lainpun, yang kini mulai berkembang, menambah pula jumlah milik itu. Dan orang-orang tawananpun, yang dulu dibunuh saja, kini dijadikan budak-budak pembantu di ladang dan ini berarti penambahan milik pula. Maka kini timbullah satu soal yang maha penting: kepada siapakah laki-laki akan mewariskan milik ini kalau ia meninggal dunia? Kini mulailah laki-laki memikirkan hukum keturunan pula. Kini timbullah keinginan pada laki-laki itu supaya anak-anak dia sendiri sajalah, - bukan anak-anak orang lain, sebagai di dalam hukum peribuan -, yang mewarisi benda-benda dan milik-milik hasil keringatnya itu. Kini ia mau yakin, mau pasti, bahwa anak-anak dia sendiri sajalah yang kelak mewarisi ternak, perkakas, senjata-senjata, pakaian-pakaian, budak-budak pembantu itu. Ia tidak mau membanting tulang buat hari kemudian anak orang-lain, ia hanya mau membanting tulang buat hari kemudian anak dia sendiri. Maka oleh karena itu, kini ia tentukan, bahwa perempuan-perempuannya! -, tidak bo1eh berkawin dengan lelaki lain, melainkan hanya dengan dia sendiri saja. Kini ia tuntut kepada perempuan itu dengan ancaman hukum mati kesetiaan perkawinan, kesetiaan perlaki-isterian. Kini ia mau bekerja buat isteri-isteri dan anak-anaknya sendiri saja, dan tidak buat gens seumumnya.

Maka lambat-laun pecahlah persatuan gens yang sediakala itu, pecahlah pergaulan hidup secara sama rata sama rata itu. Masing-masing laki-laki minta bahagiannya sendiri-sendiri dari tanah kommunal milik gens itu. Masing-masing laki-laki membentuk satu ” gezin ”, membentuk somah, yang di situlah ia pusatkan segala kemauannya mencari kekayaan, segala energi-nya. Sebab ia kini tahu: ia bekerja buat turunannya sendiri! Kalau ia mati, anak-anaknya sendirilah yang akan menerima kekayaan itu. Hak keturunan dari ibu dihapuskan, diganti dengan hak keturunan dari bapa. Dan Sarinah, yang dulu berkuasa dan berpengaruh itu, Sarinah kini menjadi makhluk yang duduk di tingkatan yang kedua lagi. Malahan kemudian lagi, bapa lebih mementingkan anak daripada isteri, dan Sarinah merosot lagi ke tempat kedudukan yang ketiga.
Sebab anak inilah yang menerus-kan darahnya, isteri hanyalah satu ”perantaraan” saja. Sarinah bukan lagi penguasa masyarakat, tapi menjadi benda dalam rumah tangga saja, benda penglahirkan anak dan benda pemelihara anak, yang tak lebih dan tak kurang menjadi miliknya laki-laki.

Kini bukan Sarinah yang menerima laki-laki tetapi laki-laki yang menerima Sarinah. Kini perkawinan bukan berarti si laki menghamba kepada si perempuan, tetapi si perempuan menghamba kepada si laki-laki. Kini gens terpecah menjadi beberapa somah, tetapi somah (famili) ini benar-benar satu tempat perhambaan bagi Sarinah itu. Perkataan famili adalah berasal dari perkataan Latin famulus, yang artinya hamba, pelayan, budak, atau dari perkataan Oskia ”famel” yang juga bermakna budak. Kini menjadi adat, si laki itu membeli perempuan waktu ia berkawin dengan dia, sebagaimana ia membeli satu barang atau satu milik di kedai atau di pekan. Inilah yang dinamakan kawin beli, yang kita jumpai di mana-mana di zaman hukum perbapaan itu, sampai sekarang. Atau, kalau si laki tak mampu membeli, maka perempuan dicuri atau dirampas mentah-mentahan oleh si laki itu, seperti orang merampas atau mencuri sesuatu barang atau sesuatu milik di waktu malam. Kawin beli dan kawin rampas adalah gambarnya hukum perbapaan itu. Sarinah menjadi benda. Ditutuplah ia dan disimpanlah ia di dalam rumah seperti benda, dilaranglah ia keluar dari rumah itu, supaya tidak dicuri orang, sebab ia suatu benda; ditabirkanlah ia rapat-rapat manakala ada laki-laki asing, kalau-kalau si laki asing itu timbul keinginan birahi kepadanya atau keinginan mencuri kepadanya, karena ia sebuah benda. Kalau suaminya mati, maka bukan dia yang menerima barang-barang warisannya suami, tetapi dia sendiri diwariskan kepada saudara suaminya atau keluarga suaminya, sebagaimana juga halnya dengan lain-lain benda milik suami yang mati itu. Segala susunan-susunan dan sifat-sifat masyarakat berbalik samasekali. Hukum pemerin-tahan, hukum kemilikan, hukum persuami-isterian, hukum keturunan, hukum perwarisan, semua itu berubah sebagai ubahnya siang menjadi malam. Segala kemerdekaan perempuan yang sediakala, hilang sama-sekali, hilang karena menjadi famulus di dalam famili. Sarinah dikungkung, ditutup, dipingit, diperhambakan. Friederich Engels mengatakan, bahwa perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu adalah satu ”kekalahan perempuan yang paling hebat di dalam sejarah kemanusiaan”. August Bebel menamakan dia revolusi besar yang pertama di dalam sejarah manusia.

Perobahan ini, sebagai satu revolusi besar di dalam susunan masyarakat, sudah tentu tidak terjadi sekaligus, tetapi mungkin makan waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. Tetapi sudah barang tentu pula, perempuan tidak selamanya mau menyerah begitu saja digugurkan dari kedudukannya jang tinggi itu. Sebelum menyerah, berjoang ia mati-matian. Sejarah dunia tak sunyi dari ceritera-ceritera perjoangan hebat antara laki-laki dan perempuan di zaman perpindahan kekuasaan itu. Karena sudah tuanya kejadian-kejadian ini, - sudah hampir hilang di dalam kabut zaman purbakala -, maka banyak dari cerita-cerita itu menjadi bersifat dongeng saja, legende saja, saga saja. Kita di Indonesia ini kenal akan dongengnya wanita ”Nusa Tembini” yang berjoang mati-matian dengan kaum lelaki, mengusir kaum laki-laki dari negeri-negeri daerahnya. Atau dongengnya Dewi Rayungwulan dari negeri Sigaluh, dalam cerita Banjaransari. Kita juga kenal akan dongeng Ratu Roro Kidul, yang tak mau tunduk kepada siapa juga, tak mau terambil kekuasaannya oleh siapapun juga. Mungkinkah di zaman purbakala di Selatan tanah Jawa ada satu kerajaan matriarchat, yang kini sudah lenyap, atau satu pulau matriarchat, yang kini sudah tenggelam, sebagai di dalam dongeng Eropa ada pula diceritakan satu negeri tenggelam yang bernama Atlantis? Di negeri Eropa pun ada dongeng-dongeng perjoangan antara perempuan dengan laki-laki itu. Tiap-tiap murid sekolah menengah telah pernah mendengar dari hal kaum ”Amazone” yang berperang dengan kaum laki-laki gagah-gagah dan sigap-sigap, berkuda seperti pahlawan-pahlawan yang gagah berani, yang pedangnya menyambar-nyambar ke kanan dan ke kiri seperti kilat. Perhiasan-perhiasan yang orang pahatkan di gedung-gedung Yunani atau Rumawi zaman dulu, banyak pula yang menggambarkan peperangan antara kaum laki-laki dan perempuan itu. Tapi kecuali di beberapa tempat, hampir di mana-mana, di dalam perjoangan ini kaum perempuan terpaksa kalah dan takluk.

Sesudah kaum laki-laki berkuasa, maka bukan saja segala hukum-hukum masyarakat, hukum-hukum perkawinan, hukum-hukum keturunan dan perwarisan, diubah dan dibentuk menurut kemanfaatan hukum perbapaan itu, tetapi semua moral, adat-istiadat, kepercajaan, seni, ideologi-ideologi, agama, berubah pula menurut kemanfaatan hukum perbapaan itu. Agama-agama penyembahan alam yang dahulu, terdesak oleh agama-agama baru, yang semuanya merendahkan deradat perempuan. Ceritera Jahudi tua tentang pembuatan Sitti Hawa, bukan menurut ”gambarnya Tuhan”, tetapi dari tulang rusuk Adam, (Qur’an tidak mengatakan begitu, meski setengah kaum mengatakannya, tetapi dibantah oleh kaum muda), tidakkah ceritera ini bermaksud menggambarkan bahwa perempuan itu adalah ”kelas dua” dari laki-laki? Dan bukanlah orang katakan pula, bahwa Hawalah, - ai dia! perempuan! -, yang menjadi sebabnya Adam terusir dari sorga? Bukankah oleh karena itu perempuan lantas dikatakan ”makhluk dosa” dan makhluk yang tak suci? Di agama Yunani pun digambarkan salahnya aturan mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan perkataan Dewa Apollo yang berbunyi: ”Bukan Ibu yang membuat anak, dia hanyalah menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh orang laki-laki. Orang juga dapat menjadi bapa dengan tidak beristeri”. Maka dibuktikan oleh Apollo kebenaran perkataannya yang terakhir ini dengan menunjuk kepada Dewi Minerva, yang dilahirkan tidak dengan Ibu, tetapi keluar ”sudah jadi samasekali” dari kepala bapanya, yaitu Dewa Yupiter. Begitu pula di dalam agama Hindu tua perempuan direndahkan. Di dalam kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu, bahwa perempuan itu ”selalu memikir kesyahwatan, selalu marah, selalu palsu dan tidak jujur ... Menurut tabiatnya, perempuan itu selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh karena itu laki-laki musti selalu hati-hati terhadap kepadanya ... Perempuan tak pernah dapat berdiri sendiri”.

Di lain tempat Manu berkata: ”Orang hilang kehormatan karena perempuan; asalnya permusuhan adalah perempuan;
karena itu jauhilah perempuan”.

Agama Buddha pun, yang umumnya begitu adil, sekonyong-konyong menjadi tidak adil kalau membicarakan kedudukan kaum perempuan: ”Perempuan itu makhluk dosa; roman-muka perempuan seperti keramat, tapi hatinya seperti syaitan”.

Marilah di sini saya ceriterakan satu hal yang lucu.
Sudahkah pembaca pernah mendengar perkataan ”couvade”? Couvade adalah satu adat-kebiasaan yang sampai sekarangpun masih ada pada bangsa Baskia, yang berdiam di kanan-kiri gunung Pyrenea di Eropa. Kalau seorang wanita Baskia bersalin, maka terjadilah ”sandiwara” berikut: Segera sesudah bersalin, wanita itu keluar dari tempat pembaringannya, dan suaminya lantas berbaring di tempat itu, mengaduh, merintih, sambat-sambat, seolah-olah dialah yang melahirkan anak. Ia berbuat demikian itu dengan disaksikan oleh banyak tamu-tamu, yang ”menolong” dia, dan ia tinggal di tempat pembaringan itu beberapa hari lamanya! Segala sesuatu berlaku seolah-olah d i a, - laki-laki itu -, yang melahirkan anak. Isterinya harus berbuat seakan-akan padanya ”tidak ada apa-apa”. Tamu-tamu itupun samasekali tidak memperdulikan isteri itu. Sebaliknya, sang suami itu tadi yang diladeni, sang suami itu tadi yang dijaga, ditolong. Sebab sang suami itu tadi yang baru saja ”bersalin”! ...

Inilah adat yang dinamakan couvade. Mula-mula orang kira, bahwa adat ini hanya terdapat pada bangsa Baskia saja. Tetapi ia terdapat pula pada suku Abipon di Amerika Selatan! Dan pada suku-suku Indian di Guiana! Juga pada beberapa suku di Afrika dan di Asia Marco Polo menjumpainya di Yunnan Apollonius di tepi Lautan Hitam; Plutarchus di pulau Cyprus. Couvade ternyata satu adat yang dulu tersebar
di mana-mana!

Apa arti couvade itu? Lihatlah, demikian munafiknya laki-laki! Wanita yang mengandung, wanita yang melahirkan bayi, wanita yang sakit, - tetapi itu harus disulap hilang. Dia, laki-laki, dia yang ”bersalin”, dia yang ”mengadakan anak”, dia yang kuasa. Dia yang berhak!
Sungguh menggelikan! .

Tentang couvade ini, maka Paul Lafargue menulis dalam kitabnya tentang hukum peribuan: ”Manusia, makhluk yang paling kejam dan paling edan antara segala hewan, sering sekali membungkus keadaan-keadaan masyarakat yang penting dengan adat-adat kebiasaan yang paling menggelikan. Couvade adalah salah satu tipuan yang dijalankan oleh laki-laki, untuk mengusir wanita dari kedudukannya dan miliknja. Fi’il bersalin adalah tadinya tanda hak lebih daripada wanita dalam famili tetapi laki-laki telah menirukan fi’il ini dengan cara yang amat menggeli-kan, untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dari dialah bayi itu mendapat hidupnya”.

Dari dia! Dari dia! Wanita tidak kuasa apa-apa, wanita sekadar alat!
Begitulah kecelakaan yang menimpa Sarinah itu. Alangkah kerasnya kejatuhannya itu, dari kedudukan yang. begitu mulia kepada kedudukan hina, yang ia nanti musti derita beribu-ribu tahun lamanya: tertutup, terkunci, terlantar, terabaikan sebagai benda, terhina, tersiksa, terperas tenaganya seperti sapi. Bagi kita kaum yang sadar di zaman sekarang, kejatuhan ini kita rasakan sebagai satu kesedihan yang maha sedih, satu tragedi yang maha tragis. Tetapi ditinjau dari sudut pertumbuhan masyarakat, maka perpindahan hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu adalah satu kemajuan yang maha besar, satu evolusi masyarakat yang maha penting. Bagi masyarakat di zaman itu perpindahan itu adalah satu keharusan sejarah. Sebab masyarakat tak dapat berkembang-biak benar-benar, kalau masyarakat itu terikat kepada perikatan gens dan hukum peribuan yang di situ individualitas (keperibadian manusia seorang-orang) tak dapat merdeka dan leluasa, tak dapat ”bertumbuh” dan ”berkembang” menurut kehendaknya sendiri-sendiri, menurut hasrat sosial sendiri-sendiri. Maka oleh karena itulah tenaga-tenaga masyarakat dan tenaga-tenaga individualitas lantas memberontak kepada ikatan gens dan hukum peribuan itu, menghantam hancur perikatan-perikatan itu, menyapu bersih segala rintangan-rintangan yang menghalangi kepada berkembangnya individualitas itu. ”Kita laki-laki mau merdeka dari asuhan ibu, kita mau merdeka mengeluarkan keringat kita buat kita sendiri, dan buat anak kita sendiri, kita mau merdeka menyusun keluarga!” - itulah semboyan revolusi sosial pertama yang maha hebat ini.

Dan revolusi yang menjelmakan faham milik perseorangan memang berhasil! Berhasil, oleh karena memang disuruh dan dibuat oleh masyarakat. Nyata masyarakat beruntung dengan merdekanya individuaitas, nyata masyarakat akan dapat merdeka berkembang dengan merdekanya individualitas itu. Nyata hukum keturunan menurut garis ibu itu adalah kurang cocok, kurang sesuai, kurang mendorong maju, kurang menjadi stimulasi kepada individualitas itu. Nyata di dalam hukum tua itu somah (keluarga) tak dapat berkembang, - somah, yaitu satu-satunya benteng tempat berkembang individu-alitas itu.
Maka oleh karena itu, terteropong dengan teropong umum, terpandang dari pandangan kemasyarakatan, maka revolusi ini adalah revolusi kemajuan, dan bukan revolusi kemunduran, bukan revolusi reaksioner. Maka benarlah kita, kalau kita bersorak syukur, bersorak ”horas” atas berhasilnya perjoangan mengganti hukum ... tua dengan hukum baru itu. Tetapi tiap-tiap revolusi senantiasa mengekses, mengujung kapada ujung yang meliwati batas kemustian. Revolusi patriarchat ini bukan revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki dengan memelihara kemerdekaan perempuan, tetapi menjadilah satu revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki dengan mengorbankan kemerdekaan perempuan! Perlawanan kaum perempuan terhadap pada revolusi ini tentu menjadi sebab pula bagi kaum laki-laki itu untuk ”melipat” kaum perempuan itu sama sekali, merampas segala kemerdekaan yang ada pada perempuan itu sama sekali, agar supaya perlawanan perempuan itu menjadi patah sama sekali. Perlawanan kaum perempuan itu, - sebagai di dalam tiap-tiap revolusi -, menjadilah sebabnya kaum yang membuat revolusi itu mengadakan ”diktatur”: Diktatur kaum laki-laki untuk mematahkan kontra revolusinya kaum perempuan.

Tetapi sesudah kaum perempuan patah, maka inilah celakanya perempuan - kaum laki-laki itu tidak mengembalikan kepadanya sebagian daripada kemerdekaannya yang sediakala. Beribu-ribu tahun Sarinah tetap dan terus di- ”diktaturi” saja. Beribu-ribu tahun ia tetap dipisahkan dari masyarakat, dipisah-kan dari pergolakan hidup sehari-hari, dipisahkan dari ”struggle for life” yang dulu membuat dia menjadi sehat dan sigap badan, sehat dan sigap fikiran, sehat dan sigap jiwa. Beribu-ribu tahun ia ditutup di dalam kegelapannya rumah, diperlakukan seperti benda, diperhambakan secara budak, atau paling mujur dipeliharakan seperti blasteran dewi dan si tolol. Akhirnya, karena perhambaan yang turun-temurun itu, ia menjadi makhluk yang lemah dan kecil badan, makkhluk yang bodoh, makhluk yang tumpul fikiran, makhluk yang singkat pemandangan, makhluk yang selalu takut, makhluk yang tiada kekerasan kemauan, makhluk yang karena tiada melihat dunia lantas gemar bicara tetek-bengek, makhluk yang karena selalu didurhakai lantas banyak akal ”tipu-muslihat”. ”Dia mengkerat menjadi kecil”, demikianlah kata Bebel dalam satu tulisan. Nasib dia sekarang, nasib miskin atau nasib kaya, nasib lapar atau nasib kenyang, nasib dia sekarang tidak lagi tergantung dari kepribadian sendiri, tetapi sama sekali tergantung daripada laki-laki yang menjadi suaminya.
Laki-laki inilah yang kini menjadi Maha Dewanya. Sebagai fihak yang memelihara jiwanya, maka menjadilah laki-laki itu satu kekuasaan yang membentuk hidupnya. Perkawinan, mendapat jodo, itulah kini menjadi soal yang terbesar bagi perempuan, soal yang mengisi segenap jiwanya, satu tanda besar di dalam hidupnya. Mendapatkan seorang laki-laki yang sanggup mengangkat hidupnya itu ke derajat yang mulia, yang dapat mengasih kepadanya keamanan dan kekayaan, - itulah kini menjadi pusat segenap idam-idamannya, ke situlah diarahkan segenap kecantikannya.

Bukan lagi kepribadiannya yang kini menentukan hidupnya, tetapi kecantikannya, kejelitaannya, ”sex-appeal”-nya. Keelok-annya itu kini menjadi senjata ekonomis, fungsi kelaminnya menjadi fungsi ekonomi. Dengan keelokannya inilah ia kadang-kadang dapat merebut kedudukan yang tinggi, - menjadi isteri orang besar, bini orang yang termasyhur nama, gundik orang yang kaya-raya. Dengan keelokannya itulah malahan ia kadang-kadang dapat menjadi permaisuri seorang raja.
Kita mengetahui dari dongeng-dongeng, dari cerita-cerita wayang, dari bukti-bukti dalam sejarah, betapa kadang-kadang seorang laki-laki miskin, karena kecakapan, keberanian, keuletan, perjoangan, kelaki-lakian, pendek kata karena kepribadian, dapat menjadi seorang pahlawan besar atau seorang raja. Ken Arok, itu penggembala kerbau, menjadi Maharajadiraja di Singasari karena kepribadian; Ciung Wanara, itu anak tukang besi, menjadi Sang Perabu Pejajaran, karena ”kepribadian. Tapi bagi perempuan hanyalah kecantikan paras muka dan kecantikan badan saja, bukan kepribadian yang dapat mendatangkan ”keajaiban” yang demikian itu. Kalau tidak kebetulan Sang Arjuna berjalan meliwati tempat kediamannya, dan tertarik oleh keelokannya yang ”seperti bulan purnama”, maka tak mungkin si gadis miskin naik derajat menjadi puteri di dalam keraton.

Karena itu, maka segenap jiwanya, segenap fikirannya, segenap angan-angannya, dipusatkan kepada soal yang satu itu: mendapat jodo yang menyenangkan, dan kalau sudah mendapat jodo, menjaga jangan sampai diceraikan lagi; menjaga jangan sampai sang suami tak senang kepadanya, jangan sampai ia dialahkan oleh lain perempuan. Maka karena itu pula, semua pendidikan yang dikasihkan kepada gadis-gadis adalah ditujukan kepada hal yang satu ini. Dan apakah sifat-sifat perempuan yang  kini disenangi oleh laki-laki? Tak lain dan tak bukan sifat-sifat yang menetapkan perempuan itu di dalam perhambaan; ia tak perlu pintar, tetapi ia harus tenang, harus menurut, harus taat, harus merendah, harus sabar, harus sedia berkurban, harus halus suara, harus benci kepada dunia luaran, harus cinta rumah tangga saja.
Perempuan harus cantik, tetapi kecantikannya itu harus lain lagi dari kecantikan Srikandi yang sigap dan tangkas, atau lain lagi dari kecantikan Brunhilde yang laksana kecantikan singa betina, melainkan haruslah kecantikan jelita, halus seperti sutera, harus ”tunduk mata”, ramping badan, jatmika, seperti kecantikan bunga melati. Pendek kata, idam-idaman kaum laki-laki adalah orang perempuan yang cukup memuaskan kebirahiannya tetapi harus ”halus” dan ”lemah lembut”, yang sesuai dengan status perhambaan dan ketaatan. Jadi yang sama sekali bertentangan benar dengan sifat-sifat yang ia senang melihat kepada kaum laki-laki sendiri: Laki-laki harus kuat, harus berani, harus besar badan, harus dinamis, harus bersuara sebagai guntur, harus suka berjoang mati-matian, tetapi perempuan harus kebalikannya sama sekali daripada itu. Ia harus lemah, harus, merasa dirinya lemah, perlu mohon tolong dari orang laki-laki, mohon per-lindungan, mohon hidup dari orang laki-laki. Orang perempuan yang demikian ini, orang laki-laki sedia menganggapnya sebagai bidadari atau dewi; buat orang perempuan yang demikian ini orang laki-laki bersedia berkurban dan berjoang. Di Eropa sebagai salah satu akibat anggapan ini timbullah ridderisme, yang menganggap perempuan itu sebagai satu makhluk jelita yang musti dihormati setinggi langit dan diperlindungi. Pada kulitnya sahaja ridderisme ini seperti mengangkat tinggi kepada perempuan, tetapi sebenarnya ridderisme itu adalah justru memandang perempuan itu sebagai makhluk yang sangat lemah, yang selalu harus ditolong. Tidakkah ”kegentlemanan” zaman sekarang ini, yang bersemboyan ”kehormatan bagi para wanita”, pada hakekatnya berbatin juga menganggap lemah kepada perempuan itu?

Dan lama-lama idam-idaman kaum lelaki tentang wanita ini ”mewujud” kepada perempuan pula! Beratus-ratus tahun perempuan hidup di dalam udara ”idam-idaman kaum lelaki tentang wanita” ini, beratus-ratus tahun ia dipaksa hidup menurut ”idam-idaman kaum lelaki tentang wanita” ini, - sebab kalau tidak, tak mungkin ia mendapat suami -, maka lama-kelamaan idam-idaman kaum laki-laki ini menjadi idam-idaman kaum wanita tentang dirinya sendiri pula! Rohaninya, jiwanya, fikirannya, kemauannya, perangainya, batinnya, semua itu menjadi lemah dan tunduk, jelita dan sabar, ikhlas dan taat, - lain lagi daripada jiwa, fikiran, nafsu, perangai kaum Amazone atau kaum wanita Nusa Tembini di zaman matriarchat purbakala. Dan bukan saja jiwa dan sukma perempuan itu menjadi lemah, bentuk badannya pun menjadi lemah. Kini jarang sekali terlihat orang perempuan yang badannya subur dan besar, sigap dan kuat seperti di zaman purbakala itu. Kini umumnya tubuh perempuan itu kecil-kecil dan lemah-lemah. ”Kultur” tidak
berarti perempuan menjadi lebih kuat rohani dan badani, ”kultur”
adalah membuat roh dan badan perempuan itu menjadi lemah dan jelita. Lihatlah di kalangan kaum atasan, di mana ”kultur” ini paling mendalam, maka kelemahan ini tampak dengan terang seterang-terangnya. ”Awake koyo putri, antenge koyo putri”, itu sampai sekarang masih menjadi sebutan orang Jawa. Di dalam kalangan kaum bawahan, kaum tani dan kaum buruh, yang perempuannya tidak terlalu dikurung, tapi diajak berjoang mencari sesuap nasi, maka kelemahan dan kejelitaan itu kurang tampak padanya. Tetapi pada umumnya tak dapat dibantah lagi, bahwa perbedaan kekuatan dan kebesaran tubuh serta perbedaan kecerdasan antara laki-laki dan perempuan itu, di dalam zaman patriarchat itulah bertambah-tambahnya, di zaman patriarchat itulah dipelihara-peliharakannya.

Demikianlah umumnya keadaan kaum perempuan di zaman kekuasaan dipegang oleh kaum lelaki itu. Benar sekali perkataan seorang perempuan bangsa Belanda, Clara Meyer Wichmann, bahwa famili itu dus adalah satu machts verhouding, artinya, satu tempat laki-laki menjalankan kekuasaannya atas perempuan.

Tatkala Nabi Isa dan kemudian Nabi Muhammad datang membawa agamanya masing-masing, maka sudahlah keadaan ini keadaan biasa
di mana-mana. Kedua-dua Nabi itu lantas mencoba menjunjung kaum perempuan itu dari keada-annya yang hina-dina itu, mencoba menolong perempuan itu dari ekses-ekses patriarchat, mengadakan aturan-aturan guna mengatur serta mengadilkan patriarchat itu. Bukan menghapuskan hukum perbapaan, tetapi mengaturnya, mengadilkannya. Sebab kedua-duanya beranggapan, bahwa memang hukum perbapaanlah, dan bukan hukum peribuan yang lebih cocok dengan kehendak alam, lebih sesuai dengan kehendak kodrat. Tetapi pengajaran kedua-duanya pula telah tidak diperdulikan sama sekali oleh sebagian pengikut-pengikut dan pemuka-pemuka agama yang kemudian. Tradisi kaum penghina perempuan yang diperangi oleh dua Nabi ini, diteruskan oleh pengikut-pengikut itu. Nabi Isa mengajarkan persamaan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, tetapi pengikut-pengikutnya mengadakan lagi aturan-aturan yang mengungkung kaum perempuan itu. Padahal! Sejarah telah membuktikan dengan yakin, bahwa justru kaum perempuanlah yang menjadi pengikut-pengikut dan propagandis-propagandis agama Nasrani yang paling ulet. Kaum perempuanlah yang dibakar mati oleh Raja di Roma, kaum perempuanlah yang dilemparkan kepada singa-singa dan dicabik-cabik tubuhnya oleh binatang-binatang buas itu, oleh karena mereka menjadi pengikut atau propagandis agama Nasrani itu. Ya, oleh karena memang kaum perempuan-lah salah satu dari bagian-bagian masyarakat yang dibela oleh Nabi Isa itu, maka kaum perem-puanlah berduyun-duyun masuk agama Isa; tetapi pengikut-pengikut Isa yang laki-laki tak dapat melepaskan dirinya dari tradisi merendahkan perempuan; mereka itu tak dapat membalas budi kepada kaum perempuan yang telah bekerja dan berkurban begitu banyak untuk agama Isa. ”Orang perempuan tak boleh bicara di dalam ”jemaah”; ”perempuan harus menurut dan menghormat kepada laki-laki”; ”Tapi aku tak mengizinkan perempuan belajar, atau perempuan memerintah laki-laki, tapi aku mau perempuan itu diam”; ”Tak diizinkan kepada mereka untuk berbicara, tetapi diperintahkan kepada mereka, supaya mereka tunduk”. Kalimat-kalimat yang merendahkan kepada perempuan ini, terdapat di dalam kitab Nasrani, tetapi kalimat-kalimat itu bukan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Isa. Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut pengikut-pengikutnya. Begitu pula maka dongeng Yahudi tua tentang kejadian Adam dan Hawa, yang mengatakan bahwa perempuan tidak terbuat ”menurut gambar Allah”, melainkan hanya dari tulang rusuk Adam saja, dan bahwa dialah yang menarik Adam ke dalam dosa, sehingga dipandang perlu perempuan itu dianggap tidak suci dan selalu ditundukkan saja kepada laki-laki, - dongeng Yahudi tua inipun dimasukkan oleh pengikut-pengikut Isa itu ke dalam kitab. Dan sebagai ”gong”-nya ini semua, maka pada penghabisan abad keenam, satu rapat besar dari semua kepala-kepala agama di kota Macon sudah membuang tempo banyak-banyak buat membicarakan soal, apakah perempuan itu benar-benar satu makhluk yang mempunyai nyawa atau tidak!

