Dhandy Dwi Laksono : Tanah dan Riba

Indonesia menduduki peringkat keenam negara yang ketimpangan ekonominya terparah di dunia. 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49 persen kekayaan nasional (Credit Suisse).
Dokumen Dhandy sedang nyantri
di Kapal Rainbow Warrior


Yang lebih mencengangkan adalah laporan yang baru dirilis Infid dan Oxfam Indonesia, Februari 2017. Pendapatan bunga per hari orang terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun.

Masih dari laporan yang sama, bahkan butuh 22 tahun bagi orang terkaya di Indonesia untuk menghabiskan hartanya jika digunakan berfoya-foya menghamburkan 1 juta dollar per hari. 

Pertanyaannya justru, di mana dan bagaimana caranya kita berfoya-foya menghabiskan 13 miliar rupiah per hari. Bila hanya sanggup menghamburkan satu miliar per hari, maka butuh 286 tahun!

Salah satu faktor yang paling fundamental dalam menciptakan ketimpangan ekonomi adalah kesenjangan akses terhadap tanah. Bukan modal kerja dengan bunga KUR yang ditekan dari 9 ke 7 persen, juga bukan melulu "pemerataan" pembangunan akses infrastruktur yang dalam banyak kasus justru melancarkan perampasan tanah-tanah penduduk dan melempangkan jalan bagi eksploitasi sumber daya alam.

Bahwa warga di pedalaman Muting di Merauke dan Boven Digoel akan terbantu dengan jalan trans-Papua, itu benar. Tapi bahwa jalan itu juga akan makin memperkaya Korindo, Medco, atau group Wilmar yang membuka sawit, pulp, pellet kayu, atau sawah tekno, itu lebih benar.

Bahkan satu per satu tanah orang Ndiken, Gebze, Basikbasik, atau Mahuzes mungkin akan segera berpindah tangan seiring pertumbuhan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, atau runway bandara.

Yang kami temui selama perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru adalah kenyataan bahwa masyarakat yang bertahan dan tidak menjadi korban pembangunan adalah mereka yang memegang teguh prinsip bahwa tanah adalah "barang publik". Bukan properti privat. Baduy, Ciptagelar, Boti, Mahuze, dan sebagian Marapu adalah contoh. 

Melihat kehidupan mereka, saya berani menyimpulkan bahwa konsep negara modern nyaris tidak relevan. Indonesia bubar besok pagi pun, kehidupan akan baik-baik saja. Bahkan mungkin lebih baik.

Lalu apa itu "barang publik"?

Segala hal yang tidak bisa dibuat manusia dan menjadi faktor yang menyokong kehidupan. Konstitusi kita sudah menyebut dengan jelas: bumi (tanah), air, dan kekayaan alam (mineral). Juga udara.

Tak seorang pun dengan kecerdasan dan teknologinya dapat menciptakan hal-hal tersebut. Dia "given" sebagai pendukung kehidupan yang paling fundamental. Karena itu kita menentang privatisasi air dan siap perang bila suatu saat bernafas pun harus membayar.

Tapi yang sudah lama lepas sebagai "barang publik" adalah tanah. Kita menerima begitu saja konsep bahwa tanah dapat dikuasai tanpa batasan dan dapat diperjualbelikan. Dari tadinya tanah komunal, menjadi barang individual.

Penduduk bumi kini 7 miliar orang. Menurut hitungan para ahli, bumi sebenarnya hanya sanggup menopang kehidupan 5 miliar manusia. Maka kita "surplus" 2 miliar jiwa.

Bila ke-salahkaprah-an kita memperlakukan tanah ini diteruskan, maka akan lahir generasi-generasi yang takdir hidupnya hanya sebagai "pengontrak:. Dia tak pernah benar-benar mendapat jaminan sumber daya alam karena tak memiliki jangkar atau tapak.

Program redistribusi tanah hanya jawaban sementara yang akan mengulang siklus ketimpangan jika konsep kita memandang tanah tak pernah berubah secara radikal.

Asosiasi pengusaha properti sudah menyatakan bahwa tahun 2021, generasi milenial tak akan sanggup membeli rumah di Jakarta karena harganya didikte oleh rezim mekanisme pasar.

Karena itu perdebatan DP 0 persen di Pilkada Jakarta sesungguhnya memiliki akar masalah yang jauh lebih dalam dari sekadar kreativitas sistem pendanaan perumahan rakyat. Isu penggusuran juga jauh lebih dalam dari urusan legal-ilegal atau sterilisasi bantaran kali.

Semua persoalan dan konflik yang kita hadapi hari ini sejatinya adalah kegagalan peradaban kita yang telah menjadikam tanah sebagai komoditas. Inilah riba yang sesungguhnya.

Komentar

TERPOPULER

Isolasi Lignin Pulp Soda dan Sulfat (Kraft)

Teknis Mesin Pancang Dalam Pemanenan HUTAN

Sejarah Sylva Indonesia: Rimbawan, yuk berjuang kolektif!

Masyarakat Adat vs RUU Pertanahan, Sebuah Refleksi Hari Tani, Utopis Kelestarian Hutan?

Kehutanan Berduka,Wafatnya Prof.Dr.Ir.H.R.Sambas Wirakusumah MSc.

Rimba 2019: Mahasiswa Berprestasi, Tanamkan Kode Etik Rimbawan

Karhutla di Kaltim: Surga Angrek Hitam Cagar Alam Kresik Luway Hangus

Symposium dan Konferensi Nasional Sylva Indonesia Jogjakarta

UPAYA REHABILITAS LAHAN KRITIS

Informasi data berita tentang fakta,edukasi dan analisis tentang kehutanan, pertanian, pendidikan budaya sosial dan lingkungan hidup. Ragam berita konservasi dan sains lingkungan. @ Seorang pembelajar yang menyenangi membaca dan menulis Jurnal ilmiah. Acap kali juga ngopi dengan penjaga toilet, satpam dan tukang parkir di pinggiran jalan . Kadang mendaki gunung dan memancing ikan dilaut. Masa kecilku Sering nongkrong di sawah bersama petani dan mengembala kerbau di Ladang. @nagadragn