Kasihan kaum perempuan! Dia yang paling banyak mengorbankan jiwa buat mempropagandakan agama Isa, dia yang dibakar, dia yang dicabik-cabik singa, dia yang menyebar-kan agama Isa itu kemana-mana , - Chlotilde yang menanam agama Nasrani di Franka, Berta di Kent, Gisela di Hongaria -, tetapi dia pula yang selalu dikalahkan saja. Sampai sekarang, dia, pada waktu dia dinikahkan oleh paderi kepada seorang laki-laki, musti bersanggup di muka altar lebih dulu, bahwa dia ”akan taat dan menurut kepada suami buat selama-lamanya”. Dan kasihan pula perempuan di dalam masyarakat Islam! Nabi Muhammad menjunjung derajat wanita dari ekses-ekses patriarchat jahiliah, memerdekakan dia dari perhambaan, tetapi kaum-kaum yang sempit fikiran dan sempit mata menyeret dia kembali ke dalam lumpur derajat rendah dan lumpur derajat hina. Kaum-kaum yang sempit fikiran dan sempit mata ini meneruskan saja tradisi kaum jahiliah, atau ambil oper saja tradisi Persia dan Yunani Byzantia yang amat menyempitkan hak-hak kaum perempuan. ”Perempuan di dalam masyarakat Islam”, - tidakkah ini
di dalam telinga dunia ramai terdengarnya sama saja dengan:
”Perempuan di dalam penutupan dan perhambaan”?

Ya, benar-benar malang nasib perempuan itu! Sejak datangnya aturan patriarchat sampai kepada zaman-zaman yang hampir masuk zaman kita sekarang ini, ia, beribu-ribu tahun lamanya, terun-temurun, terpaksa musti hidup di dalam satu dunia yang penuh dengan kegelapan dan kesempitan. Orang Yunani menamakan dia ”Oikurema”, yang berarti benda untuk mengurus rumah. Zaman beredar, masa beralih, abad berganti, kerajaan-kerajaan bangun dan kerajaan-kerajaan runtuh lagi, macam peradaban berubah berganti-ganti, tetapi di dalam nasib perempuan tiada perubahan, sama sekali. Tetap ia musti hidup di dalam kegelapan dan kesempitan yang sediakala, tetap ia dianggap sebagai makhluk jang nomor dua! Dan inipun bagi orang yang mengerti ilmu masyarakat tidak mengherankan! Sebab, meskipun abad dan peradaban itu berubah berganti-ganti, maka belum bangkitlah keharusan-keharusan – masyarakat yang memerdekakan perempuan itu dari ikatan rumah tangga. Belum bangkitlah keharusan-keharusan - masyarakat yang ”mengusir” dia dari tutupan rumah, menghela dia ke dalam struggle for life dunia ramai. Zaman beredar melalui tahun-tahun yang beribu-ribu bilangannya, tetapi masih tetap perempuan paling mujur menjadi produsen buat somah, produsen buat ... keluarga, - belumlah ia terhela keluar menjadi produsen masyarakat pula. Itulah sebabnya, maka, semua kejadian-kejadian masyarakat terjadi tidak dengan bantuannya, tidak dengan bahagiannya, tidak dengan pengetahuannya, tidak dengan persetujuannya. Ia tetap hidup sebagai satu anasir, yang belum terhela aktif di dalam pergolakan masyarakat, dan oleh karena itu, maka kedudukannyapun tetap ”kedudukan rumah tangga” saja.

Tetap demikian, ... sampai abad delapanbelas hampir silam! Sampai timbulnya zaman industria1isme di Eropa yang  m e n g h e l a  perempuan itu keluar dari kegelapan rumah, masuk ke dalam struggle for life produksi masyarakat. Pada akhir abad kedelapanbelas itu mulai timbul di Eropa zaman   k e p a b e r i k a n, dan kepaberikan inilah nanti membongkar sama sekali aturan-aturan masyarakat yang kuno, merobek-robek hukum adat dan hukum moral yang telah ribuan tahun tuanya, menghela keluar semua makhluk-makhluk yang tadinya tertutup di antara dinding-dinding kekeluargaan. Apa yang disusun dan diperkokoh oleh tradisi berabad-abad lamanya itu, dibongkar samasekali oleh  m e s i n  di dalam tempo yang hanya puluhan tahun saja. Mesin pemintal, dan mesin tenun, yang terdapatnya hampir satu saat dengan mesin uap, mesin-mesin ini mengada-kan  r e v o l u s i  y a n g  m a h a  h e b a t  di dalam susunan masyarakat, adat, moral; di benua Eropa pada waktu itu. Dulu perempuan tinggal di dalam rumah tangga untuk (kecuali memasak) membuatkan pakaian bagi suami dan anak. Dulu perempuan sendiri yang memintal, menenun, menyulam, menjahit, sebagai juga di negeri kita dulu tiap-tiap perempuan tinggal di rumah untuk menenun atau membatik. Dulu perkataan  ”ia saleh dan menenun” adalah pujian yang tertinggi yang orang tuliskan di atas batu kuburan orang perempuan yang sudah mati.

Tetapi kini pada akhir abad kedelapanbelas itu, karena revolusi industri itu, maka bukan saja semua bahan-bahan pakaian itu tak perlu lagi ditenun sendiri dengan banyak susah-payah, melain-kan dapat dibeli dengan harga yang amat murah, sehingga banyak perempuan menjadi merdeka dari pekerjaan di rumah itu, - tetapi mesin-mesin yang dipakai di paberik-paberik itu tidak perlu pula pelayanan oleh banyak tenaga laki-laki. Tenaga p e r e m p u a n  dan tenaga  k a n a k - k a n a k  mencukupi buat pekerjaan meladeni mesin-mesin itu. Perempuan dan kanak-kanak diundang bekerja ke dalam paberik. Maka perempuan, yang berwindu-windu; berabad-abad tadinya tertutup di dalam rumah-tangga itu, karena kesempitan nafkah hidupnya, menjadi terhela bersama-sama anak-anaknya ke dalam paberik, ke dalam masyarakat,
ke dalam  p r o d u k s i  m a s y a r a k a t. Perempuan-perempuan dan anak-anak itu menjadi kaum buruh. Di dalam tahun 1790 saja sudah adalah 60.000 perempuan Inggeris dan 40.000 anak-anak Inggeris menjadi kaum buruh di paberik-paberik benang, di dalam tahun 1840 jumlah kuli perem-puan Inggeris itu sudah menjadi 500.000 dan di dalam tahun 1890 naik lagi menjadi 1.500.000 orang! Dan bukan di negeri Inggeris saja! Di Perancis, di Jerman, di Belgia, di negeri Belanda, di mana-mana saja industrialisme ini menghancurkan tembok-tembok beton pengurungan perempuan, di mana-mana saja terhela perempuan itu dari cengkeraman kemiskinan rumah-tangga, - keluar! keluar!
Ke dalam struggle for life di dalam paberik, keluar ke sampingnya mesin, keluar ke dalam produksi masyarakat, keluar!, untuk mencari sesuap nasi! Di dalam tahun 1909 di negeri. Belanda adalah 28% dari semua perempuan bekerja sebagai buruh, dan jumlah ini adalah 18,3% dari semua jumlah kaum buruh di dalam totalnya.

Gugurlah kini tradisi, gugurlah segala moral, gugurlah segala kebiasaan anggapan, bahwa sudah  p e n g h i d u p a n m e n u r u t  k o d r a t  perempuan mendekam di dalam rumah tangga, gugurlah semua anggapan, bahwa perempuan tak dapat makan kalau tidak disuap oleh kaum laki-laki. Gugurlah semua faham, bahwa perempuan tidak dapat dipakai buat pekerjaan masyarakat. Di manakah orang mau berkepala batu menetapkan penghidupan menurut kodrat perempuan menenun di rumah dan menanak nasi, kalau perempuan itu sendiri di akhir abad ke-18 dan di abad ke-19 dengan bermiliun-miliun membuktikan kepada dunia, bahwa ia cakap memegang mesin, cakap ikut menjalankan teknik, cakap menjadi pekerja industri, cakap campur di dalam perusahaan?
Di negeri Jerman saja di dalam tahun 1882 sudah ada 4.250.000 kaum buruh perempuan, di dalam tahun 1895 lebih dari 6.500.000 orang, dan di dalam tahun 1907 jumlah ini telah menjadi 9.500.000 orang!
Memang sebelum di Eropa ada aturan-aturan yang melindungi kaum buruh, sebelum di situ ada undang-undang per-buruhan, maka kaum perempuan dan anak-anak itulah yang  p a l i n g  l a k u sebagai kaum buruh. Apa sebab? Tak lain tak bukan, justru karena tabiat tunduknya dan nerimonya perempuan yang telah menjadi darah-daging-tulang-sungsum itu. Kaum perempuan lebih menurut, lebih sabar, lebih takut, lebih murah, lebih mengetahui kewajiban, daripada kaum buruh laki-laki. Yang tersebut belakangan ini selalu besar mulut, sering mabuk, sering memberontak, dan - mahal upahnya! Upah satu orang laki-laki boleh dipakai buat dua orang perempuan, dan mesin tenun dan mesin pintal memang lebih sempurna dijalankan oleh tangan perempuan yang lebih halus daripada tangan laki-laki. Itulah sebabnya, maka akibat revolusi industri di Eropa itu yang paling dulu tampak ialah sangat lakunya tenaga kaum perempuan sebagai kaum buruh. Revolusi di dalam cara produksi masyarakat menyebab-kan revolusi menghancur-leburkan adat memingit kaum perempuan!

Dan bukan di Eropa saja! Industrialisme itupun menjalar ke Timur, ke seluruh Asia, walaupun agak terlambat. Sejak pertengahan abad ke -19 sudahlah industrialisme ini mulai meng-hantam pula tembok beton penutupan perempuan di dunia Timur. Juga di dunia Timur orang pada waktu silamnya abad ke-19 itu mulai melihat perempuan-perempuan dan anak-anak keluar dari tutupan rumah tangga, masuk ke dalam paberik tenun, paberik gula, paberik teh, atau ke dalam kebun-kebun ”kontrakan”. Juga di dunia Timur gugurlah lambat-laun segala belenggu-belenggu tradisi, segala faham-faham dan moral-moral yang mau terus menetapkan perempuan itu sebagai makhluk tutupan di rumah. Di negeri-negeri yang tidak terlalu keras ikatan agama, maka kaum buruh perempuan segera menjadi barang yang biasa. Di India, di Tiongkok, dan terutama sekali di Nippon, permasyarakatan ini berjalan dengan cepat. Tetapi di lain-lain tempat masih keras juga ikatan belenggu tradisi. Meredith Towsend, yang dulu membuat perbandingan antara kedudukan perempuan di pelbagai negeri-negeri Asia, mengatakan bahwa, walaupun perempuan-perempuan Nippon masih saja dihina dan ditindas oleh kaum laki-lakinya, mereka toh masih agak bagus kedudukannya kalau dibandingkan dengan kedudukan perempuan di beberapa bagian negeri-negeri Islam. Hukum-hukum Qur’an yang mengasih kedudukan baik kepada mereka itu, diabaikan orang sehingga seperti huruf mati belaka kalau melihat praktek penindasan sehari-hari. Faham-faham yang asal-nya dari zaman kaum kolot, masih ditegakkan orang di banyak bagian negeri-negeri Islam. Tetapi,- bagi siapa yang mempelajari gerak masyarakat dan sejarah, dan cukup lebar-lebar matanya untuk membanding-bandingkan tingkatan-tingkat-an masa dan sejarah, bagi dia tampak pula, bahwa kaum kolot itu sebenarnya memperjoangkan satu perjoangan yang kalah. Juga di negeri-negeri Islam, proses masyarakat ini akan menghancurkan anggapan, bahwa penghidupan menurut kodrat perempuan hanyalah ”melahirkan anak-anak, serta menjadi penjaga yang setia dari rumah tangga saja.”.
Juga di negeri-negeri Islam proses masyarakat ini menghela, menarik, mendorong perempuan itu ke dalam gelanggang pergolakan masyarakat, menaikkan derajat perempuan itu menurut tinggi bagiannya di dalam proses produksi masyarakat. Sebab di dalam hal ini tiadalah perbedaan antara kekuatan tenaga proses masyarakat di Timur dan di Barat.
Yang berbeda hanyalah temponya belaka, cepatnya atau lambatnya.

Demikianlah pengaruh industrialisme itu atas nasib kaum perempuan Marhaen di benua Eropa dan Asia. Tradisi  p e n u t u p a n  dan  
p e n g u r u n g a n  dihantam hancur-lebur oleh industrialisme itu, dan begitu pula tradisi, bahwa hidupnya perempuan harus selalu tergantung kepada nafkah dari laki-laki. Tetapi industrialisme itu t i d a k menghancurkan pula tradisi perempuan sebagai  k u d a - b e b a n  di dalam rumah-tangga. Tradisi p e n g u r u n g a n  hancur-lebur, tetapi tradisi b u d a k  r u m a h  t a n g g a  berjalan terus. Pekerjaan memasak, mencuci; menjahit pakaian yang robek, memelihara anak,
dan lain sebagainya masihlah menjadi tanggungan perempuan. Sepuluh, duabelas, empatbelas jam lamanya kadang-kadang ia musti bekerja di paberik, tetapi sebelum berangkat ke paberik itu dan sesudah pulang dari paberik itu pula, ia masih harus berkeluh-kesah bekerja buat pelbagai urusan rumah-tangga. Ia menjadi kuda beban yang ”d o b e l”, kuda-beban  d i  p a b e r i k  D A N kuda-beban  d i  r u m a h  t a n g g a.
Ia mengerjakan pekerjaan dua orang, pekerjaan produsen di dalam paberik dan pekerdjaan produsen di dalam rumah tangga.
Orang 1nggeris ada mempunjai sya’ir yang bunyinya:

Man works from rise to set of sun
Woman’s work is never done.     
Artinya:                                                                                                           
Laki kerja dari matahari terbit sampai terbenam,
Perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam

1ni sya’ir adalah jitu sekali buat menggambarkan beban perempuan itu. Betul barang-barang keluaran paberik kini banyak didjual dipekan-pekan dan kedai-kedai, tetapi ia tak dapat membelinya semuanya, karena tidak cukup mempunyai uang. Betul industrialisme itu bagi siapa yang sedikit mampu adalah satu hal yang meringankan hidup di dalam banyak urusan sehari-hari, tetapi perempuan kaum bawahan itu tidak mampu membelanjai semua urusan sehari-hari itu. Maka oleh karena itu masih banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang masih tetap menjadi tanggungannya. Tetap ia masih musti membuat sendiri seribu satu barang yang kecil-kecil. Kedai-kedai penuh sigaret atau serutu bermacam-macam, tetapi ia masih tetap menggulung-gulungkan rokok bagi sang suami sampai ayam jantan hampir berkokok. Toko penuh dengan barang pakaian yang murah-murah, tetapi ia masih tetap menisik pakaian anaknya yang sudah amoh sampai jatuh tertidur karena tak tahan lagi kantuk matanya. Kedai dan toko sedia mengasih peringanan hidup macam macam, asal saja ada uangnya, tetapi justru uang inilah yang ia tak dapat adakan. Sesungguhnya, - telah hancur tradisi yang membuat dia makhluk pingitan dan makhluk yang isi perutnya tergantung pada laki-laki saja, tetapi masih tetap berjalan tradisi yang membuat dia kuda beban di dalam rumah-tangga. Ia men-dapat kemerdekaan, terlepas dari ikatan tutupan, tetapi kemerdekaan itu harus dibelinya dengan memikul  d u a  b e b a n yang hampir mematahkan tulang belakangnya. Kesehatan tubuhnya selalu terganggu. Menurut statistik, maka rata-rata setahun-tahunnya orang laki mangkir kerja 43/4 hari, tapi orang perempuan 71/2 hari. Di Jerman dulu jumlah kaum buruh perempuan yang kena penyakit tuberculose adalah 3 kali jumlah kaum buruh laki-laki yang kena penyakit ini. Tak salah-lah perkataan seorang pemimpin perempuan, Lily Braun, bahwa perempuan di dalam abad ke-19 dan ke-20 itu sama nasibnya dengan ”keledai kecil yang musti menarik d u a kereta”: kereta rumah tangga dan kereta pencaharian nafkah. Tetapi lebih jitu adalah perkataan Henriette Roland Holst: ” j i w a - r a g a n y a  a d a l a h  r e t a k ” , ” d o o r  h a a r 
w e z e n  l o o p t  e e n    s c h e u r ”: sepihak musti ingat kepada rumah tangga, sepihak lagi kepada pencaha-rian nafkah di dunia ramai. Yang satu tak dapat berjalan dengan tidak merugikan atau mengkonflik kepada yang lain. Fikirannya, tubuhnya, jiwa-raganya, menjadi terombang-ambing antara dua kewajiban ini, terbanting-banting antara dua tanggungan ini. Ia menjadi satu makhluk yang ”senewen”, yang lari dari satu kebingungan ke lain kebingungan, tersepak sebagai satu bola dari satu goal ke lain goal.

Sebab, meskipun dia sudah bekerja di masyarakat, yaitu bekerja sebagai produsen masyarakat di dalam paberik atau di perusahaan lain, - tetap ia seorang Wanita, tetap ia seorang Isteri, tetap ia seorang Ibu. Tetap ia ingin membahagiakan suaminya, tetap ia ingin membahagiakan anak-anaknya. Kewajiban terhadap suami dan anak ini, tak dapat dan tak mungkin ia lupakan. Sebab, kecintaan kepada suami dan kecintaan kepada anak, adalah memang J i w a W a n i t a. Wanita boleh modern, boleh ”feminis”, boleh menjadi orang pangkat tinggi, atau orang kuli hina-dina yang limabelas jam sehari membanting tulang di paberik, - tetapi ia tetap Wanita, yang ingin cinta, yang ingin kasih, yang ingin membahagiakan kepada suami dan anak. Meskipun badan telah letih seperti remuk, pinggang telah patah karena cape, - setiba wanita di rumah dari pekerjaan di paberik atau di kebun, ia akan bekerja lagi, membanting-tulang lagi” memeras keringat lagi, ... buat suami, ...
buat anak. Ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tarikan jiwa
yang demikian itu. Sebab ia ... wanita! Henriette Roland Holst menggambarkan jiwa wanita ini dengan kata-kata yang berbunyi:
” D i e p  o p  d e n   b o d e m  v a n  d e  z i e l  v a n  i e d e r e 
v r o u w ,  l e e f t     d e  w e n s  n a a r  l i e f d e  e n 
m o e d e r s c h a p ”.

Artinya: ” D i  d a 1 a m  j i w a  t i a p - t i a p  w a n i t a  y a n g 
s e d a l a m - d a l a m n y a ,  b e r s e m a y a m  k e i n g i n a n 
k e p a d a  C i n t a  d a n  K e i b u a n ”.

Maka oleh karena itu, bagi perempuan kelas rendahan yang dapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh di luar rumah, kendati kemerdekaan keluar dari rumah itu, kendati kesempatan memerdekakan diri dari menjadi tanggungan laki-laki, masih tetaplah peri-kehidupan baginya berarti satu kegelapan dan satu kepahitan. Belum terbit matahari baru baginya, yang akan memecahkan kegelapan dan kepahitan itu.

Dan yang tidak mendapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh? Juga mereka banyak yang menjadi merdeka pula, tetapi merdeka yang amat sesat: merdeka sebagai sundal. Sundal menjadi salah satu peristiwa sosial dari zaman industrialisme ini. Havelock Ellis mengatakan, bahwa abad ke-19 itu adalah ”abadnya sundal”. Tiap-tiap kota besar di zaman ini adalah ”satu rumah sundal yang amat besar!”.

Bagaimana keadaan kaum perempuan fihak  a t a s a n ?
Juga di sini perempuan masih saja tersia-sia. Mesin berputar di paberik-paberik, membuat pelbagai barang yang dulu harus dibuat oleh perempuan di kalangan kaum atasan pula. Mesin itu memasukkan barang-barang itu ke dalam rumah tangga mereka, tetapi toh tidak membuat peri-kehidupan mereka menjadi senang. Apa sebab? Bukan di kalangan kaum rendahan saja, tetapi juga di kalangan amtenar dan kaum pertengahan dulu perempuan harus memintal dan menenun sendiri, menjahit dan menyulam sendiri, membuat kuwih dan mengerjakan pelbagai pekerjaan rumah tangga sendiri, meskipun pekerjaannya itu tentu jauh lebih ringan daripada pekerjaan perempuan-perempuan di kelas bawahan. Pelayan-pelayan adalah di kalangan kaum atasan itu buat mengerjakan pekerjaan yang berat-berat. Tapi toh, hidup kaum perempuan atasan itu dari dulu mula satu ”kehidupan rumah tangga” belaka. Sekolah-sekolah, kantor-kantor, tempat-tempat dunia ramai, pekerjaan-pekerjaan sebagai klerk, komis, pemegang buku dsb, tertutup rapat-rapat bagi mereka. Di rumah tangga saja mereka musti mendekam. Tulisan ”dia saleh dan menenun”, tulisan batu kubur yang berbunyi demikian itu terutama sekali terdapat pada kubur-kubur kaum perempuan kelas atasan. Hari yang satu, sama saja dengan hari yang lain; tiada perubahan sama sekali di dalam mereka punya daftar hidup; hari-hari mereka duduk saja di dalam kamar kediaman dan kamar tamu, bercakap-cakap membicarakan hal-hal tetek-bengek, diperlakukan oleh ”ridder-ridder” lelaki sebagai dewi-dewi halus yang selalu perlu ditolong dan dijaga-jaga. Laki-laki inilah yang mengambilkan saputangan mereka kalau saputangan-nya jatuh, laki-laki inilah mengangkatkan kursi, kalau mereka hendak duduk. Mereka diladeni seperti Raja Puteri, seperti Dewi. Tapi dalam pada itu juga, mereka diperlakukan oleh ”ridder-ridder” itu sebagai makhluk yang tak cakap hidup sendiri, tak cukup kecerdasan dan kepandaian, tak kuat memikul pekerjaan pekerjaan masyarakat, tak penuh fikiran dan ingatan.
Di dalam kalangan kaum atasan inilah, kaum perempuan benar-benar dipelihara dan dijaga-jaga oleh ”ridder-ridder” itu sebagai blasterannya  d e w i  d a n  s i  t o l o l.

Kini barang-barang paberik itu masuk ke dalam salon dan boudoir mereka. Mereka tak perlu memintal benang lagi, tak perlu menenun lagi, tak perlu membuat kuih lagi, tak perlu membuat obat-obat sendiri lagi. Sebab mereka mampu membeli semua keperluan-keperluan rumah tangga itu dari paberik dan dari toko. Maka kehidupan mereka semakin menjadi kosong, waktu mereka semakin banyak yang terluang.
Mereka semakin ”nganggur”. Mau masuk paberik menjadi kuli seperti perempuan bawahan, tak mungkin baginya, - mereka musti ”jaga nama”, dan upah satu dua picis itupun mereka tak perlukan sama sekali - mau masuk kantor-kantor atau sekolah-sekolah, belumlah mereka mendapat pintu yang terbuka, bekerja di paberik sebagai kaum buruh kasaran mereka tak mau, bekerja di kantor atau di masyarakat sebagai kaum buruh halusan masih d i t a b u k a n kepadanya. Maka datanglah di dalam hidup mereka itu satu siksaan pedih, lebih pedih daripada siksaan yang lain-lain; datanglah kepadanya siksaan ”kesalnya menganggur” siksaan beratnya ”duduk tenguk-tenguk”. Jeltje de Bosch Kemper, seorang perempuan Belanda, mengeluhkan keadaan yang demikian ini dengan keluhan: ”Apa yang saya kerjakan dari umur delapan belas tahun”, ... tak tahulah saya. Tinggal di rumah saja menyulam, menggambar, main piano, menjahit sedikit, menulis surat, bertamu, jalan-jalan sedikit, ... Kadang-kadang ada banyak juga hasil pekerjaan itu, tapi kadang-kadang juga banyak yang tersia-sia”. Inilah keluhan seorang-orang yang menderita penyakit ”verveling” itu. Adakah keadaan di kalangan atasan dari perem-puan Indonesia berbeda? Siapa yang membaca kitab R.A. Kartini ”Door duisternis tot licht”, akan mendapat kesan yang sama: verveling, verveling, dan sekali 1agi verveling! ”Saya tak tahu, bagaimanakah saya dapat melakukan waktu”, begitulah selalu keluhannya. Maka baik di dunia Eropa, maupun di dunia Indonesia, ” p u t e r i – p u t e r i ”, yang terlalu banyak tempo, menganggur ini, menjadi ”mesin ngomong” yang paling jempol, tukang ngobrol yang paling ulung, yang hari-hari, dari pagi sampai sore, dari sore sampai malam, pekerjaannya cuma meng-obrol saja tiada putusnya, mengobrol tentang kucing, tentang meja, tentang kuih, tentang baju, tentang bedak, tentang seribu satu hal tetek-bengek. Dan terutama sekali mengobrol tentang ... orang lain!

Dan ada akibat lain pula daripada keadaan di kalangan kaum atasan yang saya gambarkan itu: yakni akibat ”gadis sukar laku”, dan ”laki-laki kawin tua”. Perempuan-perempuan atasan yang tidak dikasih kesempatan untuk mencari nafkah sendiri itu, (di paberik tidak dan di kantorpun tidak), sama sekali menjadi tanggungan bapanya atau sanak-saudaranya jang laki-laki. Tiap-tiap orang laki-laki di rumahnya ada ”menyimpan” beberapa ”biji” dari mereka itu: adik, atau saudara sepupu, atau bibi, yang harus ia tanggung sama sekali hidupnya.
Benar di zaman dulu-pun begitu. Tetapi sekarang puteri-puteri ini tidak 1agi berarti penting sebagai produsen di rumah tangga, yakni tidak berarti penting sebagai pembantu di rumah tangga. Dulu mereka yang menenun kain, dulu mereka yang menjahit pakaian, dulu mereka yang membuat makanan. Dulu mereka produktif. Kini sebagai akibat produksi barang dagangan, maka kain dibeli dari toko, pakaian dijahit oleh tukang menjahit, kuih-kuih banyak dibeli sudah matang. Dan segala itu dengan  u a n g , - uang orang  l a k i - l a k i. Tanggungan orang laki-laki naik. Segala hal dialah yang musti mengongkosi, segala hal dialah yang musti bayar. Ia menjadi takut kawin, takut mendirikan somah sendiri, di mana masih begitu banyak ”embel-embel” yang musti ia tanggung. Gadis-gadis tidak banyak yang meminangnya, mereka banyak yang menjadi ”gadis-tua” yang selalu menertawakan segala hal yang tetek-bengek.

Ya, alangkah celakanya nasib ”puteri-puteri” dan ”nyonya-nyonya” itu! Mereka menjadi satu peristiwa masyarakat! Edward Carpenter, yang di muka sudah saya kutip perkataanya, menulis-kan satu petikan dari kitab: ”Het Vrouwenvraagstuk”, yang menggambarkan hidup puteri-puteri di negeri Inggeris di abad yang silam: tiap-tiap orang dapat melihat ratusan puteri-puteri itu, boneka-boneka yang berpakaian bagus -, duduk di muka jendela masing-masing, semuanya matanya memandang kepada pita-pita berwarna yang ada di dalam tangannya:

Duduk di muka jendela dengan berbedak dan berdandan seperti boneka, sambil tiada lain ”kerja” melainkan mengatur pita! Ingatkah tuan-tuan kepada puteri-puteri Indonesia yang juga berbedak dan berdandan seperti boneka, duduk di serambi rumah dan ”rajin bekerja”, -
misalnya menyongket renda kain tempat-tidur?

Siapakah yang lebih celaka, si perempuan rendahan yang ”senewen” karena terlalu banyak kerja, atau ”boneka-boneka” ini? ”Nyonya, dan perempuan rendahan yang bekerja seperti kuda beban di rumah tangga, dan sundal - itulah tiga type perem-puan yang keluar dari proses masyarakat yang dahulu, muncul ke dalam masyarakat yang sekarang, dan sukar bagi kita untuk mengatakan, siapa dari mereka itu yang paling menyimpang dari cara hidup yang diingini oleh tiap-tiap perempuan di dalam hatinya”, begitulah Edward Carpenter tadi itu berkata.

Tetapi lambat-laun datanglah perubahan juga di dalam kalangan kaum atasan itu. Lambat-laun urusan ekonomi mendesak pula kepada kaum laki-laki yang musti menanggung segala ongkos rumah tangga itu. Mendesak kepada mereka untuk mengangkat hukum tabu yang menutup pintu kantor, pintu perusahaan, pintu sekolah, bagi kaum perempuan itu. Lambat-laun kaum puteri sendiripun dengan pergerakan  
f e m i n i s m e mengadakan desakan yang maha hebat kepada kaum laki-laki, untuk mengangkat tabu yang menolak mereka dari proses masyarakat itu. Lambat-laun kaum laki-laki sendiri merasa beratnya menanggung hidupnya keluarga-keluarga perempuan yang di dalam segala-galanya harus ditulung itu, dan merasa manfaatnya kalau perempuan-perempuan ini tidak lagi lemah, tidak lagi seperti makhluk tidak berjiwa, tidak lagi menadahkan tangannya saja ke langit dan ke kaum laki-Iaki, tetapi dapat mencari nafkah hidup sendiri-sendiri. Lambat-laun puteri-puteri itu diijinkan masuk sekolahan-sekolahan dan madrasah-madrasah, masuk kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan, menjadi guru, dokter, insinyur, adpokat. Lambat-laun berubahlah idam-idaman laki-laki tentang perempuan yang telah ratusan dan ribuan tahun terpaku di dalam angan-angannya itu. Kini idam-idaman itu bukan lagi perempuan yang seperti sutera, yang lemah-lembut, menadahkan tangan kepadanya dan memandang kepadanya sebagai memandang kepada seorang Maha Dewa, memohonkan tolong dan perlindungan, - kini idam-idaman laki-laki bergantilah menjadi: perempuan yang ”sportif”, yang cakap, yang tak selalu butuh pertolongan, yang dapat meringankan bebannya. Perempuan-perempuan yang demikian itulah, - gadis-gadis yang riang, sigap, sehat, sportif, cakap bicara, ”sedikit kurang-ajar”, tangkas sebagai rusa betina, - klerk-klerk, juru tik-juru tik, guru-guru, studen-studen wanita, dsb. - perempuan-perempuan yang demikian itulah yang kini paling dapat memikat hati orang laki-laki. Perempuan-perempuan yang demikian itulah yang kini paling banyak harapan segera mendapat jodo. Tetapi yang tidak begitu, yang ”model kuno”, terpaksa terus hidup kehidupannya yang sediakala, tersia-sia menunggu-nunggu datangnya seorang jejaka, sampai ia sendiri menjadi gadis tua yang layu dan hilang keelokan dan kesegarannya.

Tetapi masyarakat kapitalistis sekarang inipun t i d a k selalu mengasih kesempatan bekerja kepada semua orang yang mau bekerja, t i d a k selalu mengasih kesempatan kawin kepada semua orang yang mau kawin. Di dalam bab II telah saya terangkan hal ini sedikit-sedikit.
Maka oleh karena itu, masih banyak sekali gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang tidak mendapat suami, - kendati ketangkasan, kendati kesportifan, kendati kecakapan. Meskipun cakap, meskipun tangkas, meski-pun telah berdiploma, belum tentu itu menjadi jaminan akan mendapat seorang suami. Hanya yang paling jempol sajalah, yang paling cakap, yang paling cantik, yang paling menarik, yang paling ber-”sex-appea1”, mempunyai harapan akan mendapat jodo. ” S t r u g g l e  f o r  l i f e ” kini juga menjadi  ” s t r u g g l e  f o r  m a n ”. Maka oleh karena itu, timbullah, - mula-mula di Amerika di mana ”cari suami” itu yang paling susah -, satu pergerakan ”menambah kecantikan”, satu 
m a k e - u p - m o v e m e n t ,  yang maksudnya mempelajari dan mempraktekkan, betapakah cara mustinya perempuan menarik hati kaum laki-laki. Menghaluskan kulit, mengatur rambut, memerahkan bibir, memilih warnanya bedak, mencabut bulu alis supaya alis ini menjadi kecil seperti bulan tanggal satu, menentu-kan warna creme dan menyapukan creme, mengatur badan waktu duduk, menggerakkan badan waktu berjalan, itu semua-nya menjadi satu ”ilmu”, yang siang dan malam berputar di dalam otaknya perempuan-perempuan fihak atasan itu. Roman muka dan tingkah laku perempuan itu menjadi berubah sama-sekali. Kulit jelita, bibir merah dan alis melengkung, bukan lagi satu hadiah alam yang terdapat pada satu dua perempun saja, tetapi menjadi milik tiap-tiap hidung yang mampu membelinya. Kadang-kadang sungguh menarik benar perempuan-perempuan yang telah di ”make-up” itu, tapi kadang-kadarig juga menjadi-lah mereka itu justru seperti ”hantu”, karena ”cap” di atas muka mereka itu terlalu melebih-lebihi batasnya kesederhanaan! Tetapi sebagai satu
p e r i s t i w a  s o s i a l adalah ini akibat dari masyarakat yang di situ ”struggle for man” menjadi sukar sesukar-sukarnya. Juga di Indonesia, ini ”movement”, walaupun sebab-sebabnya yang dalam tidak diinsyafi oleh tiap-tiap orang, sudah mulai menjalar, tentu saja di bawah pimpinan beberapa nyonya dari kalangan atasan!

Jadi: juga di kalangan perempuan atasan, dunia belum menjadi satu sorga, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu.

Ya, sekali lagi, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu! Di kebanyakan negeri Eropa perempuan sudah boleh menjabat pelbagai pekerjaan di dunia ramai, sudah banyak yang masuk sekolah tinggi dan menjadi wartawan, peniaga, insinyur, dokter, adpokat. Di banyak negeri Eropa perempuan malahan sudah mendapat hak-hak p o l i t i k yang sama dengan kaum lelaki, sehingga banyak dari mereka telah menjadi anggota dewan haminte, dewan propinsi atau dewan parlemen. Tetapi kendati hasil-hasil baik dari perjoang-annya ini, juga pada mereka dirasakan oleh mereka sendiri adanya satu  s c h e u r. Juga pada mereka ada satu ”retak”, tetapi satu retak yang berbeda sedikit daripada retak di kalangan perempuan kaum buruh. Di kalangan kaum buruh itu retaknya ialah: terombang-ambing dan terbanting-banting antara dua tanggungan, tanggungan mencari nafkah di luar, dan tanggungan mengurus rumah-tangga, terbanting-banting antara tanggungan sebagai pekerja masyarakat, dan tanggungan sebagai isteri dan ibu di rumah-tangganya. Bagi perempuan kaum buruh itu, sebenarnya adalah satu ideal, satu keinginan jiwa yang maha tinggi: ingin merdeka di dalam masyarakat dengan jalan ikut menjadi produsen masyarakat, dan ingin menjadi isteri dan ibu yang mencinta, mengasih, menyayang, memelihara suami serta anak-anak menurut kodrat alam. Tetapi tidak satu dari dua keinginan ini dapat ia capai dengan sempurna, tidak satu dari dua ideal ini dapat menjadi satu realitas baginya.
Sebab di dalam masyarakat kapitalistis sekarang ini, sempurnanya pelayanan dua kewajiban ini adalah terlalu membebani kepadanya, terlalu berat bagi tenaganya satu orang, sehingga ia menjadi ”senewen” dan patah tulang belakang: Mau melepaskan kerja di dalam masyarakat tak dapat, sebab, itu berarti hilangnya sesuap nasi dan hilangnya kemerdekaan; mau melepaskan suami dan anak-anak tak mungkin, sebab, itu adalah bertentangan dengan kodrat dan keinginan jiwa. Begitulah gambarnya retak yang membelah jiwa-raga perempuan kaum bawahan menjadi dua belahan yang terombang-ambing satu sama lain.

Bagaimanakah retak perempuan kaum atasan? Juga di sini ia kini telah banyak menjabat pekerjaan masyarakat. Juga di sini ia telah banyak bekerja di luar rumah tangga. Juga di sinipun ia, selain memikirkan kerja di masyarakat itu, h a r u s  juga memikirkan kerja sebagai isteri dan sebagai ibu. Tetapi manakala dua pekerjaan ini di kalangan kaum buruh mendatangkan ”senewen”, maka di kalangan atasan hanyalah mendatangkan ”rasa kurang puas” sahaja. Sebab perempuan atasan itu
di rumahtangganya cukup mendapat bantuan, bantuan alat-alat teknik sebagai gas dan listrik, bantuan harta yang dapat membeli semua keperluan, dan bantuan pelayan-pelayan yang tinggal memerintah saja. Ketidakpuasan yang ia rasakan itu bukan ketidakpuasan karena ”patahnya tulang belakang”, tetapi adalah ketidakpuasan  
t e r g a n g g u n y a  w a k t u  untuk menumpahkan cinta kasih kepada suami dan terutama sekali kepada anak-anak, sebagai panggilan jiwanya dan panggilan kodratnja. Kerja di masyarakat itu menjadi satu halangan baginya buat kesempurnaan kehidupan laki-isteri anak, satu rintangan bagi  k e h i d u p a n  l a k i - i s t e r i  yang sempurna dan bahagia.

Dan bukan saja rintangan bagi kesempurnaan kehidupan laki-isteri manakala kehidupan itu  s u d a h  a d a , - artinya: manakala  s u d a h  hidup berlaki-isteri,  s u d a h  ada suami,  s u d a h  ada anak -, tetapi bagi banyak kaum perempuan atasan kehidupan laki-isteri inipun satu hal yang susah didapatnya. Bagi banyak kaum atasan, sebagai tadi sudah saya katakan, mendapat suami masih satu teka teki, - sehingga timbul peristiwa ”gadis-tua” dan ”make-up movement”. Maka oleh karena itu, kini, sebagai reaksi atas keadaan yang demikian itu, bukan lagi kerja di dalam masyarakatlah yang menjadi tujuan dan cita-cita, tetapi kehidupan laki-isteri  y a n g  b a h a g i a .  Bersuami, beranak, berumah tangga bahagia, itulah kini idam-idaman yang pertama, keinginan jiwa yang paling tinggi. Kini timbul satu aliran baru di kalangan kaum perempuan atasan itu, yang mengatakan, bahwa feminisme tak cukup untuk mendatangkan kebahagiaan. Kini timbul aliran  
n e o - f e m i n i s m e ,  feminisme baru, yang menganggap pekerjaan masyarakat itu ”nomor dua”, tetapi perkawinan, menjadi ibu, memimpin  keuarga  nomor satu.

Sebelum kita lebih lanjut, izinkanlah saya nanti dalam bab IV lebih dulu mengulangi hal matriarchat dan patriarchat dengan kupasan yang sedikit lebih lebar. Sebab hanya dengan mengerti betul-betul matriarchat dan patriarchat itulah kita akan dapat mengerti sebab-sebabnya segala kesusahan-kesusahan yang diderita oleh kaum perempuan. Sudah barang tentu kupasan itu tak dapat bersifat lebih daripada satu ”peninjauan” saja, satu orientasi. Bukan tempatnya kitab ini mengupas soal itu terlalu dalam. Buat kupasan yang dalam itu, perlu satu buku tebal yang spesial!

Maka sekarang kita, di dalam perjalanan ”dari gua ke kota” itu, sudah menginjak halaman zaman kita sendiri. Dengan cara ikhtisar, kita sudah mengikuti sejarah Sarinah, dari zaman kelompok sampai ke zamannya radio dan lampu listrik. Satu kali kita melihat Sarinah di atas puncak kemuliaan, satu kali ia menjadi cakrawarti dunia, yaitu di zaman berkem-bangnya sistim matriarchat. Tetapi di bagian yang lain-lain, di dalam kelompok, di zaman histori tua, di zaman histori baru, di zaman histori paling baru, - di semua bagian-bagian sejarah itu Sarinah selalu menjadi makhluk yang celaka, makhluk yang selalu dikalahkan kaum laki-laki, makhluk yang teperdaya. August Bebel di dalam bukunya ”Die Frau und der Sozialismus” berkata, bahwa perem-puan adalah ’makhluk yang paling dulu diperbudak”. Tetapi di lain tempat, di dalam majalah ”Neue Zeit”, ia pernah berkata pula, bahwa perempuan itu adalah ”makhluk jang diperbudak  s e l a m a - l a m a n y a”.
Kecuali perkecualian di zamannya matriarchat itu, maka benar sekali perkataan Bebel ini. Mungkin-kah datang satu waktu, di mana ia akan hidup merdeka kembali? Ataukah sudah memang ”kodrat” perempuan, hidup di bawah telapak laki-laki?


BAB IV
MATRIARCHAT DAN PATRIARCHAT

Satu kali perempuan berkedudukan mulia, yakni di zaman berkembangnya matriarchat. Adakah ini berarti, bahwa kita, untuk kemuliaan perempuan itu musti mengharap diadakan kembali sistim matriarchat itu?

Anggapan yang demikian ini adalah anggapan yang salah, walaupun misalnya orang perempuan sekalipun yang ber-anggapan begitu.
Sering sekali ada perempuan menanya kepada saya: tidakkah lebih baik bagi kami sistim peribuan itu daripada sistim yang sekarang ini?
Sebab, tidakkah di dalam sistim peribuan itu perempuan berkedudukan mulia? Saya selalu menjawab: Jangan tertarik oleh nama saja!
Buangkan fikiran yang demikian itu dari ingatan saudara! Pertama oleh karena kita harus mencari keselamatan masyarakat seumumnya, dan tidak keselamatan perempuan saja; kedua oleh karena matriarchat itu adalah hasil perbandingan-perbandingan masyarakat yang  k u n o dan tidak dapat diadakan lagi di dalam masyarakat sekarang; dan ketiga oleh karena tidak selamanya peribuan itu mengasih tempat mulia kepada kaum perempuan.

Lebih dulu marilah kita ingati, bahwa perkataan Bachofen, bahwa di mana saja ada hukum peribuan, di situ pasti kedudukan perempuan tinggi dan mulia, sudah dibantah oleh ilmu pengeta-huan: hukum peribuan ada yang membawa kemuliaan bagi perempuan, tetapi ada juga yang tidak membawa kemuliaan bagi perempuan. Sebab, apakah hukum peribuan itu pada asalnya? Hukum peribuan pada asalnya hanyalah satu aturan untuk menjaga, jangan sampai manusia-manusia dari satu kekeluargaan hantam kromo saja kawin satu sama lain, sehingga hantam kromo pula turunannya bercampuran darah. Ia adalah reaksi kepada kebiasaan Promiskuiteit (pergaulan laki-perempuan hantam kromo) yang di situpun pergaulan laki-laki perempuan tak mengenal batasnya ibu, anak, dan saudara. Oleh sistim peribuan itu lantas ditentukan, bahwa hanya laki-laki dari  l a i n  g e r o m b o l a n  saja yang boleh berkawin dengan seseorang perempuan, dan turunannya dihitung  
m e n u r u t  g a r i s  p e r i b u a n  dan menjadi hak perempuan itu. Hanya ini sajalah asalnya maksud hukum peribuan itu, dan tidak lain. ”Aturan ini tidak tentu membawa kedudukan perempuan yang lebih baik dan lebih merdeka; di dalam banyak sekali suku-suku yang memakai aturan peribuan kedudukan perempuan sama sengsaranya dengan kedudukan perempuan di dalam suku-suku yang memakai aturan perbapaan”, begitulah Henriette Roland Holst berkata. Begitu pula pendapat Mrs Ray Strachey. Beliau mengatakan, bahwa peribuan itu ”kadang-kadang mendatangkan perbudakan perempuan, kadang-kadang pula mengekalkan milik-milik dan kekayaan-kekayaan di dalam tangannya, sehingga ia lantas mendapat satu kedudukan yang lebih berkuasa”. Muller Lyer pun berpendapat begitu, dan begitu pula ahli-ahli penyelidik lain seperti Schurz, Eisler dll.

Hanya di mana hukum peribuan ini menjadi pemerintahan peribuan, menjadi gynaeco-creatie, menjadi matriarchat, menjadi sistim  
p e m e r i n t a h a n - ibu, maka di situlah perempuan berderajat, di situlah perempuan bermartabat tinggi. Tetapi kitapun tidak boleh lupa memikirkan dan menanya: Apa sebab pernah terjadi satu masa, yang  
p e r e m p u a n  yang berkuasa, dan tidak laki-laki? Sebabnya ialah, oleh karena pada bagian pertama dari zaman pertanian itu, perempuanlah produsen masyarakat yang terpenting. Dialah yang mengerjakan dan memimpin pertanian, dialah yang menggenggam nasib perekonomiannya gens. Kalau dia tidak bekerja, laparlah semua orang. Maka kedudukan sebagai produksi pokok itulah yang menjunjung derajatnja; harganya sebagai pengasih hidup kepada anggota-anggota gens itulah yang mengangkat namanya. Bukan hukum peribuan, bukan sesuatu hukum, bukan sesuatu timbangan moral, yang menjadi sebab kedudukannya penting. Sebaliknya, hukum peribuan, moral, hukum itu, adalah  a k i b a t  daripada kedudukannya yang penting itu.

Maka oleh karena itu, tak dapat matriarchat itu datang kembali, kalau kedudukan perempuan sebagai produsen masya-rakat tidak menjadi terpenting lagi seperti dulu. Mungkinkah ini? Mungkinkah zaman pertanian cara dulu balik kembali? Atau mungkinkah datang lagi satu sistim produksi masyarakat, yang kaum perempuan saja menjadi pokoknya? Pembaca boleh mengharapkan segala hal, boleh memasang cita-cita yang setinggi langit, tetapi jangan mengharapkan arah evolusi masya-rakat berbalik kembali. Pembaca boleh mengharapkan susunan masyarakat yang lebih baik, kedudukan manusia yang lebih layak, penghargaan kepada manusia satu sama lain yang lebih adil, tetapi janganlah pembaca mengharapkan jarum masyarakat diputarkan mundur. Sebab harapan yang demikian itu adalah harapan yang mustahil, harapan yang kosong. Masyarakat tak dapat diharap balik kembali kepada tingkat yang terdahulu, - tiap-tiap fase yang telah diliwati oleh perjalanan masyarakat, sudahlah termasuk ke dalam alamnya ”kemarin”. Pertanian kini bukan alam orang perempuan saja, dan fase pertanian itupun sebagai fase kemasyarakatan sudah terbenam di dalam kabutnya ”zaman dahulu”. Kini fase masyarakat adalah fase kepaberikan, fase permesinan, fase industrialisme. Tidak dapat fase industrial-isme ini lenyap lagi untuk balik kembali kepada fase pertanian, dan tidak dapat pula di dalam industrialisme ini perempuan saja yang memegang kendali produksi! Perempuan dan laki-laki, laki-laki dan perempuan, kedua-duanya menjadi produsen di dalam industrialisme itu. Maka oleh karena itu, juga di dalam masyarakat sekarang ini matriarchat tak dapat datang kembali.

Saudara barangkali bertanya, tidakkah di Minangkabau kini ada matriarchat? Pembaca, di Minangkabau sekarang sudah tidak ada lagi matriarchat, yang ada hanyalah restan-restan dari hukum peribuan saja, yang makin lama makin lapuk. Hak keturunan menurut garis peribuan masih ada di situ, perkawinan eksogam (mencari suami dimustikan dari suku lain, tidak boleh dari suku sendiri) masih diadatkan di situ,
hak harta pusaka tetap tinggal di dalam lingkungan ibu masih ditegakkan di situ, tetapi matriarchat sudah lama lenyap, sejak pemerintahan Bunda Kandung di Pagar Ruyung. Yang masih ada hanyalah runtuhan-runtuhan saja dari hukum peribuan, sebagaimana runtuhan-runtuhan ini juga terdapat pula di beberapa daerah di luar Minangkabau di daerah-daerah Lampung, daerah-daerah Bengkulu, di daerah Batanghari, di Aceh, di Mentawai, di Enggano, di Belu, di Waihala, di Sulawesi Selatan, dll, - dan di luar Indonesia pada beberapa suku Indian di Amerika Utara, di kepulauan Mariana, di beberapa bagian kepulauan Philipina, di Oceania, di beberapa daerah Neger, dll. Perhatikan pembaca, restan-restan hukum peribuan ini (kecuali di Minangkabau) hanyalah terdapat pada bangsa-bangsa yang masih sangat terbelakang saja, dan tidak pada bangsa-bangsa yang sudah cerdas dan tinggi evolusinya serta kulturnya! Maka sebenarnya hukum peribuan di Minangkabau itu adalah  r e s t a n - r e s t a n  dari Minangkabau tingkat rendah, dan bukan milik Minangkabau tingkat sekarang. Siapa mau memelihara hukum peribuan itu di Minangkabau sekarang ini, dia adalah memelihara restan-restan Minangkabau tingkat rendah, memelihara sisa-sisa bangkai periode kultur yang telah silam. Dia dapat kita bandingkan dengan orang yang menghiaskan bunga melati di sekeliling muka gadis cantik yang sudah mati: Cantik, merindukan, memilukan, menggoyangkan jiwa, tetapi - mati!

Memang tak dapat dibantah, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masa yang telah silam. Lihatlah, di dalam kitab agama bahagian yang tua-tua saja terdapat hukum peribuan itu, bukan di dalam kitab agama yang dari zaman yang kemudian: di dalam Perjanjian Lama, Genesis 2,24 ada tertulis: ”Maka oleh karena itu, orang laki-laki akan meninggalkan bapa-nya dan ibunya, dan bergantung kepada isterinya, dan mereka akan menjadi satu daging”. Benar kalimat ini terdapat juga di Perjanjian Baru (misalnya Mattheus 19,5 dan Markus 10, 7), dan diartikan sebagai kesetiaan laki-laki kepada isterinya, tetapi asal-asalnya nyatalah dari kitab Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama pula, Numeri 32,41 ada diceritakan hal yang berikut: Yair mempunyai bapa yang asalnya dari suku Yuda, tetapi ibunya Yair adalah dari suku Manasse, maka dengan nyata Yair di situ disebutkan ”ibnu Manasse”, dan mendapat warisan dari suku Manasse itu. Begitu pula di dalam Nehemia 7,63: Di sini anak-anak seorang pendeta yang beristerikan seorang perempuan dari suku Barzillai, dinamakan anak-anak Barzillai, jadi menurut nama suku ibunya. Tidakkah, sebagai di muka saya sebutkan juga, Nabi 1sa masih disebutkan Isa Ibnu Maryam?

Di dalam kitab sejarah dunia Dr. Jan Romein, jilid I, diterangkan dengan yakin, bahwa peradaban kuno di kanan kiri sungai-sungai Nil dan Tigris-Eufrata, ratusan, ribuan tahun sebelum zaman Nabi 1sa, adalah timbul dari aturan-aturan matriarchat. Semua itu membuktikan, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masyarakat kuno, timbul dari perbandingan-perbandingan  s o s i a l - e k o n o m i s  di masyarakat kuno. Ia adalah tiugkatan atas rohaniah perbandingan produksi di masyarakat kuno, yang  t i d a k  dapat diadakan lagi di suatu masyarakat sekarang, di mana perbandingan sosial ekonomis adalah lain. Dan sejarah duniapun membuktikan, bahwa hukum peribuan itu sepanjang jalannya sejarah yang ratusan, ribuan tahun itu, makin lama makin surut, makin lama makin tak laku, makin lama makin lenyap.
Di mana sekarang masih ada hukum peribuan, - di Minangkabau atau di Oceania, di beberapa daerah Neger atau di kepulauan Philipina, di Mentawai atau di Amerika Utara, - di mana sekarang masih ada hukum peribuan itu, itu tak lebih daripada sisa-sisa belaka, runtuh-runtuhan belaka daripada sebuah gedung kuno yang berabad-abad lamanya selalu diubah, dihantam, digempur oleh zaman. Maka siapa ingin menghidup-kan kembali atau memelihara hukum peribuan itu, dia adalah mau menghidupkan kembali atau memelihara sebuah bangkai. Dia adalah menuju arah yang bertentangan 180 derajat dengan arah tujuan evolusi masyarakat; dia adalah reaksioner; dia adalah sosial reaksioner.

Bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara restan-restan matriarchat lah caranya kita musti memerdekakan perempuan dari perbudakannya sekarang ini, bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara satu sistim yang basis-nya adalah di dalam fase masyarakat yang zaman duhulu. Kita musti mencari ikhtiar memerdekakan kaum perempuan itu dengan basis masyarakat sekarang, atau dengan basis masyarakat yang akan datang. Yang telah silam tak dapat timbul kembali, tetapi yang sekarang ada, itulah yang kita hadapi, dan yang akan datang, itulah yang akan kita alamkan. Nyahkanlah segala fikiran-fikiran  p r i m i t i f  yang mau kembali kepada hukum-hukum primitif itu! Sebab kalau tidak, lenyaplah nanti di dalam kalbu tuan segala harapan, segala cita-cita, segala kegembiraan.

Angan-angan tuan itu tidak akan tercapai, melainkan sebaliknya akan sia-sia sama sekali, kosong dan gugur sama-sekali.

Lagi pula: a d a k a h  hukum peribuan di Minangkabau itu mengasih kedudukan baik dan mulia kepada perempuan? Saya kira, semua orang yang telah pernah berdiam di Minangkabau, atau membaca buku-buku atau uraian-uraian tentang Minang-kabau, mengetahui, bahwa di sana perempuan belum boleh dikatakan hidup di dalam sorga. Beberapa akibat hukum peribuan di sana itu ia1ah: banjak laki-laki meninggalkan Minangkabau untuk ”mancari” ke daerah lain, banyak perceraian, perempuan susah mencari suami, sukar berkembangnya ekonomi individuil, dan lain sebagainya.

Ya, kembali lagi kepada kesalahan Bachofen tadi: hukum peribuan tidak selamanya mengasih kedudukan baik kepada perempuan! Sebaliknya, manakala ia  a d a mengasih kedudukan baik, maka hukum peribuan itu kadang-kadang dan sering sekali membawa akibat  l a k i -l a k i   menjadi   h a m b a   p e r e m p u a n ! Rudolf Eisler menerangkan bahwa di dalam hukum peribuan ini ”sering sekali laki-laki musti bekerja sebagai budak buat perempuan”. Keadaan yang semacam ini tentu bukan keadaan yang sehat. Satu sistim yang memperbudakkan perempuan tidaklah sehat, satu sistim yang memperbudakkan laki-lakipun tidaklah sehat. Yang sehat hanyalah satu sistim, di mana laki-laki d a n perempuan sama-sama merdeka, sama-sama beruntung, sama-sama bahagia. Maka oleh karena itu, cukuplah kiranya, kalau saya katakan di sini, bahwa pemecahan ”soal perempuan” itu  b u k a n l a h  harus kita cari di dalam hukum peribuan dan  b u k a n l a h  pula di dalam matriarchat, tetapi di dalam masyarakat yang lain, dengan aturan-aturan yang lain!

Di manakah di zaman dulu ada hukum peribuan? Boleh dikatakan di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malah ada suku-suku di zaman dulu itu, yang hukum peribuannya dilukiskan dengan saksama dalam catatan-catatan orang-orang yang mengembara. Misalnya Bachofen dapat mengetahui dengan saksama semua seluk-beluk hukum peribuan suku Nair di India beberapa abad yang lalu, karena ia mempelajari catatan-catatan pengembara bangsa Arab, Partugis, Belanda, Italia, Perancis, Inggeris dan Jerman, yang mengunjungi daerah Nair itu beberapa abad yang lalu. Boleh dikatakan, di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malahan Bachofen mengatakan, bahwa semua bangsa-bangsa yang primitif adalah berhukum peribuan. Friederich Engels pun berkata, bahwa hukum peribuan itu satu fase masyarakat yang umum. Pada bangsa Israil, pada bangsa Mesir, pada bangsa Phunicia, bangsa Etruska, bangsa Lykia, di semenanjung Iberia, bangsa Inggeris, bangsa Germania tua, bangsa Indian di Amerika, dan pada semua bangsa-bangsa di benua Asia serta kepulauan Asia dan Oceania, - di semua tempat itu di zaman purbakala berlaku hukum peribuan itu. Memang, kalau difikirkan dengan sebentar saja, maka tiap-tiap orang mengerti apa sebabnya hukum peribuanlah yang menjadi hukumnya orang di zaman itu, tidak ada hukum lain yang begitu mudah menetapkan dengan pasti keturunan seseorang manusia, melainkan hukum peribuan ini. ” I b u n y a  s i  a n u  i a l a h  s i  a n u ”.
Sebab, pada waktu itu keluarga belum bersifat somah seperti sekarang, pada waktu itu satu  g e l o m b o l a n  laki-laki kawin dengan satu  
g e r o m b o l a n  perempuan: inilah yang dinamakan ”kawin gerombolan”. ”Siapa bapa” di situ tidak terang. Karena itu hukum peribuan menjadi hukumnya orang di waktu itu.

Kemudian daripada kawin gerombolan ini, datanglah kawin pasangan, di mana perempuan menjadi isterinya  s a t u  orang laki-laki saja.
Di dalam fase kawin pasangan inilah (di dalam waktu timbulnya faham milik perseorangan), di dalam kawin pasangan inilah diadakan hukum perbapaan. Sebagai satu ”perpindahan” antara kawin gerombolan ke kawin pasangan itu, adalah satu zaman yang membolehkan atau mengharuskan seseorang perempuan sebelum ia mempunyai suami satu, bergaul merdeka dengan laki-laki mana saja. Inilah yang oleh setengah ahli di dalam hal ini dinamakan ”heaerisme”, ”persundalan”, yang sebenarnya berlainan sekali dengan persundalan yang biasa. Di dalam matriarchat itu perempuan dianggap sebagai ”ibu sekalian manusia”, yang mengasih hidup kepada semua orang. Tetapi kini ia akan memelihara satu orang laki-laki saja! Ia musti ”dapat kerugian”
lebih dulu, atau ”bayar kerugian” lebih dulu! Ia lantas dibolehkan menjalankan ”persundalan” pada waktu gadis, atau ia musti mengorbankan kegadisannya kepada umum sebelum ia kawin resmi kepada satu orang laki-laki saja.

Menurut agama di Babylon, dulu seorang anak dara kalau ia hendak menikah, diwajibkan lebih dulu pergi ke kuil Mylitta, dan di situ ia musti mengorbankan kegadisannya kepada banjak laki-laki.
Begitu pula keadaan di Memphis, di Cyprus, di Tyrus, di Sydonia, di dalam perayaan-perayaan Dewi Isis di Mesir, di  Asia Depan di dalam kuil Anaitis. Engels berkata: ”Adat kebiasaan yang semacam itu dikerjakan oleh hampir semua bangsa Asia di antara Laut Tengah dan sungai Gangga”.

Perempuan ibu umum! Sebelum ia bersuami satu orang saja, ia musti memuaskan semua orang lebih dahulu!

Sebelum ia memuaskan satu orang saja, ia musti bayar dulu upeti kepada dewa-dewa. ”Sebab bukan supaya menjadi layu di dalam tangannya satu orang laki saja, maka perempuan itu dikaruniai keelokan dan kecantikan oleh alam. Hukum jasmani menolak semua pembatasan, benci kepada semua perikatan, dan memandang tiap-tiap perkhususan sebagai satu dosa kepada sifat kedewaan perempuan itu”, begitulah Bachofen menulis di dalam kitabnya ”Mutterrecht”. Sampai zaman sekarangpun, misalnya di Flores, di mana saya berdiam hampir lima tahun, ada satu daerah (Keo), di mana gadis-gadis boleh bergaul dengan laki-laki mana saja yang mereka sukai, dan yang paling ”jempol” di antara ”gadis-gadis” itu, - jempol memuaskan laki-laki -, itulah yang nanti paling lekas laku mendapat suami. Di kepulauan Mariana, di ulu-uluan Philipina, di kepulauan Polynesia, di beberapa suku di Afrika, sampai sekarang masih berlaku pula adat ini.

Di kepulauan Baleara, maka belum selang berapa lamanya masih ada adat, yang pada ”malam pernikahan”, semua keluarga laki-laki dari pengantin lelaki meniduri pengantin perempuan itu berganti-ganti.
Di Malabar, di uluan India Belakang, di beberapa pulau lautan Teduh, kepala-kepala agamalah yang menyelesai-kan pekerjaan ini.
Dan mungkin juga hak ”malam. pertama” yang dulu diberikan kepada raja-raja di Indonesia dan di Eropa, - di beberapa negeri Eropa sampai silamnya zaman pertengahan masih ada hak ”jus primae noctis” itu -, pada asalnya haruslah dianggap sebagai ”belian” kepada dewa-dewa. (kalau-kalau dewa-dewa ini marah karena perempuan menjadi isteri  
s a t u orang laki-laki saja!) Dan tahukah tuan, bahwa sampai di dalam abad ke-15 di Nederland pun menurut keterangan Murner, tamu-tamu di ”suguh” nyonya rumah atau puteri rumah pada malam hari?

Ya, perempuan ibu umum! Tidakkah pada hakekatnya ini suatu anggapan tinggi kepada perempuan itu? Tetapi tidakkah pula terang kepada kita, bahwa aturan yang demikian ini tidak baik kita pakai? Maka oleh karena itu, meskipun ada kalanya hukum peribuan itu di dalam bentuk matriarchatnya mengasih kedudukan yang mulia kepada perempuan, meskipun di bebe-rapa tempat di dunia sampai sekarang masih ada restan-restan matriarchat itu di mana perempuan seperti berkedudukan mulia, maka janganlah matriarchat itu menjadi cita-cita kita dan pedoman kita. Kalau hukum peribuan itu sampai sekarang belum lenyap sama sekali, itu belumlah menjadi satu bukti, bahwa dus hukum peribuan itu dapat tegak terus di masyarakat sekarang, dan d u s boleh dipakai sebagai cita-cita dan pedoman di masyarakat sekarang. Tidak! Kalau sekarang masih ada hukum-peribuan, maka buat sekian kalinya saya katakan: itu hanyalah sisa-sisa dan runtuhan-runtuhan belaka dari satu gedung adat yang telah gugur. Itu hanyalah satu ”kematian yang terlambat”.

Hukum peribuan p a s t i mati, p a s t i gugur, p a s t i lenyap dari masyarakat industrialisme dan masyarakat hak milik pribadi sebagai yang sekarang ini, w a l a u p u n ia ulet nyawa. (Misalnya sampai di zamannya August Bebel (permulaan abad ini) masih ada hukum peribuan itu di negeri modern, seperti Jermania (di propinsi Westfalen) di mana si anak mewaris dari ibu, dan tidak dari bapa).

Pembaca barangkali ada yang ingin tahu, apakah adat satu orang perempuan bersuami banyak (poliandri) juga disebabkan oleh hukum peribuan? Susah menjawab pertanyaan ini! Mungkin disebabkan oleh hukum peribuan, mungkin tidak disebabkan oleh hukum peribuan.
Eisler mengatakan, bahwa poliandri itu ”bukan satu perkembangan yang umum” (bukan satu tingkat perubahan yang umum). Engels menamakan dia ”perkecualian”, serta, ”hasil-hasil yang mewah daripada sejarah”. Dan Bebel berkata, bahwa ”belum diketahui orang benar-benar, perbandingan-perbandingan apakah yang menjadi sebab-sebabnya poliandri itu”. Tetapi ada hal-hal yang dapat dipakai buat penunjuk jalan di dalam hal mencari sebab-sebabnya poliandri itu; poliandri didapatkan terutama sekali hanya di negeri-negeri  p e g u n u n g a n  y a n g 
t i n g g i  saja; seperti di Tibet. Di negeri-negeri pegunungan yang tinggi-tinggi ini, di mana hampir tiada tumbuh-tumbuhan samasekali, sudah barang tentu sangat berat struggle for life. Maka poliandri atau persuamian banyak itu, menjadi satu jalan buat mencegah    
t e r l a l u  b e r t a m b a h n y a  j u m l a h  k e t u r u n a n ,  dengan tidak merugikan dan menghalangi kepada syahwat laki-laki. Benarkah keterangan ini? Entah. Ada lain keterangan lagi, yakni yang berikut: menurut seorang penjelidik yang bernama Tarnowsky, maka udara yang terlalu dingin berakibat melemah-kan kepada syahwat. (Dikatakan: orang-orang yang naik ke puncak-puncak gunung yang terlalu tinggi, menjadi lemah syahwatnya, dan syahwatnya ini sekonyong-konyong menjadi keras kembali manakala mereka turun ke tempat-tempat yang lebih rendah. Orang-orang di kutub Utara tidak begitu keras syahwatnya seperti orang-orang di negeri-negeri kanan-kiri khatulistiwa. Orang-orang perempuan di negeri-negeri dingin kadang-kadang baru pada umur 18 atau 19 tahun mendapat haid, tapi gadis-gadis di negeri Arabia kadang-kadang pada umur sepuluh atau sebelas tahun sudah mendapat haid). Maka oleh karena syahwat, terutama sekali syahwat laki-laki, di negeri-negeri dingin ada kurang, maka tidak merusak kesehatan perempuan manakala di negeri seperti Tibet itu satu perempuan bersuamikan dua, tiga, empat, lima orang laki-laki. Jadi di negeri yang sangat dingin tidak heran kita melihat poliandri, dan di negeri-negeri panas tak heran kita melihat poligami. Lagi pula, bukan barang yang tidak diketahui umum, bahwa perempuan yang banjak laki-lakinya itu kurang menjadi hamil daripada perempuan yang bersuami hanya seorang saja. Lihatlah misalnya kepada sundal. Sundal yang saban hari menerima syahwat laki-laki sampai lima, enam, se-puluh kali, jarang menjadi hamil, meski ia tidak minum obat-obatan pencegah hamil atau tidak mengambil ikhtiar satu juapun untuk mencegah bertumbuhnya benih. Dengan sebab-sebab yang demikian itu, maka poliandri di negeri-negeri pegunungan tinggi itu bukan saja tidak merusak-kan kesehatan perempuan, tetapi ada juga berakibat mengurangi jumlah turunan, yang sangat susah memeliharanya di negeri yang kurang rezeki itu. Bersangkutan atau tidak bersangkutan poliandri itu dengan hukum peribuan belum terang kepada kita. Tetapi ternyatalah di sini sekali lagi kebenaran teori, bahwa moral, anggapan-anggapan tentang sopan dan tidak sopan, adat lembaga, etik, recht, dan lain-lain sebagainya itu, bukanlah hasil pekerjaan budi pekerti manusia, tetapi adalah tergantung dan ditetapkan oleh perbandingan-perbandingan sosial dan materiil.

Di manakah di negeri tumpah darah kita ini, kecuali Minangkabau, masih ada sisa-sisa hukum peribuan? Pertama, boleh dikatakan semua daerah-daerah yang berdekatan dengan Minangkabau itu masih memakai hukum peribuan bagian-bagian dari keresidenan Bengkulu, bagian-bagian dari Jambi, bagian-bagian dari Palembang. Sudah barang tentu semuanya itu tidak murni lagi, tidak asli hukum peribuan lagi, melainkan sudah tercampur bawur dengan hukum-hukum lain, terutama sekali tercampur dengan syariat Islam. Sebagaimana di Minangkabau hukum peribuan bukan asli hukum peribuan lagi, maka begitu juga di daerah-daerah ini hukum peribuan bukan asli hukum-peribuan lagi. Hanya kadang-kadang saya heran melihat ”uletnya” hukum peribuan itu, seakan-akan syariat Islam tak mudah melenyapkannya. Di negeri Aceh, misalnya, yang penduduknya begitu teguhnya memeluk agama Islam, masih ada sisa-sisa hukum peribuan yang belum lenyap! Di situ masih ada daerah-daerah yang perempuan, sesudah nikah, masih tetap saja menjadi ”haknya” rumah orang tuanya, sedang suaminya, kalau ia tidak ikut diam di rumah isterinya itu, datang kepadanya hanya kalau ada keperluan saja. Anak-anak dari perkawinannya itu tetap di rumah ibunya, ”gampung” anak-anak itu adalah -”gampung” ibunya! Adat hukum peribuan inilah yang di daerah Semendo dan lain-lain daerah di Sumatera Selatan menjadi dasar perka-winan ”ambil anak” atau ”cambur sumbai” di tanah Lampung. Di situ si suami memutuskan pertaliannya dengan bapa ibu sendiri, dan menjadi ”anaknya” mertuanya, berdiam di rumah mertuanya, bekerja pada pekerjaan mertuanya. Ia ”ikut” kepada isterinya, ia menyerahkan anak-anaknya kepada isteri-nya, ia hanyalah bertindak sebagai ”jantan” bagi isterinya, anak-anaknya menjadi ahli waris isterinya. Terutama sekali kalau orang hanya mempunyai anak-anak perempuan saja, (jadi tiada anak laki-laki), maka selalu perkawinan ”cambur-sumbai” ini yang dipilih. Dengan begitu si anak perempuan itu meneruskan keturunan dan harta miliknya famili, atau dengan perkataan adat; buat ”tunggu jurai”, buat “menegakkan jurai”. Malahan di daerah Semendo anak perempuan yang tertua  t e t a p  menjadi penunggu dan penegak jurai itu, meski ia mempunyai saudara laki-laki atau tidak mempunyai saudara laki-laki. Suaminya wajib ikut kepadanya. Anak-anaknyalah yang meneruskan jurai, dan bukan anak saudaranya yang laki-laki. Pendek kata, di daerah-daerah Sumatera Tengah dan sebagian dari Sumatera Selatan, masih nyata ada sisa-sisa hukum peribuan, begitu pula di Batanghari atas, di Kerinci, dan tempat-lain-lain.

Di pulau Mentawai masih ada sisa adat hukum peribuan yang berupa ”hetaerisme” (lihat di muka) antara ”gadis-gadis” dengan pemuda-pemuda laki-laki, sebelum perkawinan. Di pulau Mentawai itu sama sekali bukan satu kedurhakaan, kalau seorang ”gadis” sebelum ia mempunyai suami sudah mempunyai anak, dan pemuda Mentawai tidak pula kecewa hatinya kalau perempuan yang ia kawin itu sudah mempunyai anak! Begitu pula keadaan di pulau Enggano. Anak-anak di luar atau di dalam perkawinan, tetap menjadi hak ibunya. Di Borneo Barat, di Sintang, di pulau Timur (Belu, Waihala) masih ada adat, yang seorang suami  d i w a j i b k a n  berdiam di rumah isterinya, dan di Sulawesi Selatan ada adat ”mapuwoawo” yang menentukan, bahwa anak yang tertua dan yang ketiga ditentukan menjadi hak ibunya, sedang bapa hanya mendapat hak atas anak yang kedua atau keempat saya. Malah bukan saja hukum peribuan ada sisa-sisanya di situ, tetapi juga ada matriarchat: dulu sering-sering di Sulawesi Selatan orang perempuan dijadikan raja. Di Keo, yaitu di satu daerah Flores,
”gadis-gadis” selalu bergaul bebas dengan laki-laki, dan ”gadis-gadis” yang paling ”jempol” memuaskan hati laki-laki, merekalah yang nanti paling besar harapan buat lekas mendapat suami.

Maka nyatalah dengan bukti-bukti dari daerah-daerah primitif dari negeri sendiri itu, bahwa hukum peribuan adalah hukum primitif,
hukum sesuatu rakyat yang  b e 1 u m  t i n g g i  t i n g k a t 
k e m a j u a n n y a .  Hukum yang masih primitif itu tak mungkin baik buat masyarakat modern, dan pantas diganti dengan hukum yang lebih sesuai dengan masyarakat modern!

Bagaimanakah hukum perbapaan? Sebagaimana saya sudah uraikan di muka, maka dibanding dengan hukum peribuan, adalah hukum perbapaan itu satu  k e m a j u a n : dengan hukum perbapaan dapatlah berkembang s o m a h,  dengan hukum perbapaan dapatlah berkembang indivualisme yang perlu buat berkembangnya masyarakat.
Marx menamakan perpindahan dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu satu ”perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam”, dan Engels menamakan dia satu “kemajuan dalam sejarah yang besar”. Hanya sayang sekali, bahwa kemajuan ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan satu fihak guna menegakkan pertuanannya fihak yang lain!

Pokok hukum perbapaan itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang amat jitu: ”Ia berazaskan pertuanan orang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapanya; dan perbapaan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nanti harus mewarisi harta milik si bapa itu”. Saya kira, tidak ada seorangpun, meskipun ia seorang perempuan, yang akan membantah bahwa  p a d a  a z a s n y a  hukum perbapaan itu lebih baik bagi masyarakat daripada hukum peribuan. Ah ya, ada perempuan yang mengatakan hukum perbapaan itu masih ”berat sebelah”, dan lantas bercita-cita satu hukum yang di tengah-tengah hukum perbapaan dan hukum peribuan, ada pula yang bercita-cita campuran hukum peribuan dan hukum perbapaan itu, - tetapi baiklah direnungkan dengan tenang dan dalam: hukum perbapaan  b u k a n  satu hal  a d i l  atau  t i d a k  a d i l, hukum perbapaan adalah satu hukum yang p e r l u buat evolusi masyarakat. Yang tidak adil bukan hukum perbapaan itu, melainkan  e k s e s - e k s e s  hukum perbapaan itu, ”keliwat-batasan-keliwatbatasan” hukum perbapaan itu. Ekses-ekses hukum perbapaan inilah nanti akan saya bicarakan di dalam bab ini juga. Tetapi marilah saya sekarang membicarakan lain-lain hal dari hukum perbapaan itu lebih dulu.

Sebagai telah saya terangkan, maka hukum perbapaan ini timbul, sesudah masyarakat mengenal ”milik”, yakni mengenal  ” m i l i k 
p e r s e o r a n g a n ”. Laki-laki yang meninggalkan perburuan, menyusun ”milik” itu dengan keringat sendiri-sen-diri: Peternakan mengasih kekayaan yang berupa hewan, orang-orang tawanan tidak dibunuh lagi tetapi dijadikan kekayaan yang berupa budak belian, hasil pertanianpun membesar-besarkan harta pusaka. Untuk menetapkan milik ini di dalam tangan  a n a k - a n a k n y a  s e n d i r i ,  menjaga jangan sampai ia jatuh di tangan anak-anaknya orang lain, maka diadakanlah hukum perbapaan itu.

Tetapi jangan pembaca kira, bahwa ia diadakan dengan sekonyong-konyong, dengan sekaligus. Ia adalah akibat dari satu p r o s e s,  sebagaimana tiap-tiap revolusi masyarakat adalah akibat dari satu
p r o s e s.  Ia bukan hasil pemutaran otak seorang-orang ”di suatu malam yang ia tak dapat tidur”, sebagai-mana juga tiada revolusi masyarakat hasil pemutaran otak ”di suatu malam yang ia tak dapat tidur”. Ia menurut keterangan Engels (berlawanan dengan Bachofen), sama sekali bukan satu revolusi yang membuat banyak ribut-ribut, melainkan hanyalah satu perubahan yang berangsur-angsur tenang. ”Ini”, begitulah ia berkata, ”ini sama sekali tidak begitu sukar, sebagai yang kita kirakan di zaman sekarang. Sebab revolusi ini, - salah satu revolusi yang terbesar, yang pernah dialamkan oleh manusia -, tak harus mengenai seseorang anggota gens yang masih hidup. Semua keluarga gens itu hidup tetap secara yang sudah-sudah. Hanyalah cukup mengambil satu keputusan, bahwa  d i k e m u d i a n  h a r i turunan anggauta laki-laki dari gens tinggal di dalam gens itu, tetapi turunan anggota perempuan keluar dari gens sendiri dan pindah ke gens bapanya. Dengan keputusan .ini, maka sudah gugurlah aturan keturunan menurut garis ibu serta hukum waris dari ibu, dan sudah ditegakkan aturan keturunan menurut garis bapa serta hukum waris dari bapa ... Betapa mudahnya revolusi ini, itu kita dapat lihat pada beberapa suku-suku Indian, di mana perubahan itu belum selang berapa lama telah terjadi, atau sedang pula terjadi, buat sebagian karena bertambahnya kekayaan ... dan buat sebagian lagi karena pengaruh zaman baru serta pengaruh pendeta-pendeta Nasrani”. Begitulah pendapat Engels. Bachofen lebih percaja kepada perubahan yang mendatangkan banyak peperangan. Mungkin kebenaran adalah ditengah-tengah: ada yang tenang, ada yang dengan peperangan. Saya sudah tuliskan di muka, bahwa ada pula daerah-daerah yang perempuan-perempuannya tidak mau tunduk begitu saja kepada aturan baru ini, dan ini lah asal-asalnya cerita-cerita atau dongeng-dongeng A m a z o n e atau Wanita Nusa Tembini. Kalau kita sekarang datang di negeri kanan-kirinya gunung Kaukasus, kita akan melihat, bahwa masih amat hidup di ingatan rakyat di situ dongengnya  R a j a P u t e r i  T a m a r a, yang sebagai harimau betina telah memerangi dan menaklukkan banyak raja-raja laki-laki. Raja Puteri Tamara sampai kini malahan masih diagungkan oleh rakyat-rakyat Kaukasia. Kecan-tikannya, kebijaksanaannya, kegagahberani-annya, kesaktiannya sampai kini masih dituliskan di atas pedang-pedang, di piala-piala, di alat-alat musik, dengan kata-kata, syair-syair serta pujian-pujian yang berapi-api. Satu nyanyian Kaukasia berbunyi:

”Tamara memakai tudung perang, dan telinganya dihiasi dengan anting-anting yang panjang. Matanya seperti zamrud, giginya seperti mutiara, lehernya seperti yaspis. Ia memakai baju perisai, menaiki kuda yang berwarna abu. Di bawah baju perisai itu, ia memakai baju kain atlas”.

Batu kuburan Tamara dikatakan bertulis: ”Aku Raja Puteri Tamara. Aku mengisi negeri-negeri dan laut-laut dengan namaku. Aku menyuruh ikan-ikan berpindah dari Laut Hitam ke Laut Kaspia. Kudaku telah masuk kota Ispahan, dan pedang telah kutanamkan di alun-alun Meidan di kota Istambul. Sesudah aku berbuat ini semua, aku pindah ke akhirat dengan membawa kain sembilan depa.”

Tamara telah menaklukkan semua musuhnya. Hanya Laut Kaspia sajalah yang belum mau tunduk. ”Apakah yang Tamara, Raja Puteri dari semua raja-raja, dapat perbuat akan daku?”, begitulah Laut Kaspia menanya.

”Kekuasaan Tamara memang besar, tetapi lebih besar ialah ombakku dan gelombangku”.

Raja Puteri Tamara mendengar perkataan ini, dan dengan pelahan ia menghadapkan mukanya kepada penantang itu. Di antara dua alisnya yang panjang itu, mengerutlah kulit mukanya. Dengan segera, menyeranglah prajurit-prajuritnya kepada Laut yang memberontak itu, dan pantai-pantai Laut Kaspia memekik-mekik karena sakit. Ombak-ombak Laut itu diserang dengan minyak tanah, dan api menyala-nyala menjilat ke langit. Lama sekali Laut Kaspia berguling-guling di dalam nyalanya api, dan memekik memohon ampun. la sanggup menyerahkan semua kekayaannya dan sanggup takluk semata-mata. Akhirnya diberilah ampunan itu oleh Sang Raja Puteri kepadanya.”

Demikianlah Raja Puteri Tamara. Fanina H.Halle menunjukkan kepada kita, bahwa di dalam dongeng ini diceritakan satu amazone motif yang tulen: perang melawan laut. Sebab, simbul apakah laut itu? Laut adalah simbulnya laki-laki! Bumi, tanah, adalah simbul perempuan, tetapi laut adalah simbul laki-laki. Sebagaimana juga kita bangsa Indonesia menganggap bumi itu sebagai simbul perempuan: simbul Ibu, simbul Ibu Pratiwi, maka bagi orang Kaukasia bumi adalah juga simbul perempuan. Tetapi manakala kita menganggap langit sebagai simbul laki-laki, manakala kita berkata: ”Bapa Angkasa, Ibu Pratiwi”, maka bangsa Kaukasia dan juga bangsa Yunani, menganggap  l a u t  sebagai simbul laki-laki. Bukankah tanah tidak dapat subur kalau tidak menerima kesuburannya itu dari airnya laut? Maka dongeng perjuangan Tamara yang Maha cantik itu, dapat pula dianggap sebagai gambar perjuangan antara azas peribuan dan azas perbapaan, antara hukum peribuan dan hukum perbapaan, antara matriarchat dan patriarchat.

Tamara hanyalah satu contoh saja. Negeri lain-lain mempunyai ”Tamara” yang lain-lain pula. Tetapi ada satu hal yang sangat menarik perhatian kita dengan Tamara Kaukasia itu: Tamara Kaukasia sebenarnya adalah satu figur yang bukan sama sekali ”dangeng”!
Ia adalah satu figur yang juga oleh  t a r i c h diakui adanya. Ia satu figur historis. la menjadi Raja Puteri di Kaukasia di antara tahun 1185 dan tahun 1214, - jadi belum sampai 800 tahun di belakang kita. Apakah artinya ini? Ini berarti bahwa, kalau benar perjuangan Tamara itu satu perjuangan matriarchat melawan patriarchat, maka perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu tidak terjadi sama-sama waktu di seluruh dunia, tidak serempak, melainkan berbeda-beda waktu. Ada negeri yang sudah ribuan tahun menegakkan hukum perbapaan, ada negeri (sebagai Kaukasia) yang baru ratusan tahun saja memakai hukum ini, dan ada pula negeri yang sampai zaman sekarang belum meninggalkan hukum peribuan sama sekali. Engels dan Bachofen memang juga mengatakan begitu! Dan bukan saja tidak serempak, - caranya-pun menurut Bebel berbeda-beda; masing-masing menurut keadaannya sendiri-sendiri.

Ambillah misalnya daerah-daerah di lingkungan negeri kita sendiri. Tidakkah nyata berbeda-beda sifat restan-restan hukum peribuan di daerah-daerah itu, berbeda-beda pula caranya hukum peribuan itu menggulung tikarnya, mengasih lapangan kepada hukum perbapaan Islam? Ya, negeri kita memang salah satu negeri di mana perjuangan antara hukum peribuan dan hukum perbapaan itu belum juga selasai. Sampai sekarang. Di beberapa daerah negeri kita itu masih dapat melihat berjalannya ”revolusi-masyarakat” yang maha hebat ini.
Tetapi janganlah pembaca mengira, bahwa di negeri lain di zaman dulu perjuangan ini selamanya berjalan begitu tenang sebagai misalnya perjuangan antara ”kaum-adat” dan ”kaum agama” di Minangkabau sekarang. Kesopanan modern berpengaruh besar atas sifat perjuangan di Minangkabau sekarang ini. Kesopanan modern itu ”menghaluskan”, ”menyopankan” sifat perjuangan itu, sedang dulu di zaman tua, keadaan-keadaan adalah lain, dan manusia-manusiapun adalah lain. Orang zaman sekarang adalah orang ”beradab”, orang ”sopan”, - tetapi dulu? Dulu segala hal lebih ”mentah”, lebih ”hantam-kromo”. Dulu orang merantai dengan rantai besi, memukul dengan kentes galih asam, menyembelih dengan golok terang-terangan. Karena itu maka perjuangan antara matriarchat dan patriarchat di zaman dulu itu mungkin tidak begitu tenang sebagai di Minangkabau sekarang ini.

Ya, dulu orang lebih ”mentah”. Patriarchat pun lebih ”mentah”. Sudah saya katakan, bahwa nafsu kepada  m i l i k, nafsu kepada milik perseorangan motornya patriarchat ini, dan bahwa perempuanpun dijadikan milik, dijadikan milik perseorangan. Sarinah berpindah sifat, dan sifat memilik menjadi sifat dimilik, dari subyek menjadi obyek.
Ia tadinya cakrawarti, kini ia menjadi benda. Benda, yang dimiliki, yang harus disimpan, harus disembunyikan, tak boleh dilihat orang lain, apalagi disentuh orang lain. Perempuan yang suka disentuh orang lain, disembelih kontan-kontanan.

Edward Carpenter berkata: ” N a f s u  k e p a d a  m i l i k  itu membuat laki-laki menutup dan  m e m p e r b u d a k k a n  p e r e m p u a n 
y a n g  i a  c i n t a i  i t u.” .

Ya, - ”milik”! Karena itupun, tidak  , kalau ”milik” itu (dulu lebih ”mentah-mentahan” daripada sekarang) bukan saja disimpan dan disembunyikan, tetapi juga d i t a m b a h, sebagaimana orang  
m e n a m b a h  juga barang milik yang biasa: di mana-mana patriarchat datang, di situ datanglah pula poligami, atau lebih benar: poligine,                      p o l y g i n i e, yakni peristerian yang banyak-banyak. Makin banyak perempuan, makin baik; sebab makin bertambah banyaknya ”milik” itu, berarti bertambahnya kesejahteraan dan kemuliaan, bertambahnya tenaga bekerja dan kekuasaan, bertambahnya rezeki dan kemegahan. Manakala laki-laki hanya mempunyai isteri seorang saja, maka isteri satu ini tidak menjadi halangan buat mengambil ”selir” berapa banyaknyapun juga. Menurut keterangan Injil, maka Koning Salomo (Sulaiman) mempunyai 700 isteri dan 300  o r a n g  s e l i r !  Demikianlah memang; adatnya patriarchat di zaman dulu! Perhatikanlah lagi beberapa contoh yang berikut ini: Di dalam kitab Perjanjian Lama, Genesis, fatsal 16, ayat 1 dan 2, diceriterakan bahwa Nabi Ibrahim disuruh oleh Sarah buat ”mengambil” budaknya yang bernama Hajar; juga di dalam Genesis, fasal 30, ayat 1 dan berikutnya, diceritakan bahwa Yakub disuruh oleh Rachel buat  ”mengambil” budaknya yang bernama Bilha, dan disuruh pula oleh Lea (saudara Rachel) buat ”mengambil” budaknya yang bernama Zilpa.

Dan ada lagi satu hal yang boleh kita ambil dari cerita Yakub. Menurut Injil, maka isteri-isteri Yakub yang bernama Rachel dan Lea itu, adalah  d u a  s a u d a r a.  Mereka kedua-duanya adalah anak Laban. Entah, mereka dua-duanya menjadi isteri satu orang! Inipun oleh patriarchat dianggap sopan, tidak melanggar kesusilaan.

Dan masih ada lagi satu hal penting dalam ceritera Yakub.
Menurut Injil, Yakub mendapat Rachel dan Lea itu dengan jalan
m e m b e l i n y a  dari bapanya: baik Rachel maupun Lea ia beli dengan menjual tenaganya, kepada Laban, masing-masing tujuh tahun lamanya. Maka kita di sini menginjak satu sifat penting dari patriarchat pula: p e r e m p u a n  m i l i k  y a n g  h a r u s  d i b e l i. Inilah yang di dalam salah satu bab di muka sudah pula saya terangkan: kawin beli, perkawinan dengan jalan membeli, perkawinan dengan menganggap perempuan itu sebagai satu  b e n d a  p e r d a g a n g a n. Orang Yunani di zaman dulu menyebutkan wanita-wanitanya ”alphesiboiai”, yang artinya: menghasilkan sapi, berharga sapi, boleh ditukarkan dengan sapi! Ya, perempuan satu benda perdagangan, yang, kalau sudah dibayar harganya, dapat diperlakukan semau-maunya, oleh yang membelinya itu. Ia boleh dipandang sebagai benda perhiasan rumah, boleh disimpan dan disembunyikan rapat-rapat, boleh disuruh bekerja mati-matian seperti budak-belian, boleh dijual lagi, boleh dibunuh, boleh diwariskan kepada ahli-waris bersama benda yang lain-lain. Ia boleh dihidupi atau tidak dihidupi, boleh dimanusiakan atau tidak. dimanusiakan. Di zaman Rumawi dahulu, menurut keterangan Engels adalah satu kebiasaan, bahwa perempuan itu, beserta semua famili, sebelum suaminja mati, sudah ditentukan dengan testamen kepada siapakah ia nanti akan diwariskan kalau suaminya mati. Ya, ia memang benda belaka, milik ia punja suami! Kalau ia dibunuh oleh suaminya itu, maka  i t u p u n      
h a k  suaminya. (Engels). Sampai di abad kelimabelas di Jerman dan di negeri Belanda menurut keterangan Murner perempuan masih ”disuguhkan” kepada tetamu, sebagai orang menyuguh-kan sepotong kuih. ”Het is in Nederland het gebruik, wanneer de man een gast heeft, dat hij hem zijn vrouw op goed geloof toevertrouwt”. Atau mungkinkah ini sisa ”ibu umum” daripada hukum peribuan?

Dan kalau laki-laki tidak mempunyai cukup syarat untuk membeli perempuan itu? Tidak cukup harta benda, atau tidak mau membeli dengan tenaga buruh seperti Yakub kepada Laban? Sudah saya terangkan di muka: zaman dulu zaman ”mentah-mentahan”. Kalau tidak dapat  d i b e l i  perempuan itu, maka tiada keberatan moral sama sekali, jika perempuan itu dicuri, dirampok mentah-mentahan.
K a w i n  r a m p a s ,  itulah menurut keterangan saya di muka tadi juga salah satu sifat patriarchat liar. Kita semua sudah pernah membaca cerita ”Perampokan perawan Saba”, dan kita malah sering sekali melihat cerita wayang di mana perempuan dicuri dan dibawa lari. Di dalam Perjanjian Lama, bagian Boek der Richteren, 21, diceritakan, bahwa kaum Buntamin mencuri anak-anak gadis Silo.

”Kawin beli” dan ”kawin rampas”, s a m p a i  s e k a r a n g kita masih mengalaminya dan mengerjakannya, meskipun dengan jalan yang lebih ”sopan”. Sampai di zaman sekarang masih ada adat ”marlojong” di tanah Batak. Dan di Chili Selatan tiap-tiap pengantin perempuan ”harus dirampas lebih dulu” oleh suaminya, dengan persetujuan orang tua atau tidak dengan persetujuan orang tua. Tapi justru perkawinan yang demikian itu yang dianggap syah. Dan apakah asalnya uang ”antaran”, uang belis”, uang ”sasrahan” atau barang ”sasrahan” yang di kalangan bangsa Eropa dan di kalangan bangsa kita sampai sekarang masih saja orang bayarkan kepada pengantin perempuan atau bakal mertua, - lain daripada  u a n g  p e m b e l i  perempuan di zamannya patriarchat liar itu?

Di kalangan Eropa, terutama sekali di lapisan-lapisan yang atas, orang tidak segan-segan memperhubungkan perkawinan dengan perhitungan untung atau rugi. Di kalangan bangsa kitapun, terutama sekali di ”tanah seberang”, nyata perempuan masih dianggap barang dagangan. Di Flores masih kuat sekali adat pembayaran ”uang belis” sampai ratusan rupiah; di Bengkulu, di Kroe, di Lampung, di lain-lain negeripun ”uang antaran” kadang-kadang sampai ribuan rupiah! Sudah saya terangkan, bahwa inilah menjadi sebab begitu banyak ”gadis tua” yang sampai tinggi umur belum mempunjai suami: orang lelaki ter-halang kepada perkawinan, oleh karena uang  p e m b e l i a n n y a  begitu mahal! Dan bukan saja kawin beli dengan kontan kita kenal, kita di Indonesiapun mengenal kawin beli dengan kredit, (boleh dicicil) dan kita kenal juga kawin beli yang dibelinya dengan menjual tenaga buruh. Inilah yang oleh ahli etnologi dan sosiologi dinamakan  k a w i n  j a s a,  dan inilah yang kita jumpai pula di beberapa bagian di negeri kita, antara lain di negeri Batak.

Dan kawin rampas? Lihatlah adat kebiasaan bangsa Eropa, mengadakan ”perjalanan perkawinan” sesudah nikah! Pada asal-nya adat kebiasaan yang romantis ini tidak lain daripada adat kebiasaan  m e n c u r i (melarikan) perempuan itu dari kekuasaan orang tua. Dulu di zaman purbakala waktu segala hal masih ”mentah”, orang tentu saja melawan atau menyerang kepada pencuri itu dengan senjata, mengejar dia dengan tombak dan panah, melempari dia dengan batu atau pentung. Kini orang sudah ”sopan”; kini orang melempari pengantin yang mau berangkat untuk perjalanan perkawinan itu dengan ... beras!

Di kalangan bangsa kita masih banyak juga daerah-daerah yang perempuan itu dicuri lebih dulu, misalnya saja di negeri Tapanuli, yang di situ masih ada adat ”marlojong” atau ”dilojongkon” (dilarikan) atau adat ”tangko babiat” (seperti macan). Di daerah Pasemah adat inipun masih ada. Menurut keterangan Eisler, maka pencurian perempuan inilah yang menjadi asalnya adat ”pembalasan darah” di zaman dulu, yakni asalnya adat b e l a  p a t i, a m b i l  n y a w a  b a l a s  n y a w a, yang lazim terdapat di semua bangsa-bangsa di seluruh muka bumi.

Tahukah tuan asalnya adat ”tukar cincin” pada bangsa Eropa? Adat ini adalah berasal dari adat merampas perempuan: si perempuan diikat, dirantai oleh fihak yang merampas. Lambat laun ”rantai” ini menjadi lebih sopan. Di kota Roma adat ini sudah menyopan sedikit; sebagai tanda menjadi hamba sang suami, maka pengantin perempuan di Roma mendapat cincin  b e s i  dari ia punya suami. Di kemudian hari, maka diubahlah cincin besi ini menjadi cincin tembaga, cincin perak, cincin emas, dan kemudian lagi terjadilah adat sekarang, jaitu lelaki dan perempuan ”tukar cincin”, sebagai tanda setia satu sama lain dari dunia sampai akhirat ...

Maka demikianlah, sifat-sifat patriarchat liar itu masih saja berkesan dalam adat-istiadat di zaman sekarang, bukan saja pada bangsa-bangsa yang belum berkemajuan, tetapi juga pada bangsa-bangsa yang sudah modern seperti bangsa Eropa dan Amerika. Berabad-abad, ratusan tahun, ribuan tahun cap ”benda” itu masih saja melekat pada perempuan. Ia masih tetap saja dianggap sebagai milik yang boleh diperlakukan sesuka-suka orang tuanya dan sesuka-suka suaminya. Dulu kasar-kasaran, kini halus-halusan; dulu mentah-mentahan, kini sopan-sopanan; tapi pada hakekatnya sama: laki-laki kuasa, isteri benda; laki-laki tuan, isteri hamba. Malah adat kebiasaan  l e v i r a t  masih juga terus berjalan sampai sekarang. Apakah  l e v i r a t  itu? Levirat adalah perkataan yang asalnya dari perkataan levir, yang artinya i p a r. Levirat adalah adat, yang menetapkan, bahwa kalau sang suami mati, maka jandanya lantas menjadi isterinya saudara-suami itu, - isteri iparnya sendiri -, atau isterinya keluarga dekat dari suami itu. Nyatalah di sini perempuan itu dianggap sebagai satu milik yang dioperkan ke saudara suaminya, satu benda yang diwariskan pindah ke tangan saudaranya suami yang mati. Atau setidak-tidaknya, ia hanyalah dianggap sebagai alat penegakkan keturunan saja, satu alat pelahirkan anak, satu ”mesin peng-eram”!
Di India orang perempuan yang tidak dapat hamil, dioperkan kepada saudara suaminya, s e b e l u m  suaminya itu mati, - coba-coba barangkali dengan saudara suami inilah mesin pengeram itu dapat mengeluarkan anak. Inilah yang dinamakan ”perkawinan nyoga”, satu macam perkawinan yang dasar ideologinya sama dengan levirat itu.
Dan ambillah adat kebiasaan orang Yahudi. Di dalam kitab Perjanjian Lama, bagian kitab Musa Deuteronomium, 25, ayat 5 sampai 10, ternyatalah bahwa orang perempuan yang tak mempunyai anak, dioperkan kepada iparnya, kalau suaminya meninggal dunia. Benar di dalam hukum Yahudi pengoperan ini adalah satu  h a k  yang boleh
d i t u n t u t  oleh janda itu, - kalau si ipar tak mau mengoper dia, dia boleh meludahi muka iparnya itu di muka umum! -, tetapi hal ini tidak mengubah kepada  d a s a r n y a  ideologi itu tadi: perempuan obyek, perempuan benda, perempuan milik, yang di sini menuntut pemeliharaan. Sebab, mencari kecintaan menurut kehendak hatinya sendiri, kawin dengan orang yang bukan ipar itu, dus menegakkan keturunan di luar lingkungan darah suami-nya yang mati itu, ia  t i d a k  b o l e h !  Ia  m u s t i  kawin dengan ipar itu saja, kalau ipar itu mau.

Lain-lain bangsa masih juga ada yang mengerjakan levirat itu, sampai sekarang: bangsa Drus dan bangsa Afghan, yang dua-duanya beragama Islam, masih mengerjakan adat ini, dan di negeri kita antara lain-lain orang Gayo dan Alas dan Pasemah (telah beragama Islam) dan orang Batak (telah beragama Serani) masih juga belum melepaskan levirat itu. Sungguh dalam sekali tertanamnya akar-akar patriachat liar itu di dalam ideologinya sesuatu rakjat!

Ada lagi dua hal yang perlu saya terangkan lebih jelas di sini berhubungan dengan anggapan bahwa perempuan itu ”benda”:
pertama hal persundalan, kedua hal ”perempuan makhluk dosa”.

Salah satu sifat patriarchat ialah persundalan. Bukan persundalan atau hetaerisme seperti di zaman hukum peribuan, tatkala perempuan dianggap ibu umum, tapi persundalan yang benar-benar persundalan:
m e n j u a l diri kepada laki-laki dengan mendapat uang, atau menjual diri kepada laki-laki dengan mendapat barang ”harga” yang lain-lain. Dulu di zaman hukum peribuan persundalan itu satu ”amal keagamaan”, satu religieuze daad, satu perbuatan yang diwajibkan oleh ibadat.
Tetapi kini ia menjadi amal p e r d a g a n g a n. Perempuan, yang kini satu b a r a n g, satu b e n d a  yang ada harga, yang tak dimiliki kalau tidak d i b e l i atau d i r a m p a s, perempuan itu kini menjadi satu barang yang t i d a k tiap-tiap orang laki-laki mempunjainya. Maka buat memuaskan syahwat kaum laki-laki yang belum cukup kekayaan untuk membeli seorang i s t e r i atau belum cukup keberanian untuk merampas seorang i s t e r i, timbullah perdagangan perempuan secara ” b a r a n g  e c e r a n ”.  Siapa belum mampu membeli seekor sapi, dapatlah ia membeli daging sekati saja! Dan yang betul-betul meng-gambarkan ideologi patriarchat ialah, bahwa anggapan umum  t i d a k terlalu menolak atau membecji persundalan ini. Orang perempuan diwajibkan setia, orang perempuan tidak boleh mendurhakai suami, orang gadis harus menjaga betul-betul kegadisannya, tetapi orang lelaki, bujang atau tidak bujang, boleh mengerjakan perzinahan di luar rumah sebanyak kali ia mau. Ya, bukan saja anggapan umum, tetapi hukum negeripun hampir semua mengsyahkan persundalan itu! Dulu di negeri Yunani, n e g a r a l a h  yang mengadakan deikterion-deikterion (rumah-rumah sundal), di mana tiap-tiap orang boleh melepas-kan syahwatnya dengan bayar tarif yang tetap, yakni kurang lebih lima gobang satu kalinya. Dan di lain-lain negeri, di Romawi, di Yeruzalem, di India, di Nippon, di situpun dulu  n e g a r a  yang menjadi germo (pengurus rumah persundalan) yang pertama. Solon, pembuat hukum Yunani jang termasyhur, yang mula-mula mengadakan deikterion-deikterion itu, mendapat pujian khalayak buatkebijak-sanaan” itu dengan kata-kata: ”Solon, terpujilah engkau! Sebab engkau telah mengadakan sundal-sundal buat keselamatan kota, buat kesucian kota yang penuh dengan pemuda-pemuda yang kuat, yang, umpama engkau tidak mengadakan aturan yang bijaksana itu, niscaya akan mengganggu keamanan perempuan-perempuan yang mulia!” Sudahkah tuan pernah mengetahui termasyhurnya rumah-rumah persundalan Yoshiwara di kota Tokyo, yang mendapat perlindungan dari negara? Ingatkah tuan pula keadaan di negeri kita sendiri beberapa puluh tahun yang lalu, waktu pemerintah Belanda juga mengakui syahnya dan mereglementir persundalan itu? Maka begitu pula belum selang berapa lamanya, semua negara di Eropa mengsyahkan dan mereglementir persundalan itu.
Yang dibekuk dan dimasukkan penjara hanyalah sundal-sundal yang tidak memegang ”surat” saja, yakni sundal-sundal yang belum tercatat namanya di dalam kitab register!

Memang tak dapat disangkal, bahwa persundalan itu bukan sekadar akibat ”kebejatan moral” saja, bukan sekedar satu akibat dari nafsu birahi perempuan-perempuan liar, tetapi ialah satu keadaan yang tidak boleh tidak  p a s t i  lahir karena salahnya susunan masyarakat dan  
s a l a h n y a  a n g g a p a n  t e r h a d a p  h a r g a  p e r e m p u a n.
Ia adalah satu ”buatan masyarakat” (perkataan Engels), sebagai patriarchat sendiripun satu buatan masyarakat. ”Ia adalah suatu buatan masyarakat seperti yang lain-lain; ia melanjutkan adanya kebebasan seksuil, - untuk kepentingan kaum lelaki”. Ia tak dapat lenyap, kalau susunan masyarakat yang salah itu tidak lenyap dan anggapan salah terhadap perempuan itu tidak dibongkar. la, menurut perkataan Marx, tetap mengikuti peri-kemanusiaan ”sebagai satu bayangan”, sampai ke alamnya ”peradaban” sekalipun. Dan ia sebaliknya juga akan membangunkan satu ”buatan masyarakat” yang lain lagi, yang juga
tak dapat lenyap di zaman sekarang ini: ia membangunkan
Figurnya  i s t e r i  y a n g  m e n d u r h a k a i  s u a m i, karena
s u a m i  m e n d u r h a k a i  i s t e r i.

Laki-laki pergi bercinta dengan sundal di luar rumahtangga, isteripun yang ditinggalkan di rumah itu menerima percintaan-nya orang dari luar rumah tangga. Laki-laki tidak setia, perempuan tidak setia pula.
”Di samping perlaki-isterian tunggal (antara seorang suami dan seorang isteri) dan hetaerisme (maksudnya: pelacuran) perceraian adalah suatu peristiwa masyarakat yang tak dapat dihindari - dilarang, dihukum keras, tetapi tak dapat ditindas.” Begitulah Engels menulis.

Persundalan adalah satu buatan masyarakat, tetapi pendurhakaan suamipun adalah satu buatan masyarakat. Walaupun dilarang keras, diancam dengan hukuman berat, diperangi dengan wet dan penjara,
ia tidak dapat ditindas dan dihilangkan.

Itulah sebabnya, maka meskipun patriarchat itu pertama-tama dan terutama sekali diadakan untuk ”memastikan turunan”, toh sampai sekarang, kendati penjagaan wet, kendati ancaman neraka yang bagaimanapun juga ”siapa bapa” masih tetap satu soal
” k e p e r c a y a a n ” saja, dan bukan satu hal yang dapat dijamin kepastiannya. Satu hal ”kepercayaan”, dan bukan satu hal 
k e n y a t a a n. Satu hal  k i r a - k i r a, dan bukan satu hal 
k e p a s t i a n. Sehingga kitab hukum Code Napoleonpun, yang menjadi contoh bagi banyak kitab-kitab hukum di Eropa, (antara lain-lain juga menjadi contoh hukum Nederland), di dalam artikel 312 ada menulis: ”L’enfant concu pendant le mariage a pour pere le mari”. – “Anak yang dihamilkan di dalam persuami-istrian, yang d i a n g g a p  menjadi bapanya ialah sang suami”. Dengan jitu dan jenaka sekali Engels membubuhi komentar atas artikel 312 Code Napoleon ini:
I n i l a h  h a s i l  y a n g  p a l i n g  b a r u  d a r i  t i g a  r i b u  
t a h u n  p e r s u a m i -  i s t e r i a n  s a t u ! ...

Marilah sekarang kita bicarakan sifat patriarchat yang lain lagi itu: perempuan sebagai ”makhluk dosa”. Inipun sudah saya ceritakan sedikit-sedikit di dalam bab yang di muka. Patriarchat dengan jalan parit-paritnya ”agama” telah merendahkan kedudukan perempuan, antara lain dengan mengatakan, bahwa perempuan itu bikinan syaitan. Sebagaimana di antara kaum agama ada yang mengatakan, bahwa buat kemuliaan di akhirat nanti, segala hal keduniaan harus dijauhi dan dibenci, yakni, bahwa kesucian roh hanyalah dapat diperoleh apabila manusia menjauhi tiap-tiap nafsu kepada kekayaan milik dan kekayaan benda, sebagaimana bagi setengah kaum agama, k e m i s k i n a n  adalah satu ideal dan satu pedoman hidup -, maka terhadap kepada perempuanpun, (yang juga benda, juga milik, juga kekayaan!), mereka berkata: jauhilah dan bencilah perempuan itu, karena ia adalah menjauhkan kamu dari nikmatnya akhirat. Aneh sekali pertentangan ini: Kaum ”dunia” mencari kemuliaan Clan kenikmatan sebesar-besarnya dengan mengumpulkan sebanyak mungkin perempuan di dalam rumah tangganya laksana mengumpulkan sebanyak mungkin ternak di dalam kandang, kaum ”agama” mencari kemuliaan dan kenikmatan dengan mensyaitankan tiap-tiap perhubungan, ya tiap-tiap angan-angan kepada perempuan! Faham benci dan mensyaitan-kan perempuan di kalangan agama ini dinamakan  a s k e t i s m e dan s e l i b a t (a s c e t i s m e  dan  c e l i b a a t).

Apakah arti asketisme dan selibat itu? Asketisme memulia-kan cara hidup yang semiskin-miskinnya, dan memerangi tiap-tiap nafsu kepada kemewahan dan kesenangan: baik nafsu kepada harta kekayaan, maupun nafsu kepada kelezatan makan dan minum, maupun nafsu kepada kerumah-tanggaan, maupun nafsu kepada  k e p u a s a n  s y a h w a t. Selibat memuliakan cara hidup tidak dengan perlaki-isterian, -lelaki tidak dengan perempuan, perempuan tidak dengan lelaki. Asketisme dan selibat sudah menyelinap ke dalam banyak agama di zaman dulu. Agama Manu, agama Buddha, agama Nasrani sampai kepada berontaknya Maarten Luther di abad yang keenambelas, semuanya dimasukinya. Perempuan dianggap sebagai  a s a l  s e g a l a  d o s a. Perempuanlah yang dulu menjatuhkan Adam dari kemuliaan sorga, dan perempuanlah yang sampai akhir zaman akan tetap berdaya-upaya menjatuhkan anak Adam dari kemuliaan sorga. Malah ada satu fihak yang berkata, bahwa memotong kemaluan (lelaki) adalah satu perbuatan yang dibenarkan oleh Allah; fihak ini menunjukkan, bahwa di dalam Injil Mattheus 19 ayat 11 dim 12 ada tertulis: ”Ada orang yang terpotong, yang dilahirkan demikian oleh ibunya; dan ada orang yang terpotong, yang dipotong oleh orang lain; dan ada orang yang terpotong, yang memotong dirinya sendiri, untuk mendapat kerajaan akhirat”. Menurut fihak ini, pengebirian adalah satu perbuatan ulia, tidak kawin satu perbuatan terpuji, benci perempuan satu tabiat yang maha luhur. Origenes berkata: ”Perkawinan adalah tidak kudus, satu hal yang kotor, satu alat pemuaskan syahwat”, dan buat menolak kekotoran ini, ia telah mengebiri dirinya sendiri! Begitupun telah tercatat di dalam sejarah, bahwa memang sering pendeta-pendeta yang karena merasa dirinya kurang kuat mengekang kehendak syahwatnya dengan kekang jiwa saja, lantas mengebiri diri sendiri, seperti Origenes itu. Tertullianus berkata: ”Perempuan, engkau akan selalu mengeluh dan berpakaian koyak-koyak, matamu akan selalu penuh dengan air: mata kemasygulan, buat melupakan, bahwa engkaulah telah menjerumuskan peri-kemanusiaan ke dalam lumpur kebinasaan. Perempuan, engkaulah pintu gerbang neraka jahanam!”.

Di muka sudah saya tuliskan, bahwa di dalam agama yang lain-lainpun, misalnya agama Buddha dan Manu, ada aturan keras yang mengharamkan perempuan itu. Di dalam Sufi Islam pun aliran asketisme dan selibat itu keras sekali. Saya kira, di dalam patriarchat liar asketisme dan selibat di kalangan kaum agama adalah sama-sama satu buatan masyarakat sebagai persundalan adalah satu buatan masyarakat. Sebab, baik persundalan, maupun asketisme dan selibat, adalah sama-sama akibat daripada anggapan bahwa perempuan adalah milik dan benda; milik dan benda yang boleh dijual-belikan, atau - yang harus dijauhi, agar dapat mencapai kenikmatan akhirat.

Sudah barang tentu golongan-golongan agama yang mengikuti aliran asketisme dan selibat itu t i d a k mau mengakui, bahwa mereka merendahkan perempuan. Mereka selalu meng-atakan, bahwa mereka justru memuliakan perempuan. Mereka malah mengakui, bahwa Tuhan ”kadang-kadang” mensucikan perempuan juga! Fihak Islam Sufi menyebutkan nama Siti Aminah yang ditakdirkan oleh Tuhan buat mengandung Muhammad; fihak selibat Nasrani menyebut-kan nama Siti Maryam; dan fihak Buddha menyebutkan nama Maya. Tidakkah mereka semuanya perempuan-perempuan yang dimuliakan?

Mereka tidak mengetahui, bahwa di lain-lain agamapun ada perempuan-perempuan yang dimuliakan, bahkan disembah!, tetapi yang di situ perempuan sebagai makhluk m a s y a r a k a t ditindas clan direndahkan. D e w i Kybele, d e w i Mylitta,  d e w i  Aphrodite, d e w i  Venus, d e w i  Ceres di Eropa Selatan, d e w i  Edda,  d e w i  Freya di Eropa Utara, d e w i Syri, d e w i  Pratiwi, d e w i  Lakshmi, d e w i  Koan 1m atau Kwannon di dunia Timur, - tidakkah mereka ini semuanya perempuan-perempuan yang disembah? Tetapi tidakkah di negerinya dewi-dewi itu posisi sosial daripada kaum perempuan amat rendah sekali?

Marilah sekarang kita palingkan muka ke Indonesia.
Di manakah di Indonesia masih ada patriarchat? Pertanyaan yang demikian ini kurang tegas. Yang dimaksudkan tentunya: di manakah di Indonesia masih ada patriarchat liar? Sebab kita bangsa Indonesia hampir semua hidup di dalam sistim patri-archat. Kecuali di daerah-daerah yang nyata matriarchat, maka kita semua, beragama atau tidak beragama, kita semua patri-archat. Malahan di muka telah saya katakan, bahwa agama Islam dan agama Keristen sebenarnya adalah k o r e k s i atas patriarchat yang meng-ekses, k o r e k s i  atas hukum perbapaan yang bersifat kebiadaban. Hukum perbapaan yang menindas dan merampok, memperlakukan perempuan sebagai benda dan sebagai ternak, hukum perbapaan yang ”liar” itu dikoreksi, hendak diganti dengan hukum perbapaan yang adil dan baik. Tetapi agama sering sekali belum cukup ”mendalam”, atau agama nyata diabaikan oleh pengikut-pengikutnya, sehingga di berapa daerah Indonesia yang penduduknya telah ”Islam” atau telah ”Keristen”, patriarchat liar masih tampak dengan nyata.

Saya di muka telah menceritakan hal adat ”marlojong”.
Tanah Batak memang masih tampak sekali ”klassik” ditentang kepatriarchatan. Kawin beli, kawin rampas, kawin jual tenaga, levirat (koophuwelijk, roofhuwelijk, diensthuwelijk, levirat) masih semua berbekas di tanah Batak itu. Orang Batak yang hendak kawin, harus lebih dulu membayar uang ”mangoli”, yakni uang membeli. Orang yang tidak mempunyai cukup uang, bolehlah membeli kekasihnya dengan tenaga kerja; ia harus ”sumondo”. Dengan dibelinya perempuan. itu, pindahlah perem-puan itu dari tangan bapanya menjadi  m i l i k suaminya samasekali. Ia keluar dari marga sendiri, masuk ke dalam marga suaminya sama sekali. Ia tidak mewaris harta benda suaminya itu, kalau suaminya itu meninggal. Ia tidak boleh mewaris, malahan akan diwariskan. Kalau suaminya itu tidak mempunyai saudara atau tidak mempunyai keluarga yang dekat, maka sepeninggal suaminya itu ia boleh kembali kepada marganya sendiri, tetapi ia dimustikan membayar kembali uang beliannya lebih dahulu! Anak-anaknya yang perempuan tidak boleh ikut mewaris harta benda peninggalan bapanya, oleh karena mereka kelak t o h akan dibeli orang lain, - t o h akan menjadi milik orang lain dan meninggalkan marga bapanya.

Pembaca melihat, semua sifat-sifat patriarchat terdapat kembali di tanah Batak itu. Dengarkanlah perumpamaan Batak di bawah ini:
Sian dangkana tu rantingna,
Sian angkangna tu anggina.
Dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut:
Dari dahan ke rantingnya,
Dari kakak ke adiknya.

Ya, kalau saudara tua mati, saudara muda akan mengganti dia!
Orang yang mencinta adat ini barangkali akan mengatakan, bahwa levirat toh ada baiknya juga? Memang, barangkali levirat ada ”baiknya” juga: si janda tidak terus menjadi janda, tetapi segera ada orang yang ”mengurus” akan dia. Memang ada satu sya’ir lain lagi, yang sering dinyanyikan oleh perempuan Batak:

Tumagonan unang muli,
Tu anak sisada-sada.
Tung mate i annon,
Ndang adong na mangabia.
Dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:
Lebih baik jangan kawin,
Kepada anak sebatang kara.
Kalau dia nanti mati,
Tidak ada penggantinya.

Nyatalah dari syair ini, bahwa perempuan-perempuan itu sendiri seperti senang kepada levirat. Tetapi tidakkah benar pula kalau saya katakan, bahwa  t i a p - t i a p adat, meskipun adat yang menindas bagaimanapun juga kerasnya, telah merobah demikian rupa kepada rasa fikiran, ideologi fihak yang tertindas itu, sehingga mereka itu sendiri cinta kepada adat itu? Tidakkah benar kalau saya katakan, bahwa banyak perempuan cinta kepada pingitan, cinta kepada hal bahwa silaki-laki menguruskan segala apa saja bagi mereka dan mereka tak usah ikut banyak pusing kepala ini dan itu, cinta kepada ketenteraman kehidupan di samping api dapur dan buaian anak saja, tidakkah benar kalau saya katakan bahwa banjak perempuan cinta kepada rantai yang merantaikan mereka?

Syair yang kedua itu bukanlah satu alasan. Ia hanyalah satu buntut, satu akibat. Ia tidak mematikan kenyataan, bahwa levirat adalah berdasar kepada pengertian ”benda”, berdasar kepada pengertian ”milik”. Ia berdasar kepada pengertian mewariskan milik. Di daerah Batak Karo, seorang janda yang dioper oleh saudara suaminya, lantas bernama ”lako man”, yang maknanya: penyedia makan. Ia ”mendatangkan makan”, ia satu milik yang menguntungkan! Seorang etnolog pernah berkata-: ”Feitelijk is het de vrouw, die den man onderhoudt; een Batak, die trouwt, is voor de toekomst geborgen”. Artinya: ”Sebenarnya, perempuan-lah yang memberi makan kepada laki-laki; seorang Batak yang kawin, terpeliharalah hidupnya buat seterusnya”.

Adakah lain-lain tempat lagi di Indonesia dengan ”patriarchat liar” yang masih nyata? Ada! Bukan di tanah Batak saja ada sisa patriarchat liar! Perhatikanlah: Adat membayar uang ”jeunamee” sebelum laki-laki kawin di salah satu daerah Aceh mengingatkan kita kepada kawin beli, terutama sekali oleh hal yang berikut: ”Kalau si isteri meninggal dunia, maka si laki-Iaki itu boleh mengambil salah seorang gadis saudara isteri yang meninggal itu, sebagai gantinya, dengan tak usah membayar lagi ”jeunamee” sepeserpun jua. Di daerah Gayo dan Alas nyatalah perkawinan satu perbuatan membeli orang. Di sana orang perempuan yang telah kawin (dan telah dibayar ”harganya”) disebutkan orang: ”anggo” (Gayo) atau ”alongi” (Alas). Dua-dua perkataan ini bermakna
t e r b e l i. Keluarganya menamakan dia ”juolon”, yang artinya: ”jualan”, ”barang jualan”. Kalau suami-nya mati, berjalanlah levirat: ia ”ngalih” atau ”mengalih”, - mengalih sebagai milik, kepada lain tangan. Dan kalau suaminya tiada saudara atau keluarga, bolehlah ia pulang kembali ke gampongnya; tetapi anak-anaknya tak boleh ia bawa. ”Laba” pembelian itu tak boleh dibawa keluar, tetapi harus tetap menjadi rezeki fihak yang membeli!

Di Lampung pun di beberapa daerah masih sangat tampak sifat penjual-belian itu. Seorang etnolog menyatakan:  ”Perempuan (di Lampung) yang telah dibeli oleh seorang laki-Iaki, tidak mempunyai hak apa-apa lagi sama sekali. Segala apa yang menjadi miliknya, sehingga anak-anaknya sekalipun, menjadi milik si laki-laki itu. Kekuasaan bapa tidak berbatas. Si bapa itu berhak mengawinkan anak-anak perempuannya kepada siapa saja yang mau mengawini kepadanya. Malahan sampai di bahagian pertama abad ke 19, si bapa itu menjual anak-anaknya sebagai budak belian” .

Di Lampung inilah, dan juga di daerah Bengkulu, sampai sekarang masih ada adat ”jujur”, adat ”kulo”, adat bayar ”uang antaran”, yang semuanya pada hakekatnya ialah adat jual beli perempuan. Besarnya ”jujur” atau ”antaran’“ itu kadang-kadang ribuan rupiah. Di Endeh (Flores) uang pembelian itu (di sana dinamakan uang ”belis”) kadang-kadang juga amat tinggi sekali. Saya sendiri di Endeh pernah menyaksikan orang membayar uang belis Rp 800.- (waktu uang masih mahal). Uang-uang pembelian yang amat tinggi itulah menjadi sebab di beberapa daerah Lampung, Bengkulu dan Flores banyak ”gadis tua”.
Di Endeh ada beberapa ”gadis tua” yang telah berumur... 60 tahun!

Tuan barangkali menanya: kenapa orang laki-laki kadang-kadang berani membayar uang pembelian yang begitu mahal!

Amboi, uang yang dibajarnya itu tidak terbuang percuma! Sebab satu kali ia buang uang, satu kali ia beli orang perempuan, satu kali ia ”payah” atau ”meringis”, - seumur hidup ia boleh senang-senang goyang kaki saja: perempuan nanti bekerja keras mencari makan buat dia. Uang mangoli, uang jeunamee, uang jujur, uang antaran, uang belis, - semuanya membawa laba. Yang payah dan meringis nanti bukan yang membeli, tetapi yang dibeli jua adanya.

Sungguh benarlah perkataan Bebel: ”Perempuan adalah budak belian, - budak belianpun dibeli dengan emas”!

Sudah mengetahui kita sekarang, apakah sifat hakekat matri-archat dan patriarchat itu.

Sekarang, baiklah saya meninjau lebih dalam ekses-eksesnya (keliwatbatasannya) patriarchat itu.

Kita harus membuat perbedaan antara patriarchat yang meliwati batas, dan patriarchat yang tidak meliwati batas.

Patriarchat yang tersebut belakangan ini, yakni patriarchat yang sekedar hanya untuk menetapkan hukum turunan dan hukum waris saja, memang sudah sesuai dengan syarat-syarat kesuburan masyarakat.
Ia adalah tiang besarnya somah, soko-gurunya somah. Revolusi sosial ”dari hukum peribuan ke hukum perbapaan” adalah satu revolusi yang progresif. Demikian pula agama Islam dan agama Keristen tidak menentang patriarchat yang demikian ini, tetapi malahan
m e n e t a p k a n benarnya patriarchat yang demikian ini.

Tetapi patriarchat melalui batas. Ia mengekses. Ia menjadi stelsel penindasan perempuan. Ia menjadi stelsel yang merampas segala hak-hak perempuan, dan memindahkan hak-hak itu ke dalam tangan laki-laki saja sebagai monopoli. Di bawah ini saya hendak memberi beberapa contoh yang amat menyedihkan.

Lebih dahulu, marilah kita dengan singkat meninjau ke-dudukan patriarchat berhubung dengan agama. Sudah berulang-ulang saya katakan, bahwa agama yang murni, yakni agama sebagai yang dianjurkan oleh Nabi Isa dan Nabi Muhammad sendiri, tidak berisi penindasan kepada perempuan. Nabi Isa dan Nabi Muhammad malahan bermaksud  m e n g k o r e k s i ekses-ekses patriarchat yang pada waktu mereka bekerja sebagai Nabi Allah, sedang mengamuk di negeri mereka dan di negeri-negeri lain.

Di negeri Nabi Isa, pada waktu itu adalah berlaku dua macam kultur: kultur Yahudi yang memang kultur asli di situ, dan kultur Hellenia Rumawi, yakni kulturnya kaum yang pada waktu itu menjajah negeri Yahudi.

Kedudukan kaum perempuan di masyarakat Yahudi paling tepat dapat saya gambarkan dengan mengutip perkataan-perkataan yang diucapkan oleh orang Yahudi laki-laki di dalam sembahyangnya tiap-tiap pagi: ”Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, yang telah membuat aku tidak perempuan”. Dan orang perempu-an Yahudi bersembahyang: ”Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa Ia membuat aku menurut Kehendak-Nya”.

Dan kedudukan kaum perempuan di masyarakat Hellenia Rumawi telah saya gambarkan di muka dengan memberi tahu kepada pembaca, bahwa perkataan Rumawi ”famulus” (keluarga) adalah bermakna: budak, hamba, abdi.

Plato mengucapkan terimakasih kepada dewa-dewa buat delapan macam berkat yang dewa-dewa itu karuniakan kepadanya: yang pertama dari delapan berkat itu ialah, bahwa ia dilahirkan di dunia sebagai orang merdeka dan tidak sebagai budak belian, dan yang kedua ialah bahwa ia dilahirkan sebagai laki-laki dan tidak sebagai perempuan. Dan di mukapun sudah saya katakan, bahwa di negeri Hellenia (Yunani) perempuan disebutkan ”oikurema”, yang bermakna ”benda pengatur rumah tangga”.

Demikianlah keadaan perempuan di negerinya Nabi Isa.
Maka datanglah Nabi Besar ini mengoreksi ekses-ekses patriarchat itu. Dengan tegas dinyatakannya, bahwa bagi Tuhan  s a m a l a h  laki-laki dan perempuan. Bahkan inilah yang menjadi sebab, bahwa di zaman pertama daripada agama Keristen itu,  k a u m  p e r e m p u a n l a h  yang paling giat mengikutinya dan paling giat membelanya. Merekalah yang dengan mulut tersenyum menjalani siksaan-siksaan yang dilaku-kan kepadanya oleh musuh agama Keristen, - dibakar hidup-hidup, dirobek-robek tubuhnya oleh singa, diseret mati oleh sapi-sapi jantan sebagai diceriterakan oleh Sienkiwiecz di dalam bukunya ”Quo Vadis” yang termasyhur. Di waktu itu masya-rakat Nasrani sangat menghargakan dan menghormat kepada perempuan. Tetapi di zaman kemudian daripada itu, derajat mereka diturunkan lagi. Nabi Isa sendiri  t i d a k  p e r n a h mengucapkan sepatah katapun yang merendahkan kaum perempuan. Ini dapat dibuktikan dari kitab Perjanjian Baru. Misalnya ucapan bahwa ”orang laki-Iaki adalah gambar dan kemasyhuran Tuhan; orang perempuan adalah kemasyhuran orang laki-laki”, adalah ucapan dari zaman kemudian daripada Nabi Isa.

Ah, perempuan hanya kemasyhuran saja dari orang laki-laki! G a m b a r dari orang laki-laki pun tidak! August Bebel mengejek ucapan ini dengan kata: ”Dus tiap-tiap orang laki-laki tolol, atau bajingan sekalipun, boleh menganggap dirinya lebih tinggi daripada perempuan yang bagaimana cakap dan muliapun juga. Di dalam praktek, sayang sekali, keadaan memang begitu, sampai sekarang”.

Dan di dunia Islam? Di dunia Islampun begitu. Sebelum Nabi Muhammad dinubuahkan menjadi Nabi, Arab jahiliah berpesta raya di dalam ekses-ekses patriarchat dengan cara yang mendirikan bulu.
Di negeri-negeri lain perempuan sekadar dibendakan dan dibudakkan, tetapi di Arab jahiliah ia sering dianggap sebagai sampah yang mengotorkan. Anak perempuan dibuang, dibunuh, dikubur hidup-hidup ... Maka datanglah Pemimpin Besar Muhammad memerangi ekses-ekses patriarchat itu. Tetapi beberapa waktu sesudah Muhammad mangkat, datanglah lagi penindasan dan penghinaan. Sampai zaman sekarang, belum lenyap sama sekali pembudakan dan penindas-an itu di beberapa daerah umat Islam, baik di Barat maupun di Timur, di Afrika Tengah maupun di Sentral Asia.

Dan dunia yang bukan Keristen dan bukan Islam? Keadaan setali tiga uang. Ekses-ekses patriarchat masih belum terhapus sama sekali.
Ya, soal perempuan memang belum selesai, jauh daripada selesai! Ada negeri-negeri yang walaupun sudah berkemajuan tinggi, di situ ekses-ekses patriarchat masih mengamuk dengan cara yang mengerikan hati (Jepang). Ada negeri-negeri yang di situ tadinya ekses-ekses patriarchat luar biasa hebatnya, tetapi oleh karena negara dengan ulet dan saksama membanterasnya, kini sudah banyak kurangnya, meskipun belum lenyap sama sekali (Rusia Timur). Ada negeri-negeri yang di situ sudah banyak perbaikan nasib perempuan, tetapi masih ada soal ”retak” atau ”scheur” sebagai yang saya ceritakan di muka tadi (Eropa, Amerika). Dan ada pula negeri-negeri yang di situ keadaan perempuan masih saja seperti beberapa ribu tahun yang lalu, tatkala Nabi Ibrahim berjalan di padang pasir. (Hadramaut Dalam, Tibet, dlsb.).

Maukah pembaca satu contoh ekses patriarchat di negeri yang sudah berteknik tinggi? Saya tidak mengenal lain contoh yang lebih ”jitu” daripada di negeri Jepang. Umumnya orang-orang yang melihat keadaan perempuan di negeri Jepang, - apa lagi yang melihatnya secara pelancongan turis saja -, sangat tertarik oleh ”kekulturan” perempuan
di sana. Dan memang juga orang-orang yang sudah lama berdiam di Jepang semuanya ter-tarik oleh ”kekulturan” mereka itu. Lafcadio Hearn, O’Conroy, van Kol, Griffis, Lederer, Alice M. Bacon, Weulersse, dan lain-lain pencinta negeri Nippon, semuanya memuji kehalusan dan kekulturan perempuan Jepang. Semua mereka itu umumnya menyebutkan perempuan Jepang ”dewi-dewi kebaikan”, ”puteri-puteri kehalusan”, - bahasa Belanda: engelen, bahasa Inggeris: angels. Tetapi mereka pun mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam, yang menyebabkan perempuan-perempuan Jepang itu menjadi dewi-dewi kebaikan dan puteri-puteri kehalusan. Mereka mengatakan, bahwa hidup perempuan Jepang adalah satu ”kesedihan” (tragedi), satu ”korbanan”, dan bukan sekali-kali satu ”puisi”, satu syair. Salah seorang pemimpin Indonesia yang dulu ikut dengan delegasi Islam ke Tokyo menjadi kagum, tatkala ia melihat bahwa orang perempuan Jepang tidak mau duduk di kursi sebelum ia dipersilahkan duduk oleh suaminya yang telah duduk lebih dahulu. Kalau umpamanya saudara ini mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam daripada kebaktian ini, kalau ia mengetahui dasar sosial daripada kebaktian ini, - niscaya ia tidak akan kagum, tetapi terharu!

Sungguh, amat mengharukan nasib perempuan Nippon itu. Di muka telah saya katakan, bahwa dulu, ratusan tahun yang lalu, sebelum zaman feodal, ia adalah sangat merdeka. Dulu ia memimpin masyarakat, menjadi pemuka ilmu pengetahuan. Dulu ia menjadi pembuat hukum negara, bahkan sepuluh kali ia mendjadi Radja Puteri di atas singgasana Negara. Dulu ia dinamakan ”semennya masyarakat”, dan Nippon dinamakan ”negeri wanita” atau ”negeri raja-raja wanita”. Tetapi sekarang! Sekarang ia menurut pendapat salah seorang penulis yang telah berdiam di Nippon puluhan tahun (O’Conroy) tidak lebih dari ”benda zaliman suaminya” dan ”seorang pengurus-rumah yang tidak bergaji dan alat pelahirkan anak”. Dulu, menurut van Kol, ia tak pernah menekuk lututnya di hadapan orang laki-laki, tetapi sekarang ia harus memandang suaminya itu sebagai ”Yang Dipertuan yang wajib ia berhamba dengan segala kehormatan, dan dengan segala pengagungan yang ia bisa berikan kepada-nya” (Weulersse). Sekarang ia tak boleh berjalan di muka sang suami, tetapi harus membuntut di belakang sang suami. Bahasa yang ia pakai terhadap sang suami adalah lain daripada bahasa yang ia pakai terhadap teman-temannya. Bahkan bahasa yang ia pakai terhadap kepada anaknya yang laki-laki, haruslah lain daripada bahasa yang ia pakai terhadap kepada anaknya jang perempuan! .

Suaminya pergi melancong, pergi menonton, pergi ke rapat, pergi pelesir dengan sundal-sundal di rumah-rumah ”joroya” atau ”machiya”, tetapi ia tinggal di rumah, bekerja, bekerja, bekerja. Van Kol pemimpin Belanda yang cinta kepada negeri Nippon itu menamakan perempuan Nippon satu ”werkdier”, satu ”kuda beban yang tiada berhentinya bekerja”. Van Kol pula yang menulis: ”Perempuan (Nippon) tidak masuk hitungan. Hanya si ”bapa” yang ada; ia (si bapa) adalah pusat segala hal; ia me-wakili dan meneruskan keturunan. Perempuan dianggap sebagai boneka saja, tidak sebagai isteri, tidakpun sebagai orang yang dipercaya”. Seorang penulis lain menyebutkan dia ”satu milik buat dipakai, satu benda yang musti selalu ada”.

Kewajiban hidupnya yang terbesar, ”devoir pourla vie”nya, ialah
m e n u r u t, - m e n u r u t  kehendak sang suami. Demikian Weulersse berkata. Dan seorang penulis Nippon pula, Shingoro Takaishi, mengatakan: ”kewajiban orang perempuan yang terbesar, seumur hidup, ialah menurut”, - ”the great life-long duty of a woman is obedience”. Dan cobalah pembaca perhatikan kalimat yang berikut, terambil dari buku Nippon ”Pengajaran Besar buat Perempuan”: ”Segala apa saja yang diperintahkan suami, harus diturut oleh perempuan dengan penuh ketaatan. Ia musti menengadahkan muka kepada suami, seakan-akan suami itu setinggi langit. Ia musti selalu memikirkan apakah yang dapat menyenangkan hati sang suami.

Ia musti bangun pagi-pagi, masuk tidur jauh malam, supaya rumah tangga selalu beres. Adat kita dari zaman dulu ialah bahwa bayi perempuan yang baru lahir, harus diletakkan tiga hari lamanya di atas tanah. Dari adat kita ini ternyata, bahwa laki-laki tinggi seperti langit, dan perempuan rendah seperti tanah”.

Pada waktu orang perempuan Nippon menikah, ia harus memakai pakaian yang berwarna putih, sebab bagi orang Nippon warna putih adalah warnanja maut. Simbolik ini berarti, bahwa pada waktu ia menikah, ia telah mati bagi kehendak-kehendak dan keinginan-keinginan sendiri. Orang tuanyapun pada waktu itu membakar api, - membakar api seperti pada waktu kematian salah seorang keluarganya. Ia tinggal hidup bagi Dia yang Satu itu saja, - tinggal hidup bagi Sang Suami.

Ia tidak boleh berkata apa-apa, kalau suaminya jauh-jauh malam belum pulang dari pelesir. Ia musti menunggu dengan sabar, memasang telinga dengan teliti, supaya, kalau ia, mendengar jejak kaki suaminya di tangga, ia segera dapat membukakan pintu dan menghormatnya dengan menekukkan lutut. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalaupun sang suami itu membawa sundal ke dalam rumah. Ia malahan tak boleh berkata apa-apa, kalau sang suami memerintahkan kepadanya, membereskan tempat tidur buat suaminya dan sundal itu, atau menyediakan sake hangat di sebelah tempat tidur itu, meskipun ia mengetahui bahwa sake itu ialah buat menguatkan nafsu-birahinya sang suami itu. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalau ia kemudian disuruh menutup pintu bilik, disuruh menunggu duduk di muka pintu itu, kalau-kalau nanti sang suami memanggil kepadanya dengan tepokan tangan, - meminta ini atau itu buat kesenang-annya dengan sundal itu.

Di dalam buku O’Conroy, professor ini menceriterakan satu pengalaman yang amat mengharukan:

”Saya tidak akan dapat melupakan pengalaman saya pertama kali, tatkala saya menyaksikan, betapa seorang anak perempuan yang masih pengantin baru, duduk di muka pintu kamar tidurnya, menunggu suaminya memanggil dia dengan tepokan tangan. Ia baru umur enam belas tahun dan belum banyak, lebih daripada seorang kanak-kanak.
Ia mengira telah mendapat satu keberuntungan yang besar, karena mendapat seorang suami yang agak kaya. Ia sangat membanggakan dirinya, rumah tangganya, suaminya. Ia agungkan suaminya itu sebagai seorang-orang yang maha mulya. Ia ingin sekali lekas mendapat seorang anak laki-laki.

Ia baru kawin seminggu, tatkala suaminya datang di rumah. membawa seorang sundal. Ia diperintahkan oleh suaminya itu menyediakan tempat tidur, dan menunggu di muka pintu. Tatkala saya melihat dia itu, dia sedang duduk di atas tikar kecil dari jerami. Ia goyangkan badannya ke muka dan ke belakang, merintih, seluruh tubuhnya gemetar dan menggigil. Ia menggenggamkan tangannya sehingga kaku, dan tiap kali ia menundukkan tubuhnya ke muka, dipukul-pukulkanlah kepalanya di atas papan. Tampaknya kepada saya ialah seperti ia mau memukulkan keluar fikiran-fikiran yang ada di dalam kepalanya itu. Sekonyong-konyong mengalirlah air matanya banyak-banyak di atas pipinya. la menggigit-gigit bibir supaya tidak berteriak, dan darah menetes dari ujung-ujung mulutnya. la mengambil pucuk kimononya, dan diputar-putarkannya di dalam tangannya. Kemudian ia memasukkan pucuk kimono itu ke dalam mulutnya, supaya tidak keluar satu jeritan sakit hatinya. Keadaan saya di situ rupanya dianggap sebagai satu penghinaan oleh suami itu, dan saya tidak berani lagi bertamu di situ setengah tahun lamanya. Tatkala saya bertamu lagi kesitu, - seperti sudah ditakdirkan, sedang terjadi lagi hal yang sama pula: suaminya dengan sundal di dalam kamar. Tetapi ini kali isteri itu duduk tenang membaca surat kabar, dan tatkala ia melihat saya, berdirilah ia sesudah memanggutkan kepalanya secara biasa, menyongsong kedatangan saya, mengucapkan selamat datang kepada saya dengan muka yang tersenyum. la telah belajar, belajar bahwa kewajibannya ialah menurut” ...

Sungguh, tidak ada satu perempuan Jepang yang tidak menurut. Sebab kecemaran nama yang paling sangat di negeri Jepang, kehinaan yang paling besar, ialah dicerai (ditalak) oleh suami. Semua kehinaan masih dapat dipikul, semua kepedihan masih dapat ditahan, - kecuali kehinaan yang satu ini. Lebih baik sengsara dan menangis dalam hati seumur hidup, daripada mendapat perintah dari sang suami supaya pulang.
Dan suami ini dapat menyuruh dia pulang setiap waktu, pagi atau sore, siang atau malam. Begitulah keadaannya sekarang. Padahal di zaman dulu, suami yang menceraikan isterinya, kehilangan sama sekali semua harta miliknya, karena harta miliknya itu menjadi hak isteri yang diceraikan itu!

Ya, - ”suami” - itulah kata satu-satunya yang terdapat di dalam kamus seorang perempuan Jepang. la seorang isteri yang ”sempurna”, yang halus, yang mencinta, yang taat, yang bakti, yang berkorban, - karena sang suami itu. Orang tak mudah mengarti hal ini. Dr. Nitobe sendiri, itu penulis Jepang yang termasyhur, berkata, bahwa perempuan Jepang itu sudah menjadi satu soal, satu problem. ”Problem bagi dunia, problem bagi negerinya, problem bagi dirinya sendiri”. Ia mencinta meski tak pernah dicinta, mengorbankan dirinya meski tak pernah mendapat terima kasih. Ia selalu memberi, dan tak pernah mendapat. Hidupnya, menurut O’Conroy, adalah satu ”tetesan air mata dan satu senyuman, satu keduka-citaan yang dipikul dengan diam-diam, satu hidup mati berdiri yang tiada persamaannya di sudut dunia manapun jua”. Baginya, menurut tulisan van Kol, tidak kawin adalah satu noda yang amat besar, tetapi kawin satu siksaan yang amat pedih.

Betapa hebatnya cinta seorang perempuan Jepang! Ia mencinta dengan segenap jiwanya, tetapi tak dapat menjelmakan cintanya itu, karena suaminya tak mengizinkan dia duduk terlalu dekat. Ia musti selalu bersikap hormat, selalu bersikap” abdi”. Maka dicurahkannyalah cintanya itu habis-habisan kepada anak. Lafcadio Hearn tidak mengenal satu hal yang lebih mengharukan hati, daripada seorang perempuan Jepang yang mengusap-usap dan mencium-cium kepada anaknya. Matanya yang memandang kepada anaknya itu seringkali berlinang-linang.

Tetapi, apakah laki-laki Jepang membalasnya dengan cinta pula?
Menurut semua ahli-ahli jiwa orang Jepang, maka laki-laki Jepang itu tak kenaI apa cinta itu. Bahasa Jepang tak mengenal kata buat ”cinta kasih”, di dalam arti dan makna yang kita kenal kepadanya. Perkataan mereka buat ”cinta” adalah satu perkataan yang bermakna persatuan tubuh, dan aksara mereka buat ”cinta” adalah aksara yang menggambarkan persatuan tubuh. Perempuan bagi mereka hanya makhluk pelepas syahwat. Cerita-cerita roman Jepang hampir tak pernah berakhir dengan ”happy end”, - yaitu kebahagiaan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Cinta batin, cinta jiwa, tidak ada. Karena itu maka laki-laki Jepang tidak mengarti, bahwa ia menjalankan satu penghinaan kepada isterinya, kalau ia menyundal, menyelir, membawa perempuan lain ke dalam rumah. Ia merasa boleh mempunyai selir (makake) berapa saja, - di luar dan di dalam rumah. Ia merasa boleh menyundal beberapa kali saja setiap hari, sekuat uang dan kemampuannya. Bergaul dengan geisha-geisha dan perempuan jalang dianggapnya bukan satu keimmorilan. Di seluruh negeri Jepang, di tiap-tiap sudut adalah rumah-rumah joroya dan machiya. Tidak ada satu pesta, tidak ada satu perjamuan, yang tidak ”disempurnakan” dengan geisha-geisha.

Perzinahan, - persetubuhan di luar nikah -, bukanlah satu dosa. Menurut perhitungan cacah jiwa rakyat yang dikerjakan oleh Departemen Tata Usaha Keraton beberapa tahun yang lalu, maka 60% dari anak-anak bangsawan adalah dilahirkan oleh isteri-isteri yang tidak dikawin.
Tetapi janganlah seorang perempuan yang sudah bersuami syah,
berzina dengan laki-laki lain! Hukuman berat, dari wet dan dari etika, akan jatuh di atas kepalanya! Beberapa puluh tahun yang dahulu, ia malahan dijatuhi hukuman mati karena perzinahan itu. Ia hanyalah sebuah milik yang tak boleh diraba oleh orang lain; suami adalah yang memiliki milik itu, dan suami itu boleh menambah jumlah milik itu menurut kemampuannya.

Patriarchat bukan patriarchat, kalau perempuan hanya milik s u a m i 
s a j a. Pada asalnya, b a p a l a h yang memilikinya lebih dahulu. Milik si bapa ini, karena perkawinan, pindah kepada si suami. Bapa tidak menyelidiki lebih jauh, maukah atau tidak maukah anaknya itu kepada laki-laki yang hendak mengawininya. Bapa yang menimbang, bapa yang memutus. Dan anakpun tidak akan banyak bicara, - anak menurut saja. Tidak banyak ”ramai-ramai” atau pesta perkawinan diadakan. Sebab perkawinan hanyalah satu ”amal kontrak sipil” saja. Menurut van Kol, maka, segera sesudah menikah, perempuan itu lantas saja dibawa ke rumah suaminya, dan ”lantas saja disuruh bekerja di rumah tangga”. Badannya, tenaganya, jiwanya, menjadi barang milik. Dan anak-anaknyapun kelak menjadi milik: Kalau ia dicerai, - diusir dari rumah suaminya -, maka anak-anaknya seorangpun tidak boleh mengikutinya!

Pada waktu belum menikah, bapanya boleh mengasihkan dia kepada siapa saja yang dikehendaki oleh bapanya itu.

Ia boleh dijualnya kepada germo-germo, boleh digadaikannya sebagai tanggungan hutang. Kadang-kadang, anak-anak perempuan yang masih amat kecilpun, baru berumur lima-enam tahun, telah dilepaskan oleh bapanya kepada agen-agen sundal itu, untuk ”dididik” supaya kelak menjadi sundal biasa atau menjadi geisha.

Agen-agen rumah joroya atau rumah machiya keluar masuk kampung, mencari perawan-perawan yang sudah dara, atau anak-anak kecil yang masip bermain-main. Kemiskinan kaum tani Nippon yang amat sangat, itulah bumi subur untuk kejahatan agen-agen ini. ”Tidak ada uang di rumah, ... tetapi masih ada anak gadis”... itu berarti masih ada harapan. Agen-agen itu amat tajam sekali hidungnya. Mereka dengan ketajaman hidung serigala, dengan segera mencium, di manakah letaknya desa-desa yang penduduknya di dalam kesusahan. Ada daerah-daerah di negeri Nippon, yang di situ hampir tidak ada lagi gadis-gadis atau perempuan-perempuan muda.

Seorang penulis menceriterakan satu kejadian yang biasa: ”Di dalani satu gubug, duduk seorang orang tani yang sudah tua, dengan isterinya, dan anaknya perempuan yang masih kecil. Ketiga mereka itu duduk dekat kepada api, mencoba-coba mencari hangat. Orang tua itu memakai semacam mantel, terbuat daripada rumput. Angin dingin masuk dari lobang-lobang cela pintu yang terbuat dari pada kertas, dan pintu itu bergoyang karena angin. Tikar yang mereka duduki, warnanya kuning dan kotor, dan sudah amoh. Ibu dan anak diam, tidak mengucapkan sepatah kata juapun; orang laki itu sekali-sekali mengeluarkan suara, tetapi tiada artinya. Yang bergerak hanya tubuh perempuan dan anak itu, karena menggigil kedinginan.

Sekonyong-konyong terdengar dari luar pintu suara sopan santun, - minta maaf karena mengganggu. Bapa tani itu pergi ke pintu, dan sebelum ia membukanya, berjongkoklah ia, serta mengatur tangannya menurut aturan kehormatan. Ia tundukkan kepalanya, sehingga kepalanya itu hampir mengenai tikar yang kotor itu. Demikianlah ia mengucap selamat datang, memper-silahkan tamu supaya masuk. Dengan banyak sekali mem-bungkuk-bungkuk dan memanggut-manggut, pergilah tamu itu ke tempat dekat api. Di situ dikerjakan lagi hormat-menghormat dengan saksama. Keempat-empat orang itu menaruh tangan di atas tikar, - telapak ke bawah, ujung jari ke dalam. Kepala ditundukkan hingga hampir mengenai tikar. Bapa tani meng-ucapkan salam kehormatan rumahnya, meminta beribu-ribu maaf atas segala kekurangan. Si tamu membalas dengan kalimat-kalimat yang sangat hormat dan sopan menurut kebiasaan. Satu mangkuk kecil dengan teh hijau disuguhkan kepada tamu terhormat itu, yang dengan banyak desakan tuan-rumah akhirnya mau duduk juga di tempat kehormatan dalam bilik itu. Teh itu diminumnya dengan pelahan-pelahan dan menurut aturan semestinya, dan sesudah sejurus waktu yang pantas, mulailah ia membuka pembicaraan. Anak perempuan itu tak boleh berkata apa-apa, - tak perduli umurnya enam tahun, atau enambelas tahun, atau enamlikur tahun! Ia harus tunduk kepada kehendak bapa ... Kalau pembicaraan jual-beli sudah selesai, maka ia menundukkan badannya kepada bapanya itu, dan kemudian juga kepada si tamu itu. Pakaian-pakaiannya yang sedikit itu ia kumpulkan menjadi satu bungkusan. Berangkatlah ia mengikuti tuannya” ...

Ia menjadi gadis joroya, atau seorang ”maiko” yang dididik menjadi geisha. Boleh dikatakan, ia tidak akan merdeka lagi, sebelum tubuhnya layu dan keelokannya hilang. Di negeri Nippon sedikitnya 4.000.000 gadis-gadis kecil di bawah umur 15 tahun meninggalkan rumah orang tuanya secara itu. Di dalam kitab O’Conroy saya membaca keterangan orang Jepang  Mr. Satoh yang amat pedas, yang berbunyi: “Salah satu sebab, mengapa pencatatan kelahiran anak di negeri Jepang tidak
begitu berguna, ialah, oleh karena anak-anak masuk kepada barang ”roerende goederen” yang menjadi milik orang yang memilikinya. Sebagai juga halnya dengan babi, ayam, sapi, serta kambing, maka anak-anak itu diternakkan, - buat nanti dijual. Dulu orang membeli anak-anak dengan harga 50 sampai 60 yen, sekarang seorang anak perempuan yang berumur delapan tahun dan cantik paras mukanya hanyalah berharga 10 yen” ...

Ah, Sarinah di negeri Sakura yang indah itu, dan yang kebudayaannya di lain fihak begitu tinggi! Hanya tiga jenis tempat nasibnya:
Dinikah orang, atau tidak dinikah orang, atau dibeli orang dan
dijadikan ”bunga”. Dinikah orang berarti perhambaan yang berat;
tidak dinikah orang berarti kehinaan seumur hidup; dibeli orang dan menjadi bunga joroya atau geisha berarti kesengsaraan puluhan tahun.
Barangkali menjadi geishalah yang paling mendingan.
Sebagaimana di kota Athena (Yunani) di zaman purbakala perempuan-perempuan yang tidak mau dikurung dan ditindas oleh kaum laki-laki, sama menjadi  h e t a e r e, - yaitu menjadi sundal merdeka, - maka di Nippon geisha-geishalah yang paling ”senang”. Bacalah keterangan seorang geisha yang saya kutip ini! Menggelikan, tetapi juga menyedihkan! ”Kami geisha-geisha masih boleh dikatakan yang paling untung. Lebih untung dari perempuan-perempuan yang punya suami, atau sundal-sundal biasa. Perempuan yang bersuami diwajibkan tidur dengan satu orang laki-laki seumur hidup, dan tidak mendapat bayaran sepeserpun juga. Sundal biasa diwajibkan tidur dengan banyak orang-orang laki-laki, dan kadang-kadang mendapat persenan juga. Kami kaum geisha tidur hanya dengan sedikit orang laki-laki saja, dan seringkali juga boleh memilih sendiri siapa yang kami cintai. Dan mereka mengasih persenan-persenan kepada kami” ...

Sungguh, di negeri ”matahari terbit” itu, belum terbit mata-hari bagi kaum perempuan! Tetapi ia tidak boleh mengaduh; ia tidak boleh bermuka sedih. Ia diwajibkan selalu bermuka manis, ia harus selalu tersenyum. Ia tidak boleh mengganggu hati sang suami dengan muka yang tidak menarik hati. Ia diwajibkan selalu seperti bidadari, meskipun baru saja dipukuI, dikasari kata, dimasuki sundal rumah-tangganya. Akhirnya ia menjadi satu makhluk yang selalu tersenyum, tersenyum, tersenyum saja. Tetapi berapa rintihan sukma, berapa senggukan tangis tersembunyi di belakang senyuman itu? Adalah satu peribahasa Nippon yang berbunji: ”Orang laki-laki tertawa dengan hatinya; orang perempuan tertawa dengan mulutnya saja”.

Sejak dari kecil ia sudah disuruh mengafalkan isi buku kuno tulisan Kaibara Ekiken (sudah barang tentu pujangga pendidik perempuan ini orang ... laki-laki!) yang bernama ”Onna Dai-Gaku” (”Sekolah Tinggi buat perempuan”), yang mengandung ajaran seribu satu kewajiban dan seribu satu larangan yang seram-seram. Salah satu kewajiban itu ialah: tetap bermuka manis, tetap gembira, meskipun hati merintih-rintih.
Dan salah satu larangan ialah: perempuan tidak boleh mengomel, sebab Konghucu telah berkata bahwa ”ayam betina yang pagi-pagi sudah berkokok, niscaya membawa sial”! Herankah kita bahwa perempuan di negeri matahari terbit ini menjadi ”bidadari-bidadari kejelitaan”, yang tiada bandingannya di muka bumi? Bukan karena adanya agama Buddha saja; negeri Nippon dinamakan ”negeri bunga teratai”. Bunga teratai Nippon yang sesungguhnya, ialah wanita Nippon itu! Ditanam di dalam lumpur, tetapi tetap cantik manis; ditumbuhkan di dalam kotoran, tetapi tetap menarik hati! ...

Van Kol menulis tentang perempuan Nippon itu: ”Perempuan hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya saja; kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan perasaan-perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya”. ”Perempuan dididik dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat mengerjakan segala hal lebih baik daripada dia, dan bahwa banyak sekali hal-hal yang sama sekali tidak dapat dikerjakan oleh wanita. Ditanamkan dalam-dalam di dalam ingatannya, bahwa semua urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada anak-anak perempuan yang masih kecil diajarkan, bahwa mereka tak mempunjai hak apa-apa bilamana mengenai adiknya laki-laki”. Peribahasa Jepang berbunyi: ”Di dalam tiga dunia perempuan tak boleh mengaso: dunia sekarang, dunia yang sudah silam, dunia yang akan datang”. Satu lagi: ”Tiga hukum ketaatan harus diindahkan oleh perempuan; waktu ia kecil, ia harus taat kepada orang tuanya; waktu dewasa, ia harus taat kepada suaminya; waktu tua, ia harus taat kepada anaknya”. Andre Bellessort menulis: ”Di Nippon, tidak ada barang sesuatu yang lebih menghibakan hati, daripada wanita. Segala miliknya, harus ia anggap sebagai kemurahan hati suaminya. Hidupnyapun adalah karena kemurahan hati Yang Dipertuan itu”. Griffis berkata: ”Barangkali tidak ada yang melebihi wanita Jepang sebagai ibu, sebagai isteri, sebagai anak, sebagai kawan, di atas lapangan kebajikan meniadakan diri sendiri dan mengorbankan
diri sendiri” .

Demikianlah nasib wanita Jepang. Saya kira nasib mereka itu menggambarkan ekses-ekses patriarchat dengan cara yang terang
sekali. Negeri Nippon terbagi menjadi dua alam: alamnya laki-laki
yang menindas, dan alamnya perempuan yang tertindas. Di atas segala lapangan, dua alam ini berlainan satu dari yang lain. Tingkah laku, budi pekerti, tabiat, cara hidup sehari-hari, bahasa, kesenangan-kesenangan, angan-angan, cita-cita, - semuanya berlainan, semuanya mempunyai corak sendiri. Laki-laki yang turun-temurun berabad-abad hidup dalam ideologinya penindas, bangun tidur sebagai penindas yang selalu diturut dan ditaati, - laki-laki itu akhirnya sama sekali menjadi ”manusia lain” daripada perempuan yang turun-temurun berabad-abad selalu tunduk dan tertindas itu. Perempuan menjadi seperti makhluk-makhluk sutera, seperti ”bidadari”, seperti dewi-dewi kebaikan yang menurut seorang penulis Perancis penuh dengan ”grace et douceur”, tetapi laki-laki Jepang adalah angker, angkuh, kaku, sengit, gampang membentak dan menempiling. Lafcadio Hearn yang paling mengenal bangsa Jepang di antara ”penulis-penulis yang lain, Lafcadio Hearn berkata bahwa wanita Jepang itu ”begitu berbeda segala-galanya daripada laki-laki Jepang, sehingga kelihatannya mereka itu memang satu bangsa lain sama sekali”. Di dalam bukunya O’Conroy ada termuat komentarnya seorang penulis Jepang atas ucapan Lafcadio Hearn itu: Ia membenarkan Lafcadio, dengan perkataan: ”Hampir semua orang asing memang melihat perbedaan antara laki-laki kita dan perempuan kita. Laki-laki kita umumnya memang tidak rapih, mukanya seperti liar, tingkah lakunya kasar, bahasanya tidak teratur, sikapnya di tempat umum tidak sopan. Perempuan-perempuan kita selamanya membelakangkan diri, sopan, dan di dalam kehidupan rumah tangga malahan lebih sederhana dan lebih sopan lagi. Kalau laki-laki kita dengan tingkah-lakunya yang kasar itu dianggap sebagai contoh kelaki-lakian, maka perempuan-perempuan kita harus dianggap sebagai bidadari-bidadari”. Van Kol pun demikian pendapatnya: ”Barangkali tidak ada negeri lain di dunia ini, di mana perem-puan begitu  b e r b e d a  dari laki-laki, seperti di Jepang. Orang boleh berkata benar-benar, bahwa di sana itu ada dua bangsa manusia yang sebelah-menyebelah satu sama lain: laki-laki dan perempuan, yang bukan saja perangainya berbeda, tetapi juga badannya berbeda satu sama lain. Terutama sekali kepada orang-orang Eropa perbedaan ini sangat menyolok mata”.

Itulah akibat ekses patriarchat! Ratusan tahun kebiasaan menindas telah memberi ”kesan” kepada rohani dan jasmani yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah memberi ”kesan” pula kepada rohani dan jasmani yang tertindas. Memang perbedaan di atas lapangan rohani dan jasmani itu, - yang tidak untuk ”keperluan turunan” -, telah saya bicarakan di muka: Perbedaan-perbedaan itu bukan perbedaan yang karena kodrat alam, bukan perbedaan yang dari zaman purbakala telah ada, tetapi ialah perbedaan-perbedaan yang karena milieu, perbedaan-perbedaan yang karena kebiasaan hidup, - perbedaan-perbedaan yang karena menindas atau ditindas turun-temurun. Siapa yang di zaman sekarang ini, sesudah ilmu pengetahuan dapat mengangkat tabir yang menutup pelbagai rahasia-rahasia dalam masyarakat manusia, masih saja mengatakan, bahwa memang  k o d r a t  perempuan berbadan lemah, berjalan tunduk, berfikir dungu, berperasaan sempit, berkemauan tak tentu, dan bahwa oleh karena itu  d u s  sudah  k o d r a t perempuan untuk ditaruh di lapisan bawah atau ditaruh di luar pergaulan hidup, - dia sendiri adalah orang yang bodoh, orang yang dangkal pengetahuan. Dia saya persilahkan membuka buku sejarah-masyarakat, antara lain-lain sejarah masyarakat Nippon yang membuktikan kebodohan anggapannya itu: Dulu, di zaman sebelum zaman feodal, perempuan Jepang tangkas, sigap badan, cerdas, menjadi raja-raja puteri, memerintah, memegang obor kesenian, mengalahkan kaum laki-laki yang menurut van Kol di waktu itu. ”verwijfd”, - sekarang, sesudah ratusan tahun ekses patriarchat, ia berjalan membungkuk, menjadi makhluk ”jelita”, kaum yang mengalah, orang yang ”nerimo”. Sungguh masya-rakat Jepang itu masyarakat yang baik kita pelajari, oleh karena masyarakat di sana itu dengan jarak yang hanya seribu tahun saja telah mengenal dua ”macam” perempuan: perempuan yang menang rohani dan jasmani, dan perempuan yang kalah rohani dan jasmani.

Dan saya heran: tidakkah pernah orang mendengar nama Amazone? Tidakkah pernah orang mendengar nama Tembini? Anggapan tentang apa yang disebut ”pencaharian hidup menurut kodrat”, ”tujuan menurut kodrat”, ”bakat menurut kodrat” dan lain sebagainya itu, yang hendak  m e n e t a p k a n  perempuan itu di samping api dapur  s a j a  dan buaian anak  s a j a, anggapan demikian itu dibantah mentah-mentah oleh sejarah masyarakat.

Tetapi, pembaca, janganlah pembaca kira bahwa contoh-contoh ekses patriarchat yang keliwat, hanya terdapat di Jepang saja! Tidak! Di daerah-daerah Islam dari negara Rusia, (tetapi pemerintah Sovyet bekerja keras untuk mengemansipasikan wanita di daerah-daerah yang di bawah kekuasaannya), dan, di negeri-negeri yang berpemerintahan Islam pula, ada tempat-tempat yang patriarchat mengekses sehingga mendirikan bulu. Bacalah kitab-kitab Fanina W. Halle, Meredith Townsend, Frances Woodsmall, dsb! Sudah barang tentu ”Islam”                  d i  t e m p a t - t e m p a t  i t u  bukan Islam murni sebagai yang di kehendaki Tuhan dan Rasulullah, yang memberi kedudukan baik kepada wanita. Sebenarnya saya di dalam risalah ini ingin sekali menceriterakan tentang ekses-ekses patriarchat di daerah-daerah Islam itu, tetapi sayang seribu sayang ada dua hal yang menghalanginya: Pertama oleh karena tempat di dalam kitab ini kurang luas, kedua oleh karena buku-buku saya yang mengenai perkara ini semuanya ketinggalan di Bengkulu. Insya Allah, kalau Tuhan mengizinkan, kalau buku-buku itu sudah dapat saya datangkan, kalau saya ada waktu, saya hendak menulis satu risalah tentang ”Perempuan di dunia Islam”.

Saya tadi mengambil Jepang sebagai gambaran, oleh karena Jepang adalah negeri  m o d e r n. Saya menaroh masyarakat Jepang itu dalam peneropongan, untuk memberi pengartian kepada pembaca, bahwa kemodernan  t i d a k  s e l a m a n y a dibarengi dengan penjunjungan derajat perempuan. Tetapi perhatikanlah: manakala nanti industrialisme di Nippon makin banyak membutuhkan tenaga perempuan, manakala industri-alisme itu nanti makin banyak menarik tenaga wanita ke dalam   p r o d u k s i  m a s y a r a k a t, - maka tidak akan laku lagi sepeserpun segala ajaran-ajaran kitab ”Onna Dai Gaku” yang kolot itu. Maka tidak boleh tidak akan b e r o b a h derajat perempuan di Jepang itu. Maka pasti akan berganti m o r a l tentang kewanitaan di Jepang itu. Malahan di waktu sekarang ini t e l a h  m u l a i perubahan itu berlaku berangsur-angsur. Banyak ”perempuan baru” kini telah berjalan di jalan-jalan Tokyo, Kyoto, Nagoya, dll. Peperangan Jepang Tiongkok yang banyak membutuhkan tenaga perempuan di paberik-paberik, peperangan dunia II yang dito, memberi dorongan lagi kepada proses perobahan itu. Saya kira, segala sisa-sisa kekolotan itu akan lenyap sama sekali sebelum abad ke XXI mengetok pintu. Buat kesekian kalinya kita akan melihat, bahwa segala ikatan-ikatannya moral yang kolot, segala belenggu-belenggu ”agama” yang menyalahi Agama, akan pecah hancur putus karena hantaman hukum Predestinasi Sosial Ekonomis.

Perempuan akan merdeka dan pasti merdeka. Bukan di Nippon saja, tetapi juga di tempat-tempat yang keadaan wanita-nya kini lebih mesum lagi daripada di Nippon itu: di beberapa tempat di Magribi dan Arabia, di Syarkulardan dan di Punjab, di beberapa daerah Sentral Asia dan Sentral Afrika, di beberapa daerah tanah air kita sendiri. Perempuan di Jepang masih boleh keluar pintu, masih boleh ke pasar dan ke kedai, masih boleh ke medan umum, masih boleh melihat dunia. Tetapi di tempat-tempat yang saya sebutkan itu ada banyak mereka yang sama sekali dikurung, ditutup, dipingit. Van Kol mengeluh kalau ia melihat nasib Keiko atau Setsuko di negeri Sakura, tetapi ia tentu mengakui pula bahwa nasib Zulaeha atau Maemunah di beberapa daerah Islam ada yang lebih menyedihkan lagi. Banyak penulis yang sudah mengelilingi seluruh dunia Timur, dari Magribi sampai ke Jepun, dari Peiping sampai ke Singapura, tidak dapat menunjukkan tempat-tempat yang wanitanya lebih terkungkung daripada justru di beberapa daerah yang namanya daerah ”Islam”.

Jepang adalah satu paradox, antara kemodernan dan kekolotan. Tetapi kekolotan fahamnya tentang wanita, tidak memegang record. Record kekolotan adalah dipegang oleh sebagian dari umat yang namanya telah beragama Islam. Bukan sesuai dengan kehendak Islam, tetapi, bertentangan dengan kehendak Islam!



BAB V
WANITA BERGERAK

Keadaan wanita yang ditindas oleh fihak laki-laki itu akhir-nya, tidak boleh tidak, niscaya membangunkan dan membangkit-kan satu pergerakan yang berusaha meniadakan segala tindasan-tindasan itu. Itu memang sudah hukum alam. Tetapi adalah hukum alam juga, bahwa kesedaran dan kegiatan sesuatu pergerakan bertingkat-tingkat.

”Ber-evolusi”. Pergerakan perempuan ber-evolusi.
Buat mengarti tingkat-tingkat evolusi pergerakan perempuan itu, pembaca lebih dulu dengan singkat saya ajak meninjau lagi keadaan masyarakat perempuan di dunia Barat seratus lima puluh tahun yang lalu.

Barangkali pembaca menanya: kenapa ”dunia Barat”?
Jawab atas pertanyaan itu adalah mudah dan singkat: oleh karena di dunia Baratlah lahirnya pergerakan wanita mula-mula. Di dunia Baratlah pertama-tama terdengar semboyan ”perempuan, bersatulah”! Di dunia Baratlah berkembangnya contoh untuk kaum wanita di dunia lain. Malahan dari mulut wanita dunia Barat, dari mulut Katharina Brechkovskaya, pertama-tama terdengar seruan: ”Hai wanita Asia,
sedar dan melawanlah!”.

Tatkala perempuan di dunia Barat sudah sedar, sudah bergerak, sudah melawan, maka perempuan di dunia Timur masih saja diam-diam menderita pingitan dan penindasan dengan tiada protes sedikitpun juga. Tidak diketahui, tidak dikira-kirakan, oleh perempuan di dunia Timur itu, bahwa  a d a  kemungkinan menghilangkan tindasan dan pingitan itu, bahwa   a d a  jalan untuk memerdekakan diri. Dikiranya, bahwa tindasan dan pingitan itu memang sudah kehendaknya alam. Tetapi sebagaimana faham-faham politik yang timbul di dunia Barat lambat-laun menular pula ke dunia Timur, demikian pula maka semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang didengung-dengungkan di dunia Barat itu akhirnya mengumandang dan menggaung juga di tepi-tepi sungai Nil, sungai Yang Tse, dan sungai Gangga. Kini dunia Timur sudah mempunyai ”pergerakan wanita”, kini Asia sudah tidak lagi mendidih dan menggolak dengan perjoangan kaum laki-laki  s a j a, tetapi wanita Asia pun sudah mulai ikut-serta di dalam perjoangan
untuk seksenya sendiri dan untuk tanah airnya.

Tetapi, boleh dikatakan belum ada satu negeri di benua Timur itu
yang pergerakan wanitanya, - kecuali beberapa individu -, telah 
b e r i d e o l o g i  setinggi ideologi pergerakan wanita di dunia Barat di dalam tingkatannya yang terakhir. Timur meniru kepada Barat, tetapi menirunya itu belum menyamai segenap tingkatan yang boleh menjadi teladan kepadanya.

Bilamana di dunia Barat pergerakan wanita dengan nyata menunjukkan tiga stadia evolusi, tiga tingkatan, - tingkatan   k e s a t u, tingkatan
k e d u a, dan tingkatan k e t i g a -, maka Timur yang meniru Barat itu, paling mujur, barulah sampai ketingkatan k e s a t u  dan k e d u a  saja. Dan itupun belum sehebat, seberkobar-kobar, semenyala-nyala tingkatan kesatu dan kedua di benua Barat beberapa puluh tahun yang telah lalu!

Apakah tingkatan-tingkatan pergerakan wanita di dunia Barat itu?
Marilah saya ceritakan hal itu kepada pembaca, lebih dulu secara ”selayang terbang”. Itulah cara yang paling ”mengartikan”.
Sesudah peninjauan ”selayang terbang” itu, - saya maksudkan:
sesudah peninjauan ”dari udara”, yang memberikan ”ikhtisar umum” -, maka pembaca akan saya ajak turun lagi ke bumi bagian kecil-kecil,
ke buminya detail. Dengan cara yang demikian, kita akan lebih mudah mengarti sejarah kesedaran wanita di benua Barat, dari dulu. sampai sekarang.

S e b e n a r n y a, belum boleh dikatakan ada ”pergerakan wanita” di Barat sebelum pecahnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis pada silamnya abad kedelapan belas.

Baru d i  d a 1 a m  Revolusi Amerika dan Perancis itulah buat pertama kali ada aksi fihak wanita yang tersusun, yang boleh diberi gelar ”pergerakan wanita”. Baru d i d a l a m Revolusi itulah kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya sebagai manusia, sebagai anggauta masyarakat, sebagai warga Negara, memprotes kezaliman atas diri mereka sebagai sekse dan sebagai warga negara wanita.

S e b e l u m  Revolusi-Revolusi itu, belum adalah gerakan itu. Hanya di kalangan kaum perempuan b a n g s a w a n dan h a r t a w a n adalah semacam ”kerajinan”, semacam ”kegiatan”, yang saya namakan
” t i n g k a t a n  k e s a t u ” daripada pergerakan wanita. Sebenarnya perkataan p e r g e r a k a n wanita buat tingkatan kesatu inipun kurang tepat, sebab ”kerajinan” atau ”kegiatan” itu sama sekali bukan pergerakan, - apalagi gerakan! ”Kerajinan” dan ”kegiatan” itu hanyalah satu ”onder-onsje” (pertemuan antara kawan-kawan) belaka, ... -  satu ”kelangenan” (J.) Bukan satu ”aksi”, bukan satu perlawanan tersusun”, bukan satu ”gelombang kesedaran”. Ia hanyalah satu ”kesukaan”, satu ”pengisi waktu nganggur”. Ia terutama sekali dikerjakan oleh wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang jemu dengan terlalu banyaknya waktu menganggur.

Ada gunanya ”kegiatan” semacam itu saya namakan satu t i n g k a t 
k e s a t u  daripada  p e r g e r a k a n  wanita!

Sebab di Indonesia sini, terutama sekali sebelum Indonesia merdeka kebanyakan kegiatan-kegiatan wanita yang disebutkan orang ”pergerakan wanita Indonesia”, sebenarnya tidak lebih daripada kegiatan semacam ”onder-onsje” atau ”kelangenan” pula. Satu onder-onsje priyantun-priyantunan, yang sama sekali jauh terasing daripada massa, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi politik sama sekali!

Apakah kegiatan ”tingkatan kesatu” di benua Barat itu?
Tingkatan kesatu ini ialah tingkatan perserikatan-perserikatan, - club-club -, yang anggotanya rata-rata dari kalangan kaum wanita atasan, dan yang tujuannya serta usaha-nya ialah memperhatikan  k e r u m a h
t a n g g a a n. Ilmu masak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu bergaul, ilmu kecantikan, ilmu estetik, serta prakteknya, - hal-hal yang semacam itu yang men-jadi lapangan usahanya. Club-club itu ”menyempurnakan” wanita sebagai isteri dan sebagai ibu. ”Menyempurnakan” anggota-anggotanya untuk cakap memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, cakap mem-berahikan suami, cakap
menjadi ibu. Perbandingan hak antara laki-laki dan perempuan t i d a k disinggungnya, ekses-ekses patriarchat  t i d a k  ditentangnya. Kegiatan mereka ialah justru untuk menyempurna-kan diri mereka  d i  d a 1 a m  ekses-ekses patriarchat itu.


Demikianlah misalnya, bantuan masyarakat kepada pekerjaan Sarinah sebagai Ibu. Dengan bantuan itu maka kebahagiaan somah menjadi kebahagiaan yang sebenar-benar-nya. Jikalau benar ada kekeramatan somah, maka beginilah somah itu menjadi keramat sekeramat-keramatnya!

Sesungguhnya! Alangkah munafiknya pembela-pembela sistim masyarakat yang sekarang! Mereka ”mengeramatkan” somah, mereka katanya melindungi somah, mereka menolak percampuran tangan
dari masyarakat ke dalam urusan somah, tetapi justru sistim masyarakat yang mereka bela itu memecahkan kebahagiaan somah habis-habisan! Justru sistim masyarakat yang mereka ikuti itu mengisi somah dengan kepahitan-kepahitan yang tiada bilangan. Justru sistim masyarakat kapitalistis itu mengusir Sarinah pagi-pagi benar ke luar dari sarangnya, somah memeras dia laksana kain basah dalam pekerjaan budak sepanjang hari, mengembalikan dia jauh-jauh sore atau jauh-jauh malam dalam keadaan lelah badan dan lelah jiwa kepada somah, dan kemudian melabrak dia lagi dengan cambuknya pekerjaan-pekerjaan rumah-
tangga yang bermacam-macam ragam sampai dia ambruk di tempat pembaringan, entah jam berapa di tengah malam? Inikah kekeramatan somah yang mereka hendak pertahankan? Sekali lagi: hanya bilamana batas antara somah dan pekerjaan tidak lagi tajam dan tidak lagi keras, hanya bilamana somah dan pekerjaan i s i - m e n g i s i  satu sama lain, maka somah dapat menjadi keramat sejatinya keramat. Hanya bilamana demikian, maka somah benar-benar menjadi satu  s a r a n g.
Sarangnya Orang, sarang Manusia! Wanita sebagai Ibu memelihara anak, wanita sebagai Isteri dan Ibu memasak penganan ekstra atau memasak sendiri semua makanan kalau ia mau, wanita sebagai Isteri dan Ibu menjalankan rumah tangga, semuanya itu dalam kesenangan dan dengan kemerdekaan memilih, semuanya itu sebagai amal kasih
dan amal bahagia. Semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia, berkat  b a n t u a n masyarakat, berkat  p e r c a m p u r a n  t a n g a n masyarakat yang berupa pengoperan sebagian besar fungsi-fungsi somah oleh masyarakat, dan berkat alat-alat teknik yang diasakan ke dalam somah oleh masyarakat itu. Tidakkah keramat sarang yang demikian itu? Sarang bahagia, dan bukan sarang ketidak-bahagiaan sebagai sediakala? Sarang bahagia, dari mana pada waktu pagi Sarinah dapat terbang keluar untuk dengan  h a k  p e n u h mengembangkan kepribadiannya dalam masyarakat, dan kemana ia pada waktu sore
dapat terbang kembali untuk dengan  h a k  p e n u h  mengembangkan dharmanya sebagai yang diberikan oleh kodrat alam kepadanya?

Henriette Roland Holst menamakan Dunia yang akan menjelmakan keadaan ini satu ”sarang orang-orang yang bersahabat”,
satu ”nest van genoten”.

Satu Sarang Besar dari orang-orang yang bersahabat!

Dan di dalam Sarang Besar itu, demikianlah penglihatan saya, ribuan, milyunan sarang-sarang kecil.

Sarang-sarang kecil Manusia!
Sarang-sarang kecil Wanita Merdeka!
Mungkinkah Indonesia menjadi Sarang Besar yang demikian itu?


=========================

BAB VI
SARINAH DALAM PERJOANGAN
REPUBLIK INDONESIA

Siapa yang memperhatikan benar-benar tingkat-tingkat pergerakan wanita sebagai yang saya gambarkan di muka tadi, akan dapat menentukan tepat pergerakan wanita Indonesia di derajat mana: Terutama sekali di zaman sebelum pecahnya perang Pasifik sebagian besar daripada pergerakan wanita Indonesia barulah menduduki tingkatan yang kesatu, - tingkat main puteri-puterian - yang telah dianggap basi di negeri lain berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan sebagian kecil menduduki tingkat yang kedua, yang di negeri lain
pun telah menjadi tingkat yang telah lalu. Di zaman kolonial
Belanda, maka hasil yang dicapai oleh pergerakan wanita Indonesia
itu sungguh amat kecil: di dalam tahun 1941 diadakan hak pemilihan buat haminte yang sangat sekali terbatas, dan itu pun dengan aturan ...
 ”vrije aangifte”. Hasil ini amat kecil, jika dibandingkan dengan hasil hak pemilihan
yang dicapai oleh wanita di negeri lain. Apakah ini mengherankan? Sudah tentu tidak! Sebab pemerintah Belanda adalah pemerintah Belanda, dan aksi wanita di Indonesia, jikalau dibandingkan dengan
aksi suffragette di Inggeris misalnya, atau aksi Panitia-panitia Penyedar di Jermania, adalah laksana kucing dibandingkan dengan harimau. Manakala wanita Indonesia mengira, bahwa mereka dengan pergerakannya itu dulu telah ikut-serta secara ”hebat” di dalam perjoangan evolusi kemanusiaan, baiklah mereka mencerminkan pergerakan mereka itu dalam kaca benggala pergerakan wanita di
negeri lain. Alangkah kecil nampaknya! Alangkah jauh terbelakangnya! Alangkah tiada adanya ideologi sosial yang berkobar-kobar di dalam dadanya.

Sekarang kita telah merdeka. Kita telah mempunyai Negara.
Kita telah mempunyai Republik. Bagaimanakah aktivitas wanita di dalam Republik kita itu, bagaimanakah h a r u s n y a aktivitas wanita
di dalam  p e r j o a n g a n  Republik kita itu? Inilah soal yang amat penting, yang harus diinsyafi sungguh-sungguh oleh semua pemimpin wanita Indonesia. Malahan bila mungkin, jangan ada seorang wanitapun yang tidak insyaf, jangan ada seorangpun di antara mereka yang ketinggalan! Dengan tiada berfaham komunis saya dapat mengagumi ucapan Lenin: ”Tiap-tiap koki harus dapat menjalankan politik”.
Buat segenap wanita Indonesia itulah saya menulis kitab ini. Supaya mereka insyaf, supaya mereka ikut serta dalam perjoang-an, - supaya mereka mempunyai p e d o m a n dalam perjoangan. Manakala La Passionaria (Dolores Ibarouri) di dalam Revolusi Spanyol berseru:
”Hai wanita-wanita Spanyol, jadilah revolusioner, - tiada kemenangan revolusioner jika tiada wanita revolusioner!”, maka saya berkata:
”Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, - tiada
kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”

Ucapan saya ini adalah satu variant daripada ajaran yang terkenal: ”Tiada aksi revolusioner, jika tiada teori revolusioner”. ”Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tiada pakai teori, tiada
berarah tujuan.” Camkanlah ajaran ini! Janganlah mengira, bahwa segala apa yang saya tuliskan di dalam bab-bab di muka dan yang akan saya uraikan di dalam bab ini ”terlalu teori”. Amboi, umpama saya ada kesempatan memberikan sepuluh kali lebih banyak teori tentang soal wanita daripada ini, saya akan berikan! Sebab, ngawurlah orang yang bergerak tidak dengan teori! ”Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tidak pakai teori, tiada berarah tujuan”. Demikianlah ajaran tadi. Lebih jitu lagi orang boleh berkata: Teori tak dengan perbuatan, mati! Perbuatan tak dengan teori, ngawur!

Sampai di manakah duduknya perjoangan kita, rakyat Indonesia, sekarang ini? Sejak tahun 1908 kita mengadakan pergerakan,
sejak tahun 1908 kita siang dan malam seolah-olah demam dengan pergerakan. Sejak hampir 40 tahun kita tidak mengenal istirahat.
Sejak 17 Agustus 1945 kita mempunyai Negara, tetapi sejak itu pula
kita malahan makin membanting tulang, makin ”demam”, makin
seperti ”keranjingan syaitan”! Arus perjoangan tidak berhenti-henti,
arus perjoangan itu tidak mengenal ampun, terus menarik kita dan
terus menghela kita. Sampai di manakah, sekarang, kita ini?

Tatkala Wahidin Sudirohusodo dalam tahun 1908 mendirikan Budi Utomo, dengan diikuti oleh cendekiawan-cendekiawan intelek bangsa, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Umar Said Tjokroaminoto dengan suaranya yang seperti suara burung perkutut, bersama-sama dengan Haji Samanhudi, mendirikan Sarekat Dagang Islam, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala tidak lama kemudian daripada itu beliau merobah Sarekat Dagang Islam itu menjadi Sarekat Islam, maka dadanyapun penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Ernest Douwes Dekker (Setiabudi) bersama-sama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki Hadjar Dewantara) mendirikan Nationaal Indische Partij, maka dada mereka penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Semaun dan Alimin dan Muso dan Darsono membangkitkan Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Mohammad Hatta, dengan kawan-kawannya yang ulung, bergerak dalam Perhimpunan Indonesia, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Sutomo bersama-sama dengan kawan-kawannya intelektuil mendirikan P.B.I., mendirikan Parindra, mendirikan Bank Nasional, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala saya bersama-sama dengan beberapa butir kawan mendirikan Partai Nasional Indonesia, dan kemudian menggerakkan partai itu menjadi partai yang dicintai rakyat, maka dada saya, alhamdulillah, penuh pula dengan rasa cinta tanah air. Tatkala kita pada 17 Agustus 1945 dengan tekad yang bulat dan keras laksana peluru baja mendirikan Republik, maka dada kita penuh dengan rasa cinta tanah air. Dan manakala kita sekarang mati-matian mempertahankan Republik itu, mati-matian membentengi Republik itu dengan kesetiaan kita, mati-matian merealisasikan isi semboyan kita ”sekali merdeka, tetap merdeka”, maka dada kita semua penuh meluap-luap menyala-nyala  berkobar-kobar - dengan apinya cinta tanah air!

Sama-sama kita di dalam tempoh yang hampir 40 tahun itu merasakan cinta tanah air, sama-sama kita mengamalkan cinta tanah air. Tetapi 
p e r t i m b a n g a n  yang mendorong kita kepada rasa dan kepada amal itu, tidak selamanya sama. Yang satu mengamalkan cinta tanah air, karena ia merasa perlu membela kepentingan-kepentingan golongan putera-puteri priyayi yang kurang pengajaran dan perlu diberi pengajaran, yang lain mengamalkan cinta tanah air karena perlu menyusun tenaganya golongan kaum dagang Indonesia yang selalu terdesak oleh saingan asing. Yang satu lagi mengamalkan cinta tanah air untuk melepaskan seluruh kaum atasan Indonesia dari ikatan penjajah-an agar supaya kaum atasan itu dapat berkembang, yang lain lagi mengamalkan cinta tanah air untuk membela kepentingan kaum tani dan agama yang diikutinya. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat mengamalkan cinta tanah air untuk menentang penghisapan golongan buruh dan tani oleh imperialisme, Parindra mengamalkan cinta
tanah-air sebagai kampiunnya golongan yang agak atasan.

Semuanya mengamalkan cinta tanah air, malahan barangkali semuanya mengejar Indonesia Merdeka. Tetapi jikalau kita selidiki satu-persatu partai-partai itu, - sejak dari Budi Utomo, sampai ke Sarekat Dagang Islam, sampai ke Sarekat Islam, sampai ke Nationaal Indische Partij, sampai ke Partai Komunis Indonesia, sampai ke Sarekat Rakyat, sampai ke Parindra, sampai ke Partai Nasional Indonesia dan partai lain-lain – timbullah pertanyaan: dapatkah partai-partai itu dalam  b e n t u k n y a  y a n g  d u l u  i t u membawa rakyat Indonesia kepada  
k e m e r d e k a a n  yang kekal dan abadi?

Inilah satu pertanyaan penting, yang harus dijawab, oleh karena jawabannya itu mengandung pengajaran buat perjoangan kita selanjutnya. Dan jawaban itu dengan jujur dan tegas haruslah berbunyi: P a r t a i - p a r t a i  i t u  d i  d a 1 a m  be n t u k  d a n  p o l i t i k n y a  y a n g  d u l u  i t u  t i d a k  d a p a t  m e m b a w a  r a k y a t 
I n d o n e s i a  k e p a d a   k e m e r d e k a a n  y a n g  k e k a l  d a n  a b a d i !

Oleh karena apa? Oleh karena partai-partai itu semuanya satu-persatu menderita kekurangan-kekurangan! Ambillah misalnya Budi Utomo. Jikalau umpamanya Budi Utomo hendak meng-ikhtiarkan Indonesia Merdeka, - dapatkah ia berhasil? Dengan apa? Dengan anggota-anggotanya yang tidak banyak itu, dan hampir semuanya bekerja
kepada jabatan-jabatan pemerintahan asing? Dengan mencoba 
m e y a k i n k a n  pihak Belanda, bahwa penjajahan tidak adil, dan kemerdekaan adil? Percobaan yang demikian itu akan sama sia-sianya dengan mendudukkan setetes air di punggung seekor itik! Atau ambillah Parindra. Jikalau umpamanya Parindra merobah Indonesia Rayanya dengan Indonesia Merdeka, dan berjoang untuk Indonesia Merdeka, dapatkah ia berhasil? Dia tidak dapat berhasil, oleh karena ia tidak mempunyai pengikut massa dan tidak cukup revolusioner.

Pernah dulu saya katakan di dalam satu karangan, bahwa ”seribu
dewa dari kayangan tak dapat membuat Parindra menjadi partai yang revolusioner” oleh karena  b u m i n y a  Parindra memang bukan
kaum yang revolusioner, melainkan kaum pertengahan yang belum revolusioner. Atau, pembaca barangkali melayang-kan fikiran kepada Sarekat Islam, yang dulu terkenal sebagai satu partai rakyat yang terbesar, yang anggotanya pernah satu setengah milyun orang, yang pemimpinnya pernah ditakuti Belanda sebagai ”de aanstaande Koning der Javanen”? Saya pernah duduk di tengah-tengah kancah Sarekat Islam itu. Enam tahun lamanya saya pernah berdiam di bawah satu atap dengan pemimpinnya yang utama itu. Tetapi justru karena itu, saya mengetahui kekurangan-kekurangannya Sarekat Islam. Sarekat Islam adalah satu partai yang massal, tetapi ia bukan partainya massa. Programnya kurang tegas. Banyak kaum tani menjadi anggotanya,
tetapi ada pula tuan tanah, banyak pula saudagar-saudagar dan pedagang pertengahan, pegawai-pegawai pemerintah Belanda, bangsawan yang ternama. Ia tidak tegas menentang imperialisme dan tidak menuntut kemerdekaan mutlak; kapitalisme yang ia perangi ialah, - demikian tertulis di dalam programnya - , hanja ”zondig kapitalisme” belaka. Akibat daripada melayani kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama lain itu tadilah, logis membawa Sarekat Islam kepada perpecahan: Tjokro c.s. - Semaun c.s. Dengan segala hormat kepada almarhum Tjokroaminoto yang saya cintai, saya berkata: Sarekat Islam tidak mungkin membawa kita kepada kemerdekaan! Dan partainya Semaun c.s. yang justru memisah-kan diri dari Sarekat Islam, karena kekurangan-kekurangan Sarekat Islam itu - bagaimanakah dengan
Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyatnya? Tidakkah mereka akan dapat mencapai Indonesia Merdeka? Sebab tidakkah mereka revolusioner? dan tidakkah mereka berhubungan rapat dengan massa? Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat, di dalam bentuknya dan politik-nya yang dulu, tak dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena mereka justru tidak ”tepat” politiknya itu, yaitu membuat satu kesalahan fundamentil dalam mengira bahwa kini sudah datang waktunya untuk revolusi sosial. Dan Partai Nasional Indonesia pun, partai saya sendiri dulu, di dalam bentuknya dan politiknya yang dulu, tak akan dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena ia terlalu memandang perjoangan rakyat Indonesia itu sebagai satu perjoangan nasional t e r s e n d i r i, dan kurang memperhatikan kedudukan perjoangan rakyat Indonesia itu sebagai satu bagian daripada satu Revolusi Besar Internasional.

Lihat - alangkah pentingnya pengalaman-pengalaman yang saya sebutkan di atas itu. Kita sekarang telah merdeka, kita sekarang telah mempunyai Republik, tetapi manakala kita tidak memperhatikan pengalaman-pengalamannya sejarah dan tidak memberi bentuk dan politik yang benar kepada perjoangan kita, - tidak menjalankan perjoangan kita itu dengan sifat yang benar dan pada tempat yang
benar -, maka kemerdekaan itu mungkin terbang ke awang-awang. Maha Besar dan Maha Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa rakyat Indonesia telah merdeka, tetapi untuk m e m i l i k i  k e m e r d e k a a n  i t u  b u a t  s e l a m a - l a m a n y a  dan mengisinya dengan 
k e s e j a h t e r a a n  s o s i a l, - untuk itu perlulah penglihatan yang tepat dan usaha-usaha yang tepat pula. Mencapai kemerdekaan alhamdulillah sudah, memiliki terus kemerdekaan itu kini menjadi tugas.

Maka perlulah kita mengupas beberapa soal. Soal-soal sebagai misalnya: Haruskah kita terus revolusioner? dan apa yang dinamakan revolusioner? - dapatkah kita pisahkan Revolusi Indonesia daripada Revolusi Besar Internasiona1? - haruskah kita sekarang ini menjalankan Revolusi Sosial, ataukah harus kita pusatkan sifat Revolusi kita sekarang ini kepada sifat Revolusi Nasional? - atau haruskah kita jalankan Revolusi Sosial dan Revolusi Nasional itu simultan, serentak bersama-sama? dan kalau sifat Revolusi kita itu masih harus sifat nasional, buat apa program kesejahteraan sosial? - bagaimana caranya kita menuju kepada kesejahteraan sosial itu? - dapatkah kita menyelesaikan Revolusi itu tidak dengan massa, dan bagaimana jalannya supaya Revolusi itu tetap Revolusinya massa? - b a g a i m a n a k e w a j i b a n  w a n i t a  d i  d a l a m  R e v o l u s i  y a n g   b e r i s i  s e k i a n  b a n y a k 
s o a l - s o a l  i t u ,  s u p a y a  R e v o l u s i  i t u  m e n j a m i n k a n  k e d u d u k a n  s e b a i k - b a i k n y a  k e p a d a  w a n i t a 
d i k e m u d i a n h a r i? - soal-soal sebagai ini harus berani kita hadapi, harus kita fikir-fikirkan, harus kita p e c a h k a n. Tidak ada gunanya menghindari soal-soal ini, - semuanya toh pasti akan menerkam kita. Dan mati hidup kita sebagai bangsa tergantung dari padanya!

Pukul 10 pagi, 17 Agustus 1945, Sang Merah Putih naik di angkasa Jakarta, Pegangsaan Timur 56. Apa yang terjadi di sana itu, dan di seluruh Indonesia di hari-hari yang kemudiannya, adalah satu peristiwa  r e v o l u s i o n e r. Sebab pada hari itu dirobek konstitusi Belanda yang menya-takan Indonesia menjadi satu bagian dari Kerajaan Belanda. Tetapi tidak saja yuridis, dan tidak saja politis, peristiwa itu adalah peristiwa revolusioner, - sosial (maatschappelijk) pun ia adalah pula satu peristiwa revolusioner. Sebab Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah kita maksudkan sebagai langkah pertama ke arah penyeleng-garaan satu tujuan sosial yang revolusioner, yaitu: satu pergaulan hidup Indonesia yang tidak berkapitalisme, satu pergaulan hidup di Indonesia yang sama sekali berazaskan azas-azas lain daripada yang sudah-sudah, satu pergaulan hidup kesejahteraan sosial, sebagai bagian daripada pergaulan hidup dunia yang berkesejahteraan sosial. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kita lakukan bukan untuk feitnya proklamasi belaka, Negara Republik Indonesia kita bangunkan bukan h a n y a untuk mempunjai  n e g a r a  belaka, kita laku-kan tindakan-tindakan itu sebagai pucukan perjoangan  s o s i a l  yang revolusioner, - sebagai syaratnya satu perjoangan untuk melaksanakan satu prinsip sosial yang revolusioner. Undang-undang Dasar Negara yang kita susun, adalah menunjukkan dengan nyata arah yang revolusioner itu: mukaddimmahnya yang mengatakan bahwa:

”Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang ber-kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ke - Tuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu    k e a d i l a n  s o s i a l  b a g i  s e l u r u h 
r a k y a t  I n d o n e s i a ”,  - mukadammah undang-undang dasar kita ini dengan nyata menegaskan bahwa Republik diadakan untuk penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah satu langkah yang pertama, kata saya tadi, ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosia1 yang revolusioner! Dan langkah pertama ke arah penjelenggaraan satu tujuan yang revolusioner, adalah revolusioner! Dan penyelenggaraan tujuan itu, - dari langkah pertamanya sampai kepada ujung akhirnya -, adalah pula revolusioner!

Tetapi kecuali daripada itu, peristiwa menjadi merdekanya suatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa lain, - merdeka betul-betul merdeka, dan bukan merdeka boneka, - adalah satu peristiwa revolusioner, oleh karena peristiwa itu tidak dapat dihidangkan secara konstitusionil: Tidak dapat ”diatur”, ”disedia-sediakan”, ”dihadiahkan” secara konstitusionil menurut hukum, pada jam itu dan hari itu, dalam bulan sekian dan tahun sekian. Merdekanya sesuatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme, adalah satu peristiwa yang sama sekali bersangkut-paut dengan situasi- situasi revolusioner. Dan situasi-situasi revolusioner itu tidak dapat diatur atau disedia-sediakan lebih dulu secara konstitusionil. Dan tidak akan - tidak mungkin! - sengaja diatur atau disediakan secara konstitusionil. Sapi dan kerbau harus bisa terbang lebih dahulu, sebelum sesuatu negara imperialis mengatur dan menyedia-nyediakan dengan sengaja situasi-situasi revolusioner untuk memungkinkan kemerdekaan bangsa yang daripadanya ia menghisap zat-zat untuk hidupnya atau kesejahteraannya! ”Tak pernah sesuatu kelas dengan suka-rela melepaskan kedudukannya yang berlebih”, demikianlah ucapan Marx yang terkenal. Oleh karena itulah pula, maka merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa revolusioner. Tergantung dari situasi-situasi revolusioner itulah, apakah lahirnya bayi merdeka itu disertai oleh pertumpahan darah yang banyak atau tidak. Bukan adanya atau tidak adanya pertumpahan darahlah yang menentukan sesuatu kejadian bersifat revolusioner atau tidak revolusioner, tetapi  i s i n y a  kejadian itu! Sering kali banyak darah ditumpahkan justru oleh anasir-anasir reaksioner.

Merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa  d a l a m  proses revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan, satu cincin dalam rantai revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan. Ia dus revolusioner, ia tidak konstitusionil. Adakah Proklamasi 17 Agustus konstitusionil? Kaum reaksi malahan mencoba membatalkan kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan konstitusionil! Bumi dan langit ia goyangkan untuk mengeritiki kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan konstitusionil, segala kentongannya ia pukul untuk mengajak segala kaum reaksi sedunia untuk mereduksi soal Indonesia menjadi satu soal kecil ”urusan dalam negeri” konstitusionil! Tetapi ia tidak akan berhasil, ia pasti akan kandas. Sebab memang bukan sesuatu pekerjaan konstitusionil, melainkan situasi-situasi  r e v o l u s i o n e r  yang telah menelorkan kemerdekaan Indonesia itu, dan karenanya tiada kekuatan manusia apapun dapat menghapuskannya, tiada muslihat manusia apapun dapat meniadakannya.

Di dalam tahun 1929 saya tahu bahwa situasi-situasi revolusioner itu akan datang, dan kemerdekaan Indonesia telah saya lihat menyingsing
di cakrawala. - Dengan hati yang berdebar debar karena rasa kegembiraan yang tak tertahan, di dalam tahun 1929 itu terlepaslah
dari mulut saya kalimat yang terkenal: ”Kaum imperialisme, awaslah! Awas! Jikalau nanti geledek Perang Pasifik menyambar-nyambar dan membelah angkasa, jikalau nanti air Samudera Teduh menjadi merah, dan bumi di sekelilingnya menggempa karena ledakan bom dan dinamit, di situ rakyat Indonesia akan melepaskan belenggu-belenggunya, di situ rakyat Indonesia akan merdeka!”

Ucapan ini bukan satu ”nujuman”. Ia bukan pernyataan seorang-orang yang melihat gambar hari kemudian terlukis dalam rangkaian bintang-bintang di langit.

Ia bukan pula keluar dari mulutku karena dorongan harapan berdasar ”wishfull thinking”. Bukan pula sekedar hasutan kepada rakyat semata-mata, meskipun Belanda sudah barang tentu demikian menganggapnya dan melemparkan saya dalam penjara bertuhun-tahun. Ia adalah hasil 
p e r h i t u n g a n  a k a n  d a t a n g n y a  s i t u a s i - s i t u a s i 
r e v o l u s i o n e r,  d a n  p e r h i t u n g a n  a k a n 
m e m p e r g u n a k a n  s i t u a s i - s i t u a s i  r e v o l u s i o n e r 
i t u.

Di dalam tahun 1929 itu sudah terang bagi saya, bahwa peperangan Pasifik pasti akan pecah. Tidak ada satu kekuatan duniawipun dapat mengelakkannya. Kapitalisme yang makin lama makin memonopoli, lapangan persaingannya yang makin lama makin sesak sehingga laksana mencekek nafas, antitese-antitese yang laksana hendak merobek-robek dadanya, garis hidupnya yang makin lama makin menyatakan, bahwa ia telah turun (telah ”im Niedergang”) dan megap-megap mencari nafas dan pasti akan mengalami bencana bilamana tidak dipecahkan kebuntuan yang mencekek nafas itu, usaha-usaha mati-matian untuk menyelamatkan kapitalisme itu dengan fasisme yang main labrak dengan cambuk konsentrasi kamp dan main drel dengan senapan mesin, - semua itu membuktikan, bahwa kapitalisme sedang mengalami krisis yang maha-maha hebat; dan bahwa krisis itu p a s t i akan mengklimaks dalam satu peperangan mati-matian yang seru dan seramnya belum pernah dialami oleh kemanusiaan, satu peperangan dunia yang tidak saja akan mempuingkan muka bumi di dunia Barat, tetapi juga akan menggeledek dan menghalilintar di dunia Timur.

Pasti peperangan itu datang, segenap urat-urat dan saraf-saraf kapitalisme telah nampak menggeletar dan terpasang segenting-gentingnya, - pasti peperangan itu datang, hantu-hantunya telah mengintai di cakrawala! Dan pasti, tiada ampun, - itu saya tahu -, imperialisme Belanda, akan terseret-serta di dalam hamuknya taufan prahara peperangan itu, dan pasti pula, tiada ampun, ia akan terhantam remuk-redam atau hampir remuk-redam oleh hantaman palu-palu godamnya!

Dan jikalau nanti imperialisme Belanda telah remuk-redam atau hampir remuk-redam, maka itu adalah satu  s i t u a s i  r e v o l u s i o n e r. Satu situasi revolusioner yang akan menjadi satu  a n a s i r - o b y e k t i f  yang baik untuk melepaskan Indonesia dari cengkereman imperialisme Belanda itu. Manakala kita tidak cukup kekuatan untuk melepaskan diri kita dari cengkeraman imperialisme itu semasa ia masih segar bugar, maka haruslah kita menunggu kesempatan dan mempergunakan kesempatan yang ia berada di dalam keadaan lemah atau remuk. Tetapi untuk dapat mempergunakan kesempatan itu, k i t a  s e n d i r i  h a r u s  k u a t. Kita harus menyusun  a n a s i r  s u b y e k t i f  untuk dapat mempergunakan kesempatan itu: kita harus menyusun tenaga-tenaga kita, menebalkan tekad kita, melatih ketangkasan kita, menggembleng barisan-barisan kita, mengkongkritkan kemauan nasional kita.
Di samping situasi revolusioner yang obyektif yang berupa lemahnya atau remuk-nya imperialisme Belanda itu, harus dibangunkan
(dan kita bangunkan) situasi revolusioner yang subyektif yang berupa penghebatan serta konkretisasi kemauan revolusioner dan tenaga revolusioner kita. Dan situasi revolusioner yang subyektif itu nanti harus kita gempurkan sehebat-hebatnya pada waktu situasi revolusioner yang obyektif sedang masak semasak-masaknya. Dan pada saat dua situasi revolusioner ini bertemu satu sama lain laksana cetusan antara dua poolnya lading elektris yang bertrilyun-trilyun volt, pada saat itu gugurlah dengan suara gemuruh yang terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain, kerajaan Belanda di dunia Timur.

Pada saat itulah Banteng Indonesia akan meraung:
Merdeka, Indonesia telah merdeka, Sekali merdeka, tetap merdeka!

Demikianlah visiun kejadian yang akan datang yang saya lukiskan
di dalam tahun 1929. Maka teranglah: Terjadinya situasi revolusioner obyektif itu tadi bukan satu hal konstitusionil, pembangunan situasi revolusioner subyektif itu pula sama sekali bukan satu perbuatan konstitusionil, dan pertemuan dua situasi revolusioner itu pun jauh daripada bersifat konstitusionil. Tidak, peristiwa merdekanya Indonesia adalah satu peristiwa revolusioner! Revolusioner di dalarn terjadinya, revo-lusioner di dalam kedukukannya, revolusioner di dalam tujuannya! Revolusioner di dalam tujuannya, oleh karena ia, sebagai tadi saya katakan, adalah satu langkah pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner, revolusioner pula di dalarn kedudukannya oleh karena ia (nanti saya jelaskan) satu bagian daripada satu proses dunia yang revolusioner.

Revolusioner di dalam tujuannya! Di sinilah tempatnya saya meninjau soal: Tidakkah sekarang telah tiba saatnya untuk memulai Revolusi Sosial? Mengapa Revolusi Sosial itu masih dianggap t u j u a n ? Belum dapatkah kita sekarang menjelmakannya, - merealisasikannya? Kaum wanita, yang membaca uraian-uraian saya di bab-bab yang di muka ini, sudah barang tentu ada yang tertarik oleh uraian tentang maksud dan tujuan pergerakan wanita tmgkat ketiga, dan berkeyakinan juga bahwa hanya di masyarakat sosialislah wanita dapat menjadi wanita yang merdeka. Memang, jikalau di antara pembaca-pembaca wanita ada yang memperoleh keyakinan demikian sebagai hasil membaca kitab saya ini, jikalau di antara pembaca-pembaca wanita itu sebagian besar lantas mengerti kekurangan-kekurangan feminisme atau neo-feminisme dan mengerti, bahwa soal wanita hanyalah dapat memperoleh pemecahannya yang sempurna dalam Dunia Baru yang berkesejahteraan sosial, maka sayalah yang paling bersyukur, sayalah yang paling berbahagia.


Jangan segan jerih-payah, buanglah jauh-jauh tiap-tiap kuman inferioriteits-complex! Memang perjoanganmu bukan perjoangan ringan, perjoanganmu adalah perjoangan raksasa. Memang tujuan yang kugambarkan di kitab ini bukan tujuan yang kecil, tetapi tujuan yang amat besar. Tiada tujuan besar dapat tercapai dengan tiada jerih payah, dengan tiada mengatasi kesukaran-kesukaran, dengan tiada melakukan pengorbanan-pengorbanan.

Agust Bebel, kampiun wanita yang sering kusebut-sebut namanya
di muka tadi, mengunci bukunya ”Die Frau und der Sozialismus” dengan kata-kata:

”Juga di atas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjoangan ini, dalam mana diperjoangkan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah
harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjoangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, - bahwa mereka telah bertetap hati  i k u t - s e r t a  dalam perjoangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban, membantu mereka itu dalam membuang semua purbasangka yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta mereka dalam perjoangan.

Jangan satu orangpun menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilah sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadilah sungai besar, sungai-sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu halanganpun akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebat itu. Demikianlah pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan; selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhir pasti nanti datang.

Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara yang lebih
rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita masih akan melihat permulaannya periode kebudayaan yang lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami permulaan-nya periode itu, pertimbangan-pertimbangan semacam itu tak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tak boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah kita injak.

Kita tak mampu menentukan berapa lamanya atau bagai-mana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kitapun tak mampu mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepaskan di dalam zaman seperti zaman yang kita alamkan sekarang ini. Kita berjoang terus dan berusaha terus, dan tak memperdulikan soal ”di mana” atau ”kapan” batu-batu tandanya zaman bahagia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.

Dan jikalau kita jatuh di padang perjoangan ini, maka turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi kewajiban kita sebagai
manusia, dan dengan keyakinan,  b a h w a  t u j u a n  k i t a  p a s t i 
n a n t i  t e r c a p a i, bagaimanapun juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya tujuan itu!”

Demikianlah Bebel! Saya teruskan pesanan Bebel itu kepada kamu, wanita-wanita Indonesia. Malah saya tambah lagi: bandingkanlah
zaman Bebel itu dengan zaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada Undang-undang Sosialis sekalipun, masih bernama  a m a n jika dibandingkan dengan zaman kita sekarang ini. Kita, kita sekarang ini berada dalam zaman perjoangan yang sepuluh, seratus kali lebih gegap-gempita daripada zamannya Bebel itu. Kita sekarang ini dalam bahaya, Negara kita dalam bahaya, meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur di angkasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan, kota-kota kita menjadi puing, desa-desa kita menjadi lautan api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, - segenap tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk mempertahankan Republik kita yang diserang itu. Sungguh seratus kali lebih genting keadaan kita jika dibandingkan dengan keadaan perjoangan sosialis di Jermania itu! Manakala Bebel menegaskan bahwa tiada seorangpun boleh ketinggalan, - betapa pula dengan kita sekarang ini? Ibaratnya, bukan saja manusia yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi alam ini, yang berupa apapun, harus kita gugahkan, bangkit-kan, mobilisasikan untuk membela Negara yang hendak dihancurkan musuh itu. Di Jermania adalah dulu itu perjoangan di bawah ancaman Undang-undang Sosialis, tetapi di sini perjoangan adalah perjoangan membela hidup terhadap serangan kontra-revolusi yang sedang memuntahkan peluru dan memuntahkan api, sedang mengamuk, membinasa, membunuh, membakar! Tidak seorangpun boleh ketinggalan dalam perjoangan yang semacam itu!

Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika
Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha
menyusun Negara Nasional.

Jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha
menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan-sosial.

Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!






Oleh Fitriyani Sinaga

Komentar

TERPOPULER

Isolasi Lignin Pulp Soda dan Sulfat (Kraft)

Teknis Mesin Pancang Dalam Pemanenan HUTAN

Sejarah Sylva Indonesia: Rimbawan, yuk berjuang kolektif!

Masyarakat Adat vs RUU Pertanahan, Sebuah Refleksi Hari Tani, Utopis Kelestarian Hutan?

Kehutanan Berduka,Wafatnya Prof.Dr.Ir.H.R.Sambas Wirakusumah MSc.

Rimba 2019: Mahasiswa Berprestasi, Tanamkan Kode Etik Rimbawan

Karhutla di Kaltim: Surga Angrek Hitam Cagar Alam Kresik Luway Hangus

Symposium dan Konferensi Nasional Sylva Indonesia Jogjakarta

UPAYA REHABILITAS LAHAN KRITIS

Informasi data berita tentang fakta,edukasi dan analisis tentang kehutanan, pertanian, pendidikan budaya sosial dan lingkungan hidup. Ragam berita konservasi dan sains lingkungan. @ Seorang pembelajar yang menyenangi membaca dan menulis Jurnal ilmiah. Acap kali juga ngopi dengan penjaga toilet, satpam dan tukang parkir di pinggiran jalan . Kadang mendaki gunung dan memancing ikan dilaut. Masa kecilku Sering nongkrong di sawah bersama petani dan mengembala kerbau di Ladang. @nagadragn